Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Krisis Pakan, Kementan Bergerak Salurkan Jagung ke Peternak

Kementan melalui Ditjen PKH kawal pendistribusian jagung kepada peternak. (Foto: Dok. Kementan)

Sebanyak 12.000 ton jagung pipilan secara serentak didistribusikan ke peternak rakyat di sejumlah sentra ayam petelur, khususnya di beberapa titik di Pulau Jawa.

Bantuan ini sebagai bentuk langkah nyata Kementerian Pertanian (Kementan) dalam memfasilitasi distribusi jagung dari industri pakan ternak, untuk kebutuhan peternak rakyat di berbagai sentra ayam petelur, Jumat (9/11/2018).

Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Indonesia menyatakan sangat menghargai atas support yang sudah diberikan oleh Kementan.

"Kami mewakili teman-teman peternak rakyat berterima kasih atas program yang sudah dilakukan untuk menolong pada saat krisis kali ini," kata Ketua Pinsar Indonesia Hartono dalam keterangan tertulis Infovet terima.

Foto: Dok Kementan

Hartono sendiri mengatakan itu saat penyaluran jagung untuk peternak di Bogor, Jumat (9/11/18). Dia berharap ke depannya, harga pakan ternak dapat menyesuaikan lagi atau terjangkau.

Selain di Bogor, penyaluran pakan ternak juga dilakukan Kementan di Blitar, Jawa Timur.

Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak, Ditjen PKH, Sugiono yang memimpin langsung penyaluran jagung ke peternak mengatakan, salah satu alasan Kementan mendistribusi ke sana karena daerah tersebut adalah salah satu sentra utama peternakan.

Sementara itu, Bupati Blitar Rijanto menyambut positif upaya Kementan dalam memfasilitasi penyaluran jagung ke peternak rakyat yang jumlahnya sekitar 4.400 peternak.

Adapun jumlah jagung yang didistribusikan ke Blitar kurang lebih 400 ton. Rijanto berharap penyaluran jagung ini bisa menjadi solusi awal bagi para peternak.

Setelah Bogor dan Blitar, penyaluran jagung untuk peternak terjadi di Malang. Dalam keterangan tertulisnya Kementan mengatakan, sebanyak 4 truk atau 100 ton jagung langsung didistribusikan ke peternak.

Pengiriman dengan nominal sebanyak itu atas dasar permintaan peternak di Malang yang mengajukan kebutuhan 2000 ton jagung untuk ayam layer dan 200 ton buat ayam broiler.

Pada hari yang sama jagung disalurkan pula ke sentra peternak ayam di Jawa Tengah. Salah satu titiknya ada di Kabupaten Kendal. Bantuan jagung diterima oleh para peternak petelur secara bertahap.

Dengan rincian, dimulai Jumat (9/11/2018) sebanyak 50 ton, lalu Sabtu (10/11/2018) 100 ton dan selanjutnya sampai dengan jumlah keseluruhan 500 ton.

Direktur Pakan, Ditjen PKH Sri Widayati yang hadir di Kendal, Jawa Tengah mengatakan bahwa peternak menyambut positif gerak cepat ini.

"Untuk wilayah lainnya, yaitu Solo dan sekitarnya akan segera menyusul,” ujar Sri.

Potong Jalur Distribusi

Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyebutkan bahwa penyaluran jagung untuk pakan ternak bertujuan memotong jalur distribusi yang selama ini mengakibatkan kelangkaan pakan ternak.

“Ini bukti bahwa ketersediaan pakan jagung cukup untuk memenuhi kebutuhan para peternak lokal,” ungkap Amran.

Dalam kurun waktu tahun 2014-2017 produksi jagung terus meningkat. Pada 2014, produksi jagung di Indonesia sebesar 19,0 juta ton, dan meningkat 19,6 juta ton pada 2015.

Adapun pada 2016 produksi jagung kembali meningkat 23,6 juta ton, demikian juga tahun 2017 mencapai 28,9 juta ton.


"Dengan kerja keras dan upaya khusus yang terus dilakukan Kementan pada 2018 ini diperkirakan potensi produksi jagung lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya, yaitu sebesar 30 juta ton," jelas Amran. (NDV)

Kongres PDHI dan FAVA: “To Serve Mankind Trough Animal Kingdom”

Foto bersama saat penutupan kongres.

PDHI menyelenggarakan kegiatan kongres bertaraf internasional pada 1-3 November 2018 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC). Bukan itu saja, para istri dokter hewan yang tergabung dalam Pidhi juga menyelenggarakan kegiatan serupa di Hotel Santika Nusa Dua. Kegiatan kongres tersebut dihadiri Gubernur Bali, I Wayan Koster, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementrian Pertanian, Drh Ketut Diarmita, serta Ketua PDHI periode 2014-2018  Dr Drh Heru Setijanto.

Bali dipilih sebagai lokasi kongres karena Dr Drh Heru Setijanto ditetapkan sebagai Presiden FAVA (Federation of Asian Veterinary Associations) periode 2018-2020. Oleh karenanya, Kongres FAVA ke-20 dan FAVA Council Meeting ke-40 dilangsungkan bersamaan dengan Kongres PDHI dan KIVNAS. Kegiatan bersama ini akan menjadi forum penting bagi para dokter hewan dari berbagai negara untuk berinteraksi dan melakukan diskusi mengenai “One Health”, kesejahteraan hewan dan topik-topik penting lain yang relevan dalam profesi veteriner.

Menurut Ketua Panitia, Prof Drh Bambang Pontjo Priosoeryanto, ada beberapa kegiatan lain juga dilaksanakan berbarengan, diantaranya Pertemuan Ilmiah kedua JSPS Core-to-Core Program-Tripartite Meeting Among the Bogor Agricultural University (IPB), Indonesia, Chulalongkorn University, Thailand dan Miyazaki University, Jepang. Di samping itu, dilaksanakan pula pertemuan bersama antara FAVA dan African Veterinary Association (AVA), pertemuan jaringan Veterinary Statutory Bodies (VSB) ASEAN dan pameran kesehatan hewan internasional.

Hewan dan produk hewan banyak sekali pemanfaatannya demi kepentingan manusia. Dalam mendapatkan faedah tersebut, beberapa keadaan dapat memicu timbulnya penyakit-penyakit baru berbahaya bagi hewan maupun manusia. Para ahli kesehatan hewan dan manusia mencatat peningkatan ancaman penyakit-penyakit menular baru (emerging disease) dan penyakit lama yang muncul lagi (re-emerging disease), terhadap rantai makanan dan ekonomi, serta terhadap flora dan fauna yang merupakan keanekaragaman penting pendukung infrastruktur kehidupan dunia.

Beberapa kejadian penyakit pada hewan, terutama yang dapat menular ke manusia (zoonosis), sering mengguncang publik. Seperti kejadian antraks, kasus flu burung, maupun kasus leptospirosis yang banyak terjadi pasca banjir dan kerap salah persepsi sering disebut sebagai “virus tikus” karena banyak ditularkan melalui urin tikus. Kejadian-kejadian tersebut tak urung “menyentil” kesadaran masyarakat akan peran dan fungsi dokter hewan dalam aspek-aspek kehidupan manusia. Kasus tersebut hanya sebagian kecil dari peran dan tanggung jawab seorang dokter hewan. Peran serta fungsi dokter hewan jauh lebih banyak dan lebih luas dari itu.

Untuk Kongres FAVA sendiri telah ditetapkan bahwa FAVA Council Meeting dan Pre Congress Workshop berikutnya akan dilaksanakan di Borneo Convention Centre, Kuching, Malaysia pada 13-14 November 2020.

Sementara dari hasil Kongres PDHI 2018 telah terpilih nakhoda baru Drh H. Muhammad Munawaroh sebagai Ketua Umum Pengurus Besar PDHI periode 2018-2022. Sementara, untuk Persatuan Istri Dokter Hewan Indonesia (Pidhi) hasil kongres 2018 telah ditetapkan Drh Tri Isyani Tungga Dewi sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Pidhi periode 2018-2020.

Dalam sambutan saat penutupan, ketua umum PB PDHI terpilih berjanji akan lebih banyak merangkul dan memberdayakan Pidhi agar kinerjanya lebih bermanfaat dan bermartabat. (Mas Djoko R/Bali)

BBVet Denpasar Terima Kunjungan Delegasi 42 Negara Peserta GHSA

Para delegasi dari 42 negara mengunjungi BBVet Denpasar (Foto: Dok. Kementan)


Sebanyak 42 negara peserta Pertemuan Tingkat Menteri Global Health Security Agenda (GHSA) 2018 Ministerial Meeting melakukan kunjungan ke Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar, Kamis (08/11). Kunjungan lapang (Site Visit) GHSA ini sebagai suatu kehormatan sekaligus kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, karena pertemuan yang digelar pada tanggal 6-8 November di Nusa Dua, Bali ini merupakan forum tahunan dan tertinggi GHSA antar negara-negara dunia.

Dalam kunjungan ini, beberapa negara menyatakan ketertarikan dan keinginannya untuk dapat belajar dan bertukar informasi tentang cara kerja dan keberhasilan BB-Vet dalam memitigasi dan menangani beberapa penyakit Zoonosis. 

Para peserta kunjungan kerja diajak melihat secara langsung proses dan metode kerja lab yang digunakan, khususnya yang berkaitan dengan penyakit Zoonosis (ditularkan melalui hewan).

Dirkeswan mendampingi Menteri Kesehatan Uganda dan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Italia (Foto: Dok. Kementan)

Pada kesempatan tersebut Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD selaku Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian menyampaikan, semenjak ditetapkan sebagai Balai Besar, BBVet Denpasar telah menerima kunjungan belajar resmi dari berbagai institusi lintas negara baik lembaga setingkat kementerian, saintifik, akademik, maupun lembaga-lembaga lab dari berbagai penjuru dunia.

“Kunjungan kerja delegasi negara anggota dan peserta GHSA Ministerial Meeting 2018 tidak saja penting dalam perspektif kemampuan Indonesia mencegah, mendeteksi, dan menanggulangi penyakit yang bersifat Zoonosis, tetapi juga menunjukkan penerapan fungsi lab yang signifikan dalam menjaga kesehatan hewan, manusia, serta lingkungan,” ungkap Fadjar, dalam keterangan resmi yang diterima Infovet.

Menurutnya, tantangan besar dalam peternakan dan kesehatan hewan yaitu meningkatnya kepedulian global terhadap penyakit hewan lintas batas/penyakit menular yang muncul sehingga laboratorium hewan memiliki peran yang sangat penting dalam sistem kesehatan.

Menteri Kesehatan Uganda, Dr Jane Aceng mengungkapkan ketertarikannya dengan fasilitas laboratorium milik Indonesia yang sangat baik. “Penerapan biosafety dan biosecurity telah dilakukan, sehingga potensi bahaya yang mungkin akan ditimbulkan dapat diantisipasi,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Gluseppe Ruocco, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Italia menyampaikan apresiasi kepada Indonesia yang telah memberikan informasi tentang kesehatan hewan yang sangat bermanfaat. (NDV)



Impor Jagung Jangan Jadi "Pemadam Kebakaran"

Jumpa pers Pataka soal jagung di Jakarta, Kamis (8/11). (Foto: Infovet/Ridwan)

Direktur Eksekutif, Pusat Kajian Pertanian dan Advokasi (Pataka), Yeka Hendra Fatika, mengungkapkan bahwa keputusan pemerintah terkait rencana impor 100 ribu ton jagung tidak hanya dijadikan sebagai “pemadam kebakaran” atas kegelisahan peternak.

“Akan tetapi pemerintah harusnya bisa mempersiapkan cadangan jagung nasional yang dapat digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan,” ujar Yeka dalam pertemuan bersama wartawan di Jakarta, Kamis (8/11).

Ia menilai keputusan impor tersebut merupakan langkah tepat, meskipun dinilai terlambat. Pasalnya impor membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sampai saat ini pun rekomendasi impor jagung tersebut belum keluar. Ia memprediksi jagung impor baru akan masuk akhir Januari atau awal Februari 2019 mendatang.

“Itu bisa berbarengan dengan panen raya jagung. Jika nanti jagung dalam negeri mencukupi, impor akan sia-sia,” katanya. Ia juga menyebut, keputusan impor yang mendadak berpotensi memengaruhi harga jagung.

Ia menjelaskan, berdasarkan data yg diperoleh dari Grain Report USDA 2013-2018, Indonesia yang telah mengklaim berhenti mengimpor jagung semenjak 2016 lalu tidak benar-benar secara total menyetop impor.

“Tidak benar kalau pemerintah tidak melakukan impor jagung periode 2017-November 2018, yang benar adalah penurunan impor jagung atau tepatnya pengendalian impor jagung, karena impor jagung masih ada,” ucapnya.

Kendati impor jagung menurun, justru Indonesia kian gencar mengimpor gandum. Dari data yang sama, impor gandum justru meningkat tajam kurun waktu 2016-2018. “Nah impor gandum kita justru meningkat, rata rata 296,5% peningkatannya tiap tahun. Satu sisi bisa dibilang penghematan (penurunan impor jagung), namun terjadi pemborosan dalam hal impor gandum,” terang dia.

Selain impor, Yeka juga meragukan pernyataan pemerintah soal surplus jagung yang mencapai 12,92 juta ton. “Surplus karena adanya luas panen jagung 2018 sekitar 5,3 juta hektar. Maka dengan asumsi 1 hektar memerlukan benih jagung rata-rata sebesar 20 kg, di 2018 ini diperlukan benih jagung sebanyak 106 ribu ton benih. Padahal kapasitas produksi benih nasional tidak pernah melebihi 60 ribu ton," jelasnya.

Ia juga menambahkan, “Saat ini masih ada impor jagung, misal di 2015, sekitar 3,2 juta ton, sering kali ada keluhan harga jagung dalam negeri anjlok. Kalau surplus sampai 10 juta ton saja, tidak terbayang bagaimana keluhan petani jagung, bisa-bisa mereka enggak mau tanam jagung di musim berikutnya karena harga jagung pasti anjlok tidak karuan,” tambah Yeka.

Yeka juga menyebut, jika jagung surplus tidak perlu ada impor gandum untuk pakan ternak. Nyatanya dari data Grain Report USDA 2013-2018, pasca ditutupnya impor jagung, pemerintah membuka keran impor gandum untuk pakan sebesar 3,1 juta ton periode 2018, meningkat dari tahun sebelumnya 2,8 juta ton (2017) dan 1,8 juta ton (2016).

Bukannya mendapat keuntungan dari menutup impor jagung, justru malah mendatangkan kerugian. Sebab, harga gandum impor saat ini berkisar Rp 4.800 per kg, sementara harga jagung impor hanya Rp 3.600 per kg. Selain itu, menurut beberapa praktisi perunggasan, pemberian gandum pada ternak unggas tidak terlalu baik untuk produktivitas maupun performa ternak dibanding dengan pemberian jagung.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Forum Peternak Layer Nasional, Ki Musbar, berpendapat, pemerintah terkesan tidak adil, baik dalam penyediaan maupun harga jagung untuk peternak.

“Jagung ini kan bahan pangan pokok yang diatur pemerintah, harusnya suplai selalu tersedia dan harga terjangkau masyarakat, karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kalau kita lihat polemik jagung selalu harganya di atas farm gate. Ini kemungkinan ada permainan segilintir kelompok yang tidak memikirkan kepentingan nasional,” kata Musbar.

Ia juga mengkhawatirkan jikalau rencana impor jagung 100 ribu ton tidak bisa terealisasi pada Desember tahun ini, kenaikan harga pakan hingga telur bisa dipastikan melambung tinggi.

“Ada indikasi kenaikan harga. Hari ini harga jagung sudah menyentuh 5 ribu rupiah dan diprediksi harga pakan akan meningkat hingga 3 ribu rupiah. Apabila impor jagung masuk diakhir Januari maka diprediksi harga telur akan ikut naik di farm gate sekitar 24 ribu rupiah, saat ini harga di farm gate 18 ribu rupiah di Jawa Timur yang merupakan sentra produksi telur,” pungkasnya. (RBS)

Indonesia Menghadiri Konferensi Global Resistensi Antimikrobial di Morocco


Drh Ni Made Ria Isriyanthi dan DrhYurike Elisadewi (berkerudung merah) berada dalam konferensi (Foto: Istimewa)  

Kasubdit Pengawasan Obat Hewan - Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh Ni Made Ria Isriyanthi PhD selaku OIE-National Focal Point untuk Veterinary Product, serta Drh Yurike Elisadewi Ratnasari M Si (Kasi Mutu Obat Hewan) hadir dan berpartisipasi aktif dalam “2nd Global Conference on Antimicrobial Resistance and Prudent Use of Antimicrobial Agents in Animals”.

Konferesi yang berlangsung pada 29-31 Oktober 2018 ini diikuti oleh 97 perwakilan delegasi negara anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health/Office Internationale des Epizooties/OIE). Pertemuan ini dibuka oleh Monique Eloit selaku Director General OIE. Kongres ini diselenggarakan di Palais des Congres de la palmeraie, Palmeraies Resort, Marrakesh, Morocco.

Pemateri-pemateri dari OIE, World Health Organization (WHO), Food and Agricultural Organization (FAO), serta dari beberapa negara anggota OIE dalam berbagi  pengalaman pengendalian Antimikrobial (AMR) di negaranya, mewarnai konferensi ini.  

Para pemateri dari berbagai negara (Foto: Istimewa)

Salah satu topik bahasan yang menarik dalam pertemuan ini adalah tentang penggunaan kajian ekonomi dalam penetapan kebijakan terkait AMR, dengan pembicara Dr Jonathan Rushton dari Department of Epidemiology and Population Health, Institut for Infection and Global Health, University of Liverpool, UK serta Dr Michael M Ryan dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Paris, France yang menyampaikan topik Analisa Ekonomi Cost Benefit  dalam penggunaan antimikrobial pada produksi pangan asal ternak .

Pertemuan ini menghasilkan beberapa rekomendasi bagi negara-negara anggota OIE diantaranya adalah diperlukan memobilisasi sumber-sumber yang memadai untuk pengembangan komunikasi terkait AMR yang sejalan dengan OIE International Standard, dan memastikan keterlibatan semua stake holder dalam pengembangan strategi pengendalian AMR.

Di sela-sela pertemuan tersebut, Drh Ni Made Ria PhD menyampaikan tanggapan bahwa Indonesia sudah mengeluarkan Permentan No. 14 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan yang telah mengatur pelarangan penggunaan AGP, dimana antimikrobial hanya diizinkan untuk terapi diberikan pada saat yang tepat, dengan dosis yang tepat, dengan resep dokter hewan, dan di bawah pengawasan dokter hewan dengan memperhatikan with drawal time/waktu henti obat.

Selanjutnya, diikuti dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor : 09111/Kpts/PK.350/F/09/2018 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Obat Hewan Dalam Pakan Untuk Tujuan Terapi.


Dr Hirofumi Kugita, OIE Regional Representative for Asia Pasific (Foto: Istimewa)

Beberapa rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh OIE dari hasil konferensi ini, yaitu masih diperlukan riset yang fokus pada dinamika dan epidemiologi AMR dari sisi One Health, pengembangan vaksin dan alternatif pengganti antimikrobial melalui public-privat partnership; untuk mempertimbangkan kemungkinan penggunaan vaksin autogeneous maupun alternatif lain, untuk mengurangi kebutuhan penggunaan antimikrobial; untuk melanjutkan pengembangan daftar antimikrobial yang hanya digunakan untuk companion animal, spesies hewan lain, termasuk obat antiparasit; serta masih diperlukannya pengembangan kerangka kerja terkait monitoring dan evaluasi dalam rangka memantau kemajuan pelaksanaan strategi pengendalian AMR, seperti yang tertuang dalam Resolusi OIE No. 36 Tahun 2016 pada Sidang Umum Delegasi OIE ke-84. (Sumber: Rilis Subdit POH)

 


ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer