Kebijakan Antikoksidia dalam Permentan No. 14 Tahun 2017 (Opini Drh Didik Tulus Subekti MKes)
![]() |
Drh Didik Tulus Subekti MKes |
Hal demikian justru akan sangat berat apabila yang keliru
memahami peraturan dan fakta ilmiah di lapangan adalah pengambil kebijakan. Dampaknya
akan luas karena menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia. Ini yang akan
membuat suasana gaduh dan rumit sehingga sulit diimplementasikan. Dampaknya ke
depan, justru aturan sekedar hanya aturan dan situasi riil di lapangan akan menjadi
semaunya sendiri.
Kaitannya dengan implementasi kebijakan antikoksi, menyoroti
golongan Ionophore dalam kelompok antibiotik, apakah pemerintah melakukan uji
klinis dengan dosis terapi? Pertanyaan ini memiliki dua sisi besar yang harus
dipahami dengan benar dan obyektif. Penulis mencoba menguraikannya.
Berkaitan dengan definisi antibiotik, antikoksidia dan
ionofor. Menurut kami, telah terjadi kesalahpahaman dan kesimpangsiuran dalam memahami
masing-masing. Ketidakpahaman ini akan semakin parah apabila dalam setiap
individu yang terlibat dalam permasalahan ini hanya mengandalkan emosi dan egoisme.
Marilah kita pahami dan dudukkan dahulu masing-masing secara benar dan tepat.
1. Antimikroba
Secara umum terdapat dua definisi yang berbeda mengenai
antimikroba. Definisi pertama sebagaimana kita pahami dan pelajari selama ini
serta terdapat dalam “Medical Dictionary”
maupun beberapa jurnal ilmiah, yaitu (i) Antimikroba adalah obat yang digunakan
untuk mengobati infeksi yang disebabkan mikroba. Nah, mikroba ini adalah jasad
renik/mikroorganisme yang dapat berupa virus, bakteri, protozoa dan fungi. Oleh
karena itu, antimikroba terbagi menjadi antiviral, antibiotik/antibakterial, antiprotozoal
dan antifungal.
Definisi kedua banyak kita jumpai dalam berbagai jurnal
ilmiah lainnya, yaitu (ii) Antimikroba adalah zat yang secara alami, semisintetik
maupun sintetik dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme (mikroba),
namun menyebabkan sedikit atau bahkan tidak ada kerusakan pada inang.
Konsekuensinya, antimikroba pada definisi ini juga terbagi atas
antiviral, antibiotik, antiprotozoal dan antifungal. Namun ternyata pada
definisi (ii) ini antibiotik adalah zat yang bermolekul rendah yang diproduksi oleh
mikroorganisme yang pada konsentrasi rendah menghambat atau membunuh mikroorganisme
lainnya. Apabila mengikuti definisi ini maka antibiotik juga akan terbagi
menjadi antiviral, antibakterial, antiprotozoal dan antifungal. Perbedaan utama
antara antibiotic dan antimikroba dalam definisi (ii), bahwa antibiotik khusus disematkan
pada zat yang memiliki molekul rendah dan diproduksi oleh mikroorganisme. Oleh karena
itu, zat seperti methicillin, amoxicillin (keduanya semisintetik), atau
golongan sulfonamid dan golongan kuinolon (keduanya sintetik) tidak dapat
dikategorikan sebagai antibiotik. Begitu juga seperti kuersetin, alkaloid atau lisozim,
karena dihasilkan tumbuhan dan hewan.
2. Antibiotika
Secara umum juga memiliki dua definisi sebagaimana antimikroba.
Definisi pertama dari antibiotik adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
pada poin 1-(ii) di atas. Definisi kedua (iii) dikemukakan oleh WHO maupun NHS
(UK) yaitu, “Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati
beberapa jenis infeksi bakteri. Pada awalnya, antibiotic adalah zat yang
diproduksi oleh satu mikroorganisme yang secara selektif menghambat pertumbuhan
mikroorganisme lainnya”.
Pengertian ini menjelaskan duduk perkara perbedaan definisi antimikroba
dan antibiotik. Pada awalnya definisi antimikroba dan antibiotik adalah
sebagaimana kami jelaskan pada poin (ii). Selanjutnya terjadi perubahan di mana
definisi antimikroba sebagaimana kami jelaskan pada poin (i) dan antibiotik
pada poin (iii). Kesimpulannya, antimikroba berdasarkan penggunaannya terhadap
obyek/jenis sasaran mikroba atau mikroorganismenya dapat dibagi berupa
antiviral, antibiotik=antibakterial, antiprotozoal dan antifungal.
Sampai pada poin ini seharusnya sudah jelas dan dapat dipahami,
perbedaan mendasar penggolongan obat berdasarkan jenis sasaran mikroorganisme. Perbedaan
dasar antara antimikroba vs antibiotik vs antiprotozoal juga seharusnya sudah
dapat ditempatkan pada posisinya masing-masing.
3. Antikoksidia
Adalah obat yang digunakan untuk mengobati infeksi oleh
koksidia (Coccidia). Koksidia adalah
mikroorganisme bersel tunggal yang masuk dalam kelompok protozoa. Dengan
demikian antikoksidia sesungguhnya adalah salah satu jenis antiprotozoal.
Antiprotozoal adalah salah satu jenis antimikroba, namun antiprotozoal berbeda
dengan antibiotik (antibakterial). Dengan demikian, maka antikoksidia berbeda
dengan antibiotik. Sampai pada poin ini juga seharusnya menjadi sangat jelas
perbedaan antikoksidia vs antibiotik.
4. Ionofor (Ionophore).
Perhatikanlah pengertian atau definisi ionofor. Ionofor
adalah molekul berukuran kecil yang larut lemak baik berasal dari produksi
mikroorganisme maupun sintetik yang berperan/berfungsi/bekerja secara dinamis
dengan membentuk komplek yang reversibel bersama kation untuk memfasilitasi
transport ion tertentu melintasi membran biologis. Jadi, definisi ionofor
sangat berbeda dengan antimikroba (baik berupa antiviral, antibiotik/antibakterial,
antiprotozoal ataupun antifungal).
Definisi antimikroba mengacu pada jenis/sasaran target mikroorganismenya,
sedangkan definisi ionofor mengacu pada mekanisme/cara kerja dari suatu
zat/molekul obat tersebut.
Konsekuensinya, ionofor dapat berupa antibiotik/antibacterial
apabila digunakan untuk bakteri, namun juga dapat berupa antiprotozoal, apabila
digunakan untuk protozoa, bahkan dapat juga jika digunakan pada jenis mikroorganisme
lainnya.
Pada tataran praktis di lapang, ionofor seperti monensin
digunakan untuk imbuhan pakan dengan
sasaran bakteri rumen pada sapi, terutama
di USA. Pada kondisi ini maka monensin adalah antibiotik/antibakterial dengan
cara kerja masuk dalam kategori ionofor.
Adapun monensin yang digunakan pada ayam (diberbagai belahan
dunia) sebagai imbuhan pakan dengan sasaran Eimeria
(koksidia). Pada kasus ini, monensin adalah antiprotozoal (khususnya antikoksidia)
dengan cara kerja masuk dalam golongan ionofor.
Jadi, kalau ada pihak atau individu yang bersikukuh bahwa
ionofor adalah antibiotik maka sesungguhnya kesalahannya sangat fatal, karena tidak
memahami secara konseptual (teoritis) dan praktis (empiris) di lapangan.
Kesalahan tersebut lebih cenderung karena terbatasnya informasi dan pengetahuan
semata, semoga setelah penjelasan ini dapat rujuk dan menempatkan (masing-masing
pengertian penggolongan obat tersebut).
Pada tataran legal formal sesuai Permentan No. 14 tahun 2017
tentang Klasifikasi Obat Hewan juga sudah sangat jelas.
Pada Bab I, Pasal 1,
ayat 14, disebutkan: “Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme
secara alami, semisintetik maupun sintetik yang dalam jumlah kecil dapat menghambat
atau membunuh bakteri”. Definisi sesungguhnya serupa atau selaras dengan definisi
yang kami jelaskan pada poin (i) dan (iii), yaitu antimikroba untuk bakteri,
sehingga disebut antibiotik/antibakterial.
Pada Bab II, Bagian Kelima,
Pasal 16, disebutkan (intinya adalah): “Obat hewan yang dilarang
penggunannya sebagai antibiotik imbuhan pakan (feed additive)”. Jadi sangat jelas bahwa yang dilarang adalah antibiotik dan bukan antikoksidia. Cobalah dikembalikan kepada definisi yang telah
ditetapkan pada Bab I, Pasal 1, ayat 14.
Lampiran I: Disana dijelaskan bahwa antibiotik (nomor 1) terbagi
atas antibakteri (nomor 1.a), antimikobakterium (nomor 1.b-sesungguhnya ini
jugan termasuk bakteri), antifungal (nomor 1.c). Nah, lampiran I (nomor 1.c)
ini sebenarnya cacat hukum karena bertentangan dengan Bab I, Pasal 1, ayat 14, di
mana dengan jelas antibiotik adalah antibakteri. Juga cacat ilmiah, karena
fungi sangat jauh berbeda dengan bakteria dan klasifikasi obatnya juga tidak
tepat dari sisi kaidah ilmiah. Adapun antiprotozoa di tempatkan pada nomor 3
dan antiparasit pada nomor 2.
Lampiran III: Pada nomor A dijelaskan bahwa “Kelompok obat
hewan yang dilarang untuk dicampur dalam pakan sebagai imbuhan pakan (feed additive) untuk ternak produksi
adalah antibiotik”. Dengan demikian, secara keseluruhan bahwa antikoksidia
dikecualikan/dikeluarkan dari pelarangan dalam imbuhan pakan secara hukum
berdasarkan Permentan No. 14 tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, maupun secara
ilmiah dari sisi ilmu kedokteran hewan. Jadi siapapun yang menyatakan
antikoksidia dilarang dalam pakan HARUS MENUNJUKKAN DASAR HUKUM DAN ILMIAHNYA,
karena pernyataan tersebut sangat jelas melanggar Permentan No. 14 tahun 2017.
Secara hukum tidak ada yang melarang penggunaan antikoksidia
dalam pakan. Secara ilmiah, dari sisi klasifikasi penggolongan obat berdasarkan
jenis sasaran atau target mikroorganismenya juga tidak dapat dikatakan adanya
pelarangan antikoksidia dalam pakan. Namun, kami perlu sampaikan bahwa penggunaan
antikoksidia harus mengikuti kaidah ilmiah dan medis yang dapat dipertanggung
jawabkan.
Diperlukannya antikoksidia dalam pakan sesungguhnya memiliki
alasan yang sama dengan antibiotika dalam pakan. Alasan ilmiah dari permasalahan
ini tidak hanya berkaitan dengan kesehatan hewan tetapi juga berkaitan dengan
sosioekonomi.
Secara umum dari sisi budidaya dan kesehatan hewan hal ini
berkaitan dengan upaya menekan tingkat infeksi. Hal yang harus dipahami terutama
pada ayam broiler (pedaging) adalah bahwa ayam yang dipelihara adalah anak
ayam, bahkan sampai masa panen pun masih anak ayam. Mereka ini adalah anak ayam
bongsor karena otot dan lemaknya yang bertambah besar namun secara fisiologis
ia tetap sama dengan anak ayam kampung pada umumnya. Pada kondisi demikian
secara imunologis mereka masih sangat rentan/peka terhadap infeksi
mikroorganisme.
Adapun pada ayam petelur, umumnya peternak di Indonesia menggunakan
sistem kandang terbuka. Sistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan
cuaca, serta infeksi dari sekitar kandang. Selain itu, pembatasan gerak pada
ayam akan mempengaruhi fisiologi hewan tersebut.
Resultan dari semua itu adalah meningkatnya risiko gangguan
fisiologi dan timbulnya penyakit, karena meningkatnya kepekaan terhadap infeksi.
Seluruh risiko tersebut salah satunya diminimalisir dengan pemberian
antibiotika dan antikoksidia dalam pakan, serta intensifnya vaksinasi.
(Penulis : Drh Didik Tulus Subekti MKes, Ahli Peneliti Madya Bidang Parasitologi dan Mikologi Balai Besar Penelitian Veteriner)
(Penulis : Drh Didik Tulus Subekti MKes, Ahli Peneliti Madya Bidang Parasitologi dan Mikologi Balai Besar Penelitian Veteriner)
Artikel diambil dari Rubrik Opini Majalah Infovet edisi 286 -Mei 2018
Tak Usah Ragu Terapi Antibiotika dan Antikoksidia Melalui Pakan
Sejak
berlakunya pelarangan AGP (Antibiotic
Growth Promoter) Januari 2018 melalui Permentan no 14/2017 tentang
Klasifikasi Obat Hewan, makin banyak acara sosialisasi dan diskusi tentang AGP yang
dilakukan pemerintah, asosiasi, perguruan tinggi maupun swasta. Hal ini
menunjukkan bahwa dunia usaha peternakan memiliki kepedulian yang tinggi untuk
menyukseskan implementasi kebijakan pemerintah.
Kita layak
memberikan apresiasi kepada semua pihak yang ikut berkontribusi membantu
pemerintah dalam mensosialisasikan Permentan no 14/2017. Infovet setidaknya
juga ikut berkontribusi dalam melakukan sosialisasi permentan no 14/2017
melalui berbagai kegiatan seminar di Jakarta dan luar kota, serta melalui sajian
artikel di Infovet versi cetak maupun online.
Dari kegiatan
sosialisasi ini tampak bahwa perusahaan dan peternak pada umumnya berkomitmen
untuk menjalankan kebijakan pelarangan AGP.
Bahkan mungkin karena ada perusahaan pakan yang khawatir dicurigai masih
menggunakan AGP, mereka menjadi bersikap “sangat hati-hati” menggunakan antibiotika
sebagai terapi melalui pakan. Sikap
“sangat hati-hati” ini berujung pada tidak adanya pemakaian antibiotika dan
antikoksidia sebagai terapi melalui pakan. Padahal pemakaian antibiotika sebagai
terapi dan antikoksidia melalui pakan unggas di negara maju pun masih berjalan
karena lebih praktis dan tidak ada pelarangan.
Di sinilah
yang perlu diluruskan. Pelarangan antibiotika sebagai imbuhan pakan alias AGP
tidaklah mengandung arti pelarangan antibiotika secara keseluruhan. Sudah
sangat jelas bahwa jika hewan sakit membutuhkan obat golongan antibiotika, hal
itu sama sekali tidak ada larangan. Sudah
berulang-kali ditegaskan oleh Dirkeswan maupun Kasubdit Pengawasan Obat Hewan
(POH) bahwa antibiotika sebagai pengobatan atau terapi tetap diperbolehkan.
Hanya saja, karena antibiotika termasuk obat keras, maka pemakaiannya harus
dengan resep dokter hewan. Selain itu
antibotika tersebut juga harus sudah memiliki nomor registrasi sebagai terapi,
bukan nomor registrasi sebagai imbuhan pakan. Bahwa penggunaan antibiotika dan
antikoksidia yang nomor registrasinya sudah berubah dari F (feed additive) menjadi P (pharmaceutic) berarti sudah bisa
dimanfaatkan oleh industri perunggasan
untuk kepentingan kesehatan unggas.
Tampaknya
perusahaan pakan masih ekstra hati-hati mengenai kebijakan ini. Mereka masih bertanya-tanya,
dokter hewan mana yang diperbolehkan
membuat resep untuk pemakaian obat melalui pakan ? Apakah semua dokter hewan
boleh membuat resep? Bagaimana mekanisme pembuatan resepnya? Apakah resep per
kandang, per wilayah atau bagaimana?
Hal ini pun
sebenarnya sudah dijelaskan oleh Dirkeswan Drh.
Fajar Sumping Tjatur Rasa PhD, dalam beberapa forum. Ia menjelaskan, untuk
saat ini dokter hewan mana saja boleh membuat resep penggunaan obat hewan melalui
pakan, karena pada hakekatnya dokter hewan sudah diambil sumpahnya untuk
menjalankan profesinya sesuai etika profesi. Adapun mengenai resepnya per
kandang atau per peternakan, itu diserahkan ke dokter hewan tersebut karena dia
yang bertanggungjawab akan penulisan resep.
Rencananya akan
diterbitkan petunjuk teknis tentang implementasi permentan , antara lain
mengatur mengenai bagaimana mekanisme resep dokter hewan maupun yang lainnya. Dirkeswan menjamin bahwa petunjuk teknis itu
nantinya akan lebih memperjelas bagaimana pelaksanaan Permentan di
lapangan. Ia menegaskan bahwa pihaknya
bertugas untuk melayani publik agar usaha berjalan lancar sesuai tata aturan
perundang-undangan, bukan untuk mempersulit.
Sambil
menunggu terbitnya petunjuk teknis, usaha perunggasan harus terus berjalan
dengan jaminan bahwa urusan kesehatan hewan dapat ditangani dengan baik. Untuk itu dokter hewan di lapangan hendaknya
dapat melakukan tindakan terbaik sesuai profesinya, dan pabrik pakan tidak
perlu ragu untuk mencampurkan antibiotika dan antikoksidia di dalam pakan,
asalkan ada resep dan di bawah pengawasan dokter hewan.***
Bambang Suharno
Editorial Infovet Edisi Mei 2018
ARTIKEL POPULER MINGGU INI
-
Cara Menghitung FCR Ayam Broiler. FCR adalah singkatan dari feed convertion ratio, yaitu konversi pakan terhadap daging. FCR digunakan untuk...
-
Sumber: Balitbangtan Kementan Ayam KUB adalah ayam kampung galur (strain) baru, merupakan singkatan dari Ayam Kampung Unggul Balitbangtan. A...
-
Di dunia ini terdapat beberapa jenis ayam terbesar di dunia. Baik dari segi tinggi badannya, ukuran badannya, maupun berat badannya. Di anta...
-
Artikel ini membahas secara singkat anatomi ayam (struktur tubuh ayam) meliputi bagian tubuh ayam dan fungsinya. Juga organ tubuh ayam dan f...
-
Prof Dr Ismoyowati SPt MP, dari Unsoed, membawakan materi Mekanisme Kemitraan dalam Budidaya Ayam Broiler, dalam webinar Charoen Pokphand In...
-
Dalam dunia peternakan bebek, proses penetasan telur menjadi salah satu kunci utama keberhasilan produksi Day Old Duck (DOD). Terdapat dua c...
-
Salah satu komponen penting beternak bebek petelur adalah memilih jenis bebek petelur yang tepat. Tingginya produktivitas bukan satu-satunya...
-
Ayam abang adalah ayam ras petelur yang sudah memasuki masa “pensiun” bertelur. (Foto: Dok. Infovet) Ayam abang menjadi salah satu bisnis “s...
-
Menjadi salah satu terobosan dalam dunia peternakan bebek, bebek hibrida adalah hasil perkawinan silang antara bebek Peking jantan dan bebek...
-
Hijauan kering dan jerami kering Berbagai hijauan pakan yang sengaja dipanen dan dikeringkan serta berbagai jerami kering yang sengaja dipan...