Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini bisnis peternakan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BISNIS PETERNAKAN RAKYAT MASA DEPAN

Dialog presiden Jokowi dengan masyarakat peternakan di arena Jambore peternakan pada tanggal 24 September 2017 yang lalu menarik untuk disimak. Presiden mengharapkan bagaimana peternakan rakyat yang usahanya tidak efisien saat ini mampu merubah pola bisnisnya secara berkorporasi.  Selain itu, terungkap pula dalam dialog tersebut bahwa di era digitalisasi saat ini, suka atau tidak suka usaha peternakan rakyat seharusnya melakukan bisnisnya dengan sentuhan “fintech”.

Usaha peternakan rakyat selama ini terkendala
sistem pendukung usahanya, yaitu permodalan
dan teknologi. Sentuhan keduanya selama ini belum
mampu meningkatkan produksi dan produktivitasnya.
Kendala Permodalan dan Teknologi
Usaha peternakan rakyat, selama ini terkendala sistem pendukung usahanya, yaitu permodalan dan teknologi. Sentuhan permodalan maupun teknologi pada sistem usaha yang selama ini ada, belum mampu meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Kita tahu bahwa usaha ternak rakyat yang skalanya kecil-kecil diusahakan dengan cara sederhana, lokasinya tersebar, dengan modal yang kecil serta dikelola secara subsistem tradisional.

Ide “korporasinya Jokowi” sesungguhnya merupakan jawaban, bahwa usaha sejenis yang berkelompok pada suatu hamparan kawasan, akan menjadikan bisnis ini tangguh dan efisien. Usaha seperti ini dikenal juga dengan istilah “klusterisasi bisnis”. Misalnya pada kasus usaha ternak sapi perah, di mana peternak di wilayah itu hanya memelihara sapi perah yang berproduksi, sementara pemeliharaan rearing dilakukan oleh peternak lainnya.

Demikian halnya dengan penyediaan hijauan pakan dan konsentrat pun dilakukan oleh kelompok masyarakat lainnya. Hal seperti ini, banyak dilakukan juga oleh komoditi usaha ternak lainnya, seperti sapi potong, kambing, domba maupun perunggasan. Masing-masing kluster akan melakukan hubungan bisnisnya secara efektif dan efisien. Bisnis ini kini mulai dilakukan secara online (daring) menggunakan teknologi digital yang berkembang sangat pesat.

Lihat saja bagaimana para tengkulak yang menyebabkan tataniaga menjadi tidak efisien bisa dipotong oleh sistem daring ini. Hal ini bisa kita lihat sehari-hari aktivitas para peternak di media sosial. Mereka saling menawarkan produknya, bahkan bisnis hewan kurban pun berubah dengan banyaknya alternatif tawaran harga dan cara yang lebih murah dan efisien, bahkan mampu melayani lintas kota, lintas wilayah, bahkan lintas benua sekalipun.

Finansial Teknologi
Ada satu hal yang menarik di era digital ini, dengan tumbuh kembangnya bisnis teknologi finansial. Bisnis ini lebih dikenal dengan nama “fintech/fintek (financial technology)” yang banyak ditawarkan oleh para technopreuneur. Produknya bermacam-macam, mulai dari bagaimana mengatur keuangan pribadi, mencari pasar sampai dengan program pengembalian kredit.

Ternyata bisnis daring tidak melulu hanya e-commerce (toko online) atau situs portal berita. Startup teknologi penyedia jasa finansial, atau biasa disebut fintech, merupakan salah satu bisnis yang sedang berkembang pesat di tanah air. Salah satu pemicunya adalah karena urusan finansial merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh berbagai kelas masyarakat. Misalnya, pada usaha peternakan rakyat, kita belum pernah mendengar keberhasilan “kredit program”, menciptakan produksi atau produktivitas peternakan rakyat berdaya saing. Kiranya dengan pendekatan permodalan melalui bisnis fintech akan mampu memberikan berubahan bisnis peternakan dimasa mendatang.

Beberapa contoh fintech yang telah berkembang di negeri ini, menurut Pratama (2017) antara lain, (1) Jurnal, adalah penyedia software akuntansi untuk para pemilik usaha kecil dan menengah (UKM). Melalui software tersebut, kita bisa membuat invoice, serta mengelola aset, inventori dan gudang secara otomatis. (2) Jojonomic, merupakan software yang fokus menjadi platform Software as a Service (SaaS) yang bertujuan untuk mempermudah proses reimbursement. Software ini telah menghadirkan fitur absensi dengan teknologi pengenalan wajah. (3) Sleekr, merupakan layanan sumber daya manusia berbasis cloud. Namun setelah mengakuisisi startup bernama Kiper pada tahun 2016 yang lalu, kini software ini memberikan layanan mengatasi masalah akuntansi di berbagai perusahaan. (4) OnlinePajak, adalah software layanan yang bisa memudahkan untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak. Startup ini didirikan oleh pengusaha asal Perancis, Charles Guinot, dan telah terhubung langsung dengan server e-Billing dan e-Filing di Direktorat Jenderal Pajak. (5) VeryFund, merupakan aplikasi mobile yang memungkinkan melacak segala transaksi yang terjadi di setiap rekening bank. (6) DompetSehat, adalah sebuah aplikasi mobile yang bisa membantu mencatat keuangan pribadi, seperti yang dihadirkan Jojonomic. Aplikasi ini juga bisa memberikan masukan tentang cara mengeluarkan uang yang lebih baik, setelah sebelumnya melakukan analisis kebiasaan belanja. (7) Kartoo, adalah aplikasi mobile yang bisa menampilkan informasi promo dari para penerbit kartu debit maupun kartu kredit. (8) Finansialku, adalah portal dan aplikasi perencana keuangan yang bisa memberi berbagai tip tentang cara mengelola keuangan yang baik. Software ini bisa memberi masukkan tentang cara mengatur investasi, reksa dana, saham, asuransi, hingga persiapan pensiun dengan baik. (9) EFL, adalah penyedia layanan penilaian risiko kredit yang bisa membantu lembaga finansial tanah air ketika akan memberikan pinjaman kepada seseorang. Mereka mengklaim bisa memberikan penilaian kepada orang yang bahkan belum mempunyai riwayat pinjaman maupun jaminan sekalipun. (10) CekAja, adalah situs yang berisi informasi dan perbandingan layanan finansial seperti kartu kredit, asuransi dan berbagai bentuk investasi.

Berdasarkan hal tersebut, sesungguhnya “fintech” merupakan jawaban kesulitan mengakses finansial yang selama ini ditunggu-tunggu kehadirannya dalam menuju bisnis peternakan rakyat masa depan. Di mana usaha peternakan rakyat yang berskala kecil, di era mendatang akan mampu menghasilkan produk yang berdaya saing, karena dibarengi dengan teknologi keuangan yang handal disertai dengan pengamannya. Demikian juga pola korporasi dalam bentuk “kluster” merupakan prasyarat bagi keberhasilan sistem inovasi teknologi digital ini. Boleh jadi pola klaster dengan sentuhan permodalan melalui fintech merupakan ciri bisnis peternakan rakyat di masa mendatang, semoga…!!!

Oleh : Rochadi Tawaf
Dosen Fapet Unpad; Ketua I PB ISPI;
Penasehat PP Persepsi: Sekjen DPP PPSKI

PRESIDEN INGIN PETERNAKAN KAMBING DIKELOLA SEPERTI KORPORASI

Presiden Jokowi meninjau ternak domba
dan kambing pemenang kontes. 
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar pola beternak kambing dan domba dilakukan dengan model korporasi. Ketimbang kecil-kecilan dan tak berkelompok, pola beternak secara korporasi dinilai jauh lebih efisien.

"Saya lihat bangun industri peternakan kayak sebuah korporasi yang besar, yang jumlahnya banyak, yang miliki ternak gabung, konsolidasi dalam sebuah organisasi mau itu PT (perusahaan), koperasi, atau gabungan peternak yang jumlahnya banyak. Sehingga hitungan dari sisi bisnis bisa untung dan manfaat," ungkap Jokowi dalam acara Jambore Peternakan 2017 di Cibubur, Jakarta, Minggu (24/9/2017).

Jambore Peternakan Nasional yang diselenggarakan sejak 22 September diikuti 1.200 peternak baik perorangan maupun kelompok peternak. Selain Mentan Amran Sulaiman, hadir pula Gubernur BI Agus Martowardojo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat serta sejumlah pejabat BUMN terkait.

"Bagaimana kita bisa membangun sebuah industri peternakan yang betul-betul seperti sebuah korporasi yang besar, yang jumlahnya banyak, tapi yang memiliki adalah rakyat, para peternak, sehingga bisa bersaing dengan negara-negara lain. Itu yang kita inginkan, kalau kita kalah bersaing, berarti ada yang kurang efisien dan regulasi yang menghambat untuk pengembangan peternakan harus dihilangkan, agar perkembangan sektor usahanya bisa berjalan,” tegasnya

Dalam acara Jambore Peternakan Nasional 2017 ini juga diserahkan
Piala Presiden dan penghargaan Anugerah Bakti Peternakan.  
Saat temu wicara dengan sejumlah peternak, Jokowi mengungkapkan, guna mewujudkan keinginan membentuk korporasi peternakan di Indonesia, para peternak perlu bergabung dalam sebuah wadah besar. Misalnya kepada kelompok Perserikatan Peternak Kambing dan Domba (PPKB) Yogyakarta. Perserikatan tersebut, seperti diungkapkan Ketua Umum PPKD Yogyakarta, Didik, telah mempunyai 500 anggota peternak dengan total jumlah ternak 10.000 ekor kambing dan domba.

"Jadi ini terkonsolidasi kurang lebih memiliki seluruh 10.000 ekor. Ini yang namanya mengkoordinasikan peternak, ya seperti ini, kedepannya ada industri bibit ternak, penggemukan ternak, dan industri pakan ternak. Dahulu pemerintah banyak memberikan sapi, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Untuk itu peternakan harus masuk sistem perbankkan,” ungkapnya.

Sebelumnya Menteri Pertanian, Amran Sulaiman mengungkapkan bahwa bahwa pemenuhan swasembada pangan ke depannya telah diubah dengan swasembada protein, yang dapat diperoleh tidak hanya dari daging sapi, namun juga kambing, domba, ayam, kelinci dan unggas lain. Kedepannya pemerintah keinginan mengembangkan sapi unggulan dengan menganggarkan Rp 100 miliar untuk membeli bibit (semen) sapi unggulan Belgian Blue.

“Saat ini nilai ekspor peternakan naik 22% pada kambing, ayam, dan babi. Pemerintah juga akan memberikan asuransi peternakan, yang 80% preminya ditanggung pemerintah dan 20% ditanggung peternak. “Jadi peternak hanya membayar Rp. 40.000/ekor/tahun, sisanya 80% persen pemerintah yang bayar. Selain itu dengan naiknya nilai ekspor peternakan saat ini, sebenarnya kita sudah swasembada protein,” ujar Amran. (WK)

SINERGI PEMERINTAH DALAM OPTIMALISASI PENDISTRIBUSIAN SAPI NASIONAL

Dalam rangka mengoptimalkan sumber daya lokal (sapi-sapi lokal), terutama untuk mewujudkan pencapaian swasembada daging sapi di dalam negeri, Dewan Ketahanan Nasional bersama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Terkait Lainnya  bersinergi untuk membuat Rumusan kebijakan pengembangan sapi nasional untuk memenuhi  tujuan swasembada daging sapi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembahasan rumusan kebijakan tersebut dilaksanakan dalam Seminar dan Lokakarya yang diselenggaarakan oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) bekerjasama dengan Universitas Andalas dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Semiloka diadakan di Padang Sumatera Barat pada tanggal 2 Agustus 2017 dengan tema “Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Lokal Untuk Pencapaian Swasembada Daging Sapi Dalam Rangka Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional”.

