Saat tulisan ini disusun, harga daging ayam di pasar tradisional di
wilayah Jakarta sekitar Rp 37 ribu per kg,
harga telur ayam Rp 24 ribu per kg. Berbagai
media memberitakan, memasuki bulan puasa, masyarakat mengeluh harga terus
melonjak. Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementan tampak
sibuk mengupayakan agar harga kebutuhan pokok masyarakat tidak mengalami
kenaikan.
Dalam kasus ini, peternak unggas mendapat bagian yang disalahkan karena
dianggap menjual ayam dan telur dengan harga terlalu tinggi. Padahal fakta di
lapangan tidak demikian. Harga telur di Blitar Rp 17 ribu per kg, di Pakanbaru bahkan hanya Rp 16 ribu per kg. Ini adalah harga yang normal, tidak ada
lonjakan sama sekali, bahkan
pakanbaru harga lebih rendah dari harga normal. Memang, menjelang bulan Puasa,
harga di peternak sempat mengalami kenaikan, namun masuk pekan kedua sudah mulai kembali ke harga normal.
Bahkan, dibanding dengan harga acuan Kementan sebesar Rp 18 ribu per kg untuk telur maupun ayam hidup, harga di
peternak di sebagian daerah masih di bawah harga acuan pemerintah.
Pelaku usaha peternakan sebagai produsen sejatinya wajar jika berharap
adanya kenaikan harga di waktu permintaan naik. Setidaknya bagi mereka, ada saatnya
untuk menikmati untung, karena di bulan-bulan lain meskipun harga jatuh, mereka
tetap berkomitmen tidak melakukan mogok produksi. “Meski rugi, saya tetap
pelihara, untuk menjaga kelangsungan hubungan bisnis,” ujar para peternak.
Ingat kasus 2014 hingga 2016, harga ayam dan telur berada di bawah
harga pokok produksi selama berbulan-bulan. Sebagian peternak yang tidak kuat
untuk menanggung kerugian terpaksa mengistirahatkan kandangnya, bahkan ada yang
berhenti total dan mengupayakan mengais rejeki dengan upaya lainnya.
Publik mungkin kurang paham bahwa menjalankan usaha “barang hidup”
dalam sebuah negara kepulauan yang sangat luas ini sangat berbeda dengan
memproduksi barang manufaktur. Produsen
peralatan rumah tangga dapat melakukan proyeksi bahwa di bulan tertentu
misalkan menjelang lebaran dan saat tahun baru, terjadi lonjakan permintaan
alat rumah tangga. Hal ini dapat diantisipasi dengan jumlah produksi yang
sesuai kebutuhan pasar. Jika di saat tertentu terjadi oversupply juga tidak terlalu menjadi masalah karena barang yang
diproduksi dapat disimpan di gudang dan dapat di jual kembali di saat
permintaan melonjak.
Menjalankan usaha peternakan, tidak bisa dijalankan seperti
memproduksi alat rumah tangga. Prediksi naik turunnya permintaan harus lebih
cermat. Supply demand sepanjang tahun
di sebuah negara harus dianalisa sehingga dapat diprediksi pergerakan naik
turunnya permintaan. Pertumbuhan ekonomi
wilayah, laju inflasi dan tingkat kesadaran masyarakat akan konsumsi protein
hewan ikut mempengaruhi permintaan. Pergerakan permintaan juga harus dilihat
per daerah, karena Indonesia memiliki adat konsumsi protein hewani yang
berbeda-beda waktunya. Musim hajatan di
berbagai daerah yang waktunya tidak seragam biasanya ikut berkontribusi
meningkatkan konsumsi protein hewani.
Sementara itu dari sisi produksi juga ada beberapa aspek yang harus
dikaji agar bisa menyediakan produk peternakan sesuai permintaan. Misalkan saja
wabah penyakit hewan, kelangkaan produksi bibit, musim kemarau panjang, pasokan
bahan baku pakan dan sebagainya, akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas
produksi.
Ini semua tidak bisa bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme
pasar. Jika produksi peternakan diserahkan ke mekanisme pasar, resikonya adalah
produksi tidak bisa terkendali. Ketika diprediksi bahwa saat tertentu akan
terjadi lonjakan permintaan semua pelaku usaha akan berlomba memproduksi,
hingga akibatnya terjadi oversupply
dan harga anjlok.
Tahap berikutnya, karena harga jatuh, pelaku usaha akan mengurangi
produksi. Sebagian di antaranya berhenti total. Selanjutnya karena para pelaku
usaha mengurangi produksinya maka pasokan berkurang hingga di bawah permintaan.
Harga menjadi naik kembali. Demikian seterusnya, setelah harga naik, gairah
usaha peternakan kembali meningkat hingga kembali terjadi oversupply.
Kejadian ini berputar-putar terus dengan skala gejolak yang makin
membesar, akibat konsumsi protein dan jumlah penduduk terus meningkat. Untuk
memudahkan pemahaman terhadap permasalahan unggas, Dr Soehadji (Dirjen Peternakan
1988-1996) menggambarkan masalah ini sebagai lingkaran siput.
Bagaimana mengatasi semua ini? Sebagaimana disebut di muka, manajamen
pengendalian produksi tetap harus dilakukan oleh pemerintah. Adanya tim ahli
Dirjen PKH saat ini sebagai tim untuk menganalisa supply demand unggas, adalah langkah yang baik. Hendaknya kita
tidak apriori dengan upaya ini. Publik
harus mendukung dan mengkritisi jika ada kekurangan.
Langkah ini perlu dilanjutkan dengan langkah lain untuk mengurangi
gejolak, yaitu hilirisasi perunggasan. Gagasan hilirisasi sudah cukup lama
bergaung, namun belum berjalan optimal. Maksud hilirisasi adalah upaya
memperkuat industri hilir perunggasan mulai dari pemotongan, penyimpanan dan
pengolahan. Asumsi bahwa gejolak akan semakin besar adalah
apabila industri hilir tidak digarap. Jika mayoritas masyarakat membeli ayam
harus dalam bentuk ayam hidup, maka gejolak akan terus membesar. Itu sebabnya
masyarakat harus dibiasakan membeli ayam beku, ayam dingin segar dan hasil olahannya.
Dengan indusri hilir yang baik, keuntungannya bukan hanya pada stabilitas harga, tapi juga kesehatan unggas
dan juga kesehatan konsumen. Penyebaran penyakit AI (dan beberapa penyakit
lain) akan lebih terkendali jika peredaran perdagangan ayam bukan lagi ayam
hidup.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana agar konsumen membeli ayam
dengan harga yang wajar dan seirama dengan harga di peternak. Kementerian
Perdagangan perlu mengurai masalah ini dengan secermat-cermatnya. Jangan
seperti sekarang, konsumen membeli produk unggas dengan harga mahal, padahal
peternak tidak menikmati harga yang melonjak tinggi. ***
Editorial Majalah Infovet Edisi 288/Juli 2018