Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini african swine fever | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

IMBAUAN PEMKAB TOBA TERKAIT AFRICAN SWINE FEVER

Salah satu gejala penyakit ASF yaitu ternak babi kehilangan nafsu makan (Foto: scmp.com)


Pemerintah Kabupaten Toba Samosir melalui Kepala Dinas Ketahanan Pangan Toba, Darwin P Sianipar SPt, MSi, Jumat (25/10/2019) mengeluarkan imbauan terkait penyakit babi ASF (African Swine Fever) yang sedang mewabah.

Imbauan diantaranya menerangkan penyakit ASF adalah penyakit menular dan mematikan pada ternak babi yang disebabkan oleh virus African swine fever.

ASF awalnya dibawa dari Afrika Timur ke Georgia oleh produk babi yang terkontaminasi seperti sosis dan bakso hingga menyebar sampai ke Jepang, bahkan di Jepang telah disita sebungkus sosis dari seorang pelancong dari Cina.

Adapun gejala penyakit ASF ini mirip dengan gejala penyakit hog cholera antara lain demam dengan suhu tinggi (>41°C) pada ternak babi kemudian kehilangan nafsu makan, ternak babi muntah-muntah dan sulit bernafas.

Gejala lainnya yatu ternak babi diare dan mengalami kelumpuhan atau sulit berjalan lalu timbul bintik-bintik merah disekitar paha, perut dan leher ternak babi.

Jika menemukan gejala tersebut segera melapor kepada ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir.

Selanjutnya warga diimbau beberapa hal yaitu menghindari mengonsumsi makanan olahan daging babi yang bercampur darah dan bagian dalam dari ternak babi seperti sangsang, panggang dan tanggo-tanggo.

Disebutkan juga daging babi yang tersedia dalam menu pesta adat maupun dikonsumsi keluarga, jika harus memakannya dianjurkan agar memasak daging tersebut dengan suhu minimal 100°C atau memasaknya selama 30 menit.

Ini disebabkan karena virus ASF dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam daging olahan dan beberapa tahun dalam daging babi beku.

Selanjutnya menghindari makanan atau produk olahan daging babi yang diimpor seperti sosis, meat ball, meat slice dan produk kaleng lainnya.

Waspada ketika membeli daging babi dipasar tradisional. Jika tidak meyakinkan jangan dibeli dan apabila harus dibeli maka daging tersebut dimasak selama 30 menit dalam suhu 100°C.

Menyemprot kandang hingga 100 meter sekitar kandang minimal setiap dua kali seminggu dengan desinfektan (pembasmi hama), dan dapat juga menggunakan air deterjen.

Selain itu, Ikut serta memantau keluar masuknya ternak babi ke Kabupaten Toba Samosir. 

Jika ditemukan ada yang membawa ternak babi memiliki gejala ASF untuk segera melaporkan ke Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Penyuluh Pertanian Kecamatan dan ke Dinas Pertanian Kabupaten Toba Samosir. (Rilis/INF)

PEMERINTAH SIAP ANTISIPASI WABAH ASF

Dirjen PKH : Pemerintah siap mengantisipasi ASF


Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan I Ketut Diarmita angkat bicara mengenai African Swine Fever (ASF) dalam sebuah acara Seminar International mengenai ASF di Bogor, Sabtu (19/10). Pada kesempatan itu, dirinya menjelaskan upaya peningkatan kewaspadaan penyebaran wabah. "Tindakan kewaspadaan terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis yang meliputi pengamatan/deteksi cepat, pelaporan cepat dan pengamanan cepat” tegas I Ketut Diarmita.

Diarmita menambahkan, ASF bersifat highly pathogenic pada babi ternak dan babi hutan, serta menyebabkan kematian yang tinggi, dampak dari penyakit tadi berupa kerugian ekonomi yang sangat tinggi. “Negara seperti Cina saja sudah dibuat ketar – ketir dengan penyakit ini, Indonesia walaupun mayoritas muslim dan tidak banyak konsumsi babi, tapi kan babi ini sumber devisa, tidak ada alasan untuk tidak waspada,” tuturnya.

Dengan upaya yang dilakukan Kementan bersama stakeholders yang berkepentingan, Diarmita menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan langkah cepat dan eksekusi bila penyakit ASF terjadi. Menurutnya, upaya yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah tepat. Namun dalam mengamati perkembangannya,  penyakit ini yang sangat cepat dan mendekati perbatasan wilayah Indonesia.

Artinya potensi ancaman masuknya ASF ke Indonesia sangat besar. Terkait dengan kondisi tersebut, tindakan kewaspadaan dini terhadap penyakit ini harus segera diwujudkan dalam bentuk tindakan teknis. Indonesia termasuk wilayah yang terancam, mengingat populasi babi yang sangat tinggi di beberapa wilayah antara lain Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, NTT, Bali, Papua, dan Papua Barat.

Oleh karena itu, pemerintah sedang menyiapkan pedoman kesiapsiagaan darurat veteriner ASF (Kiatvetindo ASF). Ada empat tahapan penanggulangan yaitu : 1.Tahap Investigasi 2. Tahap Siaga 3.Tahap Operasional dan 4. Tahap pemulihan.Hal lain adalah sosialisasi terkait ASF di wilayah-wilayah risiko tinggi, membuat bahan komunikasi, informasi dan edukasi untuk di pasang di bandara, pemantauan dan respon terhadap kasus kematian babi yang dilaporkan melalui iSikhnas, membuat penilaian risiko masuknya ASF ke Indonesia sehingga membantu meningkatkan kewaspadaan.

Karantina Siaga
Kepala Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani, Agus Sunanto juga menegaskan Badan Karantina Pertanian (Barantan) akan turut melakukan upaya antisipatif. Hal yang dilakukan diantaranya memperketat serta meningkatkan kewaspadaan pengawasan karantina di berbagai tempat pemasukan negara.

Beberapa kali Barantan berhasil menggagalkan masuknya komoditas yang berpotensi membawa virus ASF, seperti daging babi, dendeng, sosis, usus dan olahan babi lainnya. Sebagai contoh, Karantina Pertanian Bandara Intenasional Soekarno Hatta sepanjang 2019 hingga bulan September telah menyita komoditas petensial sebanyak 225,28 kg yang berasal dari barang bawaan penumpang.

Selain melakukan pengawasan, Agus menjelaskan pihaknya merangkul semua instansi, baik di bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara, seperti Bea dan Cukai, Imigrasi, unsur airlines, agen travel serta dinas peternakan di daerah. Menurut Agus, Kementan telah menghitung potensi kerugian kematian akibat ASF. Apabila dihitung 30 persen saja populasi terdampak, maka kerugian peternakan babi dapat mencapai Rp7,6 triliun.

Selain itu, Indonesia akan kehilangan pasar ekspor dan potensinya, baik untuk babi maupun produknya. Saat ini Indonesia memiliki banyak peternakan babi, dan merupakan salah satu pemasok utama bagi pasar Singapura. (CR)



PEMBELAJARAN WABAH ASF DI CHINA DAN VIETNAM


 
Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD sebagai salah satu pembicara seminar ASOHI Jateng (Foto: Istimewa)

Virus African Swine Fever (ASF) disebut-sebut sebagai top killer industri babi. Suatu penyakit virus yang menyerang babi dan ditemukan pertama kali di Kenya pada 1921. Virus ASF membunuh babi dengan menyebabkan demam hemoragik yang ekstrim dan menghancurkan limfosit secara masif dalam jaringan limfa.

Pembahasan ASF dikupas secara menarik dan mendalam dalam Seminar “Strategi Antisipasi Penyebaran Virus ASF” di Studio Dreamlight World Media, Ungaran yang diselenggarakan ASOHI Jateng dan PDHI. Seminar berlangsung pada Sabtu, 12 Oktober 2019. 

Pembicara dari Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan, Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD menerangkan penyebab ASF adalah virus yang unik, satu-satunya anggota keluarga Asfarviridae yaitu virus DNA yang dapat ditularkan oleh caplak (tick-borne DNA virus).

“Genom yang besar, dengan setengah dari proteinnya tidak diketahui fungsinya. Siklus penularan yang unik di antara babi-babi domestik, babi hutan liar dan caplak lunak, belum lagi virus ini punya daya tahan (survivability) in vitro yang tinggi,” lanjutnya.

Lebih lanjut Tri Satya Putri Naipospos memaparkan presentasinya yang berjudul "African Swine Fever: Pembelajaran dari Wabah di China dan Vietnam".  

Sejak ditemukan pada Agustus 2018, ASF menyebar ke setiap provinsi di daratan China. ASF diperkirakam menjangkiti 150-200 juta ekor babi, dugaan kerugian produksi daging babi mencapai 30%.

Penyebab penyebaran ASF di China diantaranya lalu lintas jarak jauh babi hidup dan produk babi 16,3%, transportasi kendaraan dan orang 40.8%, sisa-sisa makanan untuk babi (swill feeding) 42,9%. Uraian presentasi Tri Satya bersumber dari Dr Shengqiang Ge dari China Animal Health and Epidemiology Center.

Pembangunan kembali industri babi di China akan berjalan lambat dan butuh bertahun-tahun. Produsen akan tetap waspada mengingat resiko kontaminasi ulang dan difokuskan kepada peningkatan biosekuriti pada operasi yang tersisa.

Populasi babi di China sekitar 440 juta ekor babi, lebih dari 90% rumah tangga di China memelihara babi.  

“Seringkali dengan biosekuriti terbatas, sedikit atau tidak ada mekanisme pengendalian yang dapat digunakan untuk memastikan virus tidak ditularkan lewat truk, melalui pakaian orang yang masuk ke peternakan, atau dalam pakan dimana virus bertahan untuk jangka waktu lama,” jelasnya.

Sementara kasus wabah ASF di Vietnam pada Februari 2019 pertama terdeteksi di Provinsi Thai Binh dan Hung Yen, yang lokasinya di tenggara ibukota Hanoi kira-kira 160 km dari perbatasan China.

Vaksin yang dikembangkan di National University of Agriculture menunjukkan sukses awal dalam memerangi ASF, tapi para ahli skeptis dan mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian.

Sementara Ketua Umum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Dr Sauland Sinaga SPt, MS sebagai narasumber berikutnya memaparkan presentasi berjudul “Strategi Manajemen Pemeliharaan Mencegah ASF”.

Imbauan AMI dalam mewaspadai penyebaran ASF antara lain negara harus menghentikan impor babi dan olahan dari negara terduga, peternak menghindari membawa olahan babi di kandang, bandara harus menghanguskan sisa makanan pesawat di pelabuhan dan di bandara yang berasal dari negara terduga.

Diuraikan juga lima elemen biosekuriti diantaranya isolasi/pemisahan, sanitasi dan desinfeksi, pengendalian lalu-lintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. (NDV)

ASOHI JATENG SELENGGARAKAN SEMINAR ANTISIPASI PENYEBARAN VIRUS ASF


         
Seminar ASF yang digelar ASOHI Jateng ramai peserta (Foto: Dok. ASOHI Jateng)



Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Jawa Tengah (Jateng), pekan lalu menyelenggarakan Seminar Strategi Antisipasi Penyebaran Virus African Swine Fever (ASF) di Studio Dreamlight World Media, Semarang. 

Kendati belum terindikasi adanya virus ASF di Indonesia, tapi penyakit eksotik pada babi ini telah penyebabkan keresahan para peternak di Jateng.

"Karena apapun, Jateng salah satu penyangga kebutuhan daging babi untuk provinsi yang lain. Maka posisi ini harus dipertahankan untuk kesejahteraan warga di Jateng,"

Hal tersebut diutarakan Drh Abdullah, Kabid Veteriner Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (Disnakkeswan) Provinsi Jateng.

Pada seminar yang diadakan ASOHI Jateng dengan Dreamlight World Media dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) ini, Abdullah menandaskan harus ada kesamaan persepsi dan pola pandang bagaimana mengantisipasi agar ASF tidak masuk ke Jateng.

"Jateng memiliki 10 pos lalulintas ternak yang memeriksa semua ternak, termasuk babi. Kami khawatir jika kendaraan pengangkut ternak ini tidak melalui jalur yang umum. Misalnya jika lewat jalan tol saja, sudah tidak terpantau. Maka dinas akan memperketat izin pengangkutan ternaknya di kabupaten/kota," terangnya. 

Untuk antisipasi ASF, maka dilakukan biosekuriti, yaitu melalui isolasi/pemisahan, sanitasi, pengandalian lalulintas, pengendalian hama, dan pembuangan bangkai babi. Virus ASF pertamakali ditemukan di Kenya, Afrika pada 1921 dan belum ada obat maupun vaksinnya. (Sumber: www.suaramerdeka.com/INF) 


KEMATIAN TERNAK BABI DI DAIRI MASIH DISELIDIKI PEMERINTAH



Ilustrasi babi (Foto: Pixabay)


Penyebab kematian ternak babi yang terjadi di Sumatera Utara masih dalam proses penyelidikan Direktur Kesehatan Hewan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) Fadjar Sumping Tjatur Rasa.

Termasuk, atas laporan kematian puluhan ternak babi di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Saat ini, kata Fadjar, pemerintah masih menunggu hasil uji laboratorium. Fadjar menegaskan, kewaspadaan harus ditingkatkan karena saat ini sedang merebak virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di sejumlah negara di dunia, termasuk Asia Tenggara. 

"Upaya yang bisa dilakukan adalah biosekuriti dan vaksinasi. Kecuali, jika ASF suda masuk, tidak ada vaksinnya. Sampai saat ini, kami belum bisa menyatakan akibat ASF karena dari hasil pengujian masih ada positif Hog Cholera. Seperti kejadian di Minahasa, ternyata karena Hog Cholera. Namun, meski demikian, kita harus waspada karena ASF sudah masuk di Filipina, yang dekat ke Sulawesi Utara," kata Fadjar, Minggu (13/9).

Sementara itu, Ditjen PKH Kementan telah mengadakan pelatihan termasuk analisis risiko kepada Dinas Kabupaten di seluruh Sumatera Utara pada 7-8 Oktober 2019.

"Mengingat urusan kesehatan hewan sudah menjadi otonomi dan kewenangan daerah, kami hanya bisa melalui pemerintah daerah (dinas yang membidangi PKH). Meski demikian, kami selalu berkoordinasi dan bekerja bersama pemda, melalui dinas yang menangani kesehatan hewan. Khusus Provinsi Sumatera Utara dan pemerintah kabupaten/ kota, kami telah bersama-sama melakukan upaya untuk membantu para peternak babi yang terkena musibah kematian ternak," tutur dia.

Saat ini masih terus dilakukan pemantauan serta telah dikirimkan bantuan tambahan disinfektan, alat semprot, alat pelindung diri (APD), serta membentuk tim untuk di lapangan.

 "Kami masih menunggu konfirmasi hasil laboratorium dan nanti rapat dengan komisi ahli kesehatan hewan. Jadi, intinya terhadap kasus kematian babi ini harus segera dilakukan upaya biosekuriti dan pengawasan lalu lintas ternak babi dan produknya. Serta, menjaga tidak ada penyebaran penyakit ke daerah lainnya. Sambil mewaspadai ASF yang sulit dikendalikan karena belum ada vaksinnya,” terang Fadjar.  

Apalagi, virus ASF sangat tahan dan bisa terbawa oleh hewan, produk hewan segar dan olahan, terbawa sepatu, baju dan alat alat peternakan, serta alat angkut/kendaraan yang keluar masuk peternakan atau daerah tertular ASF," kata Fadjar. (Sumber: Investor Daily)



INDONESIA SIAP PERBESAR PANGSA EKSPOR BABI



Meluasnya persebaran virus flu babi Afrika, Indonesia jajaki peluang perbesar ekspor babi. (Foto: Pixabay)


Seiring meluasnya persebaran virus African Swine Fever (ASF) atau flu babi Afrika di sejumlah negara produsen, Indonesia tengah giat menjajaki peluang untuk memperbesar pangsa pasar ekspor babi. Sejauh ini, kasus kematian akibat virus tersebut belum ditemukan di Indonesia meski telah ditemukan di negara Asia Tenggara lain seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja.

"Peluang untuk memperluas ekspor sangat besar. Kami sedang dalam upaya ke arah itu," kata Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Fini Murfiani, Kamis (22/8).

Fini tak merinci negara mana saja yang masuk dalam daftar penjajakan ekspor. Namun, tak memungkiri terdapat peluang ke negara-negara yang tengah menghadapi koreksi produksi akibat wabah virus flu babi Afrika.

"Produksi babi sendiri tentunya surplus. Negara tujuan ekspor mana pun, selama ada peluang kami akan kejar," sambung Fini.

Pasar utama ekspor babi baik dalam bentuk hidup maupun daging sendiri masih dipegang Singapura. Kementerian Pertanian mencatat nilai ekspor babi ke negara tersebut sejak 2014 sampai semester I/2019 mencapai nilai Rp3,04 triliun.

Sementara nilai total ekspor babi hidup yang telah dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai Rp4,31 triliun (kurs Rp14.000/US$) sepanjang sepanjang 2013-2017.

Berdasarkan dat BPS, rata-rata konsumsi daging babi di Indonesia berkisar di angka 0,22 kg per kapita per tahun selama periode 2013-2017 dengan konsumsi tertinggi pada 2017 di angka 0,26 kg per kapita per tahun.

Terlepas dari statistik tersebut, konsumsi daging babi tak bisa dibilang sedikit. Ketua Gabungan 
Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali Ketut Hari Suyasa menyebutkan konsumsi daging babi juga merupakan bagian dari budaya yang tak terpisah dari masyarakat Bali.

Hal ini terlihat pula pada tren konsumsi di sejumlah provinsi sentra produksi daging babi seperti Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Rencana untuk memperluas pasar ekspor pun disambut baik oleh Hari selaku peternak. Kendati demikian, dia mengharapkan pemerintah dapat memberi bimbingan lebih kepada peternak rakyat agar manfaat perluasan pangsa ekspor tersebut tak hanya dirasakan segelintir pelaku usaha. (Sumber: bisnis.com)


African Swine Fever di Cina Semakin Memburuk

Foto: Pixabay

African Swine Fever (ASF), flu babi Afrika, menjangkiti sebuah peternakan besar di kota Suihua, Cina. Peternakan yang memiliki 73 ribu babi itu dimiliki oleh Heilongjiang Asia-Europe Animal Husbandry Co, Ltd. Sebuah perusahaan peternakan yang didirikan di tahun 2016. Sebanyak 4.686 babi terinfeksi ASF dan 3.766 babi mati.

Seperti dilansir dari Reuters, sejak Agustus 2018 hampir 100 peternakan di Cina terinfeksi ASF. Lebih dari 200 ribu ekor babi yang terinfeksi dimusnahkan dan jumlahnya masih akan bertambah.

Daging babi merupakan daging yang paling banyak dikonsumi di Cina. ASF menyebabkan terganggunya suplai dan di beberapa wilayah harga daging babi menjadi naik.

“Situasi African Swine Fever semakin memburuk. Pertanian kecil, peternakan besar, rumah pemotongan hewan, pakan - seluruh rantai produksi pada dasarnya terdampak,” kata Yao Guiling, analis dari China-America Commodity Data Analytics.

Beijing telah melarang pemberian limbah dapur kepada babi, dan membatasi transportasi babi hidup dan produk dari daerah yang terinfeksi.

Tetapi ASF sekarang telah menyebar di 23 provinsi dan kota di Cina. Penyakit ini mematikan bagi babi tetapi tidak mempengaruhi manusia.

“Kebijakannya bagus, tetapi meningkatnya wabah menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa masalah dengan eksekusi di tingkat pemerintah daerah,” kata Yao Guiling.

Kementerian pertanian Cina mengatakan rumah pemotongan hewan harus melakukan tes pada produk babi mereka sebelum menjualnya ke pasaran.

Rumah pemotongan hewan harus memotong babi yang berasal dari daerah berbeda secara terpisah, dan hanya dapat menjual produknya jika hasil tes darah dari kelompok babi yang sama menunjukkan negatif dari ASF.

Jika virus ASF terdeteksi, rumah pemotongan hewan harus memusnahkan semua babi yang akan disembelih dan menunda operasi selama setidaknya 48 jam, menurut peraturan yang akan berlaku mulai 1 Februari 2019. (NDV)

Kolaborasi Ditjen PKH dan AMI Bahas Tantangan Penyakit African Swine Fever (ASF)



Forum AMI diadakan usai makan siang hingga sore hari (Foto: Infovet/Bams)


Para pembicara workshop (Foto: Infovet/Bams)
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menggelar Workshop Nasional Penyakit African Swine Fever (ASF), Rabu (30/10/2018). Bertempat di Indraprastha Hall UNS Inn, kegiatan ini dibuka Direktur Kesehatan Hewan Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD.

Lebih dari 150 orang dari kalangan peternak babi, perusahaan pakan, obat hewan, utusan dinas peternakan kesehatan hewan,  perguruan tinggi, karantina hewan dan lembaga terkait lainnya menjadi peserta workshop.

Lebih dari 150 peserta mengikuti workshop ASF. (Foto: Infovet/Bams)

Acara workshop menghadirkan pembicara Drh Tri Satya Putri Naipospos PhD, Prof Dr drh Widya Asmara PhD, Prof Dr drh Ida Bagus Komang Ardana MKes (ADHMI), dan Drh. Andro Jati Kusuma (FAO ECTAD Indonesia).

“Kegiatan workshop ini diadakan dalam upaya menindaklanjuti munculnya wabah ASF di Republik Rakyat Tiongkok bulan Agustus lalu, sebagai salah satu langkah kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini untuk mencegah serta mengantisipasi menyebarnya agen penyebab ASF di Indonesia,” jelas Fadjar.

Usai makan siang, kegiatan dilanjutkan dengan Forum Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) yang diikuti oleh anggota AMI dan beberapa utusan perusahaan maupun pemerintah. AMI adalah organisasi yang menghimpun pelaku usaha peternakan hewan monogastrik khususnya babi serta pelaku usaha pendukung serta kalangan ilmuwan. Organisasi ini didirikan oleh penggagas Dr. Rachmawati Siswadi dari Fakultas Peternakan Unsoed didukung oleh para pengurus ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia)  pada saat itu antara lain H. Abdul Karim Mahanan, Drh. Tjiptardjo SE, Drh. Sri Dadi Wiryosuhanto, serta Bambang Suharno dari majalah Infovet.

Pada saat berdiri, ditetapkan Dr. Rachmawati sebagai Ketua Umum AMI dan selanjutnya pada pemilihan pengurus tahun 2014  terpilih Dr. Sauland Sinaga (pakar babi dari Unpad) sebagai ketua umum dan Rachmawati sebagai penasehat. Kegiatan AMI antara lain menjembatani kepentingan pelaku usaha peternakan babi dengan pemerintah dan pihak terkait lainnya. Adanya workshop dan forum ini, Ketua AMI Sauland Sinaga menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah khususnya Direktorat Kesehatan Hewan yang dengan cepat merespon keresahan peternakan babi tentang ancaman masuknya ASF. Melalui acara ini para peternak maupun pihak terkait menjadi lebih paham langkah apa saja yang perlu dilakukan untuk mencegah masuknya ASF.


Pada acara Forum AMI, Ketua AMI Dr Sauland Sinaga bertindak sebagai moderator didampingi Penasehat AMI Dr Rahmawati dan wakil dari pemerintah Drh Arif Wicaksono MSi (Kasubdit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan /P3H).

Forum AMI menghasilkan beberapa rekomendasi untuk pemerintah diantaranya perlunya kepastian hukum mengenai lokasi peternakan babi. Selain itu, peternak babi juga mengungkapkan kesulitannya dalam mendapatkan jagung untuk bahan baku pakan. Situasi yang dialami para peternak babi ini sama seperti yang dirasakan peternak unggas self-mixer.

Mengenai tindak lanjut seminar, direncanakan akan diadakan kerjasama lanjutan antara Ditjen PKH khususnya Direktorat Kesehatan Hewan dengan AMI dalam membina peternak melalui program pelatihan biosekuriti. (NDV/bams)

Waspada African Swine Fever



Biosekuriti kandang harus ditingkatkan guna mencegah babi terserang penyakit (Foto: Pinterest)

Pernyataan resmi dicetuskan FAO selaku Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 28 Agustus 2018. Dalam pernyataan tersebut, FAO menanggapi situasi darurat wabah African Swine Fever (ASF) di China berpotensi menjadi ancaman dan menyebar ke negara-negara Asia lainnya

FAO mendesak kolaborasi regional termasuk pemantauan dan langkah-langkah kesiapan yang lebih kuat. Lebih lanjut FAO menjelaskan bahwa wabah ASF di China serta deteksi kasus baru di daerah-daerah yang berjarak lebih dari seribu kilometer di wilayah dalam negeri China, dapat berarti virus babi yang mematikan ini dapat dan berpotensi menyebar ke negara-negara Asia lainnya kapan saja.

Mengutip dari halaman resmi Facebook Direktorat Kesehatan Hewan Ditjen PKH, Jumat (7/9/2018), ASF pertama kali dideskripsikan tahun 1921. Sebaran penyakit ada di 28 negara-negara Afrika Sub-Sahara. Selain itu, pernah menjadi masalah besar yang menimpa di Eropa Tengah dan Eropa Timur.

Tahun 2018, ASF diketahui merebak di China dan menimbulkan kecemasan. ASF merupakan penyakit yang disebabkan virus dan dapat menulari babi baik yang liar maupun domestik. Sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk menanggulangi ASF.

Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Sauland Sinaga, dihubungi Infovet kemarin (6/9/2018) menanggapi. “Indonesia harus mewaspadai ASF ini. Kebijakan impor perlu dicermati untuk produk hewan atau olahan,” ungkapnya.

Imbuh dia, AMI telah melakukan sosialisasi di kalangan peternak untuk lebih meningkatkan biosekuriti di kandang babi. “Biosekuriti atau manajemen kebersihan kandang babi harus diperhatikan. Sanitasi kandang dilakukan secara berkala menggunakan desinfektan,” tegasnya. (NDV)


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer