Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Bisnis Perunggasan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MENILIK UNTUNG - RUGI PASCA PELARANGAN AGP

Setahun berlalu sejak terbitnya Permentan No.17/2017 tentang klasifikasi obat hewan. Salah satu poin dalam peraturan tersebut yakni dilarangnya Antibiotic Growth Promoter (AGP) ke dalam pakan ternak.  Banyak hal yang terjadi di lapangan, baik dalam hal teknis maupun dari segi bisnis. Apa saja perkembangan yang terjadi sejak pelarangan tersebut?.

Permentan no 14/2017 bisa dikatakan sebagai Permentan yang paling menghebohkan di jagat peternakan nasional. Judul Permentan tampak sederhana “ Klasifikasi Obat Hewan”. Sekilas terkesan sekedar sebuah aturan penggolongan saja yang hanya berdampak pada pengelompokan dalam bidang keilmuan. Namun di dalamnya ada pasal yang membuat industri obat hewan, pakan  dan budidaya perunggasan harus melakukan perubahan yang signifikan. Tak heran jika proses penerbitan peraturan ini membutuhkan diskusi yang cukup panjang dan alot. Utamanya pada poin pelarangan AGP di dalam pakan.

Ketika dikonfirmasi oleh Infovet, Direktur Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Drh. I Ketut Diarmite mengatakan bahwa pemerintah mengambil langkah tersebut untuk melindungi hewan, masyarakat, dan lingkungan. “Penggunaan antibiotik sebagai growth promoter memang kita stop, tapi untuk medikasi masih boleh,” tukas Ketut.

Ia melanjutkan, menurut beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para ahli baik di dalam dan luar negeri penggunaan AGP dapat memacu resistensi antimikroba pada ternak selain dan menimbulkan efek residu pada produk peternakan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.“Intinya peraturan ini juga sudah diaturdi Undang –Undang peternakan dan pemerintah berniat pula menjalankan amanat itu,” tutur Ketut.  

Ketut juga menyadari bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah sudah barang tentu akan menimbulkan pro dan kontra di dunia peternakan Indonesia khususnya unggas karena AGP paling banyak digunakan didalam pakan unggas, oleh karenanya ia selalu berusaha untuk terbuka, mendekatkan diri, berdiskusi dan menerima saran serta kritikan yang konstruktif dalam menanggapi permasalahan ini.

Kekhawatiran Akan Performa Ternak

Menyoroti pelarangan AGP tersebut, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) Drh. Desianto Budi Utomo berpendapat bahwa fine – fine saja melarang AGP tetapi harus berdasarkan kajian yang mendalam. “Maksud saya begini, Indonesia lain dari negara – negara barat sana, kita ini negara beriklim tropis, tahu sendiri lah bagaimana risikonya tinggal di negara tropis,” pungkasnya. Negara dengan iklim tropis kata Desianto, berisiko lebih tinggi terhadap penyakit infeksius karena iklim tropis mendukung mikroorganisme untuk tumbuh.

Ia melanjutkan bahwa para integrator besar bisa saja menyiasati penggunaan antibiotik karena teknologi dan manajemen yang lebih modern dan canggih, namun bagaimana dengan para peternak kecil yang mungkin akan kerepotan karena masih menggunakan cara tradisional. “Pelarangan AGP ini kan bukan cuma soal medis, tapi ada dampak di sisi non-medisnya, ekonomi misalnya, kan jadi nambah cost pemeliharaan, apakah pemerintah berpikir sampai kesitu?,” kata Desianto.

Selain itu, Desianto berujar bahwa pemerintah juga tidak boleh hanya melarang saja, tetapi juga harus ikut berperan mengawasi pelarangan AGP ini. “Saya berharap pemerintah aktif melakukan pengawasan, bisa saja nanti ada pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab karena merasa tidak diawasi dia tetap pakai AGP, sementara yang lain tidak pakai, kan tidak fair. Intinya jangan sampai kebijakan yang diambil menimbulkan masalah baru,” tutur Desianto.

Sejak jauh hari, GPMT telah melakukan riset mengenai hal tersebut, hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 1. di bawah ini :

Tabel 1. Hasil trial penggunaan AGP dan non AGP pada broiler

(Sumber : GPMT, 2017)


Dari data dapat disimpulkan bahwa penurunan performa akan terjadi ketika penggunaan AGP distop. Ternyata kekhawatiran akan penurunan performa terbayar kontan, beberapa peternak unggas baik broiler dan layer di seluruh Indonesia mengeluhkan kebijakan tersebut. Seperti yang dikeluhkan Wahidin, peternak broiler asal Demak, Jawa Tengah. Sejak menggunakan pakan non-AGP, ayam – ayam di kandangnya tumbuh lebih lambat dan sering sakit. “Berkali – kali kena nyekrek (ngorok) Mas, sudah dua periode begini, sudah gitu lebh lambat naik bobot badannya,” Kata Wahidin.

Hal yang serupa dirasakan oleh beberapa peternak layer di Jawa Timur, sejak dilarangnya AGP performa produksi dari ayam – ayam petelur menurun. Selain itu ayam juga rentan sakit. Penurunan performa kemudian berimbas pada harga telur yang sempat naik dan menjadi pemberitaan di media – media mainstream beberapa waktu yang lalu, dilarangnya AGP ditengarai menjadi biang keladi dari semua persoalan tersebut.

Mencari Solusi Kesana-Kemari

Sebenarnya jauh hari sebelum AGP dilarang di Indonesia, berbagai subtituen pengganti AGP telah banyak ditemukan dan digunakan di seluruh dunia. Misalnya saja herbal, enzim, probiotik & prebiotik, asam organik, essential oil dan bahkan bateriofag. Namun begitu, tetap saja dari segi performa bisa dibilang tidak sebaik AGP. Selain itu, faktor cost menjadi pertimbangan lain yang membuat para formulator di pabrik pakan harus lebih sering memutar otak. Pasalnya harga subtituen AGP jauh lebih mahal daripada AGP.

Intan Mustika Herfiana formulator PT. Agrosari Nusantara telah mengujicoba beberapa jenis produk subtituen AGP dalam formulanya, menurutnya hasil yang didapat memang belum bisa sebaik AGP. “Misalnya probiotik, ketika saya pakai itu hasilnya bias. Ketika saya coba di kandang closed house hasilnya bagus, tetapi ketika saya coba di kandang tradisional hasilnya lebih sering kurang bagus, jadi bingung sendiri karena sebenarnya ini faktor kandang atau faktor AGP-nya?,” pungkas wanita yang akrab disapa Ika tersebut.

Closed house atau sistem kandang tertutup juga bisa dibilang solusi dalam meningkatkan performa. Hal tersebut karena di dalam closed house, peternak dapat mengontrol semua parameter seperti suhu, iklim, pencahayaan, kelembapan dna lain sebagainya sehingga performa ayam tetap baik. Namun sayang, pembangunan closed house memakan biaya yang besar dan peternak – peternak tradisional sulit menjangkaunya, terlebih lagi dengan harga ayam yang sangat fluktuatif. Mereka masih berpikir keras untuk mendirikan closed house, apalagi kalau – kalu ditengah jalan tiba-tiba harga ayam turun, selain keuntungan mereka berkurang, beban tanggungan mereka akan bertambah karena cicilan pembangunan closed house.

Solusi lain dalam mengakali performa adalah peningkatan biosekuriti di dalam peternakan. FAO ECTAD Indonesia beberapa tahun belakangan gencar dalam mengampanyekan konsep biosekuriti tiga zona. Alfred Kompudu selaku National Technical Advisor FAO ECTAD memaparkan bahwa selama ini peternak kesulitan dan tidak memahami dengan baik konsep biosekuriti, sehingga abai akan hal tersebut. Padahal penerapan biosekuriti adalah suatu kewajiban dalam peternakan khususnya unggas.

“Kami dalam beberapa tahun ini melakukan pendekatan kepada para peternak dengan cara yang lebih santai dan casual, kami tidak ajak mereka seminar atau workshop atau yang lain – lain, kami ajak mereka agar mau menambah keuntungan, akhirnya pelan – pelan mereka mau,” papar Alfred. Ia mengakui bahwa usaha yang dilakukan timnya tidak mudah dan cukup alot, namun begitu beberapa peternak yang menyadari akan pentingnya biosekuriti secara perlahan tapi pasti mulai mengadopsi konsep yang lantang digaungkan oleh FAO.

“Beberapa peternak di Jawa Tengah, Lampung, dan daerah lainnya sudah mengadopsi. Dari yang sederhana sampai cukup mewah, yang ingin kita sampaikan pada peternak adalah biosekuriti itu wajib dan tidak harus yang mewah / mahal. Ada kok di Ungaran sana peternak yang biosekuriti tiga zonanya sederhana banget, tapi performa ternaknya tetap stabil,” pungkas Alfred.

Ketika ditanya mengenai sisi ekonomi dari penerapan biosekuriti, Alfred menjabarkan lebh jauh hal tersebut. Ia mencontohkan misalnya pada peternakan layer, imbas dari penerapan biosekuriti tiga zona selain menaikkan performa, produk yang dihasilkan juga jadi punya added value. “Di Lampung kami bekerja sama dengan Dinas setempat agar peternak yang sudah menerapkan biosekuriti tiga zona direkomendasikan untuk mendapatkan sertifikat Nomor Kontrol Veteriner (NKV), sertifikat ini adalah jaminan bahwa produk yang dihasilkan sudah aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Produk yang ber-NKV ini juga dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi ketimbang produk biasa,” tukas Alfred. Jadi dengan memiliki NKV, selain dapat dijual di pasar becek, peternak juga punya kesempatan agar produknya dapat dijual ke modern market sehingga walaupun ada cost untuk investasi biosekuriti adapula output yang dihasilkan.Walaupun begitu nampaknya Alfred dan timnya masih harus berjuang lebih keras karena konsep sebaik itupun masih sulit diterima oleh peternak, karena masih banyak peternak enggan mengeluarkan cost lebih.


Dampak Sisi Bisnis Obat Hewan

Ketika banyak pihak yang khawatir dengan pelarangan AGP. Dampak buruk terhadap performa rupanya telah banyak yang memikirkan matang - matang. Beberapa perusahaan obat hewan sudah melakukan antisipasi terhadap pelarangan ini sehingga ketika pelarangan diberlakukan mereka sudah menyiapkan produk substitusinya.

Seorang narasumber Infovet di sebuah perusahaan obat hewan multinasional mengatakan, ketika ada isu yang berhembus tentang terbitnya peraturan baru tersebut dari jauh hari, pihaknya langsung mempelajari isinya dan memberikan informasi ke pihak mitra di luar negeri bahwa di dalam peraturan baru tadi ada pasal yang menyebutkan bahwa AGP akan dilarang di Indonesia.

Informasi ini sangat berharga bagi perusahaan tersebut, mereka kemudian melakukan sejumlah riset agar bisa meluncurkan produk pengganti AGP. Tahun 2018 ketika pelarangan diberlakukan, perusahaan ini sudah siap melakukan registrasi produk baru. Ini adalah contoh bagus dimana perusahaan harus mencermati perkembangan peraturan di Indonesia dan melakukan antisipasi atas rencana pemerintah dalam memberlakukan peraturan baru.

Banyak pihak mengatakan Indonesia belum siap untuk memberlakukan pelarangan AGP, namun sebenarnya kalau dihitung sejak terbit UU Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2009, berarti ada waktu 8 tahun untuk persiapan pelarangan AGP, karena pelarangan baru diberlakukan Januari 2018 melalui Permentan tahun 2017. Mungkin ada yang mengira bahwa pelarangan AGP tidak akan “secepat“ ini karena beberapa negara lain juga belum memberlakukannya. Sejak pelarangan AGP diberlakukan awal tahun 2018, beberapa perkembangan dalam industri peternakan di sektor hulu dan hilir terjadi.

Seperti yang disebutkan tadi di atas, dilarangnya AGP memunculkan banyak produk baru sebagai pengganti. Produk-produk yang beredar di pasaran sebagai pengganti AGP adalah sediaan alami (jejamu), probiotik, prebiotik, enzim,  asam organic (acidifier) dan lain sebagainya. Data  Direktorat Kesehatan Hewan menunjukkan, sebelum tahun 2017 terdapat 294 produk imbuhan pakan dalam kategori non AGP.

Selanjutnya tahun 2017 terjadi banyak penambahan registrasi baru produk pengganti AGP, yaitu 21 produk enzim, sediaan alami dan acidifier. Terdapat pendaftaran 31 produk yang semula indikasinya sebagai feed additive (sebagai AGP), berubah indikasi menjadi kategori farmasetik (kuratif). Perubahan ini dalam istilah registrasi obat hewan dikenal dengan istilah perubahan “F ke P”. Selain itu ada juga pendaftaran 3 produk vaksin Koksidiosis, yang semula (sebelum pelarangan AGP), produk ini belum populer.

Direktur Kesehatan Hewan Drh Fajar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, tidak perlu khawatir dengan pelarangan AGP karena produk penggantinya sudah cukup banyak, dan terus bertambah. Data terbaru (2018) dari Ditkeswan menunjukkan, saat ini sudah ada 104 jenis enzim yang sudah mendapat nomor registrasi, 66 produk kategori asam organik,  85 produk probiotik dan prebiotik,  dan 36 produk obat alami. Sebagaimana terlihat pada diagram 1 di bawah ini :

Diagram 1 Produk pengganti AGP yang terdaftar di DItjen PKH
 
(Sumber : Direktorat Kesehatan Hewan, 2018)
 
Market Obat Hewan Melonjak

Ternyata Dilarangnya AGP juga menyebabkan market obat hewan yang beredar meningkat tajam. Data yang dirilis ASOHI pada acara Seminar Nasional Bisnis Peternakan yang berlangsung akhir 2018 lalu menyebutkan, nilai market obat hewan golongan feed additive dan feed supplement tahun 2018 diperkirakan sebesar Rp 8,5 triliun , meningkat 75% dibanding tahun 2017 sebesar  Rp 4,8 triliun. Baru pertama dalam sejarah, pertumbuhan market obat hewan sebesar itu. Datanya sebagaimana terlihat dalam Tabel 2., Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 2. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2017



 Tabel 3. Market Obat Hewan Golongan Feed Additive Tahun 2018






                                                     
(Sumber : ASOHI, 2018)

ASOHI juga menyebut, secara total market  obat hewan tahun 2018 sebesar Rp 13,8 triliun, naik 65% dibanding tahun 2017 sebesar Rp 8,4 triliun. Penyebab kenaikan tinggi (melebihi pertumbuhan populasi) ini disebabkan oleh peningkatan revisi data populasi,  adanya pelarangan AGP yang menyebabkan biaya pakan meningkat, serta adanya pelemahan kurs rupiah sehingga harga obat hewan naik.

Walaupun banyak menuai kontroversi pada awal diberlakukannya kebijakan pelarangan AGP, namun ada dampak yang cukup signifikan dari sisi ekonomi. Namun begitu, penerapan pelarangan AGP masih perlu dibenahi, misalnya saja meningkatkan kesadaran peternak terhadap resistensi dan residu antimikroba yang tidak hanya membahayakan hewan, tetapi juga manusia dan lingkungan.

Pemerintah, swasta, dan stakeholder lainnya juga tidak boleh abai dengan peternak, mereka juga tetap harus didampingi, diawasi dan dibina. Jangan hanya menikmati keuntungan saja akibat naiknya nilai market obat hewan, adalah kewajiban bagi semua stakeholder dalam berkontribusi memajukan sektor peternakan di Indonesia (CR)

SIERAD - WAHYOO KEMBANGKAN BISNIS AYAM GORENG EKONOMIS KUALITAS FANTASTIS

Seiring dengan kenaikan taraf hidup dan pendapatan masyarakat Indonesia, konsumsi daging ayam masyarakat Indonesia pun mengalami kenaikan, terutama tingkat konsumsi kelas menengah.

Bisnis restoran cepat saji berbasis daging ayam pun tumbuh sangat cepat, bukan hanya yang berafiliasi dengan merek global, tetapi juga tumbuh dengan pesat merek-merek lokal asli Indonesia. Cara pemasarannya pun beragam, mulai dari yang berbentuk restoran mewah dengan sasaran pasar kelas atas, hingga yang menjual di pinggir jalan.

Sesuai dengan misi perusahaan, yakni menyediakan sumber protein yang terjangkau bagi masyarakat dan dalam rangka penetrasi ke pasar ayam goreng tersebut, PT Sierad Produce Tbk sebagai salah satu produsen ayam terbesar di Indonesia, menjalin kerjasama dengan Wahyoo, untuk membuka outlet penjualan ayam goreng di Mitra warung Wahyoo di area Jabodetabek.

Sierad - Wahyoo Akan Bangun 1000 Outlet Ayam Goreng di Jabodetabek


Wahyoo sendiri adalah perusahaan start up berbasis teknologi yang mempunyai anggota ribuan mitra warung yang tersebar di Jabodetabek. Model bisnis Wahyoo yakni sebagai pemasok segala kebutuhan warung anggotanya, sangat mendukung model bisnis ayam goreng kios ini. Jumlah Mitra Wahyoo hingga kini mencapai 5000 anggota dan akan terus tumbuh secara eksponensial dan mendukung pengembangan bisnis ayam goreng ini.

Dengan didukung oleh Rumah Pemotongan Ayam yang modern, berpengalaman dan bersertifikasi halal membuat ayam goreng kios ini akan terjamin keamanan pasokannya, kualitasnya dan kehalalannya. tiga faktor ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat Indonesia.Sierad Produce juga memiliki ahli nutrisi produk yang sangat berkompeten di bidangnya, sehingga mampu memformulasikan resep ayam goreng yang tidak hanya lezat tetapi juga terjamin dan keamanan pangannya.

Dengan dibangunnya 100 outlet awal di wilayah Jabodetabek pada tahap pertama, bisnis kios ayam goreng ini diharapkan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bisnis Sierad secara keseluruhan. (CR)

EAST HOPE TERIMA KUNJUNGAN PELAJAR SMK AGRIBISNIS TERNAK

Siswa-siswi SMKN 2 Purbalingga kunjungi kawasan industri PT East Hope (Foto: Istimewa)

Sebanyak 102 siswa dan siswi SMKN 2 Purbalingga melakukan kunjungan ke kawasan pabrik PT East Hope Agricultural Indonesia, Senin (15/4/2019).

Penuh sukacita, tim PT East Hope menyambut siswa-siswi yang didampingi para guru pembimbing untuk mengelilingi Kawasan Industri East Hope di Desa Kutamekar, Ciampel, Karawang.

Informasi yang Infovet terima dari Marketing&Public Relations East Hope, kunjungan ini merupakan persyaratan dalam memenuhi uji kompetensi siswa-siswi Jurusan Agribisnis Ternak Unggas kelas XI.

Kegiatan kunjungan tersebut meliputi melihat langsung kegiatan produksi pakan, serta mencoba peralatan kerja dengan didampingi instruktur dari guru pembimbing dan diawasi oleh pihak perusahaan.

Sebelumnya, siswa-siswa menyimak uraian singkat mengenai profil perusahaan, kegiatan produksi, dan K3 perusahaan dari pihak East Hope. (NDV)

Menaik dan Menukik, Sama Salahnya



Daging ayam ras dan telur ayam ras termasuk volatile food. Di pasar, harga bahan pangan ini fluktuatif. Dalam waktu singkat, bisa menaik dan menukik. Dinamika naik-turunnya bukan dalam hitungan minggu, bisa harian, bahkan hitungan jam. Pagi harganya masih baik, sorenya bisa saja tertukik.

Begitu pula sebaliknya. Pada momen-momen tertentu, menjelang Lebaran misalnya. Harga yang tadinya rendah atau wajar-wajar saja, bisa melonjak naik. Kenaikan harga yang fantastis itu membuat napas konsumen seolah-olah tercekik. Dan menjadikan banyak pihak terjangkiti penyakit panik.

Dalam konferensi pers di kantornya, Senin (4/6), Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), mengingatkan pemerintah agar mewaspadai kenaikan harga daging ayam dan telur ayam menjelang Idul Fitri tahun ini. Menurut pantauan BPS, komoditas yang harganya naik signifikan sehingga memberikan kontribusi inflasi tinggi adalah daging ayam ras, telur ayam ras, ikan segar dan bawang merah.

Merujuk pada data inflasi Mei 2018 sebesar 0,21%, kenaikan harga daging ayam memberikan andil 0,07% terhadap besaran inflasi bulan tersebut. Sedangkan naiknya harga telur ayam berkontribusi 0,06%. Andil kenaikan harga ikan segar dan bawang merah pada inflasi Mei itu masing-masing 0,03% dan 0,02%.

Pergerakan harga daging ayam ras dan telur ayam ras di pasar, memang perlu diantisipasi. Seperti halnya Lebaran tahun-tahun sebelumnya, demand terhadap kedua komoditas tersebut biasanya akan terus meningkat hingga Idul Fitri tiba. Ujung-ujungnya, jumlah duit yang di keluarkan untuk membeli kedua komoditas kaya zat gizi ini bertambah banyak. Akibat dari harga yang melonjak naik.

Kepanikan Musiman

Kenaikan harga bahan pangan pokok dan penting menjelang Idul Fitri, biasanya memang menimbulkan nuansa panik. Kepanikan musiman. Padahal, pola dan trend-nya selalu berulang dan sama. Namun, respon terhadap kejadian itu yang beraneka ragamnya. Bahkan, tak jarang timbul silang pendapat.

Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), salah satu penyebab naiknya harga beberapa komoditas pangan itu adalah lambannya pemerintah dalam merespon peningkatan permintaan pasar. Komisioner KPPU, Kodrat Wibowo, menyatakan, kenaikan beberapa komoditas pangan bukan karena praktik persaingan tidak sehat, tapi kekurangan suplai.

Kenaikan harga tersebut lebih disebabkan lambannya respon pemerintah dan suplai dari produsen dalam menanggapi kenaikan permintaan konsumen menghadapi Ramadan dan Lebaran, ungkap Komisioner KPPU itu di kantornya yang berlokasi di jalan Ir. Juanda, Jakarta.

Saat dilakukan penelusuran lapangan, beberapa penjual daging ayam ras di pasar-pasar sejumlah kota besar menyampaikan keluhan. Pasokan daging ayam ras tidak optimal, pasokannya menurun. Tentu saja, berimbas pada meningkatnya harga.

Ketika dikejar dengan pertanyaan kenapa demikian. Para penjual daging ayam ras itu menjawab, tidak tahu persis mengapa pasokan daging ayam ras berkurang. Pengepul yang memasok komoditas daging ayam ras juga tidak memberikan penjelasan.

Operasi Pasar

Menyikapi dan menyiasati naiknya harga daging ayam ras, Kementerian Perdagangan akan menggelontorkan daging ayam ras beku. Caranya dengan melakukan Operasi Pasar (OP) di daerah-daerah. Keputusan itu disampaikan oleh Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita. Mendag RI menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi Kesiapan dan Pengamanan Hari Raya di Mabes Polri, Selasa (5/6).

Menindaklanjuti keputusan tersebut, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Timur, melakukan OP daging ayam ras. Pelaksanaannya selama seminggu (5-12 Juni) di Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Bangkalan. Selain itu, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur juga mengadakan pasar murah produk peternakan 5-6 Juni di Surabaya.

OP merupakan katub pengaman instan guna menetralisir peningkatan harga daging ayam ras di pasar. Untuk jangka menengah dan panjang, harus dilakukan perbaikan pola distribusi (pemerataan dan peningkatan konsumsi). Juga wajib dilaksanakan pembenahan manajemen stok (kuantitas dan kualitas produksi). Ketiga program tersebut harus dirancang secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan.

Namun sayangnya, berdasarkan pengamatan dan pengalaman, program yang selalu dilaksanakan adalah OP. Menjelang Ramadan dan Lebaran (juga hari-hari besar Keagamaan lainnya). Dari tahun ke tahun yang dilakukan OP, OP dan OP lagi. Padahal pelaksanaan OP ibaratnya tindakan pemadam kebakaran.
Memang terlihat ada efek serta hasilnya, dan itu tercatat sebagai suatu prestasi dalam rangka menstabilkan harga bahan pangan pokok dan penting. Namun, sadarkah bahwa hal itu merupakan prestasi sesaat. Prestasi yang bukan sebagai solusi guna mengatasi akar permasalahannya.

Sudah saatnya bagi segenap pemangku kepentingan (khususnya bidang perunggasan) untuk merapatkan barisan dan bersatu-padu. Mari duduk bersama guna menyusun konsep dan strategi program penstabilan harga produk perunggasan. Tentu saja konsep/program yang komprehensif dan berjangka panjang, bukan yang sesaat dan singkat.

Bila tidak memiliki konsep/program penstabilan harga yang komprehensif dan berjangka panjang, maka tahun depan dan ke depannya kita akan terkejut dan terheran-heran kembali. Kepanikan, kehebohan dan kegaduhan akibat fluktuasi harga berjangkit lagi. Harga menaik salah, menukik pun salah.

Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia,
tinggal di Surabaya

Refleksi Majalah Infovet Edisi Juli 2018

Masih ada Jalan Menghadapi Ancaman Impor




“Daging Impor Asal Brazil akan Gempur Pasar Indonesia”, demikian sebuah judul artikel di sebuah media cetak nasional awal Mei lalu yang beredar di kalangan usaha dan stakeholder peternakan. Judul artikel ini menjadi bahan perbincangan hangat karena pembaca tergiring ke arah opini bahwa sebentar lagi mimpi buruk masuknya daging ayam Brazil akan menjadi kenyataan.

Beberapa grup media sosial mendiskusikan topik ini. Ada yang menuduh pemerintah  (Kementan dengan Kemendag) tidak kompak, ada yang menganggap pemerintah tidak lihai berdiplomasi di WTO, ada juga yang menuduh pemerintah sengaja membuka impor untuk tujuan tertentu, ada pula yang menginformasikan bahwa pemerintah sudah berusaha optimal menghambat masuknya impor daging ayam asal Brazil.

Untunglah di tengah kesimpang-siuran informasi ini, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Drh I Ketut Diarmita, segera menyebarkan rilis berita yang menegaskan bahwa saat ini Indonesia tidak akan melakukan impor daging ayam dari Brazil.

Dirjen PKH bukan hanya menyatakan tidak berniat melakukan impor, namun juga menjelaskan beberapa langkah yang telah dilakukan sebagai langkah nyata “pembelaan” terhadap perunggasan nasional.

Langkah yang dijelaskan Ketut antara lain bahwa tanggal 12 Februari 2018 telah dilakukan pertemuan antara Menteri Pertanian RI dengan Tim Kementerian Pertanian Brazil untuk membicarakan peluang peningkatan hubungan bilateral khususnya di sektor pertanian dan peternakan melalui kerangka kerjasama Kemitraan Strategis RI-Brazil.
Pertemuan tersebut menghasilkan setidaknya tiga kesepakatan. Pertama, Menteri Pertanian RI menyetujui masuknya daging sapi Brazil ke Indonesia dan Tim Kementerian Pertanian Brazil menyetujui untuk tidak memasukkan daging ayam dan produknya ke Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia sudah oversupply daging ayam bahkan sudah melakukan ekspor ke Jepang, Timor Leste, Papua New Guinea dan sedang dalam penjajakan ekspor ke Negara-negara Asia lainnya dan Timur Tengah.

Kedua, menjaga hubungan baik kedua negara melalui kerjasama peningkatan SDM Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ketiga, Tim Kementerian Pertanian Brazil juga akan mendorong pelaku usaha di Brazil untuk melakukan investasi breeding farm dan usaha peternakan sapi di Indonesia.

Jelaslah, bahwa pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sejatinya tidak tinggal diam untuk menjaga “kedaulatan” perunggasan nasional. Sebelum heboh berita daging Brazil akan gempur Indonesia, Infovet juga sempat mengikuti diskusi dengan Dirjen PKH untuk meminta masukkan pemangku kepentingan perunggasan perihal langkah-langkah apa saja yang diperlukan untuk menjaga agar daging ayam Brazil tidak masuk atau setidaknya “tidak segera” masuk ke negeri kita.
Dalam diskusi itu antara lain perlunya peningkatan ekspor produk perunggasan. “Janganlah ekspor itu hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek. Ekspor itu kan investasi membangun jaringan bisnis internasional untuk jangka panjang,” ujar Dirjen dalam sebuah forum.

Dirjen PKH berpendapat, ekspor adalah salah satu senjata untuk berdiplomasi agar negara lain, termasuk Brazil, tidak dengan mudah masuk ke Indonesia. Undang-undang kita mengamanatkan bisa impor jika kita kekurangan. “Kalau kita oversupply, buat apa impor,” tegas Ketut.

Siasat ini tampaknya cukup ampuh untuk melakukan negosiasi dengan Brazil. Buktinya pertemuan Tim Mentan dengan Tim Brazil menyepakati bahwa Brazil tidak memasukkan daging ayam ke Indonesia.

Namun tetap perlu diwaspadai, Brazil tentu masih berusaha memasukkan daging ayam ke Indonesia, karena bagi Brazil, pasar Indonesia sangat menggiurkan. Indonesia adalah pasar raksasa berjumlah 250 juta konsumen dengan pendapatan yang terus tumbuh.

Ketua Gabungan Organisasi Peternakan Ayam Nasional (GOPAN), Herry Dermawan mengatakan, harga ayam Brazil sangat murah karena “Negeri Samba tersebut adalah salah satu produsen jagung di dunia. Harga jagung di Brazil paling mahal Rp 2.200 sedangkan di Indonesia Rp 4.000 bahkan lebih, kalau paceklik bisa Rp 5.000. Dengan harga jagung 50% lebih murah dari harga jagung Indonesia, harga pakan di Brazil menjadi lebih murah.

Dengan pernyataan Ketua Umum GOPAN tersebut, kita lihat, ada satu jurus lagi untuk menangkal masuknya daging ayam asal Brazil, yaitu meningkatkan efisiensi usaha perunggasan. Indonesia dan Brazil adalah negara dengan banyak persamaan. 

Perbedaannya adalah di negara tersebut harga jagung sangat murah. Apakah karena petani mendapat subsidi, atau karena pemerintah menyediakan lahan penanaman jagung secara gratis atau teknologinya lebih bagus. Ini perlu dipelajari dengan cermat.

Jika benar, faktor utamanya adalah harga jagung, kini saatnya pemerintah melakukan langkah pengembangan jagung yang efisien. Sekarang ini Indonesia berhasil menyetop impor jagung, namun kalangan usaha peternakan mengeluh, swasembada jagung menyebabkan biaya produksi unggas meningkat akibat harga jagung lokal mahal.

Dengan harga ayam yang relatif tinggi dibanding Brazil, pemerintah juga berupaya menangkal impor dengan menerapkan syarat  Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang penyembelihan halal pada unggas, yang mempersyaratkan pemotongan ayam harus dilakukan secara manual satu per satu oleh juru sembelih (tukang potong).

Bagaimana jika persyaratan halal yang cukup ketat bisa dipenuhi Brazil dengan harga yang tetap lebih murah? Inilah tantangan yang harus dipikirkan lebih lanjut.

Jual-beli memang tidak sekedar harga murah. Ada unsur kualitas, ada juga soal keamanan dan kenyamaman batin konsumen. Namun, harga yang berdaya saing tetaplah penting.

Sambil berupaya usaha perunggasan makin efisien, masih ada jurus lain yang perlu dijalankan segera, misalnya kampanye cinta produk Indonesia, kampanye daging segar sehat, inovasi produk olahan dan sebagainya.

Namun tak usah takut dengan Brazil jika kita terus berusaha menciptakan keunggulan. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi Juni 2018

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer