Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Medicated Feed | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PAKAN TERAPI, ALTERNATIF NAIKKAN PERFORMA?

Self-mixing harus senantiasa dibimbing. (Sumber: Istimewa)

Fenomena pakan terapi (medicated feed) muncul setelah larangan penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) diberlakukan setahun lalu. Kendati demikian, apakah penggunaan pakan terapi akan berpengaruh pada peningkatan performa ternak?

Pakan terapi merupakan pakan ternak yang dibuat khusus untuk mengobati ternak ketika terjadi penyakit yang ditemukan di kandang. Kandungan obat yang di masukkan dapat digunakan untuk mengobati penyakit infeksi, baik yang disebabkan bakteri maupun karena Koksidia. Di beberapa negara, aplikasi pakan terapi dalam penanggulangan infeksi utamanya Koksidia pada ayam dara (pullet) telah banyak dilakukan. Di Indonesia sendiri, pakan terapi benar-benar hal baru, karena kebijakan ini beriringan dengan pelarangan AGP pada pakan.

Aspek Teknis
Karena sifatnya yang dikhususkan untuk terapi atau tindakan kuratif, maka dosis antibiotik atau obat-obatan yang diberikan harus sesuai dosis pengobatan. Oleh karenanya, penggunaan dan pembuatan pakan terapi ini harus diawasi oleh dokter hewan.

Namun beberapa kalangan peternakan masih mengkhawatirkan proses pengawasan tersebut, salah satunya peneliti dari Balitnak Ciawi, Prof Budi Tangendjadja. Menurutnya, pengawasan dokter hewan mungkin akan ketat pada perusahaan produsen pakan, namun bagaimana di tingkat peternak mandiri yang meracik pakannya sendiri?

“Kalau menurut saya it’s ok pemerintah juga sudah mengatur, untuk perusahaan besar enggak perlu diragukan lagi aspek teknisnya, selain mesin untuk mixing terjamin, sumber daya manusianya juga ada, di perusahaan besar dokter hewannya pasti ada. Tapi kalau self-mixing gimana? Di Jawa Timur banyak self-mixing, siapa yang mengawasi mereka? Dinas? Technical service? Dari dulu kita lemah dalam fungsi pengawasan ini,” ujar Budi.

Kekhawatiran beliau memang cukup beralasan, karena berdasarkan pengamatan kemampuan peternak dalam memproduksi pakan self-mixing masih minim. Budi menjelaskan, kebanyakan peternak menggunakan mixer vertikal yang dipakai untuk mencampur konsentrat, jagung giling dan dedak padi dengan proporsi 35, 45-50 dan 15-20%. Cara kerja mixer tersebut sangat berbeda dengan mixer horizontal yang dimiliki pabrikan pakan, sehingga kemampuan untuk mencampur bahan dalam jumlah kecil diragukan.

Meskipun beberapa peternak mencoba membuat premix (pre-mixing), yaitu campuran imbuhan pakan dalam jumlah kecil menjadi campuran yang lebih besar (misalnya 50 kg per ton), untuk kemudian dimasukkan dalam mixer utama. Tetapi kemampuan mengaduk secara merata dari mixer vertikal yang berkapasitas 1-2 ton jarang diuji, sehingga tidak diketahui apakah ransum yang dibuat sudah homogen. 

Selain itu, Budi juga menekankan aspek... (CR) Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi November 2019.

Perlunya Evaluasi Setelah Pelarangan AGP di Indonesia

Setahun pasca pelarangan AGP dalam pakan unggas perlu mendapat evaluasi dan pengkajian mendalam guna mencapai tujuan menekan AMR. (Sumber: Google)

Oleh: Budi Tangendjaja

Pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promotor) sudah berjalan selama satu tahun semenjak pelarangannya digaungkan awal 2018 kemarin. Pemerintah masih mengijinkan penggunaan antibiotik dalam pakan melalui Petunjuk Teknis untuk Pakan Terapi (Medicated Feed). Penggunaan antibiotika pada tingkat peternak juga masih berjalan tanpa banyak perubahan.

Tetapi kelihatannya terjadi pergeseran penggunaan antibiotika, baik di peternak maupun di pabrik pakan. Berbagai upaya telah dikerjakan oleh para stakeholder industri peternakan, tetapi alangkah baiknya jika perjalanan satu tahun kebijakan pelarangan penggunaan AGP dalam pakan dievaluasi.

Hal penting yang perlu dipertimbangkan lagi untuk mencapai tujuan akhir menurunkan Antimicrobial Reistence (AMR) atau resistensi antimikroba pada manusia seperti diamanahkan oleh FAO dan WHO, perlu dibuatkan suatu rencana startegi jangka panjang bagi Indonesia. 

Perlunya Evaluasi
Belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu melakukan pelarangan penggunaan AGP, salah satunya yakni Denmark yang sudah melarang AGP selama 20 tahun. Ketika pelarangan dilakukan, ternyata pemakaian antibiotika yang diberikan resep oleh dokter hewan meningkat tajam, tetapi juga pemberian antibiotika pada manusia tetap berjalan dan tidak menurun. Pemakaian antibiotika untuk pengobatan meningkat sampai 2009-2010 setelah pelarangan lebih dari 10 tahun.

Perubahan pemakaian antibiotika di Denmark setelah pelarangan AGP dalam 20 tahun.

Berbeda dengan Denmark, adapun Belanda yang juga telah melakukan pelarangan AGP, penjualan antibiotika untuk hewan secara total...



Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi Januari 2019.

Tantangan Self-mixing Farms Berkaitan dengan Pakan Terapi

Tidak mungkin membuat pakan terapi dengan alat timbangan seperti di dalam gambar di atas. (Sumber: Istimewa)

Oleh: Prof Budi Tangendjaja

Keputusan pemerintah untuk melarang penggunaan Antibiotik Pemacu Pertumbuhan atau AGP (Antibiotic Growth Promoter) pada awal tahun (Permentan No. 14, 2017) dan dilanjutkan dengan pemberian ijin untuk membuat Pakan Terapi (Medicated Feed) (Petunjuk Teknis Ditjen PKH, 10 September 2018) memerlukan perhatian lebih lanjut pada peternak yang mencampur pakan sendiri (self-mixing).

Petunjuk teknis pakan terapi memberi peluang kepada peternak self-mixing untuk menambahkan obat yang diperlukan untuk memperbaiki kesehatan hewan yang dipeliharanya. Sebelum peraturan di keluarkan, peternak self-mixing sudah melakukan pencampuran imbuhan pakan ke dalam ransum yang dibuat.

Sering kali pencampuran imbuhan pakan seperti AGP, obat, enzim, toxin binder dan sebagainya dilakukan sendiri oleh peternak tanpa pengawasan dari ahlinya. Dengan diberlakukan Permentan dan petunjuk teknis Ditjen PKH, maka saatnya peternak self-mixing untuk membenahi sistem dan prosedur dalam menggunakan imbuhan pakan, terutama antibiotik, untuk membuat pakan terapi agar memperoleh hasil yang optimal tanpa menyalahi peraturan yang berlaku.

Pemakaian Obat dalam Pakan
Sudah umum dilakukan baik oleh pabrik pakan maupun peternak self-mixing untuk menambahkan imbuhan pakan dalam rangka meningkatkan daya guna pakan dan memperbaiki kesehatan ternak. Berbagai imbuhan pakan seperti anti jamur, toxin binder, enzim dimasukkan ke dalam pakan dan juga obat-obatan baik untuk mencegah timbulnya penyakit seperti anti-koksi maupun antibiotika yang dipakai untuk mencegah penyakit pencernaan seperti Necrotic Enteritis. Obat-obatan umumnya ditambahkan dalam jumlah kecil (<0,5 kg per ton) sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh pabrik yang menghasilkan obat-obatan tersebut.

Anti-koksi umumnya dimasukkan dalam ransum broiler dan juga ransum ayam dara muda untuk mencegah terjadinya penyakit koksi, tetapi ketika terjadi wabah koksi, dapat juga menambahkan obat koksi ke dalam pakan. Berbagai obat koksi yang dijual di pasaran adalah monensin, salinomisin, maduramisin, lasalosid dan juga bahan kimia seperti diclazuril, zoalene, narasin dan sebagainya. Jumlah yang dipakai umumnya kurang dari 0,5 kg per ton. Untuk antibiotik sebagai bahan pengendali penyakit pencernaan terutama Necrotic Eneritis dan Colibacilosis, maka beberapa antibiotik disarankan untuk digunakan seperti virginiamisin, basitrasin, flavomisin, bambarmisin, avilamisin, enramisin dan sebagainya. Dengan pelarangan penggunaan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, maka antibiotika jenis ini hanya boleh digunakan sebagai terapi. Jumlah pemakaiannya kebanyakan kurang dari 1 kg, kecuali ada penjual yang mengencerkan bahan aktifnya sehingga jumlah yang dimasukkan dalam pakan >1 kg.

Kemampuan Teknis Produksi Pakan
Penambahan obat-obatan dalam jumlah kecil dalam ransum bukan menjadi masalah pada pabrik pakan besar, karena mereka mempunyai mixer yang mampu mengaduk bahan jumlah kecil secara merata. Mereka umumnya menggunakan mixer horizontal dan dibuktikan dengan uji homogenitas bahwa mixer yang digunakan mampu menghasilkan koefisien variasi <10% bahkan sampai <5%. Masalah akan timbul ketika pakan diproduksi oleh self-mixing farm. Kemampuan mixer yang digunakan untuk mengaduk bahan dalam jumlah kecil (<0.5 kg per ton) masih dipertanyakan.

Kebanyakan peternak menggunakan mixer vertical yang dipakai untuk mencampur konsentrat, jagung giling dan dedak padi dengan proporsi 35, 45-50 dan 15-20%. Cara kerja mixer vertical sangat berbeda dengan mixer horizontal, sehingga kemampuan untuk mencampur bahan dalam jumlah kecil diragukan. Meskipun beberapa peternak mencoba membuat premik (pre-mixing), yaitu campuran imbuhan pakan dalam jumlah kecil menjadi campuran yang lebih besar (misalnya 50 kg per ton), untuk kemudian dimasukkan dalam mixer utama. Tetapi kemampuan mengaduk secara merata dari vertical mixer yang berkapasitas 1-2 ton jarang diuji, sehingga tidak diketahui apakah ransum yang dibuat sudah homogen. 

Pengujian Mixer
Setiap mixer harus diuji kemampuannya untuk mengaduk ransum secara homogen. Pengujian mixer umumnya dilakukan dengan menggunakan indikator dari bahan yang ada dalam pakan seperti kadar garam. Sebanyak 10 contoh ransum yang diambil secara acak dalam satu kali pengadukan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis kadar garamnya. Rataan kandungan garam dalam 10 contoh dan standar deviasinya digunakan untuk menghitung koefisen variasi yang dinyatakan dalam persen. Sebagai contoh, jika rataan kandungan garam dalam ransum sebesar 0.300% dengan standar deviasi 0.027%, maka koefisien variasi atau juga diistilahkan dengan homogenitas adalah 0.027/0.300 dikalikan 100%, sehingga nilainya adalah 9%. Sudah banyak dilaporkan bahwa mixer yang baik harus mempunyai nilai homogenitas <10%, bahkan mixer modern saat ini mempunyai kemampuan untuk mencapai nilai homogenitas sebesar <5%. Memang kadar garam yang umum digunakan sebagai indikator karena kandungan garam (penambahan garam) dalam ransum relatif kecil dan analisis kandungan garam mudah dilakukan.

Di samping garam, beberapa indikator juga digunakan seperti “micro tracers” yang partikel besinya berwarna, yang sengaja dimasukkan ke dalam pakan dan dihitung jumlah warnanya. Bagi peternak yang mencampur pakan sendiri dan juga bagi pabrik pakan, analisis kandungan obat yang dimasukkan dapat dipakai sebagai indikator apakah mixer yang digunakan mampu mengaduk secara merata (homogen). Analisis dapat dilakukan oleh produsen obat tersebut sebagai suatu servis bagi pelanggan.

Apabila setelah diuji, mixer tidak memenuhi persyaratan atau kemampuan untuk mengaduk belum secara merata, maka mixer harus diperbaiki sedemikian rupa sampai akhirnya mampu mengaduk secara homogen. Perbaikan mixer dapat dilakukan dengan mengatur jumlah putaran per menit (rpm) atau memeriksa apakah ribbon atau uliran dalam mixer berjalan sebagaimana mestinya. Atau mixer tidak dapat mengaduk secara homogen akibat kelebihan bahan yang akan diaduk atau melebihi kapasitasnya.

Apabila setelah dilakukan perbaikan ternyata mixer masih belum mampu mengaduk secara homogen, maka sebaiknya mixer tersebut tidak digunakan atau sebagai mixer cacat produksi ketika dibuat. Kemampuan dari mixer untuk mengaduk ransum juga dapat dilihat dari penampakan bagaimana ransum bergerak dalam mixer.

Sudah barang tentu, mixer harus mempunyai pintu atau tutup yang dapat dibuka untuk pemeriksaan. Banyak sekali peternak self-mixing yang tidak pernah mengecek mixer-nya dengan membuka tutupnya. Ketika dibuka, sering ditemukan gulungan tali plastik atau karung dalam as mixer atau screw atau penuh kotoran yang menempel pada ribbon atau screw. Sudah dibuktikan dalam penelitian bahwa mixer yang kotor, tidak mampu mengaduk pakan secara homogen.

Prof Budi Tangendjaja
Terbitnya peraturan pakan terapi (Medicated Feed), maka peternak self-mixing harus mulai memperhatikan mixer-nya dan mengujinya.

Resiko Kesalahan Membuat Pakan Terapi
Pemasukan obat-obatan termasuk antibiotika dan/atau anti-koksi ke dalam ransum dapat memberikan pengaruh negatif jika mixer yang digunakan tidak baik. Apabila obat yang dimasukkan tidak merata maka ransum yang mengandung obat dalam jumlah yang tidak cukup akan kurang atau tidak bermanfaat bagi ternaknya. Sebaliknya, jika ada bagian ransum yang kelebihan obat, maka ternak dapat keracunan atau memberikan efek negatif.

Dalam membuat ransum terapi, perlu juga diperhatikan akan terjadinya “carry over”, artinya adanya residu obat pada pakan berikutnya yang dibuat. Kontaminasi obat dapat memberikan implikasi negatif, tidak hanya terhadap kesehatan ternak tetapi juga terjadinya residu pada hasil ternak yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap konsumen yang mengonsumsinya.

Perlunya GMP (Good Manufacturing Practice) atau CPPB
Permasalahan dalam membuat pakan sendiri oleh peternak self-mixing tidak hanya dalam kemampuan untuk mengaduk obat dengan baik dan benar, tetapi juga harus memperhatikan kondisi pabrik dan pekerjanya. Peternak harus memperhatikan obat-obatan yang digunakan, bagaimana menyimpannya, bagaimana pencatatan dalam pemakaian, bagaimana dengan pengetahuan pegawai yang menangani obat-obatan tersebut, bagaimana dengan kebersihan pabrik pakan, bagaimana dengan pencegahan masuknya pest, seperti tikus, serangga dan sebagainya. Semuanya ini merupakan hal penting untuk diperhatikan dan ini tercakup dalam patokan GMP. Kelihatannya peternak self-mixing perlu dibina agar dapat menerapkan prinsip-prinsip Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB), bahkan jika memungkinkan semua fasilitas pembuatan pakan harus tersertifikasi GMP.

Hal penting (focal point) dalam GMP adalah untuk keamanan pemakaian obat-obatan dan imbuhan pakan, pencemaran bahan yang tidak dikehendaki (misalnya pestisida) dan kebersihan (hygiene) dan keamaman. Prinsip dalam GMP mencakup bangunan/lokasi, bahan pakan, proses produksi, pengirimam, quality control, dokumentasi dan pembinaan manusianya. Hal ini tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

Saran Kebijakan
• Pemerintah
Sebagai kelanjutan dari peraturan dan petunjuk pelaksanaan mengenai pakan terapi, pemerintah sebaiknya melakukan pembinaan terhadap peternak self-mixing agar mereka mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam membuat pakan terapi. Apabila pembinaan telah dilakukan ke seluruh peternak self-mixing, maka pemerintah dapat mulai melakukan pengawasan dengan melakukan audit mengenai pembuatan pakan yang baik. Hal ini dapat dilakukan setahun sekali. Akan tetapi untuk pengawasan pakan terapi, pemerintah dapat secara berkala mengambil contoh pakan terapi dan menganalisis kandungan obat-obatan yang digunakan. Apabila ditemukan hasil analisis yang tidak sesuai, pemerintah dapat membantu peternak tersebut untuk memperbaikinya sebelum memberikan hukuman.

Sudah barang tentu untuk menganalisis kandungan obat pakan terapi, pemerintah harus menyediakan laboratorium yang mampu menganalisisnya. Kerjasama dengan perusahaan yang memproduksi obat hewan dapat dilakukan, sehingga hasil analisis dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi ketepatan dan ketelitian.

• Peternak
Peternak yang membuat pakan terapi (juga pabrik pakan) harus terus-menerus mengikuti pelatihan atau seminar yang dapat meningkatkan pengetahuan mereka, sehingga mereka dapat melakukan pembuatan pakan terapi secara baik dan benar. Peternak juga harus memperhatikan kemungkinan terjadinya residu dalam telur atau daging yang mereka hasilkan. Perlu diingat bahwa Indonesia tidak menghendaki anak-anak mengonsumsi produk ternak yang tercemar dengan obat-obatan.

Peternak harus mampu menerapkan prinsip-prinsip cara pembuatan pakan yang baik. Jikalau perlu, mereka semua harus mendapatkan sertifikat GMP atau bisa berkembang menjadi HACCP.

• Perusahaan Obat
Perusahaan obat dan juga distributornya harus ikut serta membantu peternak self-mixing agar mampu membuat pakan terapi dengan benar. Distributor obat tidak cukup hanya menjual barang kepada peternak, tetapi juga membantu bagaimana menggunakan obat secara tepat dan benar. Perusahaan obat memberikan servis untuk menganalisis apakah obat yang dimasukkan dalam ransum telah dikerjakan dengan benar.

Ketiganya, baik pemerintah, peternak dan perusahaan obat harus bekerjasama dalam menghasilkan produk unggas yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal) dan mampu menyediakan protein hewani yang mampu dijangkau oleh masyarakat. ***

Kabar Baik tentang Medicated Feed



Tanggal 6 Juli 2018, Kasubdit POH Drh Ni Made Isriyanthi, menyampaikan kabar gembira dalam acara Halal Bihalal dan Program Temu Anggota ASOHI (PROTAS) yang berlangsung di arena Indo Livestock Expo 2018, Jakarta Convention Center (JCC).

Kabar gembira ini menyangkut nasib mekanisme produk “medicated Feed‘ atau pakan terapi. Dalam kesempatan itu, Ria-sapaannya, menyatakan bahwa dalam draft Juklak Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 14/2017 yang akan segera terbit, diatur antara lain mengenai medicated feed.

Sebagaimana ditulis di rubrik Editorial Infovet edisi April 2018, ada dua Permentan yang menjadi pembicaraan hangat dikalangan pelaku usaha peternakan belakangan ini. Yaitu Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang di dalamnya ada aturan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter) dan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan. Dua peraturan ini saling berkaitan.

Permentan No. 14/2017 antara lain mengatur pelarangan penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan atau lebih popular dengan istilah AGP yang efektif berlaku sejak 1 Januari 2018. Sedangkan Permentan No. 22/2017 mengatur pendaftaran dan peredaraan pakan yang diantaranya menegaskan bahwa pabrik pakan harus membuat pernyataan “pakan tidak mengandung AGP”.

Pasal 2 ayat 1 Permentan No. 22/2017 menyebutkan, pakan yang dibuat untuk diedarkan (untuk diperdagangkan maupun tidak diperdagangkan) wajib memiliki Nomor Pendaftaran Pakan (NPP). Selanjutnya pada Pasal 25  huruf a disebutkan, pakan yang diedarkan harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB). Kemudian pada syarat-syarat teknis untuk mendapatkan NPP salah satunya adalah produsen pakan harus membuat pernyataan Tidak Menggunakan Hormon Sintetik dan pernyataan Tidak Menggunakan AGP”.

Sementara itu, dalam Permentan No. 14/2017 ditegaskan bahwa antibiotika sebagai imbuhan pakan (AGP) dilarang untuk digunakan, namun antibiotika untuk pengobatan (terapi) masih diperbolehkan. Beberapa jenis antibiotik yang semula didaftarkan sebagai feed additive (berfungsi sebagai AGP), boleh didaftarkan ulang menjadi antibiotika yang berfungsi sebagai terapi (pharmaceutic) jika dapat memenuhi persyaratan teknis untuk terapi.

Karena antibiotika yang berfungsi sebagai terapi ini boleh dicampur di dalam pakan, maka kemudian muncul dua istilah jenis pakan, yakni pakan biasa (reguler) yang digunakan sehari-hari dan sudah dijamin tanpa AGP dan pakan yang diproduksi pabrik pakan yang pemakaiannya sekaligus untuk mengobati penyakit (mengandung obat hewan). Pakan jenis ini digolongkan sebagai medicated feed alias pakan terapi.

Karena medicated feed dipakai untuk terapi, maka penggunaanya harus melalui resep dokter hewan. Karena ini adalah jenis pakan baru, maka masyarakat membutuhkan kejelasan pengaturannya agar tidak menimbulkan perbedaan persepsi di lapangan. Itu sebabnya pemerintah menjanjikan akan menerbitkan petunjuk teknis tentang Permentan No. 14/2017 khususnya mengenai bagaimana implementasi tentang pakan terapi.

Pada tataran ini muncul ide tentang pendaftaran pakan terapi yang terpisah dengan pakan biasa. Jika benar demikian, jelas akan timbul keberatan dari industri pakan, usaha obat hewan maupun peternak. Hal ini karena proses registrasi pakan terapi akan membutuhkan waktu, sehingga merepotkan industri pakan dan menimbulkan ketidakpastian ketersediaan pakan terapi.

Namanya pakan terapi dengan resep dokter hewan tentunya disiapkan sesuai kebutuhan. Jika setiap memproduksi harus didaftarkan, berpotensi membuat proses penyediaan pakan terapi tidak bisa cepat, sedangkan kebutuhan peternak sangat tergantung kasus di lapangan.

Untunglah hal ini dipahami oleh pemerintah. Pada acara temu anggota ASOHI, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan menyatakan, bahwa kekhawatiran tentang pakan terapi harus diregistrasi tersendiri tidak perlu lagi. Pada Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) Permentan yang akan terbit nanti, pakan terapi tidak perlu diregistrasi. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah obat hewan yang akan dicampur dalam pakan harus sudah memiliki nomor registrasi. Demikian juga pakan yang akan dijadikan pakan terapi, harus memiliki nomor registrasi (NPP).

Kasubdit POH menyatakan, pakan terapi/medicated feed dalam Juklak nanti didefisikan adalah pakan yang telah mempunyai nomor pendaftaran yang mengandung obat hewan terdaftar untuk tujuan terapi dalam jangka waktu tertentu berdasarkan resep dokter hewan. Kata kuncinya adalah nomor pendaftaran dan resep dokter hewan.

Selanjutnya disebutkan, pakan terapi yang mengandung antibiotik adalah pakan yang telah mempunyai nomor pendaftaran yang mengandung antibiotik terdaftar untuk tujuan terapi dalam jangka waktu tertentu berdasarkan resep dokter hewan.
Dengan demikian harapan publik yang termuat di Editorial Infovet edisi April lalu, kini menjadi kenyataan, ini layak disyukuri. Kita percaya, pihak perusahaan pakan, obat hewan maupun peternak menyambut baik keputusan ini.

Dengan adanya dokter hewan penanggung jawab teknis di perusahaan pakan maupun perusahaan obat hewan, serta adanya pengawas mutu pakan dan pengawas obat hewan, tentunya system pengawasan pakan terapi akan berjalan dengan baik.

Langkah selanjutnya adalah sosialisasi perihal petunjuk teknis yang di dalamnya ada aturan pakan terapi hendaknya dapat dijalankan secepat dan seluas mungkin melalui seminar, penyuluhan, publikasi dan media lainnya, agar masyarakat dapat memahami dengan sebaik-baiknya. Hal ini penting, agar tidak terjadi simpang-siur informasi di masyarakat.***

Editorial Majalah Infovet Edisi Agustus 2018

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer