 |
Haemonchus contortus, salah satu nematoda yang sering ditemukan pada ternak kambing, domba dan sapi. |
((Kearifan lokal peternak
memanfaatkan pakan dedaunan (Jawa: ramban), secara tidak langsung melindungi
ternak mereka dari serangan parasit dan resiko resistensi obat cacing
komersial.))
Cacing
merupakan salah satu parasit yang ditemukan di tubuh ternak ruminansia, dengan
menyerang berbagai organ tubuh ternak yang sebagian besar menyerap darah ternak
inangnya melalui permukaan organ tubuh. Sebut saja Haemonchus contortus, salah
satu nematoda yang sering ditemukan pada ternak kambing, domba dan sapi.
Habitat cacing ini berada di abomasum, salah satu kompartemen lambung
ruminansia, sehingga sering disebut juga cacing lambung.
Tanda-tanda
klinis yang digunakan untuk memprediksi infestasi cacing ini adalah anemia
(Eguale et al., 2007). Anemia dapat menyerang dengan cepat pada ruminansia dan
beresiko kematian. Hal ini menimbulkan gangguan produksi dan beresiko
meningkatkan kerugian peternak. Salah satu cara paling efektif adalah dengan
pemberian obat cacing (anthelmentika) secara rutin di kandang, yang tentunya
merupakan bagian dari biaya produksi tersendiri, serta dilakukannya rotasi
padang gembalaan untuk memutus siklus hidup cacing di permukaan tanah (Coles et
al., 2006).
Resistensi Cacing Terhadap Anthelmentika Telah Ditemukan di Seluruh
Penjuru Dunia
Dilaporkan
telah terjadi resistensi cacing H. contortus terhadap anthelmentika sintetis
komersial hampir di seluruh negara di dunia (Odhong et al., 2014; Hoste et al.,
2015), yang menyerang sistem pencernaan ternak ruminansia dan meningkat dari
tahun ke tahun, seiring tuntutan penggunaan obat cacing yang merupakan bagian
penting dari penanggulangan penyakit cacingan pada ternak ruminansia (Haryuningtyas,
2008). Adanya resistensi ini menyebabkan peningkatan dosis penggunaan
anthelmentika komersial seperti albendazole, benzimidazole,
tetrahydropyrimidines dan obat cacing lainnya, sehingga menyebabkan biaya
produksi ikut naik, mirip dengan konsekuensi penggunaan antibiotik sintetis
pada pakan unggas dan ikan. Tentu saja ini tidak dapat dibiarkan, demi
terjaganya efisiensi usaha peternakan. Hal ini membuat industri peternakan
ruminansia mulai beralih mengurangi penggunaan anthelmentika kimia dan
menggantinya dengan tanaman yang berpotensi sebagai antiparasit, di luar
fungsinya sebagai pakan hijauan ruminansia.
Kerugian
lebih besar dirasakan bagi peternak dengan pola pemeliharaan padang gembala, di
mana ternak dapat mengakses langsung rerumputan dan tanaman di lahan terbuka.
Larva cacing dapat berpotensi ikut terkonsumsi dan hidup di abomasum, tumbuh
menjadi cacing dewasa dan menghisap darah ternak inangnya. Telur cacing yang
dikeluarkan melalui feses dapat dijadikan parameter seberapa besar ternak
terinfeksi. Kejadian nematodiasis untuk ternak di padang gembala dapat ditekan
dengan introduksi tanaman mengandung senyawa metabolit sekunder. Selain
berfungsi sebagai antiparasit, tanaman ini dapat pula sebagai suplementasi
protein pakan ruminansia. Kendala serangan cacing jarang ditemukan pada sistem
pemeliharaan semi intensif di kandang, dengan pola pemberian pakan cut and carry serta pemberian pakan
tinggi protein dikombinasikan dengan tanaman kaya tanin (Athanasiadou et al.,
2001), karena akses ternak terhadap habitat larva cacing ketika menyenggut
rumput dapat dihindari.
Local Wisdom Sebagai Solusi
Beberapa
peneliti telah melakukan kajian sifat antiparasit terhadap berbagai tanaman
lokal di Indonesia. Suplementasi rumput dengan daun singkong dan daun serta
biji buah pepaya, dapat meningkatkan asupan nutrien dan mampu menekan parasit
saluran cerna (Adiwimarta et al., 2010; Odhong et al., 2014). Hal ini
ditunjukkan juga pada daun mimba, kersen, mengkudu, tembakau, nangka, waru dan
gamal. Limbah pertanian juga turut menyumbang peran sebagai anthelmentika alami
untuk ternak domba, seperti cairan serbuk kulit nanas 250mg/kg berat badan
domba (Beriajaya et al., 2005).
Tiga tahapan kunci dari siklus hidup cacing sebagai target
utama anthelmentika alami dari berbagai hijauan pakan. Sumber gambar: Hoste et
al. (2015).
Peran
tanaman mengandung senyawa metabolit sekunder yang bersifat antiparasit
terhadap nematoda, dapat dilihat terhadap tiga tahap siklus hidup cacing (lihat gambar). Pertama, menurunkan
jumlah telur cacing yang di keluarkan ternak bersama feses. Kedua, menurunkan
jumlah larva stadium tiga (L3) yang dimungkinkan terkonsumsi ternak dan yang
ketiga adalah menekan perkembangan telur cacing menjadi larva stadium tiga
(Hoste et al., 2015).
Jika diperhatikan,
peternak rata-rata secara naluriah berdasarkan pengalaman dari generasi ke
generasi, telah mempunyai acuan dalam pola pemberian pakan. Meskipun domba
dipelihara dengan digembalakan, sesekali mereka memberikan dedaunan (Jawa:
ramban) sebagai pakan tambahan. Peternak di dataran tinggi, dengan ketersediaan
pakan ramban melimpah dibanding rumput, sering menggunakan tanaman legume kaya
protein dan senyawa metabolit sekunder
antiparasit seperti gamal (Gliricidea
maculate), lamtoro (Leucaena leucocepala),
limbah tanaman kacang tanah dan kedelai, serta daun singkong sebagai pakan
basal pendamping rumput, ataupun daun nangka, beringin, waru, jambu dan kersen
(Muntingia calabura) sebagai pakan
tambahan. Ketika ditemukan ternak yang cacingan dan diare, solusi yang mereka lakukan
adalah memberikan dedauan tersebut sebagai pakan hijauan tambahan. Tampaknya
solusi obat cacing jarang ditempuh peternak dengan skala kepemilikan di bawah lima
ekor. Bagi peternak yang mengandalkan ternak mereka sebagai sumber pendapatan
utama, pemberian obat cacing diimbangi dengan sistem pemeliharaan semi intensif
(dikandangkan), sehingga menekan akses ternak terhadap habitat larva cacing di
rerumputan. Jarang ditemukan di Indonesia, peternak domba skala besar dengan
pola padang gembala seperti di New Zealand dan Eropa yang membutuhkan rutinitas
pemberian obat cacing sebagai langkah preventif dan pengobatan, selain
introduksi legume yang berpotensi sebagai antiparasit. Oleh karena itu, bagi
peternak kecil di Indonesia, mempopulerkan kearifan lokal (local wisdom) masyarakat dalam memanfaatkan tanaman lokal Indonesia
sebagai antiparasit, dianggap sebagai langkah tepat dan efisien untuk menekan
kejadian nematodiasis.
Kembali ke Alam, Kembali ke Peternak
Resiko
resistensi cacing terhadap obat cacing komersial yang terjadi di segala penjuru
dunia patut diwaspadai dan diantisipasi. Jangan sampai peternak tidak efisien
dalam memelihara ternaknya, juga karena rendahnya produktivitas ternak karena
kasus nematodiasis. Masuknya teknologi pengobatan dengan obat cacing sintetis
komersial tidak serta merta memberikan dampak perbaikan. Dimungkinkan peternak
abai dan melupakan, bahwa potensi hijauan alam Indonesia sangat luar biasa.
Kebiasaan mereka memberikan aneka hijauan pakan untuk ternak domba dan kambing,
menyiratkan nilai ilmiah dari solusi permasalahan yang dihadapi. Tinggal
bagaimana para akademisi dan peneliti mentransfer kearifan lokal tersebut ke
dalam numerik ilmiah, sehingga apa yang diterapkan peternak dari kebiasaan
mereka selama ini, dapat mempresentasikan nilai-nilai ilmiah yang mendukung
kesinambungan usaha peternakan mereka, juga secara tidak langsung menjaga asa
para peternak untuk semakin sejahtera.
Awistaros A. Sakti, S.Pt
Peneliti Bidang Pakan dan Nutrisi
Ternak,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
dan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu
Peternakan,
Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada.