Populasi sapi di Lampung memang relatif besar.
Provinsi paling selatan dari Sumatera ini adalah sentra sapi potong Indonesia di
samping Jawa Barat, Jawa Timur dan NTT. Di Lampung, selain peternak lokal juga
banyak perusahaan besar sapi potong yang melakukan penggemukan sapi dengan
metode feedlot (karena itu perusahaannya biasa disebut feedloter).
![]() |
Didiek Purwanto, Direktur Feedloter PT KASA |
PT Great Giant Livestock Co (GGLC), salah satu
feedlot besar di Lampung bisa memelihara sampai 30.000 ekor sapi potong dalam
satu periode. Perusahaan lainnya –ada belasan feedloters di Lampung—berkisar
antara 2.500 sampai belasan ribu ekor.
Antara lain Santori (10.000), Juang Jaya (20.000), Elders Indonesia (8.000),
Andini (4.000) Indo Prima Beef (2.500), dan PT KASA (3.000).
Diperkirakan populasi sapi di Lampung tidak kurang
dari 400 ribu ekor. Jika dikonversi menjadi daging, bisa menghasilkan sekitar
150 ribu ton daging. Sekitar 25 persen dari kebutuhan daging nasional yang
mencapai 675 ribu ton daging sapi per tahun.
Lampung potensial menjadi sentra sapi potong karena
berbagai kelebihan. Mulai dari keberadaan lahan yang masih luas, ketersediaan
pakan (limbah industri kelapa sawit dan singkong yang banyak di Lampung),
hingga lokasi strategis yang relatif dekat dengan Jabodetabek. Seperti
diketahui 60 persen konsumsi daging nasional ada di Jabodetabek.
Itulah alasan mengapa banyak feedlot di Lampung. Itu
juga alasannya, mengapa banyak warga setempat beternak sapi potong pula. Di
pihak lain, para pengusaha di bidang ternak sapi juga tetap memiliki semangat
untuk mengembangkan usahanya. Meski para feedloter itu sempat disorot karena
dianggap melakukan “penimbunan” sapi serta dibingungkan dengan kebijakan
pemerintah soal sapi potong dan juga daging sapi, mereka siap maju terus,
dengan segala kendala yang ada.
“Kalau mau enak ya memang main impor daging. Risiko
lebih kecil dan margin bisa lebih besar. Tapi, bagi saya pribadi berat rasanya.
Tidak ada nilai tambah. Dengan feedlot,
meski sapinya juga impor tapi kita bisa ikut memberi nilai tambah,” kata Didiek
Purwanto, Direktur PT KASA saat ditemui Infovet pertengahan Februari lalu.
Nilai tambah yang dimaksud adalah bisa membuka
lapangan pekerjaan di feedlot. Juga menggerakkan usaha lain mulai dari sektor
angkutan sapi hidup, usaha penyediaan pakan, hingga ke rumah pemotongan hewan.
“Lagi pula, dengan ketersediaan lahan dan pakan berlimpah seperti ini masak
kita milih cuma impor daging,” kata Didiek lagi.
Ditempat terpisah Haji Mat Aji perwakilan peternak
sapi potong lokal juga ikut gagal paham dengan pilihan kebijakan impor daging
yang terus diutamakan. Kebijakan yang malah membuat peternak lokal “menangis”
karena daging produksi mereka dikalahkan daging impor.
Kebijakan itu juga memunculkan pertanyaan: daripada
impor daging dari Australia, India dan rencananya Meksiko, mengapa negara tidak
hadir untuk mendukung para peternak lokal? Daripada mencurigai para feedloter,
mengapa negara malah tidak memberi insentif agar mereka meningkatkan kapasitas
produksinya?
Semoga, impor daging jadi pilihan yang terakhir.
Benar-benar terakhir untuk segera diakhiri. Sehingga tidak lagi menimbulkan
kekecewaan dari para pengusaha sapi nasional maupun peternak lokal. (wan)