Menarik sekali kolom Refleksi edisi Mei 2014 karya Bambang Suharno yang berjudul “Dimanakah Alamat Sukses?”. Pesan penting dari artikel tersebut adalah; Semua orang memiliki alamat sukses sendiri-sendiri. Carilah itu dan bergegaslah ke sana.
Soal alamat, saya jadi ingat judul sebuah lagu dangdut “Alamat Palsu” yang pernah tenar didendangkan oleh Ayu Ting Ting. Sebab berkait dengan isi Kolom Refleksi, sudah pasti bahwa yang dimaksud alamat di sini adalah sebuah titik lokasi non geografis. Lebih konkritnya bagaimana dan kemana untuk menuju “sukses” itu. Jadi pertanyaannya, adakah alamat sukses yang palsu?
Sukses itu meskipun sebuah tujuan, namun toh sebenarnya lebih mengandung arti proses yang terus berjalan. Ibarat sebuah tanaman, maka tahapan itu adalah terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu sangatlah penting untuk dibatasi pengertian apa itu sukses. Meski sebenarnya tidak ada kata pengganti yang tepat untuk kata sukses selain menunjukan adanya proses yang terus berjalan meskipun banyak kendala yang merintangi.
Tak ada pula makna kata “sukses” yang berarti sebuah jenis kata “aktif”. Padahal sukses itu sudah pasti bukan bermakna pasif. Oleh karena itu definisi dan batasan sukses itu jika digabungkan dengan tempat, lokasi atau titik, sudah pasti menjadi bermakna pasif.
Alamat sukses sendiri adalah lebih mengandung arti sebuah pencapaian yang mampu memberikan perasaan senang, tenang dan nyaman bagi seseorang. Zona nyaman, kebebasan finansial, kemerdekaan berekspresi dan dapat begitu mencintai aktifitas yang dilakukan, itu menjadi beberapa parameter yang lebih rasional dan bisa diterima secara umum.
Menjadi wajar dan tak salah jika kemudian muncul pertanyan sebagai berikut :
Apakah seorang eksekutif sebuah Perusahaan yang bergaji Rp 500.000.000 tiap bulan sudah masuk dalam katagori level sukses?
Apakah seorang penjual nasi uduk keliling dengan penghasilan bersih Rp 25.000 per hari digolongkan belum mencapai sukses?
Tentunya akan menjadi semakin bias pengertian kata “sukses”. Lalu apakah seorang eksekutif itu benar-benar sudah mengerti, merasakan, menikmati dan sampai pada alamat tujuan sukses? Sedangkan si penjaja nasi uduk keliling itu contoh yang belum dan tidak sukses?
Kembali pada pertanyaan adakah alamat palsu sukses itu?
Sudah pasti alamat palsu sukses itu ada. Dua contoh ekstrim diatas adalah buktinya. Seorang eksekutif, meskipun dengan membawa pulang setengah miliar rupiah setiap bulan, namun jika belum tenang, tak nyaman atau kurang mendapat ruang untuk berekspresi, adalah kisah seorang yang sedang menemui alamat sukses, namun bukan yang sebenarnya, alias palsu.
Aktifitas kerjanya bukanlah merupakan hal yang mampu memberikan spirit untuk terus tumbuh dan berkembang, namun karena lebih didorong sebuah keharusan, dan ‘rasa takut’ terhadap pemilik perusahaan. Inisiatif dan kepekaan untuk berkreasi banyak dibebani oleh sebuah tanggung jawab pihak ketiga. Bukan pertanggungjawaban terhadap diri sendiri.
Justru si penjaja nasi uduk yang berkeliling keluar masuk kampung itulah yang telah menemukan alamat sukses sebenarnya. Barangkali meskipun dalam sehari hanya mampu menyisihkan nominal Rp 25.000 dari total omset hasil penjualannya. Namun kebebasan dan kemerdekaannya dalam berekspresi melebihi batasan seorang eksekutif itu. Kreasi dalam menjalankan pekerjaannya hanya dikontrol oleh dirinya sendiri, tanpa harus mempertanggungjawabkan kepada pihak lain.
Barangkali juga rasa aman, nyaman itu juga dia rasakan, karena ia sudah mampu menakar hasil yang akan dia peroleh. Dalam hal ini kebebasan finansial tentu saja jauh lebih ia rasakan karena keinginan dan kebutuhannya sudah dia ukur sendiri. Tak akan ia bunuh diri dengan memasang pasak lebih besar dari tiang.
Poin penting yang dapat dicatat dari uraian diatas adalah bahwa sukses adalah sebuah proses yang berjalan terus menerus dan bermakna aktif. Parameter materi atau hitungan angka ekonomis kurang mampu menegaskan makna sebuah kesuksesan. Kita bisa terjebak pada alamat “sukses yang palsu” jika proses “sukses” itu kurang memberikan rasa nyaman, aman, tenang serta terbelenggunya kebebasan berekspresi.
Soal alamat, saya jadi ingat judul sebuah lagu dangdut “Alamat Palsu” yang pernah tenar didendangkan oleh Ayu Ting Ting. Sebab berkait dengan isi Kolom Refleksi, sudah pasti bahwa yang dimaksud alamat di sini adalah sebuah titik lokasi non geografis. Lebih konkritnya bagaimana dan kemana untuk menuju “sukses” itu. Jadi pertanyaannya, adakah alamat sukses yang palsu?
Sukses itu meskipun sebuah tujuan, namun toh sebenarnya lebih mengandung arti proses yang terus berjalan. Ibarat sebuah tanaman, maka tahapan itu adalah terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu sangatlah penting untuk dibatasi pengertian apa itu sukses. Meski sebenarnya tidak ada kata pengganti yang tepat untuk kata sukses selain menunjukan adanya proses yang terus berjalan meskipun banyak kendala yang merintangi.
Tak ada pula makna kata “sukses” yang berarti sebuah jenis kata “aktif”. Padahal sukses itu sudah pasti bukan bermakna pasif. Oleh karena itu definisi dan batasan sukses itu jika digabungkan dengan tempat, lokasi atau titik, sudah pasti menjadi bermakna pasif.
Alamat sukses sendiri adalah lebih mengandung arti sebuah pencapaian yang mampu memberikan perasaan senang, tenang dan nyaman bagi seseorang. Zona nyaman, kebebasan finansial, kemerdekaan berekspresi dan dapat begitu mencintai aktifitas yang dilakukan, itu menjadi beberapa parameter yang lebih rasional dan bisa diterima secara umum.
Menjadi wajar dan tak salah jika kemudian muncul pertanyan sebagai berikut :
Apakah seorang eksekutif sebuah Perusahaan yang bergaji Rp 500.000.000 tiap bulan sudah masuk dalam katagori level sukses?
Apakah seorang penjual nasi uduk keliling dengan penghasilan bersih Rp 25.000 per hari digolongkan belum mencapai sukses?
Tentunya akan menjadi semakin bias pengertian kata “sukses”. Lalu apakah seorang eksekutif itu benar-benar sudah mengerti, merasakan, menikmati dan sampai pada alamat tujuan sukses? Sedangkan si penjaja nasi uduk keliling itu contoh yang belum dan tidak sukses?
Kembali pada pertanyaan adakah alamat palsu sukses itu?
Sudah pasti alamat palsu sukses itu ada. Dua contoh ekstrim diatas adalah buktinya. Seorang eksekutif, meskipun dengan membawa pulang setengah miliar rupiah setiap bulan, namun jika belum tenang, tak nyaman atau kurang mendapat ruang untuk berekspresi, adalah kisah seorang yang sedang menemui alamat sukses, namun bukan yang sebenarnya, alias palsu.
Aktifitas kerjanya bukanlah merupakan hal yang mampu memberikan spirit untuk terus tumbuh dan berkembang, namun karena lebih didorong sebuah keharusan, dan ‘rasa takut’ terhadap pemilik perusahaan. Inisiatif dan kepekaan untuk berkreasi banyak dibebani oleh sebuah tanggung jawab pihak ketiga. Bukan pertanggungjawaban terhadap diri sendiri.
Justru si penjaja nasi uduk yang berkeliling keluar masuk kampung itulah yang telah menemukan alamat sukses sebenarnya. Barangkali meskipun dalam sehari hanya mampu menyisihkan nominal Rp 25.000 dari total omset hasil penjualannya. Namun kebebasan dan kemerdekaannya dalam berekspresi melebihi batasan seorang eksekutif itu. Kreasi dalam menjalankan pekerjaannya hanya dikontrol oleh dirinya sendiri, tanpa harus mempertanggungjawabkan kepada pihak lain.
Barangkali juga rasa aman, nyaman itu juga dia rasakan, karena ia sudah mampu menakar hasil yang akan dia peroleh. Dalam hal ini kebebasan finansial tentu saja jauh lebih ia rasakan karena keinginan dan kebutuhannya sudah dia ukur sendiri. Tak akan ia bunuh diri dengan memasang pasak lebih besar dari tiang.
Poin penting yang dapat dicatat dari uraian diatas adalah bahwa sukses adalah sebuah proses yang berjalan terus menerus dan bermakna aktif. Parameter materi atau hitungan angka ekonomis kurang mampu menegaskan makna sebuah kesuksesan. Kita bisa terjebak pada alamat “sukses yang palsu” jika proses “sukses” itu kurang memberikan rasa nyaman, aman, tenang serta terbelenggunya kebebasan berekspresi.
Untung Satriyo