Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ternak Babi | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

WEBINAR SERUM KONVALESEN UNTUK MENCEGAH ASF

Webinar AMI bicara mengenai serum konvalesen untuk mencegah ASF. (Foto: Infovet/Sadarman)

Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) menyelenggarakan webinar mengenai Serum Konvalesen untuk mencegah African Swine Fever (ASF), Jumat (10/12/2021), yang diikuti peserta dari berbagai wilayah Indonesia khususnya peternak babi, akademisi dan praktisi.

Ketua AMI, Dr Sauland Sinaga, mengatakan bahwa ASF harus dicarikan solusi untuk membantu para peternak babi. “Demam babi ini sangat meresahkan peternak, produknya berupa daging yang menjadi pangan bagi non-muslim, penyumbang devisa bagi negara, sehingga perlu dicarikan solusinya untuk meminimalkan ASF ini,” kata Sauland.

Lebih lanjut dikatakan, jika terapi plasma konvalesen dapat digunakan untuk imunisasi pasif dan dapat meminimalisir orang meninggal akibat COVID-19 sehingga memiliki harapan baru penyembuhan pasien, maka pada babi pun diharapkan demikian, serum konvalesen dapat digunakan sebagai vaksinasi pasif mencegah ASF.

Penggunaan serum konvalesen ASF dinilai memungkinkan, mengingat metode plasma konvalesen telah diadopsi dalam penurunan kasus COVID-19, menggunakan bagian plasma darah penyintas yang ditransfusikan ke tubuh pasien positif COVID-19 dengan golongan darah yang sama oleh pendonor.

Menurut Ahli Virologi dari Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Drh I Wayan Teguh Wibawan, yang menjadi narasumber menyebutkan, plasma darah merupakan bagian dari darah yang bewarna kekuningan yang mengandung albumin, antibodi (imunoglobulin) dan protein fibrinogen (zat pengatur pembekuan darah).

“Antibodi yang terbentuk akibat infeksi alam bersifat poliklonal, artinya di dalam serum terdapat berbagai jenis antibodi yang bereaksi spesifik terhadap berbagai epitope virus ASF, lalu antibodi tersebut bisa bekerja selama virus belum masuk ke dalam sel, sehingga penggunaan serum konvalesen ASF dapat mencegah ASF pada babi yang dipelihara peternak,” kata Wayan.

Wayan yang juga Guru Besar FKH IPB ini, menegaskan bahwa plasma darah bukanlah serum, karena keduanya mempunyai kandungan berbeda, yaitu serum juga mengandung zat protein, hormon, glukosa, elektrolit dan antibodi, namun tidak mengandung zat pembekuan darah. Secara sederhana dapat dikatakan serum adalah plasma minus faktor pembeku darah.

Mengkaji pada tren pengembangan ASF, ditambahkan narasumber lain yakni Komisi Ahli Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner, Karantina Hewan, Kementerian Pertanian, Dr Drh Anak Agung Gde Putra, bahwa ASF sangat menular dengan case fatality rate sangat tinggi, sehingga perlu dilakukan pencegahan dan pengendalian dengan upaya serum konvalesen yang diambil dari babi yang pernah menderita ASF dan dinyatakan sembuh.

Angin segar tersebut hadir melalui serum SCoVet ASF. Kepala Pusat Veteriner Farma (Pusvetma) Surabaya, Drh Agung Suganda, memaparkan bahwa SCoVet ASF merupakan produk biologis berupa serum dari babi yang sembuh ASF dan mengandung antibodi terhadap ASF.
“ASF merupakan penyakit viral, artinya tidak tersedia obat yang dapat menyebuhkan, hal yang sama dengan vaksin, sehingga SCoVet ASF dapat dijadikan alternatif imuno-profilaksis yang dapat membantu meningkatkan imunitas, sehingga kasus ASF dapat diminimalkan,” kata Agung.

Terkait dosis yang sudah diujicobakan, ia mengungkapkan sejauh ini telah dilakukan berdasarkan periode pemeliharaan babi, yaitu babi pada periode starter dapat diinjeksikan secara intramuskuler 1 ml/ekor, grower 2 ml/ekor, babi dara 3 ml/ekor dan babi dewasa 4 ml/ekor. Injeksi SCoVet ASF masing-masing dilakukan tiga kali dengan interval per-injeksi dalam 10 hari.

Sejauh ini, lanjut dia, pemberian SCoVet ASF telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama di pusat usaha peternakan babi. “Kita telah mendistribusikan SCoVet ASF di tujuh provinsi yang disebarkan ke 12 kabupaten dan kota, termasuk alokasi pusat dan Balai Karantina Pertanian Kelas I Kupang, dengan total 7.525 vial setara dengan 120.400 ml,” jelas Agung.

Hasil monitoring pelaksanaan pemberian serum konvalesen veteriner ASF pada babi menunjukkan capaian positif. Hal ini terlihat dari data yang dilaporkan para dokter hewan dari tujuh provinsi sebagai kantong ternak babi di Indonesia, yaitu total babi disuntik SCoVet ASF yang diamati sebanyak 3.850 ekor, jumlah babi hidup setelah penyuntikan SCoVet ASF sebanyak 2.743 ekor (71,2%), jumlah babi mati setelah penyuntikan SCoVet ASF sebanyak 1.107 ekor (28,8%).

Penggunaan SCoVet ASF juga dinyatakan Agung aman diberikan pada babi (termasuk babi bunting, menyusui dan anak babi) sesuai dosis yang disarankan. "Perlu diperhatikan efikasi SCoVet ASF sangat tergantung pada status kesehatan dan tingkat stres babi, ketepatan dosis, pelaksanaan penyuntikan dan penerapan biosekuriti yang baik, sehingga hasil yang didapat bisa optimal,” ucapnya.

Bicara soal bisekuriti, dikatakan Dr Drh Anak Agung Gde Putra, tidak serta merta berhasil meminimalisir penyakit apabila sisi lainnya tidak diperhatikan. “Kebanyakan penyakit juga datang dari pakan yang dikonsumsi babi, misalnya pemberian pakan sisa manusia, perlu dimasak dulu sebelum diberikan pada babi,” kata Anak Agung. Hal ini diperkuat temuan yang dirilis EFSA Journal 2014, babi yang mengonsumsi pakan sisa manusia berisiko 35% terpapar ASF.

Oleh karena itu disimpulkan dalam webinar untuk mengantisipasi masuk dan menyebarnya ASF ke daerah bebas ASF dapat dilakukan melalui surveilans terstruktur, sistematis dan massif. Kemudian perlunya pemberian SCoVet ASF secara tuntas dengan dosis yang disarankan, juga memperkuat manajemen budi daya dan penerapan biosekuriti dengan baik dan benar. (Sadarman)

PENDEKATAN NEW NORMAL BETERNAK BABI PASCA ASF

Webinar pendekatan new normal beternak babi pasca ASF di Indonesia pada rangkaian FLEXcitement yang diinisiasi PT Boehringer Ingelheim. (Foto: Infovet/Ridwan)

African Swine Fever (ASF) merupakan penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA beruntai ganda, dalam famili Asfarviridae dan genus Asfivirus. Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat kematian tinggi pada babi domestik dan babi liar.

Virus yang sudah masuk ke Indonesia ini memiliki penyebaran yang cepat melalui lalu lintas ternak dan produk babi yang tercemar melalui swill feeding yang digunakan untuk pakan. “ASF bisa menyebar melalui pakan. Oleh karena itu, apabila peternak tidak yakin dengan pakan, khususnya pakan sisa restoran itu wajib di masak terlebih dahulu,” jelas Sauland Sinaga yang menjadi pemateri acara FLEXcitement “Pendekatan New Normal Beternak Babi Pasca ASF di Indonesia” yang diinisiasi PT Boehringer Ingelheim, Kamis (7/10/2021).

FLEXcitement merupakan kegiatan berskala global yang digelar PT Boehringer Ingelheim. Selama 6-7 Oktober 2021, FLEXcitement dilaksanakan secara virtual, dimana peserta bisa mengaksesnya melalui internet dan menikmati ragam informasi, presentasi dari para pembicara internasional mengenai peternakan babi.

Pada kesempatan tersebut Sauland yang juga Ketua Asosiasi Mogastrik Indonesia (AMI), menjelaskan proses pemasakan pakan sisa untuk ternak babi bisa dilakukan selama 2 menit dengan suhu 70 derajat untuk mengeliminasi ASF. “Karena bila tidak itu sangat berisiko tinggi. Karena itu harus kita ubah pengelolaan pakan untuk ternak babi ini,” jelasnya.

Sauland mengemukakan, perbaikan pakan bisa dilakukan dengan pemberian enzim, toxin binder, mineral, oil, maupun probiotik. Teknologi tersebut, kata dia, wajib digunakan peternak babi skala rakyat saat ini.

“Atau bisa dengan fermentasi pakan maupun perlakuan sanitasi pakan sebelum diberikan pada ternak. Bisa juga peternak memanfaatkan pakan dari singkong, palm kernel meal dan palm kernel cake. Ini bisa menjadi alternatif dan dalam beberapa penelitian hasilnya baik. Jadi janganlah terkendala dengan pakan yang bisa membuat harga babi menjadi mahal,” ucap dia.

Selain pakan, lanjut Sauland, untuk meminimalisir masuknya ASF ke farm adalah dengan memperbaiki manajamen budi daya, dengan fokus utama pembatasan pergerakan manusia, disinfeksi dan penerapan biosekuriti ketat.

“Buat zona merah, kuning dan hijau. Batasi keluar masuknya orang dan barang. Lakukan pula disinfeksi pada kendaraan. Juga penerapan all in all out, khususnya pada pembesaran ternak babi,” terang Sauland.

“Beri pelatihan pula pada anak kandang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mereka dalam budi daya ternak babi. Karena SDM menjadi kunci pencegahan ASF. Saya yakin dengan begitu kita bisa mencegah ASF di new normal ini.”

Sementara Feliks Adi Nugroho, technical swine dari Boehringer Ingelheim Indonesia yang membawakan materi Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) virus menekankan hal serupa.

“Virus akan menjadi lebih buruk apabila peternak tidak menerapkan sistem all in all out. Buatlah kandang terpisah sesuai fasenya untuk meminimalisir risiko penyebaran penyakit,” kata Feliks.

Feliks pun memberikan saran pencegahan dan kontrol penyakit pada ternak babi. Pertama, melakukan indentifikasi tujuan (mengontrol atau mengeliminasi penyakit). Kedua, menetapkan status (shedding atau exposure status) penyakit melalui pengecekan di laboratorium.

Ketiga, memahami kekurangan manajemen (biosekuriti, lokasi, produksi dan lain sebagainya). Keempat, membangun solusi sesuai tujuan awal (pencegahan infeksi, peningkatan kekebalan dan lain-lain) atau dengan melaukan vaksinasi.

“Walau vaksinasi bukan menjadi solusi tunggal, namun bisa memberikan proteksi terhadap ternak. Pemberian vaksinasi pada semua fase umur babi berpengaruh pada peningkatan kekebalan dan menurunkan kasus penyakit, memperbaiki FCR, mortalitas, morbiditas dan culling rate rendah,” jelas Feliks.

Adapun langkah kelima, lanjut dia, dengan implementasi dan monitoring solusi yang telah ditetapkan. “Dari langkah-langkah yang sudah kita buat, bisa kita lakukan monitoring dengan checking biosekuritinya, hasil vaksinasi atau manajemen untuk mengetahui hasilnya,” pungkasnya. (RBS)

PELATIHAN FORMULASI PAKAN BABI BATCH II

Webinar mengenai pelatihan formulasi ransum babi. (Foto: Infovet/Sadarman)

Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) kembali menyelenggarakan webinar Training Formulasi Ransum Babi Batch II, Selasa (13/4/2021). Acara ini diikuti peserta dari berbagai wilayah di Indonesia, khususnya para peternak babi, akademisi dan praktisi.

Ketua Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI), Dr Sauland Sinaga, sebagai penyelenggara, menyambut baik atas terlaksananya kegiatan yang sudah kedua kalinya ini.

“Ini menunjukkan akan pentingnya tata cara memformulasikan pakan untuk babi. Peserta pun tetap banyak hingga pelaksanaan kedua ini,” kata Sauland.

Kegiatan yang digelar atas kerja sama GITA Organizer, Infovet dan US Soybean Export Council (USSEC) Indonesia, menghadirkan pembicara Feed and Nutrition Consultant PT Tekad Mandiri Citra, Ir Hariyanto Sutikno, yang membawakan materi formulasi kebutuhan ransum induk babi.

Dijelaskan, “Memaksimalkan pemberian pakan pada induk babi penting dilakukan mengingat induk akan memasuki masa kawin (mating), gestasi (bunting hingga melahirkan) dan laktasi (menyusui).”

Lebih lanjut dijelaskan, pakan yang diberikan pada masing-masing periode berbeda, yaitu pakan untuk periode induk sebelum dikawinkan (pree-sow) tujuh hari sebelum dikawinkan, pakan untuk induk bunting 0-100 hari dan pakan untuk induk menyusui yang dimulai dari hari ke-101 pasca melahirkan hingga penyapihan (weaned).

“Kesalahan dalam memformulasikan pakan induk babi dapat berdampak pada feed intake, padahal dalam pemberian pakan induk babi, feed intake harus dimaksimalkan, artinya Ketika feed intake rendah maka nutrient intake akan rendah. Akibatnya macam-macam, bisa saja rendahnya bobot badan anak babi sapihan, skor tubuh sow juga rendah dan terjadi peningkatan jumlah afkir dari sow yang dipelihara,” jelas Hariyanto.

Untuk mengatasi hal ini maka menurutnya perlu upaya memformulasikan pakan induk babi dengan baik, mengawinkan induk babi sesuai dengan standar bobot badan (120-130 kg) dan memberikan pakan dalam jumlah cukup (2,50 kg/ekor untuk babi bunting dan minimal 5 kg/ekor untuk babi laktasi), serta pakan harus diberikan 2-3 kali/hari.

Selain formulasi pakan dengan baik, upaya menjaga kesehatan dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh induk babi juga penting. Hal ini disampaikan Business Consultant PT Better Pharma Indonesia, Drh Michael Indra Wahyudi. Menurutnya, pertahanan induk babi terhadap paparan bibit penyakit dapat diperkuat oleh pakan berkualitas, menjaga kesehatan mukosa usus, menjaga kestabilan populasi mikroflora dan meningkatkan system kekebalan tubuh induk babi itu sendiri.

“Untuk mendapatkan bahan pakan berkualitas lumayan sulit, apalagi jika formulasi pakan dilakukan sendiri oleh peternak, sehingga konten nutrien dari pakan hasil formulasi sulit didapatkan sesuai dengan standar yang disarankan,” kata Michael.

Untuk mendapatkan pakan hasil formulasi berkualitas, lanjut dia, dianjurkan untuk menggunakan imbuhan pakan dari produk sintetis yang sudah dikomersialisasikan maupun herbal.

“Kedua jenis produk imbuhan pakan tersebut sama-sama dapat berperan sebagai imbuhan pakan yang dapat memberikan benefit pada induk babi dan pada peternak itu sendiri,” pungkasnya. (Sadarman)

WASPADA ANCAMAN “TERBANG” VIRUS ASF

Memperketat biosekuriti, salah satu upaya mencegah penularan virus ASF. (Foto: Istimewa)

Demam Babi Afrika (African Swine Fever/ASF) yang merongrong peternakan babi di Indonesia beberapa waktu lalu, dirasa masih meresahkan peternak. Hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ditemukannya vaksin yang tepat untuk mengatasinya.
 
Sehingga perlu dipelajari bagaimana mencegah ASF dan meresponnya agar lebih sigap dalam menghadapinya. Pembelajaran mengenai mekanisme penularan penyakit merupakan salah satu upaya dalam menyusun strategi pengendalian suatu penyakit.

Potensi Serangga sebagai Vektor ASF 
Serangga dan beberapa jenis artropoda berpotensi sebagai vektor dalam penyebaran ASF. Misalnya caplak dari genus Ornithodoros merupakan vektor yang berperan penting dalam penularan ASF.

Oleh karena itu, salah satu tindakan pencegahan ASF selain melakukan pengawasan biosekuriti yang ketat dan menerapkan regulasi transportasi lalu lintas babi/produk babi, juga penting melakukan pengontrolan vektor.

Mengingat penyakit demam babi ini merupakan penyakit yang baru masuk di Indonesia pada 2019 lalu, maka belum dilakukan studi lanjut mengenai potensi keterlibatan vektor dalam penularan ASF di Indonesia.

Tulisan ini akan mengulas mengenai tingkat risiko vektor yang memiliki kontribusi besar dalam penularan ASF, sehingga dapat mengarahkan strategi kontrol vektor yang efektif dan antisipasi penyebaran ASF secara signifikan dengan memahami kompetensi keterlibatan vektor di Indonesia.

Mengenal Vektor pada Penularan ASF
Penularan penyakit oleh vektor terjadi ketika seekor vektor memperoleh penyakit dari satu hewan dan menularkannya ke hewan lain. Penyakit ditularkan oleh vektor baik secara mekanis maupun biologis. Transmisi mekanis berarti… (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Agustus 2020)

Ditulis oleh:
Drh Pebi P. Suseno (Medik Veteriner, Ditjen PKH)
Drh Fitrine Ekawasti MSc (Peneliti Parasitologi, BBLitvet)

KEMUNCULAN FLU BABI DI TIONGKOK, BERBEDA DENGAN ASF

Muncul penyakit Flu babi di Tiongkok yang berpotensi zoonosis. (Foto: Ist)

Temuan virus baru Flu babi (Swine flu) G4 EA H1N1 yang dipublikasi oleh ilmuwan Tiongkok baru-baru ini, menurut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, tak sama dengan kasus African Swine Fever (ASF).

Hal tersebut dikatakan agar masyarakat tak bingung membedakan kedua penyakit tersebut. “Kasus penyakit pada babi yang ada di Indonesia saat ini adalah ASF, bukan Flu babi,” kata Ketut dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (1/7/2020).

Ia menambahkan, penyakit Flu babi yang dilaporkan oleh ilmuwan Tiongkok disebabkan oleh virus infulenza H1N1 galur baru dan berpotensi menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Sementara pada kasus ASF yang ada di Indonesia tidak dapat menular ke manusia.

“Sejak akhir 2019, kasus ASF dilaporkan di Indonesia tepatnya di Sumatra Utara. Kementan terus memantau perkembangan kasusnya dan berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada laporan kejadian ASF pada manusia di seluruh negara tertular,” jelas Ketut.

Pihaknya pun sejak laporan ASF di China pada 2018 secara konsisten terus melakukan pengendalian dan mensosialisasikan ASF ke provinsi/kabupaten/kota melalui edaran, maupun sosialisasi secara langsung, memberikan pelatihan dan simulasi. 

Sedangkan menanggapi kewaspadaan Flu babi khususnya galur baru ini, Ketut menegaskan akan menerapkan berbagai langkah mengurangi potensi masuk dan menyebarnya Flu babi di Indonesia. Diantaranya dengan memperkuat kapasitas deteksi laboratorium kesehatan hewan, serta meminta jejaring laboratorium tersebut untuk melakukan surveilans deteksi dini penyakit Flu babi. Selain itu, para petugas karantina juga diminta meningkatkan keamanan di pintu-pintu pemasukan untuk mengawasi masuknya hewan dan produk yang memiliki potensi risiko pembawa penyakit. 

“Masyarakat tak perlu khawatir. Pemerintah terus memantau dan berupaya agar penyakit ini tidak terjadi di Indonesia. Pengawasan sistematis terhadap virus influenza pada babi adalah kunci sebagai peringatan kemungkinan munculnya pandemi berikutnya. Kita akan siapkan juga rencana kontingensinya,” pungkas Ketut. (INF)

MENGENAL PENYAKIT AFRICAN SWINE FEVER

Virus ASF sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian 100% pada babi. (Foto: GETTY IMAGES)

Virus African Swine Fever (ASF) adalah virus DNA beruntai ganda termasuk dalam familie Asfarviridae sebagai agen penyakit ASF. Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa isolat dapat menyebabkan kematian hewan satu minggu setelah infeksi. Virus ini menginfeksi inang alami seperti babi hutan melalui vektor kutu dari genus Ornithodoros tanpa disertai gejala penyakit.

Selain itu, virus ASF juga ditularkan melalui kontak langsung dengan babi yang tertular, daging dan produk daging babi, sisa-sisa makanan (swilling feeding), peralatan, sepatu, hingga pakaian yang digunakan para pekerja atau pengunjung di peternakan babi yang tertular penyakit ASF.

Namun virus ASF bisa mati pada pemanasan suhu 56 derajat selama 70 menit atau suhu 60 derajat selama 20 menit. Kendati demikian, virus ASF bisa bertahan hidup pada sisa makanan dalam sampah yang terinfeksi virus ASF selama 3-6 bulan dan dalam keadaan frozen selama tiga tahun.

Gambar 1: Bentuk virus ASF secara fisik seperti model virus pada umumnya, tetapi sangat  jauh berbeda  secara molekular.

Penyakit ini tidak menyebabkan penyakit pada manusia atau tidak bersifat zoonosis. Virus ASF merupakan penyakit endemik di Afrika sub-Sahara dan menyebar ke Eropa melalui babi atau produknya yang dibawa oleh imigran maupun wisatawan Eropa. Virus ASF memiliki genom DNA beruntai ganda dan dapat menjangkau 190 kilobase, serta yang mengesankan karena mengkode hampir 170 protein, jauh lebih besar dari virus lain, seperti Ebola (beberapa strain hanya memiliki 7 protein).

Virus ASF memiliki kesamaan dengan virus DNA besar lainnya, misalnya poxvirus, iridovirus dan mimivirus. Virus ASF ini menyebabkan demam hemoragik, dimana sel targetnya terutama untuk bereplikasi terdapat pada makrofag sel monosit. Masuknya virus ke dalam sel inang dimediasi oleh reseptor, tetapi mekanisme endositosis yang tepat sampai saat ini belum jelas. Sel makrofag pada tahap awal diinfeksi oleh virus ASF, perakitan kapsid icosahedral terjadi pada membran retikulum endoplasma. Poliprotein diproses secara proteolitik membentuk kulit inti antara membran internal dan inti nukleoprotein. Membran sel plasma bagian luar sebagai inti partikel dari membran plasma. Protein virus mengkode protein yang menghambat jalur pensinyalan pada makrofag yang terinfeksi dan dengan demikian memodulasi aktivasi transkripsi gen respons imun. Selain itu, virus mengkode protein yang menghambat apoptosis sel yang terinfeksi untuk memfasilitasi produksi virion keturunannya. Protein membran virus dengan kemiripan protein adhesi seluler memodulasi interaksi sel yang terinfeksi virus dan viri ekstraseluler dengan komponen inang.

Hewan yang peka pada ASF ini adalah babi hutan, babi liar dan babi domestik. Babi yang terinfeksi dapat menunjukkan satu atau beberapa tanda-tanda klinis, seperti berwarna ungu kebiruan dan perdarahan (seperti bintik atau memanjang) di telinga, perut dan/atau kaki belakang, kemudian mata dan hidung keluar cairan, lalu terdapat merah pada kulit dada, perut, perineum, ekor dan kaki,  dan juga terjadi sembelit atau diare yang dapat berkembang dari mukoid menjadi berdarah (melena), muntah, induk babi yang bunting mengalami aborsi pada semua tahap kebuntingan, darah dan busa dari hidung/mulut dan mata, serta kotoran berdarah di sekitar ekor. Gejala klinis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2. Gejala klinis pada penyakit African Swine Fever.

Oleh karena sifat virus yang sangat rumit dan memiliki genom besar, maka untuk menemukan obat misalnya vaksin saja juga sulit. Sampai saat ini peneliti belum mampu menemukan vaksin ASF, meskipun berbagai metoda pembuatan vaksin telah dilakukan. Metoda pembuatan vaksin ASF yaitu dimulai dari vaksin konvensional, vaksin DNA, rekombinan protein dan vaksin dari senyawa alami, sintetis dan obat.

Dengan alasan tersebut, maka virus ini sangat berbahaya apabila terjangkit wabah ASF, karena dapat menyebabkan kematian (mortalitas) 100%. Seluruh babi dalam suatu kandang atau wilayah akan mati secara keseluruhan. Selain kematian yang sangat tinggi juga akan kehilangan sumber protein dan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak dan masyarakat.

Berdasarkan kompleksitas susunan DNA dan protein virus ASF, sifat penyakitnya menyebabkan kematian sangat tinggi (mortalitas 100%), belum ditemukannya obat (vaksin) yang efektif dan aman, maka pemerintah harus menjaga secara ketat masuknya penyakit ini ke dalam wilayah Indonesia. Penting untuk diperhatikan bahwa penularan penyakit ini tidak bisa dicegah, karena hal tersebut menyebabkan tidak ada negara yang kebal terhadap penyakit ASF. Negara maju pun seperti Amerika dan negara-negara lain di Eropa dapat tertular penyakit ini walaupun telah melakukan biosekuriti. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia dan Asia pada umumnya, dimana peternaknya belum disiplin dalam menerapkan biosekuriti. Satu-satunya cara untuk mengeliminasi virus ASF melalui depopulasi dengan cara penguburan dan desinfeksi kandang serta peralatannya. ***

Oleh: Dr med vet Drh Abdul Rahman
Medik Veteriner Ahli Madya di P3H Direktorat Kesehatan Hewan

PEMDA BALI DAN KEMENTAN TANGANI KASUS KEMATIAN BABI DI BALI

Penerapan biosekuriti pada kandang ternak babi (Foto: Dok. Kementan)

Kasus kematian babi dalam satu bulan terakhir telah ditemukan pada beberapa lokasi peternakan di wilayah Kabupaten/Kota Denpasar, Badung, Tabanan, dan Gianyar. Sampai saat ini tercatat jumlah kematian babi total sebanyak 888 ekor.

Ida Bagus Wisnuardhana, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, menyebutkan peningkatan kasus kematian ini kemungkinan akibat masuknya agen penyakit baru dan didukung faktor lingkungan kandang yang kurang bersih/sehat.

"Penularan dapat terjadi melalui kontak antara babi sakit dengan babi sehat atau sumber lainnya seperti pakan, peralatan kandang, dan sarana lainnya," jelasnya pada acara Kampanye Daging Babi Aman Dikonsumsi, di Denpasar, Jumat (7/2/2020)

Wisnuardhana menduga kasus kematian babi di beberapa kabupaten/kota ini disebabkan oleh virus, dan hal ini telah menimbulkan kerugian ekonomi akibat bertambahnya kematian dan membuat peternak menjual babi secara tergesa-gesa dengan harga murah.

Berdasarkan hasil penelusuran ke lokasi kasus, babi yang mati menunjukkan tanda klinis seperti demam tinggi, kulit kemerahan terutama pada daun telinga, inkordinasi, dan pneumonia. Menurutnya ini merupakan kasus suspek ASF. Indikasi ini juga didukung hasil pengujian laboratorium BBVet Denpasar, namun untuk konfirmasi masih memerlukan pengujian dan diagnosa di laboratorium rujukan yg saat ini sedang dalam proses.

"Walaupun belum ada diagnosa definitif, namun langkah-langkah penanganan penyakit tetap dilakukan sesuai dengan standar. Semua ini dilakukan dengan dukungan dan koordinasi yang intensif bersama Kementan," tegasnya.

Adapun langkah-langkah strategis Pemda Bali dan Kementan untuk mencegah penyebaran penyakit adalah melalui pembentukan jejaring informasi dan respon cepat penanganan kasus, investigasi terhadap sumber penularan, pengambilan sampel babi untuk pemeriksaan laboratorium.

"Melalui komunikasi, informasi dan edukasi yang melibatkan desa adat, asosiasi peternak babi dan masyarakat peternak, kita ajak mereka untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan penyakit pada babi dengan menerapkan biosekuriti pada kandang," tambah Wisnuardhana. Ia juga menyampaikan bahwa telah dilakukan pengawasan terhadap tempat–tempat pemotongan babi, untuk memastikan kesesuaian tata cara pemotongan ternak dengan standar oprasional prosedur.

Sementara itu, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Fadjar Sumping Tjatur Rasa menyambut gembira bahwa saat ini kasus kematian babi di daerah tertular sudah tidak ada lagi. Penurunan kasus kematian babi tersebut merupakan indikator keberhasilan strategi yang dilakukan. Hal tersebut dapat dicapai dengan dukungan peternak yang memberikan kontribusi besar dalam penerapan biosekuriti pada kandang ternaknya.

"Selain peternak, saya juga harapkan komitmen dan peran serta pedagang dalam menjaga biosekuriti pada saat pengambilan dan pengiriman ternak babi dari satu kandang ke kandang lainnya, sampai ke pasar dan/atau RPH Babi," tambahnya.

Dalam rangka mendukung pengendalian penyakit babi ini, Ditjen PKH telah memberikan bantuan berupa desinfektan sebanyak 20 kg dan 90 liter, alat pelindung diri (APD/PPE) sebanyak 50 unit, dan sprayer sebanyak 15 unit.

Lebih lanjut Fadjar menjelaskan bahwa dalam rangka memulihkan kepercayaan peternak dalam melakukan usahanya, serta memberikan kenyamanan dan ketentraman bathin masyarakat dalam mengkonsumsi daging babi, Pemerintah menjamin keamanan pangan konsumsi daging babi yang sehat, dan mendukung kegiatan kampanye serupa di wilayah lainnya. (Rilis Kementan)


GERAKAN #SAVEBABI MEREBAK DI SUMATERA UTARA

Suasana Aksi #SaveBabi di Medan (Dokumentasi Kompas.com)

Babi bisa dibilang tidak dapat terpisahkan dari adat suku Batak. Berbagai acara adat semisal upacara pernikahan kurang nampol rasanya tanpa kehadiran si ekor melingkar tersebut. Terlebih lagi Sumatera Utara, beberapa waktu yang lalu sempat dihebohkan dengan kematian ribuan ekor babi akibat ASF dan Hog Cholera. Tentunya kekhawatiran akan kekurangan suplai daging babi terus menghantui masyarakat di sana.

Atas dasar kekhawatiran tersebut ratusan warga di Sumatera Utara yang terdiri dari kalangan peternak babi, pengusaha rumah makan, penjual daging, penjual pakan ternak, dan penikmat daging babi melakukan aksi protes. Mereka memulai aksi damai tersebut dengan nama #SaveBabi. Aksi tersebut dilakukan pada Selasa (21/1) di Wisma Mahena, Medan.

Dalam aksi tersebut, ketua gerakan #SaveBabi Boassa Simanjutak mengungkapkan kekecewaan masyarakat terhadap langkah yang akan diambil oleh Pemprov Sumatera Utara terkait pemusnahan babi secara massal setelah merebaknya ASF. Ia juga menilai bahwa pemerintah telah lalai dalam menjalankan tugasnya terkait penetapan status ASF.

"Pemerintah lalai, selalu menganggap sepele tidak melakukan penelitian yang mendalam sehingga masyarakat bingung. Padahal babi itu komoditas penting bagi orang Batak," tutur dia.

Dalam pertemuan tersebut, kalangan peternak babi juga mengeluhkan kerugian ekonomi yang diderita akibat kematian massal ternak babinya. Mereka juga menolak pemusnahan massal yang hendak dilakukan Pemprov, karena hanya akan menambah kerugian.

Sekretaris panitia, Hasudungan Siahaan mengatakan bahwa aksi ini hanya awal. Nantinya ia menyebut bahwa aksi serupa akan digelar pada tanggal 3 Maret mendatang di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara. 

"Selain aksi, kami juga akan membentuk tim pengacara yang akan menjalankan upaya hukum melalui class action. Jalur hukum ditempuh untuk meminta ganti rugi kepada pemerintah terkait babi yang mati," tutur Hasudungan.

Sementara itu Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Sumatera Utara, Azhar Harahap menegaskan bahwa tidak akan ada pemusnahan babi massal terkait penyakit Hog Cholera dan ASF. 

"Ada yang menebar isu bahwasanya Pak Gubernur hendak memusnahkan ternak babi secara massal. Padahal statement itu tidak pernah ada, selama saya dampingi ternak babi di Sumatera Utara tidak akan dimusnahkan," Kata Azhar. (CR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer