Masyarakat tidak perlu khawatir terhadap
ketersediaan (pasokan) dan stabilitas harga daging sapi, terutama menjelang
momen-momen besar seperti bulan ramadhan dan lebaran yang sebentar lagi akan
tiba. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
Kementerian Pertanian menjamin bahwa ketersediaan daging sapi yang berkualitas
akan cukup dan terjangkau bagi masyarakat. Selain tetap konsisten
memprioritaskan keberadaan ternak lokal untuk pemenuhan daging sapi dalam
negeri, Pemerintah akan memperluas akses dari negara maupun zona tertentu yang
memenuhi syarat kesehatan hewan “yang ditetapkan Badan Kesehatan Hewan Dunia
(OIE)” untuk menambah alternatif sumber penyediaan hewan dan produk hewan.
Dirjen PKH Muladno saat meninjau langsung ketersediaan sapi potong di sentra produksi sapi nasional. |
“Kebijakan ini merupakan implementasi dari paket
kebijakan ekonomi jilid IX untuk stabilisasi harga daging sapi,” ungkap
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Dr. Ir. Muladno, MSA.
Sebagaimana diketahui bahwa memasuki kuartal pertama tahun 2016, sub sektor
peternakan mengalami turbulensi yang cukup menekan, kenaikan harga daging sapi
di beberapa wilayah menjadi permasalahan di masyarakat.
Mengenai stabilisasi harga daging, diasumsikan bahwa
untuk pemenuhan kebutuhan daging sapi dalam negeri masih kekurangan pasokan,
dan untuk menutup kekurangannya masih harus dipasok dari impor. Selama ini
negara asal impor daging sapi ke Indonesia adalah Australia, USA, New Zealand,
Canada dan Jepang.
Salah satu implikasi yang dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan ketersediaan dan stabilitas harga daging sapi yaitu pemerintah akan
memperluas negara asal pemasok dengan prinsip yang awalnya country based
menjadi zona based sesuai yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan, dimana pada pasal 36 E berbunyi:
1.
Dalam hal tertentu, dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional dapat dilakukan pemasukan ternak dan/atau produk hewan
dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan
dan tata cara pemasukan ternak dan/atau produk hewan.
2.
Ketentuan lebih lanjut mengenai dalam hal
tertentu dan tata cara pemasukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah
Kebijakan tersebut juga merupakan salah satu upaya
untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara asal pemasok daging sapi yang
masih terbatas sebagaimana tersebut di atas. Regulasi yang ada di Indonesia
sebelumnya hanya memperbolehkan impor sapi dari suatu negara yang bebas
penyakit hewan menular strategis seperti Penyakit Mulut dan Kuku. Melalui
penerbitan beleid tersebut, maka izin impor sapi akan dilihat per zona/wilayah.
Dengan adanya kebijakan ini diharapkan harga daging di tingkat konsumen akan
stabil, sehingga masyarakat akan memperoleh harga daging yang terjangkau.
Beberapa alternatif negara pemasok daging ke
Indonesia yaitu Brazil, India dan Meksiko karena memiliki populasi ternak
terbesar di Dunia. Sebagai tindaklanjutnya, maka pada tanggal 10 Maret 2016
pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam Hal Tertentu
yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Kebijakan
pemerintah ini ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan stabilitas harga
yaitu dengan menetapkan negara atau zona dalam suatu negara, unit usaha atau
farm untuk pemasukan ternak dan/atau produk hewan berdasarkan analisis resiko
dan sejalan dengan perdagangan hewan dan produk hewan sebagaimana yang diatur
oleh Badan Kesehatan Hewan dunia (OIE).
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Drh. Sri
Mukartini, MApp.Sc menyampaikan bahwa untuk mengevaluasi dan verifikasi sistem
kesehatan hewan, sistem surveillans dan zoning, serta Rumah Potong Hewan (RPH)
di negara asal pemasok, maka Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
akan membentuk suatu Tim Audit untuk
melakukan on site review ke negara tersebut. “Pembentukan Tim Audit Negara Dan
Unit Usaha Pemasukan Daging Ruminansia Besar Dari Negara Asal Pemasok Ke Dalam
Wilayah NKRI ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian,” ungkapnya.
“Selanjutnya berdasarkan analisa resiko impor
kualitatif yang dilakukan oleh Tim Audit yang beranggotakan Komisi Ahli
Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Karantina Hewan akan
disimpulkan estimasi resiko (Risk Estimation) masuknya daging dari negara asal
pemasok ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” tambah Sri Mukartini.
Sebagai tindak lanjut dari PP tersebut, Kementerian
Pertanian saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
untuk operasional PP tersebut. Pemerintah akan terus berupaya mencari jalan
untuk memenuhi kebutuhan daging di Indonesia dengan tidak mengabaikan aspek-aspek
keamanan pangannya. Food security tetap menjadi prioritas dalam setiap
kebijakan yang diambil oleh Pemerintah disamping juga memperhatikan dampak
sosial ekonomi yang mungkin akan terjadi.
Oleh karena itu, seperti diungkapkan Direktur Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa Pemerintah akan melakukan importasi
dari negara berdasarkan zona untuk
memenuhi kekurangan pasokan dari dalam negeri dan Pemerintah akan tetap
konsisten memprioritaskan keberadaan ternak lokal untuk pemenuhan daging sapi
dalam negeri, sehingga hasil peternakan rakyat dapat terserap oleh pasar. Hal
ini mengingat produksi daging sapi dalam negeri saat ini ditunjang oleh
dukungan usaha peternakan domestik yang sebagian besar adalah usaha peternakan
rakyat.
Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Peternakan, Ir. Fini Murfiani, MSi menyatakan bahwa daging sapi lokal
mempunyai beberapa kelebihan yaitu: (1) strukturnya yang kenyal dan “firm” sangat cocok dengan masakan
kuliner nusantara dengan metode pengolahan basah atau perebusan (seperti
rendang, sop, soto, gulai dan lain-lain), serta produk giling seperti bakso.
Bila dianalogikan seperti daging ayam kampung; (2) khusus untuk sapi Bali yang
termasuk dalam Bos Javanicus merupakan Sumber Daya Genetik (SDG) sapi asli
Indonesia dengan kerangka tubuh relatif kecil dan masak dini (early mature) dagingnya memiliki
karakter yang khas, teksturnya halus dan pembentukan perlemakan di dalam daging
(marbling) yang potensial sehingga
daging sapi Bali lebih “juicy”.
Bila sejak usia lepas sapih, pedet jantan sapi Bali
diberi pakan yang baik dan digemukkan secara khusus seperti sapi wagyu, sapi
Bali cocok untuk berbagai masakan kuliner nusantara maupun untuk dibuat streak
yang proses memasaknya disebut “dry
cooking”; (3) dengan pola pemeliharaan sapi yang dilakukan secara ekstensif
atau di padang rumput (terutama di daerah produsen sapi di Indonesia Timur)
yang sepenuhnya mengandalkan pakan sapi dari hijauan tanpa ada treatmen
hormonal yang diberikan, sapi lokal menghasilkan daging sapi yang dapat
disetarakan dengan daging organik.
“Agar daging sapi lokal dapat lebih dinikmati oleh
masyarakat, Pemerintah akan terus memperbaiki tata niaga sapi lokal dari daerah
produsen ke daerah konsumen, sehingga diharapkan dapat memperbaiki harga sapi
di tingkat peternak dan harga daging sapi juga bisa lebih terjangkau di tingkat
konsumen,” ungkap Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan.
Menurut Muladno, Ditjen PKH akan mengkoordinir semua
institusi pemerintah maupun non-pemerintah untuk mengkonsolidasikan kekuatan
peternak berskala kecil tersebut dalam kegiatan pra produksi, produksi, dan
pasca produksi, serta kegiatan penunjang yang saling bersinergi dan
berkelanjutan. Model pengembangan peternakan melalui pendekatan Sentra
Peternakan Rakyat (SPR) merupakan bentuk konkrit dari implementasi visi
pemerintah, yaitu “terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri dan
berkepribadian berlandaskan semangat gotong royong”.
SPR merupakan suatu model pemberdayaan masyarakat
dalam hal ini para peternak, dalam mengelola usaha peternakannya yang
berorientasi bisnis kolektif sehingga dapat berperan sebagai media pembangunan
peternakan secara terintegrasi bagi pembangunan peternakan, sedangkan Sekolah
Peternakan Rakyat merupakan media transfer ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
membangun kesadaran masyarakat dan mendorong tindakan kolektif.
“Oleh karena itu, kehadiran SPR diharapkan akan
dapat melahirkan peternak-peternak yang mampu memproduksi dan mensuplai daging
ke daerah lain tanpa harus impor” jelas Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan. “Pada tahun 2016 telah
ditetapkan 50 SPR sebagai pilot project (atau SPR Perintis), dan diharapkan
pada tahun berikutnya SPR akan terus bertambah keberadaannya,” kata Muladno.
Lebih lanjut Muladno menjelaskan, sebagai upaya
untuk menangani permasalahan yang terjadi pada harga daging sapi, pemerintah
juga terus berusaha untuk memperbaiki sistem distribusi dan tata niaga yang
belum efisien, salah satunya dengan fasilitasi kapal khusus ternak. Selain
perbaikan aspek tata niaga, pemerintah juga berusaha untuk meningkatkan
populasi dan produktivitas ternak dengan beberapa kegiatan diantaranya yaitu:
Gertak Birahi Inseminasi Buatan (GBIB) dan Pengadaan Sapi Indukan, dimana pada
tahun 2016 ini pemerintah berencana akan mengimpor 50.000 sapi indukan, serta
penyelamatan sapi betina produktif.
Sedangkan peran pemerintah daerah adalah menjaga
keseimbangan struktur populasi ternaknya dan menginisiasi pembentukan wilayah
sumber bibit pada daerah padat ternak. Diharapkan dengan adanya peningkatan
populasi dan produktivitas ternak, secara signifikan dapat memberikan dampak
positif untuk peningkatan ketersediaan daging sapi di Indonesia dan tercapainya
harga daging sapi yang terjangkau di tingkat konsumen. (wan, Sumber: Humas
Ditjen PKH)