Jakarta – Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Insan
Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR) Indonesia Hartono menyampaikan bahwa PT
Charoen Phokpand Tbk dan PT Japfa Comfeed Tbk beserta 10 pembibitan unggas yang
menjadi terlapor, hanya merupakan korban dalam pelaksanaan kebijakan afkir dini
induk ayam (parent stock/ PS) yang diperkarakan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU). Para perusahaan pembibitan unggas membantu peternak dengan
menjalankan instruksi Pemerintah untuk mengafkir dini induk ayam PS yang masih
berada dalam usia produktif.
![]() |
Drh Hartono, Ketua Dewan Pembina PINSAR Indonesia |
“Saya harus jujur, dalam perkara afkir dini ini,
Charoen dan Japfa dan para terlapor lainnya merupakan pahlawan, karena
berkorban demi menyelamatkan kami selaku peternak mandiri,” ujarnya saat
bersaksi di sidang pemeriksaan lanjutan dugaan kartel ayam pedaging di KPPU,
Rabu (15/6).
Hartono menaksir, kerugian yang ditangung oleh 12
perusahaan pembibitan yang menjadi terlapor mencapai Rp 600 miliar. Perhitungan
tersebut dengan asumsi harga satu ekor PS yang masih produktif berkisar Rp 200
ribu dan jumlah PS yang sudah diafkir sebanyak 3 juta ekor.
Dalam persidangan Hartono mengakui, bahwa usulan afkir
dini bermula dari tuntutan PINSAR agar pemerintah mengambil langkah nyata atas
krisis yang dialami peternak. Sejak 2013, peternak menderita karena harga ayam
hidup (live bird) jatuh di bawah
harga pokok produksi (HPP).
Hartono yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum
PINSAR Indonesia kemudian memimpin demonstrasi-demonstrasi peternak di
Kementerian Pertanian, Kementerian perdagangan, dan Istana Negara yang
berlangsung dalam kurun waktu 2013 sampai 2014.
“Kami berteriak hampir tiga tahunan. Semua
teman-teman rela datang jauh-jauh ke Istana. Dalam demo ke Kementan kami sampai
membawa telur busuk dan melepas ayam kami disitu sebagai simbol kekecewaan
kami,” ujar Hartono, yang juga merupakan peternak mandiri di Bogor, Jawa Barat
dengan produksi hingga 400.000 ekor per bulan.
Hartono mengungkapkan, setelah Muladno menjabat
sebagai Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian
Pertanian di Juni 2015, Pemerintah mulai melakukan tindakan yang lebih nyata
ketimbang hanya memberikan janji. “Pak Muladno berani pasang badan untuk
menyelamatkan peternak dengan meminta perusahaan pembibitan untuk melakukan afkir
dini PS,” jelasnya.
Hartono mengatakan saat afkir dini tahap I terhadap
2 juta PS dilakukan pada Oktober dan November 2015, serta tahap II sebanyak 1
juta, peternak sempat merasakan dampak positifnya pada bulan Desember tahun
itu.
Menurutnya, afkir dini yang dilakukan menguntungkan
peternak karena harga live bird yang terpuruk mulai bergerak normal. Namun,
setelah ada instruksi dari KPPU untuk menghentikan afkir dini, harga kembali
jatuh di bulan Februari. “Setahu kami ada penghentian dari KPPU. Salah satu
yang mendorong harga jatuh itu karena KPPU menghentikan afkir dini,” serunya.
Hartono juga menjelaskan bahwa jumlah PS yang diafkir
sebanyak enam juta juga berawal dari usulan PINSAR. Bahkan, awalnya PINSAR
mengusulkan jumlah yang diafkir sebanyak 10 juta PS. “Tapi dengan asumsi satu
PS nilainya Rp200.000 per ekor, jika dikalikan 10 juta PS berarti nilainya Rp2
triliun. Siapa yang mau nanggung rugi sebesar itu? Akhirnya dicari angka yang
rasional, itu pun setelah melalui perdebatan dan tarik ulur,” jelas Hartono.
Tanggungjawab Pemerintah
Pada sidang sebelumnya, Dirjen PKH muladno
menyatakan, afkir dini indukan ayam (parent
stock) oleh 12 perusahaan pembibitan unggas merupakan instruksi dan bentuk
tanggungjawab pemerintah. “Kebijakan afkir dini induk ayam itu saya putuskan
sebagai bentuk tanggung jawab demi kebaikan bangsa ini. Saat memutuskan afkir
dini, niatnya adalah demi kepentingan publik, membela rakyat kecil,” ujarnya.
Menurut Muladno, kebijakan afkir dini berawal dari
jeritan peternak rakyat yang dalam beberapa tahun terakhir merugi karena harga
ayam hidup (live bird) jatuh di bawah
harga pokok produksi akibat berlebihnya pasokan anak ayam usia sehari (day old
chick/DOC). Harga harga ayam hidup sempat terjun bebas ke level Rp 12.000 per
kilogram, di sejumlah kota bahkan merosot sampai di Rp 8.000 per kilogram.
Sementara, biaya pokok produksi ayam mencapai Rp 18.000 per kilogram.
Berdasarkan data yang ada, hal itu disebabkan oleh kelebihan pasok (oversupply) DOC. Kebutuhan seminggu
hanya 42 juta ekor namun pasokan mencapai 60 juta ekor.
“Kebijakan afkir dini diambil setelah melalui kajian
oleh tim ad hoc yang mewakili para pemangku kepentingan (stakeholders),
termasuk pemerintah dan peternak. Keputusan afkir dini juga diambil setelah tim
ad hoc melakukan sekitar 40 kali pertemuan untuk merumuskan solusi atas
permasalahan yang dihadapi peternak,” tuturnya.
Anggota Dewan Pembina PINSAR Indonesia Rachmat
Pambudy mengatakan, tindakan Dirjen PKH mengisntruksikan afkir dini induk ayam
adalah kebijakan tepat untuk menegakkan wibawa pemerintah dalam melindungi,
menyelamatkan dan memastikan kelangsungan budidaya peternak ayam nasional.
Peternakan ayam nasional adalah sektor sangat penting dan strategis karena
menghasilkan protein hewani bergizi tinggi (daging dan telur) yang terjangkau
sebagian besar masyarakatnya.
“Tindakan Dirjen PKH perlu dihargai, dihormati dan
dilindungi sesuai tugas pokok dan fungsinya. Tindakan KPPU mengintervensi dan
menganulir keputusan Dirjen PKH berpotensi melemahkan wibawa pemerintah dan
hilangnya kepercayaan masyarakat serta dunia usaha pada pemerintah,” tandasnya.
(wan)