Peserta seminar terdiri dari, dosen, peneliti, pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, serta praktisi peternakan. Seminar dibuka oleh Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letjen TNI Nugroho Widyotomo. Keynote speaker Menteri Pertanian dibawakan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh I Ketut Diarmita, M.P dengan topik: “Kebijakan Swasembada Daging Sapi Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat”. Dilanjutkan dengan penyampaian makalah dari Ditjen PKH Kementan, Kemendag,  Kemenkominfo.Kemenhub dan Kemenkop / UMKM

Dirjen PKH I Ketut Diarmita didampingi
Sekjen Wantanas Letjen TNI Nugroho Widyotomo saat jumpa pers.
Dalam sambutannya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang dibacakan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita Menteri Pertanian menganggap penting perlunya membangun kedaulatan pangan dalam rangka menjaga kedaulatan bangsa. Amran menegaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar warga negara yang harus dijamin ketersediaannya oleh pemerintah.

Menurutnya, kedaulatan pangan menjadi semakin relevan disaat Indonesia telah memasuki era perdagangan bebas, termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana arus perdagangan barang dan jasa antar sesama negara se-kawasan Asia Tenggara akan semakin bebas untuk keluar masuk. “Kondisi ini membuat kita harus bisa meningkatkan daya saing melalui sistem produksi dan distribusi yang efisien, termasuk di dalamnya sistem produksi dan distribusi sektor peternakan,” kata Andi Amran Sulaiman dalam sambutannya.

Lebih lanjut disampaikan, Pemerintah saat ini telah merancang ambisi besar untuk menjadikan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia pada tahun 2045. Fokusnya pada komoditas pangan strategis meliputi padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, gula dan daging sapi.

Selanjutnya menurut Amran Sulaiman, pembenahan tata niaga produk pertanian domestik menjadi hal penting dalam rangka terciptanya perdagangan pangan yang berkeadilan karena Menurut Amran Sulaiman, saat ini petani menghadapi persoalan pasar monopoli dan oligopoli pada agroinputnya. Di sisi lain ketika menjual produk pertaniannya, para petani menghadapi pasar yang monopsonistik dimana posisi tawar petani sangat lemah dalam menentukan harga. Pada struktur tersebut beberapa gelintir pedagang/tengkulak yang menguasai akses pasar, informasi pasar, dan permodalan yang cukup memadai berhadapan dengan banyak petani yang kurang memiliki akses pasar, informasi pasar dan permodalan yang kurang memadai serta kelembagaan yang lemah. “Oleh karena itu pembenahan tata niaga pertanian akan terkait erat dengan akses dan informasi pasar, kelembagaan petani dan pembiayaan bagi petani,” ungkap Amran Sulaiman.

Penguasaan jalur distribusi dan praktik kartel mafia pangan dinilai bisa menjadi ancaman bagi target swasembada nasional.

Sekretaris Jenderal Wantanas Letnan Jenderal TNI Nugroho Widyotomo, menilai pemberantasan mafia pangan menjadi pilihan yang harus dilakukan. “Oleh sebab itu, mau tidak mau hal ini harus diberantas dan merupakan tugas dari pemerintah dan kita semua untuk menghilangkannya”, kata Nugroho.

Menurutnya impor pangan itu untungnya besar sehingga sangat memungkinkan pihak yang bisa menggagalkan swasembada adalah pelaku monopoli distribusi pangan dan kartel. “Logikanya kan rezeki mereka berkurang,” tambahnya.

Nugroho mengemukakan saat ini ada 250 juta penduduk Indonesia yang harus dipenuhi kebutuhan pangan dan mencari cara supaya tidak impor. “250 juta orang ini pangsa pasar yang besar bagi negara lain, sekarang bagaimana caranya agar kita bisa memenuhi kebutuhan sendiri,” ujarnya. Ia menerangkan untuk mencapai bonus demografi salah satunya harus dipersiapkan sumber daya manusia yang baik dan kuncinya adalah pemenuhan kebutuhan pangan.

Sementara Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita mengatakan pihaknya terus berupaya mewujudkan swasembada pangan salah satunya memperpendek alur distribusi agar biaya tidak tinggi dan menetapkan harga eceran terendah.

“Kalau untuk unggas kita sebenarnya sudah swasembada, konsumsi sapi saat ini 6,7 %, telur 85% dan ayam 67%,” sebut Ketut.

Terkait dengan upaya pemerintah dalam mempercepat peningkatan populasi sapi potong, pemerintah melakukan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB) pada tahun 2017 dengan target 4 juta ekor akseptor dan 3 juta ekor sapi bunting.  Sesuai dengan Permentan Nomor 48 Tahun 2016, perbaikan sistem manajemen reproduksi pada UPSUS SIWAB dilakukan melalui pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi, pelayanan IB dan kawin alam, pemenuhan semen beku dan N2 cair, pengendalian betina produktif dan pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat. Upaya lain yang dilakukan pemerintah dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi adalah melalui implementasi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar Ke Dalam Wilayah Negara Republik.

Kementerian Pertanian juga bekerjasama dengan TNI dalam pengawalan sapi indukan impor yang saat ini dipelihara oleh kelompok peternak di Provinsi Riau, Sumatera Utara dan Aceh). Selain itu juga bekerjasama dengan Polri untuk pengendalian pemotongan betina produktif.

Pemerintah saat ini juga sedang melakukan perbaikan sistem logistik dan supply chain untuk komoditas sapi dan daging sapi melalui langkah-langkah antara lain:  a) Pengadaan dan operasionalisasi kapal ternak yang didesain memenuhi standar animal welfare.  mengubah struktur pasar, meningkatkan harga di peternak dan harga yang lebih rendah di tingkat konsumen.  Saat ini dialokasikan subsidi sebesar 80%  pada tarif muat ternak pada kapal ternak. Hal ini diharapkan akan terus mendorong perluasan produksi peternakan dan mencapai swasembada produksi pangan hewani. Pemberian subsidi yang tepat guna kepada suatu program rintisan pemerintah merupakan satu instrumen yang perlu diterapkan guna tercapainya program tersebut. Saat ini sedang disiapkan tambahan kapal sebanyak 5 unit, dan diharapkan dapat beroperasi tahun 2018; b) Pembangunan Rumah Potong Hewan (RPH) modern di sentra-sentra produksi; dan c) Perbaikan tata laksana dan pengawasan impor yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat.

Menurut I Ketut Diarmita, pengawasan dan pemantauan proses sistem logistik dan supply chain tersebut perlu lebih dioptimalkan melalui Penguatan Data dan Informasi peternakan dan kesehatan hewan yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan melalui pengembangan  sistem  jaringan informasi di daerah sentra produksi dan wilayah konsumsi untuk memantau perkembangan populasi, produksi, ketersediaan dan distribusi ternak serta produk ternak secara aktual dan akurat dan terintegrasi antar pemangku kepentingan.  Dengan demikian kebijakan pengendalian distribusi dan ketersediaan daging nasional dalam rangka ketahanan pangan nasional.dapat dipenuhi.

Lala M. Kolopaking, Ph.D Staf Ahli Menteri Sosial Ekonomi Budaya Kominfo menyampaikan, upaya swasembada ternak dan peningkatan budidaya ternak yang berorientasi pada kesejahteraan peternak sangat penting. Kepastian pasar dengan memperoleh daya tawar pada skala usaha yang lebih rasional akan memotivasi para peternak berpartisipasi aktif dalam meningkatkan produktivitas usaha peternakan yang dimiliki.

Lala menekankan bahwa pemanfaatan Teknologi Informatika merupakan enabler dalam mencapai kesejahteraan peternak melalui aspek pengembangan ekonomi (digital economic) dan aspek transformasi sosial (digital culture). Teknologi Informasi  diyakini dapat  menyederhanakan rantai distribusi produk yang dipasarkan melalui  Aplikasi Pengelolaan Peternakan Berbasis Komunitas Peternak sebagai portal informatika. Dengan konektivitas rantai pasok online melalui jasa ekspedisi atau agen Logistik maupun delivery service pelaku usaha Peternak skala UMKM pun dapat memasarkan produknya secara online langsung ke konsumen, berapapun volumenya. Sedangkan proses transaksi online dapat difasilitasi oleh pihak perbankan. Melalui portal informatika tersebut komunitas peternak dapat berbagi informasi, melakukan promosi dan transaksi elektronik, Knowledge Management serta  dokumentasi.

Lala juga menyinggung perihal optimalisasi kelembagaan melalui koperasi usaha peternakan yang fokus pada akses pembiayaan, fokus kepada koperasi sektor riil yang berorientasi ekspor, padat karya dan digital ekonomi (eCommerce).

Hasil pembahasan dari seminar dan Lokakarya ini nantinya akan dirangkum oleh Wantannas dalam bentuk draft naskah kebijakan. Draft tersebut akan segera disampaikan kepada Presiden RI untuk mendapatkan persetujuan Presiden menjadi produk kebijakan yang berupa rekomendasi bagi Kementerian Lembaga terkait guna memperbaiki pembangunan peternakan nasional dalam rangka memenuhi ketahanan nasional. (WK)

NUSA TENGGARA TIMUR SIAP PASOK SAPI UNTUK KEBUTUHAN QURBAN

Jakarta (2/08/2017),- Jelang Hari Raya Idul Adha tahun ini, Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus melakukan koordinasi dengan daerah sentra produsen ternak untuk memastikan pasokan sapi-sapi qurban, terutama untuk memenuhi kebutuhan wilayah Jabodetabek yang merupakan sentra konsumen.

Provinsi NTT merupakan salah satu daerah sentra produsen sapi yang selama ini memasok sapi untuk memenuhi kebutuhan daging di wilayah Jabodetabek. Berdasarkan informasi dari Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT Dani Sujadi, Jumlah Kuota Pengeluaran Ternak sapi NTT tahun 2017 sejumlah 66.300 ekor.

“Menjelang Hari Raya Idul Adha tahun ini, NTT siap untuk memasok sapi. Sebagai gambaran pada tanggal 31 Juli 2017 tersedia stock sapi yang siap dikirim sebanyak 1.790 ekor”, kata Kepala Bidang Agribisnis Peternakan Dinas Peternakan Provinsi NTT, Tay Renggi.

Menurut Tay Renggi, permintaan pengiriman sapi-sapi tersebut, saat ini terutama untuk memenuhi kebutuhan Hari Raya Qurban. Dari stock sapi yang telah siap kirim tersebut,  pada tanggal 1 Agustus 2017 malam hari sudah dikirim 500 ekor sapi dari NTT menggunakan kapal kargo dengan tujuan ke Bekasi. Sedangkan Kapal Ternak Camara Nusantara 1 direncanakan akan diberangkatkan dari Tenau pada tanggal 3 Agustus 2017 dengan memuat sebanyak 500 ekor untuk dikirim ke Jakarta.

Selanjutnya pada tanggal yang sama, tanggal 3 Agustus 2017 akan dikirim kembali 450 ekor dengan menggunakan kapal kargo. Untuk sisanya sebanyak 340 ekor akan diangkut dengan kapal kargo berikutnya.

“Mudah-mudahan dengan lancarnya transportasi sapi dari sentra produksi ke daerah konsumsi pasokan hewan qurban dapat tersedia dengan cukup, serta diharapkan peternak dapat menikmati harga sapi yang lebih baik dan sekaligus tidak memberatkan konsumen,” kata Fini Murfiani selaku Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Ditjen PKH Kementan. Selanjutnya Fini mengatakan bahwa  Petugas Informasi Pasar (PIP) daerah akan selalu menyajikan data harga harian sapi, ayam broiler dan telur ayam di tingkat produsen dari masing-masing sentra.

Terkait dengan adanya keluhan dari beberapa masyarakat tentang naiknya harga sapi hidup menjelang Hari Raya Idul Adha ini, Fini menjelaskan meningkatnya harga jual sapi di tingkat produsen dan konsumen saat menjelang hari Raya Idul Adha dikarenakan adanya peningkatan jumlah permintaan sapi untuk qurban. Harga kisaran rata-rata sapi yang biasanya dengan rata-rata kisaran 43-46 ribu /kg berat hidup di daerah konsumsi, maka pada saat menjelang hari raya qurban akan dapat mencapai 60-65 ribu/ kg berat hidup dengan catatan harga tersebut adalah harga sapi yang diambil pada saat hari Raya Qurban. Harga tersebut sudah termasuk biaya pemeliharaan ternak yang meliputi: biaya penitipan, pakan dan kesehatan selama 1 bulan, serta biaya pengiriman sapi sampai ke tempat pembeli. (WK)

14 Tahun Vakum, Charoen Pokphand Ekspor Perdana Ayam Olahan ke Papua Nugini

Serang, Banten – Senin, 13 Maret 2017. Setelah 14 tahun vakum ekspor, Indonesia melalui PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. kembali melakukan ekspor perdana produk ayam olahan ke Papua Nugini (PNG) sebanyak satu kontainer dengan berat bersih 6 ton senilai US$ 40.000. Pelepasan ekspor ini dilakukan di pabrik PT Charoen Pokphand Indonesia (CPI) yang berlokasi di Kawasan Industri Modern Cikande, Provinsi Banten.
Presiden Komisaris PT CPI, T Hadi Gunawan mengatakan, aksi korporasi mengekspor ini baru dilakukan lagi sejak 14 tahun lalu, tepatnya tahun 2003, dikarenakan adanya larangan ekspor produk unggas sejak merebaknya flu burung di Indonesia.
"Saat ini kami kembali bisa mengekspor ayam olahan setelah melalui berbagai persyaratan ketat yang ditetapkan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian. Ekspor kami mulai sedikit dulu ke Papua Nugini. Tidak menutup kemungkinan ekspor juga akan dilakukan ke negara-negara di Asia lainnya dan Timur Tengah, serta Eropa," ungkap Hadi di sela acara pelepasan ekspor perdana.
Hadi mengaku lega karena sejak maraknya flu burung di Indonesia pada tahun 2003 yang lalu, Indonesia mengalami kesulitan dalam melakukan langkah ekspor olahan ayam. "Kita menunggu sangat lama sekitar 14 tahun dan sekarang baru ada kesempatan langkah ekspor kembali. Kami yakin akan bisa merambah pasar internasional," imbuhnya.
Sambutan Presiden Komisaris PT CPI T. Hadi Gunawan. 
Dia menambahkan Pemerintah Jepang juga telah memberikan sinyal kepada usaha pengolahan daging ayam di Indonesia untuk merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke negeri Sakura. "Kendati demikian, ada sejumlah persyaratan yang harus dilalui mengingat Indonesia masih belum bebas penyakit AI (Avian Influenza) atau flu burung," kata Hadi.
Dirkeswan Fadjar Sumping Tjaturasa saat memberikan
Sertifikat Veteriner kepada perwakilan dari CPI.  
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian (Kementan), Fadjar Sumping Tjaturasa menambahkan, Charoen Pokphand telah memperoleh Sertifikasi NKV (Nomor Kontrol Veteriner) sebagai bentuk penjaminan pemerintah terhadap keamanan produk hewan. Sertifikasi NKV ini menjadi suatu keharusan bagi setiap unit usaha yang akan mengekspor produk hewan.
Sementara itu Staf Ahli Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional Menteri Pertanian, Mat Syukur mewakili Menteri Pertanian mengatakan, ketersediaan ayam pedaging di Indonesia selalu surplus, sehingga bisa memenuhi berapapun jumlah permintaan pasar.
"Potensi kita sangat besar. Karena itu, salah satu caranya adalah mendorong perusahaan untuk melakukan ekspor ke luar negeri. Tak hanya dijual dalam keadaan segar, tapi juga diolah seperti produk yang diekspor PT CPI ini," ujarnya.
Mat Syukur melanjutkan, “Kita terus dorong pelaku usaha perunggasan untuk dapat berdaya saing dan meningkatkan ekspornya. Hal ini tentunya selain untuk meningkatkan GDP (Gross Domestic Product) Indonesia, juga sekaligus dapat menyelesaikan kendala yang dihadapi oleh masyarakat perunggasan di Indonesia saat ini yaitu harga ayam hidup dan daging ayam yang sangat berfluktuasi. Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengendalikan harga ini adalah dengan membuka pasar di luar negeri. Kita harapkan para pelaku industri perunggasan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,”ungkapnya.
Dr Mat Syukur secara simbolis melepas keberangkatan
truk kontainer yang membawa produk olahan PT CPI. 
Lebih lanjut, kata Mat Syukur, “Sertifikasi NKV merupakan upaya pemerintah dalam memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan keamanan pangan, baik dalam aspek higiene-sanitasi pada unit usaha produk asal hewan. Sertifikat Veteriner diterbitkan dalam bentuk Veterinary Certificate, Sanitary Certificate, dan Health Certificate yang diterbitkan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Cq Kesehatan Masyarakat Veteriner."
Ia menambahkan, ayam yang akan dipotong dan diolah Charoen Pokphand berasal dari peternakan ayam yang telah menerapkan prinsip-prinsip animal welfare dan sistem kompartemen bebas AI, sehingga Kementan melalui Ditjen PKH telah mengeluarkan sertifikat kompartemen bebas AI.
"Untuk daging ayam olahan, kita juga sedang mengupayakan dan mendorong agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam yang memperoleh persetujuan dari pemerintah Jepang agar segera merealisasikan," imbuhnya.
Adapun unit usaha ayam olahan yang sudah mendapat sinyal dari Jepang antara lain PT Malindo Food Delight Plant Bekasi, PT So Good Food Plant Cikupa, PT Charoen Pokphand Plant Serang, dan PT Bellfood Plant Gunung Putri.
"Untuk daging ayam olahan kita sedang mengupayakan agar beberapa unit usaha dapat kembali memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang dan segera merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke Jepang. Sedangkan untuk susu cair, Indonesia saat ini sudah siap untuk mengekspor ke Myanmar," katanya.
Tim auditor dari Kementerian Pertanian Jepang telah datang ke Indonesia pada 5 Februari kemarin untuk melakukan audit surveilans terhadap keempat unit usaha yang telah disetujui tersebut. Ekspor akan dilakukan dalam bentuk daging ayam olahan yang telah melalui proses pemanasan dengan suhu lebih dari 70 derajat Celcius, selama lebih dari satu menit.
Sebagai informasi, sesuai protokol kesehatan hewan antara Kementerian Pertanian Indonesia dan Kementerian Pertanian Jepang, setiap unit usaha yang telah disetujui oleh Pemerintah Jepang harus dilakukan audit ulang (surveilans) setiap dua tahun sekali. Surveilans bertujuan untuk memastikan standar keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh pemerintah Jepang dapat terus terpenuhi. (wan)

INDONESIA SIAP EKSPOR AYAM OLAHAN KE JEPANG

Kunjungan Dirjen PKH ke PT So Good Food Boyolali
dalam rangka persiapan ekspor produk unggas ke Jepang dan Myanmar.
Boyolali, 9 Februari 2017. Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terus mendorong pelaku usaha di bidang industri peternakan untuk mengekspor produknya ke luar negeri.  Dirjen PKH, Drh. I Ketut Diarmita dalam kunjungannya ke Boyolali tanggal 9 Februari 2017 menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah mengupayakan ekspor beberapa produk peternakan, seperti produk daging ayam olahan dan susu cair ke luar negeri.
“Untuk daging ayam olahan kita sedang mengupayakan agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam dapat kembali memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang dan segera merealisasikan ekspor daging ayam olahan ke Jepang. Sedangkan untuk susu cair, Indonesia saat ini sudah siap untuk mengekspor ke Myanmar. Hal ini tentunya diharapkan dapat menyusul keberhasilan Indonesia, dimana sejak tahun 2015 telah mengekspor telur ayam tetas (Hatching Eggs) ke negara tersebut,” ungkap Dirjen PKH.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa upaya untuk mengekspor daging ayam ke luar negeri ini sudah mulai dilakukan pada tahun 2014, dimana Pemerintah Jepang telah menyetujui 4 (empat) unit usaha pengolahan daging ayam untuk mengekspor daging ayam olahan ke negaranya. Keempat unit usaha tersebut yaitu: 1). PT. Malindo Food Delight Plant Bekasi; 2). PT. So Good Food Plant Cikupa; 3). PT. Charoen Pokphand Plant Serang, dan 4). PT. Bellfood Plant Gunung Putri.
Ekspor akan dilakukan dalam bentuk daging ayam olahan yang telah melalui proses pemanasan ≥ 70 oC selama ≥ 1 menit. Hal ini dilakukan mengingat Indonesia saat ini masih belum bebas penyakit AI (Avian Influenza), maka Indonesia tidak dapat mengekspor daging ayam dalam bentuk segar dingin atau beku. Sebelum tahun 2003, Indonesia telah mengekspor daging ayam segar dingin dan beku ke beberapa negara antara lain Jepang dan Timur Tengah. Namun dengan munculnya wabah Penyakit AI pada tahun 2003 menyebabkan pasar ekspor daging ayam Indonesia terhenti.
Untuk mendapatkan persetujuan dari negara calon pengimpor, maka ayam hidup harus berasal dari peternakan ayam yang telah mendapatkan sertifikat kompartemen bebas AI dari Kementerian Pertanian. Untuk itu, sejak tanggal 5 Februari 2017 tim auditor dari kementerian Pertanian Jepang telah datang ke Indonesia untuk melakukan audit surveilans terhadap keempat unit usaha yang telah disetujui tersebut. Disamping audit terhadap keempat unit usaha tersebut, pada hari ini tim auditor juga mengaudit PT. Cahaya Gunung Food Plant Boyolali yang merupakan salah satu unit usaha baru yang telah diusulkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2015.
Sesuai protokol kesehatan hewan yang telah disepakati antara Kementerian Pertanian Indonesia dan Kementerian Pertanian Jepang, setiap unit usaha yang telah disetujui oleh Pemerintah Jepang harus dilakukan audit ulang (surveilans) setiap 2 tahun sekali. Surveilans bertujuan untuk memastikan standar keamanan pangan yang dipersyaratkan oleh pemerintah Jepang dapat terus terpenuhi.
“Apabila tambahan unit usaha ini akan disetujui oleh Pemerintah Jepang, maka total unit usaha pengolahan daging yang disetujui adalah sebanyak 5 unit usaha. Saya sangat berharap dengan disetujuinya kelima unit usaha ini, maka Indonesia dapat segera mengekspor produk olahan daging ayam bukan saja ke Jepang yang terkenal dengan persyaratan keamanan pangannya tetapi juga dapat menembus ke negara-negara lainnya seperti Singapura, Malaysia, Timor Leste, dan sebagainya,” ungkap I Ketut Diarmita.
Saat ini produk pangan asal unggas masih menjadi bahan pangan yang sangat diminati oleh masyarakat luas bukan hanya di Indonesia tetapi juga hampir di semua negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan produk unggas memiliki kandungan gizi yang baik, rasa yang lezat, harga relatif terjangkau, mudah didapat dan diterima oleh semua lapisan masyarakat dengan latar belakang yang beragam.
Produksi ayam ras nasional di Indonesia saat ini mengalami surplus. Hal ini karena  konsumsi masyarakat terhadap daging ayam masih sekitar 10 kg/kapita/tahun. Berdasarkan data Statistik Peternakan tahun 2016, populasi ayam ras pedaging (broiler) mencapai 1,59 juta ekor, ayam ras petelur (layer) mencapai 162 ribu ekor dan ayam bukan ras  (buras) mencapai 299 ribu ekor atau mengalami peningkatan sekitar 4,2% dari populasi pada tahun 2015. Produksi daging unggas menyumbang 83% dari penyediaan daging nasional, sedangkan produksi daging ayam ras menyumbang 66% dari penyediaan daging nasional.
Berdasarkan informasi dari masyarakat perunggasan, industri perunggasan ayam di Indonesia dapat menyediakan produksi daging ayam ras berapapun jumlah yang diminta oleh pasar. Oleh karena itu, peningkatan populasi ayam ras ini harus diimbangi dengan seberapa besar kebutuhan atau permintaan untuk menghindari terjadinya penurunan harga akibat over supply daging ayam.
I Ketut Diarmita menyampaikan bahwa kendala yang dihadapi oleh masyarakat perunggasan di Indonesia saat ini adalah harga ayam hidup dan daging ayam sangat berfluktuasi. “Oleh karena itu, salah satu upaya untuk mengendalikan harga ini adalah dengan membuka pasar di luar negeri” ungkapnya. “Kita harapkan para pelaku industri perunggasan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,” tambahnya menjelaskan.
Asrul Ointu, Head of Manufacturing Operation PT. So Good Food (SGF) menyampaikan bahwa SGF pada prinsipnya siap untuk melakukan ekspor ke luar negeri. Lebih lanjut disampaikan bahwa SGF Boyolali Value Added Meat  beroperasi sejak Januari 2015, dengan produk yang dihasilkan yakni produk olahan fully cooked (siap saji). Perusahaan ini menyerap tenaga kerja sebanyak 180 orang dan beroperasi 3 shift/day, 6 hari per minggu. Saat ini SGF sedang dalam proses joint operasionil dengan PT. Cargill Foods Indonesia membentuk perusahaan baru dengan nama PT. Cahaya Gunung Food.
Lebih lanjut Asrul Ointu menyampaikan bahwa selain olahan daging ayam, PT. SGF saat ini juga sedang mempersiapkan untuk mengekspor susu cair Real Good ke Myanmar. “Pelaksanaan ekspor susu cair ini tinggal menunggu proses administrasi, begitu selesai kita siap ekspor,” ungkapnya. (wan)

Drama Impor Sapi Bakalan Catur Wulan III

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, rupanya tak main-main dengan janjinya, yakni mewajibkan importir memasok 20% sapi indukan dari kuota sapi bakalan yang diterimanya.

Dengan tidak adanya kepastian Izin Impor sapi bakalan Cawu III akan berdampak terhadap penyediaan sapi potong untuk kebutuhan perayaan natal dan tahun baru serta berpotensi menguras sapi lokal untuk di potong.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano mengungkapkan, sejumlah pengusaha sampai saat ini belum juga mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan dari Kementerian Pertanian.
Joni Liano, Direktur Eksekutif Gapuspindo
"Persoalannya itu kebijakan tersebut hanya disampaikan secara lisan, bukan tertulis. Bagi kita pengusaha harus ada landasan hukumnya. Padahal jelas kita sudah mematuhi regulasi impor sapi bakalan. Pasalnya 39 perusahaan anggota Gapuspindo sampai saat ini belum juga mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag atas rekomendasi impor sebanyak 150.000, meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan dari Kementerian Pertanian," jelas Joni di kantor Gapuspindo, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (28/9).
Menurutnya, Menteri Perdagangan memaksa pengusaha agar mau memenuhi keinginannya dengan mengimpor 20% sapi indukan. Sementara rekomendasi impor sebanyak 150.000 ekor sapi yang saat ini sudah diteken Kementan belum mengantongi SPI dari Kemendag.
"Maunya Menteri Perdagangan kebijakan lisannya diterapkan (impor indukan). Tapi kenapa izin impor sapi kita di catur wulan III ikut disandera. Kita sudah ajukan SPI sejak 24 Agustus, tapi sampai sekarang belum keluar. Sesuai aturan dua hari setelah pengajuan SPI, harus sudah ada keputusan," ucap Joni.
Regulasi yang dimaksudnya yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ekspor Impor Produk Hewan.
"Artinya kalau mau menyandera impor sapi bakalan, harus ada aturan barunya. Jangan tiba-tiba, jadi menurut saya tidak ada alasan Menteri Perdagangan sandera izin sapi bakalan untuk catur wulan III. Karena dasar hukumnya tak ada," ujar Joni.
Kebijakan lisan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita yang memberlakukan instrumen impor sapi bakalan yang dikaitkan dengan sapi indukan dengan rasio 1:5 dimana setiap 5 ekor sapi bakalan yang di impor harus ada pengadaan 1 ekor sapi indukan lokal atau impor, sangat memberatkan para perusahaan penggemukan sapi potong.
“Terus terang kami terkendala dari segi aspek pendanaan, persiapan infrastruktur, dan lainnya, bahkan dari segi bisnis ternyata juga merugikan,” ujar Joni Liano.
Di luar itu, sambung dia, pengusaha tak masalah jika harus mengimpor sapi indukan. Namun hal tersebut perlu waktu menyiapkan infrastruktur dari kandang, sampai pengadaan sapi indukannya. Selain itu, rasio 20% sapi indukan yang diwajibkan juga dianggap terlalu tinggi dan tidak ada kajian teknis dan akademisnya.
"Jangan lisan saja, perlu waktu penyiapan, secara teknis memelihara sapi indukan dengan penggemukan bakalan berbeda. Harus ada kajian teknis dulu penetapan rasio 1:5 atau 20% itu," tandasnya.
“Idealnya untuk saat ini rasio 1:15 baru memungkinkan bagi pengusaha feedlot,” imbuh Joni seraya mempertanyakan kenapa kewajiban yang sama tidak diberlakukan bagi perusahaan pengimpor daging beku yang sama sekali tidak memberi nilai tambah bagi usaha peternakan dalam negeri.
Didik Purwanto, Wakil Ketua Gapuspindo
Sebagai Ilustrasi jika perusahaan memiliki kapasitas kandang 10.000 ekor maka impor sapi bakalan dapat dilakukan 3 kali periode per tahun sehingga total impor sapi bakalan 30.000 ekor/tahun dan harus memiliki sapi indukan 6.000 ekor (20% dari total impor sapi bakalan). Jika pola tersebut direalisasikan maka pada tahun 2018 total populasi indukan plus anak menjadi 14.880 ekor (148% dari kapasitas kandang-Road map terlampir), kandang akan dipenuhi sapi indukan artinya usaha penggemukan dipaksa untuk berubah menjadi usaha indukan yang bisnisnya jelas merugi.
Total investasi untuk 6.000 ekor sapi indukan senilai Rp. 254,7 Milyar dan selama 14 bulan kerugian sebesar Rp. 21 Milyar (struktur biaya terlampir). Apabila kebijakan lisan tersebut dipaksakan maka Industri penggemukan sapi akan mati, pada hal jumlah tenaga kerja langsung sebanyak 22.000 KK (Kepala Keluarga) dan nilai investasi Rp.15,5 Triliun ditambah 2.5 Triliun per tahun untuk pembelian bahan baku pakan ke petani di pedesaan (Monetisasi Ekonomi di Pedesaan).
Sangat mengkhawatirkan dengan tidak adanya kepastian Izin Cawu III dan tentu akan berdampak terhadap penyediaan sapi potong pada bulan Januari, Februari dan bulan seterusnya di tahun 2017. Saat ini stock sapi sebanyak 160.000 ribu ekor jumlah ini mensuplai kebutuhan akan konsumsi daging yang cenderung meningkat pada bulan November, Desember bertepatan hari Natal dan Tahun baru.
Dampak lainnya adalah akan menguras sapi lokal untuk di potong. Proyeksi kebutuhan konsumsi daging sapi tahun 2017 sebesar 685 .000 ton atau equal sapi hidup sejumlah 3,8 juta ekor sapi yang harus di potong diantaranya 700.000 ekor adalah sapi bakalan impor (kuota sudah ditetapkan Pemerintah sebanyak 700. 000 ekor tahun 2017). Apabila kontribusi sapi bakalan impor tidak dapat direalisasikan karena Industri penggemukan sapi potong tidak beroperasional atau mati akibat dari kebijakan lisan Menteri Perdagangan maka tentu sapi lokal akan terkuras sebanyak 3,8 juta ekor atau 23% dari total populasi. Angka ini menunjukkan negatif growth population (rata-rata angka kelahiran 20,8%). Kondisi tersebut sangat kontradiktif terhadap program pemerintah berswasembada pada 10 tahun kedepan.
“Berita mengejutkannya, saya menyesalkan keputusan Mendag memberikan izin impor sapi bakalan kepada tiga perusahaan penggemukan sapi potong pada 23 September lalu, yang dinilai bersifat diskriminasi, sebab anggotanya tidak dapat,” tegas Joni.
Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan mendorong oligopoli karena kuota impor hanya diberikan pada tiga perusahaan besar. Bahkan jika sampai akhir tahun Kemendag tetap tidak menerbitkan SPI kepada seluruh anggota Gapuspindo, maka pasokan sapi untuk awal tahun 2017 akan kosong. Tentu saja ini berpotensi menggerek harga daging sapi dan meningkatkan volume sapi lokal yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita
Kuota Impor Sapi dan Daging Beku Resmi Dihapus
Sebelumnya Pemerintah resmi menghapus sistem kuota impor sapi sebagai disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di kantornya, Senin, 26 September 2016. “Tak hanya berlaku untuk sapi hidup, kuota impor daging beku juga dihapus. Hilang, enggak ada kuota-kuotaan," kata Enggartiasto Lukita.
Sebagai penggantinya, pemerintah akan mengeluarkan ketentuan baru yakni importir diwajibkan mendatangkan satu ekor sapi indukan untuk setiap lima sapi bakalan yang diimpornya. Ketentuan itu akan dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
Kebijakan ini sebenarnya telah berjalan. Saat ini, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor 300 ribu ekor sapi bakalan hingga 2018 dengan ketentuan tersebut. Ada tiga perusahaan importir yang telah berkomitmen menjalankannya. Dua di antaranya adalah Santori dan Great Giant Livestock (GGL). "Mereka sudah tanda tangan di atas meterai untuk impor 60 ribu sapi indukan, di luar izin impor 300 ribu sapi bakalan yang didapatnya," kata Enggar.
Kendati izin ini sampai 2018, Enggar tidak menutup kemungkinan ada tambahan impor sapi jika ada pengusaha lain yang memenuhi syarat. "Ya keluarin lagi, mengajukan berapa pun sapi indukan saya kasih," katanya.
Yang pasti, kata Enggar, pada 2018 pemerintah akan melakukan audit di tiap perusahaan penerima izin impor. Bila terbukti mereka tak memenuhi ketentuan, "Kami sita sapinya, kalau tidak ada ya asetnya, itu sesuai perjanjian," kata Enggar.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mendukung langkah pemerintah ini. Sebab ia menilai pembatasan impor dengan kuota akan membuka peluang korupsi. "Kuota itu banyak moral hazard-nya, seperti kasus suap impor sapi dulu kan karena adanya kuota," katanya.
Ia menambahkan, kewajiban mengimpor indukan juga bisa menambah populasi sapi di dalam negeri. "Ini kami apresiasi," katanya. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer