Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini FLPI | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PENERAPAN SISTEM PELACAKAN PADA INDUSTRI SAPI PEDAGING

Tri Nugrahwanto dalam Training Online bertajuk “Ketertelusuran (Traceability) pada Rantai Pasok Sapi Potong Berbasis Teknologi Informasi”. (Foto: Istimewa)

Di Indonesia, rantai pasok dan teknologi untuk melacak sapi pedaging impor Australia mengalami perkembangan, terutama di sektor usaha penggemukan (feedlot), pasca terjadinya penghentian ekspor sapi hidup Australia ke Indonesia pada 2011 silam.

Rantai pasok (supply chain) dibentuk sebagai suatu jaringan untuk mempermudah melakukan sistem pelacakan sapi-sapi yang diimpor dari Australia. Pelacakan tersebut dilakukan oleh feedlot dengan penerapan standar kesejahteraan hewan (animal welfare) sejak un-loading sapi di pelabuhan sampai sapi dipotong di rumah pemotongan hewan ruminansia (RPH-R).

Hal itu seperti disampaikan Supply Chain Manager PT Tanjung Unggul Mandiri, Tri Nugrahwanto, dalam Training Online bertajuk “Ketertelusuran (Traceability) pada Rantai Pasok Sapi Potong Berbasis Teknologi Informasi” yang dilaksanakan pada Sabtu (19/9/2020).

Acara yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut menghadirkan pula narasumber penting lain yakni Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Prof Dr Kudang Boro Seminar.

Dalam paparannya, Tri mengatakan keterlacakan sapi pedaging akan mudah dilakukan melalui sistem pencatatan (recording) ternak digital. Jika melihat bagaimana Australia mengelola sapi-sapinya, sistem pelacakan ternak di Australia sudah terstandarisasi secara baku dan wajib dilaksanakan oleh semua peternak. Sedangkan di Indonesia masih ala kadarnya karena tidak ada sistem pencatatan (recording) digital ternak yang baku dan valid. 

“Sistem recording ternak sapi digital secara nasional dapat untuk mengetahui tingkat ketersediaan dan ketahananan pangan, serta mengangkat potensi ekonomi peternak,” kata Tri.

Ia menambahkan, salah satu unsur recording sapi pada perusahaan feedlot adalah identifikasi individual sapi yang digunakan dalam bentuk ear tags (tag manual) dan RFID (elektronik tag). (IN)

PENTINGNYA SISTEM LOGISTIK HALAL PRODUK HASIL TERNAK

Training online mengenai logistik halal pada produk hasil ternak yang dilaksanakan FLPI dan Fapet IPB. (Foto: Istimewa)

Sistem logistik produk hasil ternak merupakan jasa atau layanan usaha yang terkait dengan penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian. Jasa logistik seperti itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2019 yang merupakan turunan dari UU No. 33/2014 tentang jaminan produk halal (JPH), harus memiliki sertifikat halal. 

Sertifikasi jasa Logistik halal dimaksudkan untuk menjaga status kehalalan produk dalam ruang lingkup aktivitas logistik, yakni logistics cycle seperti serving customers, product selection and procurement, inventory management, storage and distribution, serving customers. Adapun fasilitas yang kontak langsung dengan produk harus bersifat bebas babi dan bebas produk non-halal.

Hal itu disampaikan Senior Advisor LPPOM MUI sekaligus Dosen Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Dr Ir Muslich MSi dalam Training Online tentang logistik halal pada produk hasil ternak. Acara berlangsung pada Rabu (19/8/2020), diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB.

Lebih lanjut Muslich menjelaskan, dalam melakukan aktivitas logistik harus bebas babi, maksudnya adalah fasilitas tidak pernah kontak dengan bahan turunan babi (Porcine-Derived Material/PDM).

“Jika pernah kontak dengan PDM, maka harus dicuci tujuh kali dengan air dan salah satunya menggunakan tanah, debu atau cleaning agent hingga warna, bau dan rasanya. Setelah pencucian ini fasilitas tidak boleh lagi kontak dengan PDM,” kata Muslich.

Dalam hal fasilitas penyimpanan dingin untuk daging dan produk olahannya, hal itu harus bersifat khusus (dedicated). Fasilitas penyimpanan dingin dan suhu biasa untuk produk selain daging dan produk olahannya boleh digunakan untuk menyimpan bahan atau produk halal dan produk yang tidak disertifikasi selama dapat menjamin bahwa tidak ada kontaminasi produk non-halal. 

“Produk yang ditangani juga harus diidentifikasi dengan jelas agar dapat ditangani sesuai standar, seperti identifikasi produk yang jelas halal seperti aneka produk buah dan sayur, serta produk yang telah bersertifikat halal,” jelasnya. 

Ia menandaskan, untuk menjaga logistik halal, perusahaan harus pula mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin terjaganya status halal produk di setiap tahapan proses bisnis, sejak dari transportasi dan penerimaan, penanganan (handling), penyimpanan, saat proses berjalan, hingga transportasi produk.

“Prosedur tertulis juga harus dimiliki dalam hal ketertelusuran produk, penanganan produk yang tidak sesuai kriteria, training dan audit internal, serta kaji ulang manajemen,” pungkasnya. (IN)

TRAINING ONLINE SOAL MENGOLAH LIMBAH PETERNAKAN

Memanfaatkan limbah kotoran ternak dengan tepat bisa menguntungkan. (Foto: Istimewa)

Meningkatnya permintaan pangan asal ternak seperti daging, susu dan telur telah mengakibatkan adanya perbesaran skala usaha, perubahan dari sistem ekstensif ke sistem intensif, serta adanya akumulasi jumlah kotoran. Hal tersebut mengakibatkan masalah lingkungan, jika limbah ternak tersebut tidak dikelola dengan baik.

“Limbah peternakan merupakan semua buangan dari usaha peternakan berupa limbah padat (solid), cair (liquid) dan gas (gaseous),” kata Dosen Fakultas Peternakan IPB, Dr Ir Salundik, dalam Training Online yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB dengan tema “Satwa Harapan, Harapan Satwa#3: Teknologi Limbah Peternakan, Efisiensi Produksi Maggot dan Cacing Tanah” Sabtu (15/8/2020).

Lebih lanjut Salundik memaparkan, limbah ternak dapat dikategorikan dalam bentuk cair (hingga 5% padatan), lumpur/semi padat (5-25% padatan), padat (lebih dari 25% padatan) dan gas.

“Menghadapi banyaknya limbah maka harus dilakukan perencanaan pengelolaan dan pengolahan limbah, yang meliputi penentuan sistem dan tipe pengolahan limbah, penentuan ukuran (skala), lokasi pengolahan, fasilitas pengolahan, biaya instalasi dan manajemen proses pengolahan,” jelasnya.

Manfaat dari adanya pengelolaan dan pengolahan, lanjut dia, adalah untuk mengurangi potensi pencemaran yang meliputi fisik, biologi dan kimia, serta untuk meningkatkan atau menambah nilai guna limbah, sehingga memiliki nilai ekonomi.

“Dengan demikian bagi yang telah mendapatkan manfaat positif limbah peternakan, maka kotoran ternak yang menjijikkan dan bau, bagi mereka baunya seperti bau uang,” tukasnya. (IN)

TEPUNG JANGKRIK ALTERNATIF BAHAN BAKU PAKAN TERNAK

Online training satwa harapan, harapan satwa jangkrik oleh FLPI dan Fapet IPB. (Foto: Istimewa)

Ketergantungan bahan baku pakan impor di Indonesia menjadi tantangan tersendiri. Bahan baku pakan sumber protein seperti tepung ikan dan bungkil kedelai misalnya tercatat impornya berturut-turut mencapai 4,1 ton dan 4.450.000 ton.

Oleh karenanya diperlukan alternatif bahan baku lokal sebagai sumber protein, salah satunya yang berpotensi adalah jangkrik yang dapat dibuat tepung dan memiliki kelebihan berprotein tinggi, mudah dipelihara, murah dan bisa dilakukan pada lahan sempit.

Hal itu diuraikan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Dewi Apri Astuti dalam Online Training Satwa Harapan, Harapan Satwa Jangkrik, yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB melalui aplikasi daring, Sabtu (8/8/2020).

Dipaparkan Dewi bahwa protein kasar jangkrik adalah sebesar 58.3%, lemak 10.3%, dengan asam lemak palmitat (16:0) 50.32%, stearate (18:0) 32.06%, oleat 9.77% linoleat 2.34%.

“Adapun asam amino yang terkandung yakni arginin 3.68%, histidin 1.94%, isoleusin 3.09%, leusin 5.52%, lisin 4.79%, methionine 1.93%, sistin 1.01%, phenilalanin 2.86%, valin 4.42%, alanine 5.55%, glisin 3.62% dan hitin 8%,” jelas Dewi.

Oleh karena itu ia menyebut bahwa tepung jangkrik berpotensi menjadi sumber bahan baku pakan untuk ayam broiler dan layer, puyuh petelur, burung kicau, maupun ikan hias.

“Dapat juga dimanfaatkan untuk ternak ruminansia, yakni pada domba sebagai susu pengganti dan pada masa pertumbuhan dan pada kambing bisa diberikan pada masa pertumbuhan, bunting dan laktasi,” katanya.

Dari serangkain penelitian yang dilakukannya, ia menyimpulkan bahwa tepung jangkrik ternyata juga mengandung nutrien berkualitas tinggi. Selain untuk unggas kicau, tepung jangkrik dapat juga diberikan pada hewan model tikus untuk meningkatkan imunitasnya, anak kambing atau domba sebagai susu pengganti, anak kambing atau domba sebagai pakan pertumbuhan, induk kambing pada saat menjelang bunting (flushing diet), serta pada kambing pejantan untuk memperbaiki kualitas spermanya. (IN)

GURU BESAR FAPET IPB: PERAN RPHU PENTING HASILKAN DAGING ASUH

Rumah pemotongan hewan unggas. (Foto: Ist)

Rumah pemotongan hewan unggas (RPHU) merupakan suatu bangunan yang desain dengan syarat tertentu dan digunakan sebagai tempat pemotongan unggas bagi konsumsi masyarakat.

“Peran RPHU sangat penting, yakni penyedia daging unggas berkualitas, aman, sehat utuh dan halal (ASUH), berdaya saing dan kompetitif,” kata Guru Besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Fapet IPB), Prof Dr Ir Niken Ulupi MS, dalam Online Training bertajuk “Manajemen dan Sistem Manajemen Mutu RPHU” pada 22-23 Juli 2020. 

Kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB selama dua hari dengan menghadirkan narasumber penting lain yakni Deputy General Manager Production PT Charoen Pokphand Indonesia-Food Division, Alamsyah.

Niken menyebutkan, peran RPHU makin nyata terlebih jika melihat fakta produksi ayam broiler (2019) sebesar 3.829.633 ton atau 319.139 ton/bulan, sementara kebutuhan konsumsi daging ayam sebanyak 3.251.750 ton atau 270.979 ton/bulan. Terdapat surplus produksi 17.77%  atau 48.157 ton/bulan.

“Dampak surplus produksi dan kebijakan pemerintah yakni harga ayam turun dan tidak stabil, penurunan kualitas di pasar tradisional dan bermunculan usaha RPHU,” ucapnya.

Tidak hanya sebagai tempat pemotongan unggas, Niken menjelaskan fungsi RPHU juga sebagai tempat untuk mendeteksi dan memonitor penyakit, tempat pemeriksaan ante dan post mortem, serta tempat mencegah dan pemberantasan penyakit zoonosis atau penyakit ternak yang bisa menular ke manusia.

RPHU yang berdaya saing dapat diartikan sebagai suatu usaha pemotongan unggas yang mempunyai kesanggupan, kemampuan dan kekuatan untuk bersaing dengan usaha sejenis yang lain. Untuk mencapai hal itu, sangat diperlukan langkah memaksimalkan peranan RPHU sebagai penyedia daging unggas yang asuh, mengontrol dan meningkatkan pelaksanaan manajemen RPHU, peningkatan sarana dan prasarana proses produksi dan kualitas produk, serta pengembangan inovasi produk, serta peningkatan kemampuan sumber daya manusianya. (IN)

SATWA HARAPAN, BISNIS EFISIEN YANG MENJANJIKAN

Ulat hongkong, satwa harapan yang berpotensi tinggi untuk dikembangkan. (Foto: Ist)

Ternak konvensional yang ada saat ini seperti sapi, kerbau, kambing, ayam, babi, hanya sebagian kecil dari sumber daya hayati fauna yang ada. Masih ada banyak satwa lain yang memiliki potensi tinggi sebagai sumber protein bagi manusia, baik dari mamalia, burung, reptilia, avertebrata maupun serangga.

Hal itu dikatakan Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, Prof Dr Asnasth M. Fuah dalam presentasinya bertajuk “Satwa Harapan Pilihan Usaha Menjanjikan yang Efisien” dalam sebuah  pelatihan melalui online yang diselenggarakan oleh Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB pada Sabtu (27/6/2020). Hadir pula narasumber lain yakni Dr Yuni Cahya Endrawati (Dosen Fapet IPB) dan Koes Hendra Agus Setiawan (Founder PT Sugeng Jaya Group).

Asnath memaparkan, satwa harapan memiliki sejumlah keunggulan yakni efisiensi lahan dan ruang, efisiensi modal, mudah beradaptasi dan ramah lingkungan, relatif tahan penyakit, siklus hidup yang pendek dan nilai ekonomi yang tinggi.

Ia mencontohkan satwa harapan dengan budidaya jangkrik yang memiliki kadar protein 54-58%, kapasitas produksi telur pada luas lahan sekitar kurang dari  100 m2 atau setara dengan 20 kotak pemeliharaan mencapai 6-8kg/hari, dapat dipanen mencapai 200-250 kg/bulan dengan harga jual Rp 30.000-35.000/kg.

Contoh lainnya adalah budidaya lebah madu apis, yang memerlukan kawasan tanaman pakan yang mengandung nektar. Produksi madu 2 kg/stup/periode panen, dalam setahun bisa 3-4 periode panen. “Keunggulan lain budidaya lebah madu apis yakni integrasinya dengan kopi. Meningkatkan produksi madu dan kopi, lebah sebagai polinatornya,” jelas Asnath.

Satwa harapan lain yang berpotensi besar untuk dikembangkan, lanjut dia, antara lain budidaya lebah trigona, ulat hongkong, lebah propolis, ulat sutera bombyx mori, ulat sutera alam Indonesia attacus atlas, ulat sutera alam samia cynthia ricini, semut rangrang dan black soldier flies (BSF).

Agar dapat berkembang secara berkelanjutan, Asnath menegaskan tentang strategi yang dapat dilakukan, yakni adanya ketersediaan pakan dan bibit secara cukup dan berkelanjutan, penguatan kapasitas organisasi, sumber daya manusia dan kemitraan, pembenahan infrastruktur, sistem distribusi dan tata niaga, penguatan teknologi budidaya dan pasca panen, serta dukungan kebijakan menyangkut regulasi tata ruang dan kawasan budidaya. (IN)

MANAJEMEN RANTAI PASOK DAN KEAMANAN PANGAN DI SAAT PANDEMI COVID-19

Daging, produk pangan hasil ternak. (Foto: Istimewa)

Rantai pasok merupakan rangkaian aliran barang, informasi dan proses yang digunakan untuk mengirim produk atau jasa dari lokasi sumber pemasok ke lokasi tujuan pelanggan.

Dimulai dari titik produsen ini bahan pangan akan bergerak menuju berbagai metode pengolahan. Pergerakan bahan pangan ini difasilitasi unit usaha logistik dan transportasi, yang akan menjamin bahwa produk pangan akan sampai kepada konsumen dengan tepat waktu dan berkualitas. 

Hal itu dijelaskan oleh Pengajar Fakultas Peternakan IPB, Dr Epi Taufik, dalam Pelatihan Online "Logistik Rantai Dingin pada Produk Hasil Ternak" yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Acara berlangsung pada 20-21 Mei 2020 juga menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi atau swasta, yakni Direktur Operasional PT Adib Logistics, Irene Natasha. 

Dijelaskan Epi, perbedaan mendasar antara rantai pasok pangan dengan rantai pasok lainnya adalah perubahan yang terus-menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir produk tersebut dikonsumsi. Adapun berdasarkan jenis proses produksi dan distribusi dari produk nabati dan hewani, rantai pasok pangan dibedakan atas dua tipe, yakni rantai pasok produk pangan segar dan rantai pasok produk pangan olahan.

Rantai pasok produk pangan segar seperti daging, sayuran, bunga, buah-buahan, secara umum rantai pasoknya meliputi peternak atau petani, pengumpul, grosir, importir, eksportir, pengecer dan toko-toko khusus. Pada dasarnya seluruh tahapan rantai pasok tersebut memiliki karakteristik khusus, produk yang dibudidayakan atau diproduksi dari sebuah farm atau pedesaan. Proses utamanya adalah penanganan, penyimpanan, pengemasan, pengangkutan dan perdagangan produk.

Adapun rantai pasok produk pangan olahan seperti makanan ringan, makanan sajian, atau produk makanan kaleng.

"Pada rantai pasok ini, produk pertanian dan perikanan digunakan sebagai bahan baku dalam menghasilkan produk-produk pangan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dalam banyak hal, proses pengawetan dan pendinginan melalui sistem rantai pendingin akan memperpanjang masa guna (shelf life) dari produk pangan yang dihasilkan," ujar Epi.

Kesuksesan rantai pasok pangan, lanjut dia, sangat tergantung pada interaksi yang kuat dan efektif antara pemasok bahan ramuan, penyedia bahan kemas utama (contact packaging providers), pengemas ulang (re-packers), pabrik maklon (co-manufacturers), pedagang perantara dan pemasok lainnya. (IN)

FLPI GELAR PELATIHAN MANAJEMEN DAN SISTEM PENJAMINAN MUTU RPH RUMINANSIA

Foto bersama narasumber, kepanitiaan, dan peserta pelatihan (Foto: Sadarman/Infovet)


Produk peternakan, seperti daging, susu dan telur sampai kapan pun tetap dibutuhkan manusia. Hal ini dikarenakan ketiga produk peternakan tersebut merupakan pangan yang kaya dengan kandungan nutrien. Nutrien dimaksud adalah protein dengan asam-asam aminonya, serta nutrien lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh untuk proses tumbuh kembang. Sebagai bahan pangan, ketiga produk tersebut terutama daging, harus dalam kondisi yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Untuk mendapatkan daging dengan kriteria dimaksud, maka diperlukan manajemen dan sistem penjaminan mutu, baik di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ruminansia, maupun di tempat-tempat pemotongan ayam (TPA).

Mengingat pentingnya manajemen dan sistem penjaminan mutu di RPH, Forum Logistik dan Peternakan Indonesia (FLPI), didukung RPH Pramana Pangan Utama, Kementerian Pertanian dan Halal Science Center Institut Pertanian Bogor menyelenggarakan pelatihan dengan tema Manajemen dan Sistem Penjaminan Mutu di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Ruminansia. Kegiatan ini diikuti oleh peserta dari berbagai instansi, baik dari akademisi, pengusaha sapi potong, petugas RPH dan dari Badan Standarisasi Nasional.

Pelatihan FLPI ini diselenggarakan di Ruang Sidang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga Bogor, Senin 15 Juli 2019 untuk penyampaian materi pelatihan, dan pada tanggal 16 Juli 2019, peserta pelatihan diajak mengunjungi RPH Pramana Pangan Utama yang berlokasi di dalam kampus IPB Dramaga. Kegiatan ini dihadiri oleh pelaksana harian Dekan Fakultas Peternakan IPB, yang membuka secara langsung even tersebut.

Dalam sambutannya, pelaksana harian Dekan Fakultas Peternakan IPB, Prof Dr Ir Sumiati MSc menyebut bahwa FLPI dapat dikatakan organisasi aktif yang dipunyai oleh Fakultas Peternakan IPB. Disebut organisasi aktif karena frekuensi pelaksanaan pelatihan dan kegiatan seminar terkait dengan bidang yang dibawahinya intens dilaksanakan, sehingga banyak sedikitnya dapat mengedukasi insan peternakan Indonesia. “Kegiatan pelatihan dan seminar seharusnya dilakukan secara berkelanjutan, agar ilmu terkait dengan bidang peternakan dari hulu ke hilir itu dapat diperbaharui, atau setidaknya saling mengingatkan,” kata Prof Sumiati.

Pelatihan FLPI 2019 ini menghadirkan 3 narasumber, yakni Dr Ir Henny Nuraini MS, Dosen Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Sebagai pembicara pertama, Dr Henny memaparkan materi tentang Good Slaughtering Practices di RPH. Dalam uraian singkatnya, Dr Henny menyebut, penerapan Good Slaughtering Practices di RPH secara totalitas diperlukan, mengingat upaya konsumen untuk mendapatkan pangan ASUH menjadi faktor utama yang harus diperhatikan. “Saat ini, sulit ya mendapatkan pangan yang benar-benar ASUH, solusinya adalah mengedukasi secara berkelanjutan individu-individu yang terlibat secara kangsung dengan RPH, mulai dari saat ternak datang, diinapkan, sampai pada output akhir dari RPH, yakni daging hasil sembelihan yang benar-benar sesuai dengan kriteria ASUH,” kata Dr Henny.

Terkait dengan upaya untuk mendapatkan produk ternak yang ASUH, Dr Henny memaparkan setidaknya ada 7 hal yang perlu diterapkan secara totalitas di RPH, diantaranya 1) ternak harus tidak diperlakukan secara kasar, 2) ternak tidak mengalami stres, 3) penyembelihan dan pengeluaran darah harus secepat dan sesempurna mungkin, 4) kerusakan karkas harus diminimalkan, 5) cara pemotongan harus higienis, 6) ekonomis dan 7) aman bagi para pekerja RPH. Terkait dengan tatacara pemotongan ternak dan penanganan daging ternak pascapemotongan, Dr Henny menyebut bahwa ada dasarnya, yakni Peraturan Menteri Pertanian No. 13/Permentan/OT/140/1/2010. Sementara itu, terkait dengan pangan asal hewan yang harus memenuhi kriteria ASUH, Dr Henny menyebut, ada landasan hukumnya, terutama yang berhubungan langsung dengan pangan, perlindungan konsumen dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet).

Pembicara kedua, drh Syamsul Ma'arif MSi Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kemenerian Pertanian. Syamsul Ma'arif memaparkan hal terkait dengan Sanitasi Higienis dan Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Kebutuhan produk akhir RPH yang higienis sangat diperlukan. Hal ini mengingat dampaknya pada konsumen yang mengonsumsi daging yang dihasilkan oleh RPH. “Daging itu adalah bahan pangan yang rentan rusak dan disukai oleh mikroba untuk tumbuh dan berkembang, terutama mikroba yang dikategorikan dalam foodborne diseases,” kata drh Syamsul. Untuk mengatasi kondisi ini maka diperlukan sanitasi higienis di RPH (Good Hygiene Practices). Di samping itu, perlu juga penerapan sistem rantai dingin dan Penerapan jaminan keamanan pangan: NKV, sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), ISO 22000:2018.

Sementara itu, terkait dengan Penerapan Teknik Pemotongan Halal dan Sertifikasi Halal, FLPI menghadirkan drh Supratikno MSi PAVet dari Halal Science Center IPB. Dalam pemaparannya, drh Supratikno menyebutkan bahwa konsep penyembelihan ternak harus diikuti sesuai dengan anjuran agar produk ternak (daging) yang akan dijual ke konsumen benar-benar thayyib (baik) dan tatmim (sempurna). “Pemotongan yang baik itu sesuai dengan anjuran sunnah, yang telah diatur sedemikian rupa, misalnya pada sebagian besar negara muslim di dunia, seperti Indonesia, yang dipotong adalah pada bagian dzabh (ujung leher) dan nahr (pangkal leher, biasanya pada unta).

Lebih lanjut, drh Supratikno menyebut, petugas RPH harus memahami titik kritis penyembelihan halal. “Ini penting diperhatikan, jika menghendaki atau menginginkan produk ternak yang benar-benar dapat disebut halal,” kata drh Supratikno. Titik kritis dimaksud dapat dimulai dari 1) pemeriksaan antemortem, 2) penanganan sesaat sebelum penyembelihan, 3) penyembelihan, pengeluaran darah yang harus sempurna, 4) pemisahan kepala dan kaki bagian bawah, dan 5) pengulitan. “Kelima titik kritis ini harus dicermati dengan seksama oleh para Juleha “Juru Penyembeli Halal” jika ingin mendapatkan daging sapi yang benar-benar thayyib dan tatmim,” ungkap dosen Kesmavet FKH IPB.

Di samping itu semua, yang tidak kalah pentingnya adalah mengupayakan seminim mungkin stres ternak sebelum dipotong. Kenapa demikian? Menurut drh Supratikno, stres pada ternak yang akan dipotong berdampak negatif, terutama pada daging yang dihasilkan. 

“Laporan terkait dengan stres ini sudah sangat banyak, rata-rata melaporkan dampaknya yang signifikan sampai sangat signifikan terhadap daging yang dihasilkan. Selain itu, ternak yang stres menjelang saat pemotongan, juga dapat menularkan stresnya kepada ternak lainnya, sehingga ini sangat merugikan, terutama rugi waktu karena butuh penanganan yang intens dari Juleha,” kata drh Supratikno.

Diakhir pemaparannya, drh Supratikno menyampaikan terkait bahaya stres pada sapi yang akan dipotong, terutama yang berhubungan dengan stres akut. Stres akut itu sendiri ditandai dengan pH daging dijam-jam pertama langsung di bawah 6. Pada stres akut, daging yang dihasilkan berwarna pucat, lembek dan berair, sehingga daging mudah busuk dan cita rasa daging menurun (Sadarman).



ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer