-->

Jamur Muncul Kapan Saja

(( Kedua praktisi menyarankan kepada para peternak dan pengelola untuk mengawasi secara benar cara penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. ))

Jamur muncul sebagai pengganggu produktifitas pada ayam tidak dipengaruhi oleh musim. Kondisi tatalaksana pakan lebih dominan menjadi penyebabnya. Sedangkan musim memang menjadi salah satu faktor pemicunya saja.

Namun umumnya para peternak mempunyai asumsi bahwa musim basah seperti musim hujan akan menjadi salah satu alasan utama penyakit karena jamur pada ayam muncul. Drh Indra Wijaya dan Ari Toto Lisan mengungkapkan hal itu kepada Infovet secara terpisah.

Indra seorang praktisi lapangan yang telah lebih dari 15 tahun bergelut di dunia perunggasan berpendapat bahwa memang ketika musim hujan probabilitas penyakit unggas yang disebabkan oleh jamur akan menjadi lebih tinggi frekuensinya dibanding musim kering atau kemarau.

Namun demikian, ujar Indra, pada kenyataaannya di lapangan, sangat sering terjadi penyakit-penyakit yang bersifat infeksi sekunder awalnya dipicu oleh adanya infeksi mikotosis. Jika demikian, menurutnya tidak lain karena aspek tatalaksana pakan yang kurang tepat.benar.

Menjelaskan yang disebut dengan tatalaksana pakan pada ayam, sebenarnya banyakpeternak sudah paham benar. Gudang penyimpanan pakan harus memenuhi syarat yaitu jauh dari kelembababan.

Namun demikian, umumnya anak kandanglah yang sering kurang tertib dan taat dalam pengelolaan pakan. Meski sudah mendapat pengarahan berkali-kali dan selalu diingatkan namun terkadang, melalaikan dan menganggap enteng serta bekerja mencari mudahnya saja. Oleh karena itu pengelola atau manager kandang memang harus rajin mengontrolnya.

Atas dasar pengalaman lapangan, aspek inilah yang paling dominan menjadi pemicunya. Sedangkan faktor musim basah, tidak lain harus diantisipasi dengan pengawasan penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. Jika hal ini lalai maka sudah pasti akan menjadi sulit untuk dicarikan jalan keluarnya, sebab penyakit jamur pada ayam, salah satu penyakit yang relatif sulit untu diatasi.

Umumnya penyakit ini memang muncul tidak bersifat tunggal, karena adanya infeksi sekunder yang justru kemudian infeksi sekunder yang termanifestasi lebih jelas pada gejala klinisnya.

Sedangkan Ari Toto juga seorang praktisi yang sudah malang melintang di lapangan, berpendapat bahwa akibat dari infeksi jamur pada ayam akan menyebabkan anjlognya produktifitas secara pelahan tapi pasti. Hal inilah yang menjadi penyebab penyakit ini terkadang sulit dan terlambat dideteksi oleh pengelola.

Indra juga sependapat dengan Ari bahwa kesulitan mendiagnosa penyakit karena jamur karena umumnya manifestasi yang tidak menciri. ”Salah satu ciri khas penyakit pada ayam karena jamur adalah tidak menciri, terlalu banyak diferensial diagnosa, bahkan sering terkacaukan dengan penyakit pencernaan dan pernafasan. Maka penelusuran dengan cermat dan teliti harus dilakukan oleh para praktisi agar tidak salah dalam terapinya,” ujar Indra dan juga Ari.

Jika sampai produktifitas melorot baik pada ayam potong maupun petelur, maka harus disidik dari mulai aspek pakan. Meskipun mungkin ada gejala klinis yang muncul yang mungkin menciri karena infeksi bakterial ataupun viral. Oleh karena itu langkah terapi pada infeksi sekunder dan yang justru muncul memang jalan terbaik.

Setelah penanganan penyakit atas gejala klinis yang muncul bisa diatasi, maka jika ternyata tetap saja produktiftas belum pulih secara signifikan barulah kemudian terapi atas infeksi jamur.

Memang, sering terjadi para praktisi berhenti setelah gejala klinis penyakit hilang, tetapi tidak meneruskan. Umumnya mereka berasumsi pulihnya produktifitas akan terjadi kemudian. Padahal infeksi primer yang menjadi penyebab dan pemicu belum teratasi.

Menurut Ari, jika demikian maka, akan semakin menambah parah kondisi produktifitas ayam. Maka menurut Indra dalam mengatasi infeksi jamur pada ayam memang butuh telaten dan cermat serta hati-hati.

Kedua praktisi menyarankan kepada para peternak dan pengelola untuk mengawasi secara benar cara penyimpanan, pencampuran dan saat pemberian. Hal ini sangat penting karena terlalu sering para peternak menyalahkan jagung, katul yang menjadi bahan pencampurnya pada ayam petelur. Namun sebenarnya pakan dari pabrikan harus juga diwaspadai menjadi biang munculnya penyakit jamur.

Memang benar dan dari kasus yang muncul terbanyak adalah karena kualitas jagung dan katul yang mengandung jamur cukup banyak. Oleh karena itu agar bisa tuntas dan menghasilkan produktifitas yang diharapkan, mewaspadai kualitas komponen pakan adalah penting sekali. (iyo)

KEMBALI KETATKAN 9 STRATEGI PENGENDALIAN AI

Sembilan (9) strategi pengendalian avian influenza yang dilakukan Departemen Pertanian sebetulnya berjasa besar pada pengendalian flu burung. Demikian Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD Dekan FKH UGM.

Kalaupun sekarang dijumpai kasus banyak pada sektor 4 yaitu di pemukiman penduduk, tidak mengurangi makna pengendalian yang sudah dilakukan di sektor 1, 2 dan 3 (peternakan komersial skala besar yang menerapkan biosecurity ketat, komersial skala menengah yang menerapkan biosecurity agak ketat, komersial kecil yang menerapkan biosecurity longgar)

Prof Charles memaparkan, perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan kasusnya di sektor 1 dan 2 yang menerapkan biosecurity sangat ketat. Kejadiannya juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.

Sementara di sektor 4, lanjutnya, di daerah pemukiman penduduk yang memelihara ayam di kandang-kandang dekat rumah, kasus endemik terjadi pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh. Sehingga, ternak-ternak ini dapat bertindak sebagai reservoir atau induk semang yang tak menunjukkan gejala penyakit virus AI.

Unggas (ayam buras, broiler, layer, layer afkir, itik, entog, burung puyuh) yang dijual di pasar tradisional dapat bertindak sebagai reservoir AIV.

Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.

Namun demikian kasus di sektor 4 ini memang tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kejadian kasus di sektor 1, 2 dan 3. Hal ini terkait dengan faktor-faktor yang berperan dalam penularan virus AI antar wilayah yaitu: lalulintas unggas dan produk asal unggas, transportasi kotoran ayam, mobilitas orang, kendaraan, bahan, peralatan, pasar becek, dan unggas/burung liar yang bermigrasi.

Apalagi, ketika 9 strategi pengendalian AI di peternakan itu berhasil, artinya tidak ada kasus, kemudian peternak menjadi lalai bahkan cenderung ugal-ugalan mengabaikan ketatnya biosecurity dan vaksinasi. Alasannya macam-macam di antaranya harganya sangat mahal.

Dengan munculnya kasus Flu Burung pada manusia dan ternak di sektor 4, yang dirunut tak lepas dari kejadian di sektor 1, 2, dan 3 yang mulai lalai dan ditularkan melalui jalur penularan tadi, maka peternakan di skala 1, 2, 3 mesti diingatkan untuk jangan sekali-sekali melonggarkan program sesuai 9 strategi yang dulu diterapkan secara ketat.

Sembilan (9) strategi pengendalian avian influenza oleh Deptan RI itu adalah:

1. Meningkatkan biosecurity pada semua aspek manajemen
2. Depopulasi secara selektif kelompok ayam/unggas yang terinfeksi virus AI.
3. Stamping out kelompok ayam/unggas pada daerah infeksi baru.
4. Vaksinasi terhadap AI
5. Kontrol lalu lintas unggas, produk asal unggas, dan produk sampingannya.
6. Surveilans dan penelusuran kembali
7. Mengembangkan penyadaran masyarakat
8. Restocking
9. Monitoring dan evaluasi.

Menurut pakar penyakit unggas ini, manfaat 9 strategi ini di sisi hulu adalah menekan pencemaran virus AI di lapangan, yaitu mengendalikan kasus AI pada unggas atau hewan lainnya serta mencegah penularan AIV dari unggas/hewan ke manusia.

Adapun manfaat di sisi hilir adalah mencegah kasus flu burung pada manusia yaitu mencegah terjadinya penularan antar manusaia (Pandemi influenza). (YR)

Penyakit Jamur Terkait Pakan Ternak

(( Beberapa jenis penyakit akibat jamur terjadi. Dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. ))

Pada peternakan ayam, penyakit aspergilosis dan kandidiasis merupakan penyakit yang umum ditemukan. Demikian Drh Jully Handoko Akademisi Fakultas Peternakan UIN Suska Riau menyatakan,

Lebih rinci dijelaskan Jully, kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus paraciticus menghasilkan metabolit toksik berupa aflatoksin. Kerugian akibat aflatoksin ini bisa dalam bentuk cemaran pada bahan baku dan pakan ternak yang disinyalir dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produk ternak itu sendiri.

Pakan dengan cemaran kapang dari jenis Aspergilus flavus dan jenis lainnya, bila diberikan ke ayam akan menimbulkan penyakit aspergilosis.

Menyoal aspergilosis pada ayam dengan toksinnya yang mengkontaminasi pakan dilaporkan Bahri et al., 1994 bahwa 80% pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia telah terkontaminasi aflatoksin B1 dengan variasi ukuran antara 10,1 – 54,4 ppb.

Sedang Maryam, 1996 telah mendeteksi keberadaan residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati dan daging ayam dengan kadar rata-rata 0,007 ppb dan 12,072 ppb dalam hati ayam, sedang pada daging ayam dengan kadar rata-rata 0,002 ppb dan 7,364 ppb.

Artinya, keberadaan residu aflatoksin ini disinyalir dapat membahayakan konsumen karena diduga toksin dari kapang jenis aspergilus ini dapat menyebabkan kanker pada manusia.

Kembali ke drh Jully Handoko alumni FKH UGM, dampak lain dari keberadaan aflatoksin dalam pakan ayam adalah terjadinya penurunan bobot badan. Sehingga, tujuan akhir dari pemeliharaan ayam pedaging atau broiler berupa pencapaian bobot badan maksimal tidak tercapai.

Di samping itu, pada ayam petelur dapat pula menurunkan produksi telur, dengan demikian kerugian akibat aflatoksin bukanlah sekedar isapan jempol belaka namun benar adanya.

Aspergilosis

Bila dikaji lebih jauh, Aspergilosis merupakan penyakit pernafasan atau brooder pneumonia yang disebabkan oleh cendawan dari genus aspergilus yang dapat menyerang manusia disamping ternak.

Penyakit ini sering dijumpai pada unggas seperti pada ayam dan itik, sedang pada ternak lainnya kasusnya sangat jarang ditemukan. Pada ayam, infeksi akibat aspergilosis dapat ditemukan pada alat pernafasan termasuk kantong udara dengan tingkat penyebaran yang cukup tinggi melalui darah ke bagian lain dari tubuh ayam.

Penyakit ini dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu aspergilosis bentuk akut dan aspergilosis bentuk kronis. Aspergilosis bentuk akut sering ditemukan pada ayam dengan usia muda yang dicirikan tingginya angka morbiditas dan mortalitas.

Sedang ayam dewasa sering terpapar aspergilosis dalam bentuk kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang rendah, namun secara umum angka kematian ayam yang terpapar aspergilus ini berkisar antara 50-65 %.

Aspergilosis biasanya bersifat sporadis. Secara umum munculnya aspergilosis di areal peternakan diprediksi akibat kelengahan atau kelalaian peternak dalam hal menjaga kebersihan kandang termasuk gudang pakan yang disinyalir sebagai mediator awal kemunculan jamur ini. Kenapa harus gudang pakan?

Menurut Jully, dari gudang pakanlah malapetaka penyakit dengan jamur tersebut dimulai. Dirunutnya dengan rinci, pada peternakan broiler yang fokus usaha ditujukan untuk menghasilkan daging dengan konsekwensi penuh pada pemberian pakan tepat waktu dengan tidak mengindahkan kandungan gizi dan jumlah pakan yang diberikan: Agar tidak terjadi keterlambatan dalam pemberian pakan, peternak biasanya menempatkan pakan pada gudang pakan yang diposisikan tidak jauh dari lokasi kandang.

Kemudian pakan ditumpuk ditempat tersebut dengan tidak mengindahkan kebersihan dan persyaratan penyimpanan pakan yang dianjurkan, sehingga pada kondisi tertentu yakni saat musim tak bersahabat, bertumbuhanlah jamur pada pakan dan ini tidak direspon oleh peternak.

Malahan, memberikan pakan yang telah terkontaminasi jamur tersebut pada peliharaannya. Pada kondisi inilah, penyakit akibat jamur yang mengkontaminasi pakan seperti aspergilosis tak dapat dihindari.

Seyogyanya, pembangunan gudang pakan ini tetap mengacu pada prosedur pembangunan kandang yang dipersyaratkan seperti cukup ventilasi, mendapatkan sinar matahari langsung, tidak ditempat yang lembab, dengan posisi lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah, dan menghindari gudang dari debu.

Aflatoksikosis

Sementara itu, tercemarnya pakan ternak oleh aflatoksin menurut Dewi Febrina SPt MP dapat juga menyebabkan terganggunya fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral berupa tembaga, besi, kalsium, fosfor, dan beta karoten, serta terjadinya kerusakan pada kromosom, perdarahan dan memar.

“Inilah penyebab awal terhambatnya pertumbuhan ternak, penurunan produksi, melemahnya sistem kekebalan tubuh, dan disisi lain sifat immunosupresif aflatoksin diduga dapat menyebabkan kegagalan vaksinasi, bahkan kejadian ini dapat berakhir pada kematian,” jelas alumni pasca sarjana Unand ini dengan mantap.

Kandidiasis

Penyakit lain yang juga tak kalah pentingnya diketahui peternak adalah kandidiasis yang juga masih dipromotori jamur, bersifat infeksi pada saluran pencernaan terutama tembolok, dan kadang-kadang pada rongga mulut, esofagus dan proventrikulus.

Masa inkubasi tidak tetap artinya selalu bervariasi tergantung pada kondisi daya kebal tubuh ternak dimaksud. Penyakit ini ditemukan pada ayam, terutama peternakan ayam komersial, dengan gejala klinik pada ayam muda seperti gangguan pertumbuhan, pucat, lesu, lesi gatal pada ulkus kulit dan selaput lendir, pneumonitis, dan bulu berdiri.

Penampakan lain yang juga tak kalah pentingnya dalam mengidentifikasi kandidiasis ini adalah kondisi bulu di sekitar kloaka yang kotor, ini disebabkan adanya tempelan feses penderita akibat keradangan pada kloaka. Berbeda dengan aspergilosis, kandidiasis disebabkan oleh Candida albicans, merupakan jamur yeast atau ragi dari famili fungi.

Sifat jamur ini relatif lebih resisten di dalam tanah dan tahan terhadap berbagai desinfektan. Kembali ke drh Muhammad Firdaus MSi alumni pasca sarjana Unri menyatakan, penularan kandidiasis biasanya melalui oral karena ayam sehat mengkonsumsi pakan atau air minum yang sudah tercemar Candida albicans.

Dalam hal ini, kandidiasis tidak ditularkan melalui ayam per ayam, sehingga untuk pencegahan kandidiasis ditingkat peternak agak lebih muda yakni cukup mengetatkan sanitasi lingkungan kandang dan ternaknya serta menjaga agar pakan tetap dalam keadaan baik. (Daman Suska)

Penyimpanan Pakan

(( Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur. ))

Di tingkat peternak, pakan berjamur sering terabaikan dan ini memberikan dampak yang cukup besar bagi usaha peternakan karena pakan berjamur dapat menyebabkan ayam sakit atau setidaknya dapat menurunkan pertambahan berat badan perharinya. Demikian Firdaus peternak ayam broiler desa Simpang Siabu kecamatan Bangkinang kabupaten Kampar Riau.

Menurutnya, bila penyimpanan pakan terkesan asal-asalan saja dengan penumpukan yang melebihi kapasitas dipastikan jamur dengan mudah mengkontaminasi pakan. Lebih lanjut dikatakannya, dalam berusaha peternak tentu mengharapkan untung usaha yang besar meskipun kesannya dengan pengeluaran yang minim, namun segi-segi kebersihan tetaplah dijadikan dasar untuk mencapai itu semua.

Ketika ditanya bagaimana peternak menangani kasus ini, “Hanya dengan pengamanan biologi yang ketat dan pelaksanaan aspek manajemen lainnya secara optimal yang diperlukan untuk menghilangkan faktor pendukung berjangkitnya jamur di usahanya,” jelas peserta kemitraan PT Primatama Karya Persada ini dengan mantap.

Di lain sisi, Drh Muhammad Firdaus MSi Kasi Keswan Dinas Pertanian kota Pekanbaru menyatakan, peternak tetap mengutamakan kualitas pakan, baik yang berhubungan langsung dengan komposisi gizi yang sesuai dengan kebutuhan ayamnya ataupun hal terkait lainnya seperti manajemen penyimpanan pakan tersebut dalam arti menghindari pakan dari kondisi gudang penyimpanan yang lembab dan hal-hal lain yang memungkinkan jamur tumbuh subur.

Disamping itu, upaya penanggulangan cemaran jamur terutama aflatoksin pada pakan dan keracunannya pada ternak yakni dengan menggunakan bahan pengikat kimia seperti arang aktif dan zeolit.

Sementara itu, penggunaan bahan alami seperti kunyit, sambiloto dan bawang putih untuk penanggulangan jamur telah pula diuji coba.

Terakhir penggunaan berbagai jenis mikroba melalui proses degradasi telah dilaporkan dengan hasil dapat menurunkan jumlah aflatoksin yang masuk ke dalam tubuh ternak.
Setidaknya kontrol yang ketat terhadap lingkungan sangat penting pada saat pemilihan jenis untuk mengeliminasi penyakit disebabkan oleh jamur diantaranya sterilisasi, desinfeksi dan sanitasi.

Sementara itu dalam pemilihan desinfektan yang cocok perlu pula peternak memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

(1) Jenis permukaan yang akan dilakukan desinfeksi,
(2) Tingkat kebersihan permukaan,
(3) Jenis organisme yang akan dibuang,
(4) Ketahanan dari bahan yang digunakan dalam pembuatan kandang atau gudang pakan, (5) Durasi waktu perlakuan,
(6) aktifitas residu.

Namun apapun cara yang dilakukan, sebaiknya tetap kembali pada konsep awal yakni mencegah lebih baik dari mengobati. (Daman Suska)

Saatnya Untuk Restrukturisasi dan Kompartementalisasi

Isu seputar flu burung yang sedang menghangat kembali seperti saat ini terus bergulir di masyarakat.dan telah mendorong berbagai tekanan terhadap keberadaan peternakan yang berdekatan dengan pemukiman, khususnya di kota besar. Ditambah lagi dengan semakin meningkatnya kasus flu burung di Jakarta yang hingga berita ini diturunkan tercatat 21 kasus posistif flu burung dengan 19 diantaranya meninggal dunia. Untuk itu diperlukan restrukturisasi peternakan khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya.

Hal itu mencuat dalam pertemuan Pengendalian Avian Influenza dengan Stakeholder, Kamis(18/1) di Aula Dirjen Peternakan Lt 6 Gd. C Departemen Pertanian. Pertemuan itu dihadiri Dr John Weaver (Konsultan FAO) dan Dr Anni Mc Leod (ahli ekonomi FAO).

Restrukturisasi, Ya atau Tidak

Fenny Firman Gunadi Sekjen Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) mengatakan, mengubah kebiasaan masyarakat itu tidak mudah. Apalagi masyarakat kita telah terbiasa hidup disekitar unggas baik itu, unggas ayam ataupun burung. Maka rencana restrukturisasi yang akan dilakukan pemerintah harus terlebih dahulu memiliki landasan hukum yang kuat. Jangan sampai nanti ketika sudah direstrukturisasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan peternakan harus kembali terusir karena terdesak oleh pemukiman. Begitu banyak pula peraturan yang kontradiktif antara peraturan yang dibuat Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sementara Adnan Ahmad dari Dinas Peternakan DKI mengungkapkan, rencana restruktukrisasi ini sudah dibahas sejak satu tahun lalu. Difokuskan pada penertiban pemeliharaan unggas-unggas dipemukiman yang berisiko besar sebagai penular virus flu burung ke manusia. Upaya kali ini dilakukan untuk menepis anggapan karena selama Dinas Pertanian atau Sudin Peternakan hanya dianggap seperti dinas kebakaran yang baru bertindak bila terjadi kasus, namun tidak bertindak untuk mencegah terjadinya kasus.

“Nantinya untuk peternakan akan diberikan tempat khusus yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Begitu juga dengan tempat penampungan dan pemotongan ayam yang tersebar liar dihampir semua wilayah Jakarta. Untuk itu perlu ada peranan swasta dan pemerintah untuk mewujudkan hal ini,” ujar Adnan.

Lebih lanjut, kata Adnan, mengubah persepsi masyarakat tentang daging segar juga diutamakan. Karena selama ini menurut sebagian masyarakat daging ayam segar adalah yang baru dipotong, sedangkan daging beku tidak segar lagi. Hal ini salah karena daging beku berasal dari daging ayam yang baru dipotong yang langsung dibekukan untuk memperpanjang umur simpan tanpa ditambah bahan pengawet apapun.

Restrukturisasi tidak hanya melulu mengatur pelarangan beternak di wilayah perkotaan, tapi juga menyangkut lalu lintas hasil produksi. Seperti diungkapkan Don P Utoyo dari Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) yang dikutip Kisman dari Karantian Pertanian, restrukturisasi harus dilakukan secara keseluruhan mulai dari penerapan biosekuriti, good farming practice, dan penanganan pasca produksi yang terkait dengan perdagangan dan lalu lintas ternak atau daging unggas. Aturan mengenai lalu lintas hasil unggas masuk ke Jakarta harus diatur jelas karena kebutuan daging unggas dari Jakarta yang mencapai 1 juta ton per hari selama ini dipasok dari wilayah sekitar seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Bila langkah restrukturisasi ini berhasil maka tinggal dilanjutkan dengan program kompartementalisasi bagi industri perunggasan. Namun disini dituntut keterbukaan pada program biosekuriti dan surveilans internal dalam menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap bebas AI dari pelaku peternakan sektor 1 dan 2 yang bertujuan untuk membuka peluang ekspor Indonesia.

Askam Sudin dari GPMT menekankan, untuk merekstrukturisasi peternakan sektor 3 dan 4 ini membutuhkan waktu dan sosialisasi yang lebih lama dan akan banyak menimbulkan pro dan kontra.

Sudirman dari FMPI menyampaikan, “Saat ini, mulailah kita bekerja dan jangan ada lagi seminar atau workshop membahas hal yang itu-itu saja. Karena isu restrukturisasi maupun kompartementalisasi sudah mencuat sejak tahun lalu. Dan sebagian besar pelaku industri peternakan dan pemerintah telah paham betul konsep akan hal ini. Segera dibentuk tim yang bisa langsung bekerja karena kalau kita terus berwacana tidak akan mendapat hasil apa-apa.”

Hal senada diungkapkan Paulus Setiabudi dari Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), “Saat ini peternak merugi 7-8 milyar rupiah setiap hari akibat statement pejabat pemerintah yang tidak terkontrol di media massa. Statement mereka menyebabkan ketakutan di masyarakat untuk mengkonsumsi unggas. Sementara di Pembibitan Unggas setiap minggu kerugian mencapai 20-25 milyar. Inilah satu hal yang menyedihkan bagi industri perunggasan. Terlebih ditambah dengan statement pejabat yang sifatnya tidak menenangkan dan menjauhkan masyarakat dari mengkonsumsi daging dan telur unggas yang sehat.”

Paulus menambahkan, kompartementalisasi seperti contohnya di Thailand bisa dilakukan karena ada rantai integrasi dari semua lini. Mulai dari pembibitan, feedmill, obat-obatan, peternak, penanganan panen, hingga processing plant untuk mengolah hasil unggas menjadi food value added product. Mereka telah distandarisasi ISO dan dalam proses produksinya diawasi pemerintah sehingga produk hasilnya nanti benar-benar bisa dipertanggungjawabkan bebas AI dan penyakit lainnya. Itulah sebabnya Thailand mampu bangkit lebih cepat setelah wabah AI tahun 2003 dengan ekspor menerapkan berdasar kompartementalisasi. “Namun bagaimana dengan kita, apakah kita sudah sampai kesana atau baru akan menuju ke sana,” jelas Paulus.

“Restrukturisasi penting untuk merelokasi pasar ayam yang banyak tersebar di Jakarta. Namun untuk pendirian live bird market di luar perkotaan itu sudah menjadi tugas pemerintah, tidak mungkin swasta yang membangunnya,” tambah Paulus.

H Don P Utoyo FMPI menambahkan, sebelumnnya peternakan yang telah berdiri belasan atau bahkan puluhan tahun lalu terletak sangat terpencil dan jauh dari pemukiman.

Namun karena berjalannya waktu dan untuk menuju ke peternakan dibangun infrastruktur seperti sarana jalan, telepon dan listrik kini pemukiman yang bergerak mendekati peternakan. Hingga seperti saat ini jadi Pemerintah harus konsisten mana yang harus digusur, peternakan yang duluan ada disana atau perumahan yang baru ada disana. Hal ini terus menjadi polemik dan pro kontra bila tidak ada aturan yang jelas dan mengikat baik dari pemerintah Pusat dan Daerah terkait dengan penataan tata ruang daerah. (wan)

SEJARAH DAN SIKAP MENGHADAPI PEMBIAKAN KASUS AI DI INDONESIA

(( Sejarah AI – Flu Burung di Indonesia dimulai tahun 2003.Kini, 4 tahun kemudian, kita mesti lebih sigap dan bijak. Apa yang mesti kita lakukan? ))

Pada Agustus 2003 Avian Influenza (HPAI) di Indonesia pertama kali dijumpai pada peternakan ayam komersial. Agen penyebabnya adalah virus influenza tipe A, sub tipe H5N1, yang tergolong Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Bagaimana AI pertama kali masuk ke Indonesia masih diperdebatkan.

Demikian pakar perunggasan Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD seraya menuturkan, letupan AI menyebar dengan cepat ke berbagai wilayah di Jawa, kemudian meluas ke Sumatera Selatan, Bali, dan daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, pada Juli 2005, dijumpai kasus Flu Burung pertama pada manusia.
Pada tahun 2006, AI telah endemik di 30 propinsi (218 kabupaten/kota) dari 33 propinsi di Indonesia. Juga tersdapat kasus baru di Irian Jaya Barat dan Papua. Gejala klinik dan perubahan patologik seringkali tidak menciri untuk HPAI. Untuk itu perlu metode diagnostik yang akurat, cepat, dan praktis.

Perkembangan terakhir kasus AI pada ayam/unggas selama tahun 2006, hampir tidak pernah ditemukan pada peternakan ayam ras di sektor 1 dan 2. Juga sangat rendah pada peternakan ayam ras di sektor 3, khususnya peternakan dengan biosecurity longgar dan tidak divaksinasi terhadap AI.

Sementara itu di sektor 4, AI endemik pada ayam buras, itik, entog, dan burung puyuh sehingga dapat bertindak sebagai reservoir (silent host) virus AI. Sebagian besar kasus flu burung pada manusia dihubungkan dengan unggas yang dipelihara di sektor 4 ini.

Dengan perkembangan terakhir pada tahun 2007 akibat kematian pada manusia bertambah, memaksa kalangan peternakan untuk melaksanakan prioritas penanggulangan AI tahun 2007.

Prioritas itu, dituturkan Charles, adalah:

• sosialisasi untuk meningkatkan kepedulian peternak, industri, pemegang kebijakan, dan masyarakat umum

• restrukturisasi sistem pemeliharaan unggas, industri/usaha perunggasan, perdagangan, dan system distribusi

• vaksinasi

• monitoring dan surveilans

• perbaikan infrastruktur veteriner dan organisasi veteriner di tingkat pusat sampai
daerah

• riset dan pengembangan

• kerjasama internasional

Sementara dasar pertimbangan pemusnahan unggas non komersial di wilayah padat penduduk dengan kasus flu burung tinggi, adalah berdasar fakta bahwa:

• unggas peliharaan di pekarangan sebagai reservoir AI. Walaupun sebetulnya, sumber penularan AIV pada unggas sektor 4 belum diketahui pasti, masih berdasar asumsi penularan melalui berbagai cara (lihat artikel terkait).

• Kasus flu burung lebih banyak ditemukan pada orang yang erat dengan unggas sektor 4.

• Kasus flu burung tidak berhubungan langsung dengan unggas komersial sektor 1, 2 dan mungkin 3.

Tujuan pemusnahan adalah memutus mata rantai penularan AIV dari unggas ke manusia.
Akhirnya, Prof Charles menyarankan:

• Pemusnahan unggas komersial hendaknya terbatas di daerah padat pemukiman dengan kasus flu burung tinggi.

• Daerah lain perlu sosialisasi sistem pemeliharaan unggas yang benar untuk menekan resiko penularan AIV.

• Strategi penanggulangan harus dilakukan secara terpadu dengan mengacu pada 9 strategi penanggulangan AI. (YR)

GAGAH HADAPI AI JUGA DENGAN VAKSINASI

(( Aspek di hulu dan hilir membuat kita terus berpikir, kita akan tetap tegar menghadapi apapun yang terjadi. Vaksinasi menjadi salah satu senjata andalan. Tentu saja dengan berbagai senjata lain: di antaranya biosecurity ketat yang terbukti sukses membebaskan sektor 1, 2 dan banyak sektor 3 dari kasus AI. ))

Strategi penanggulangan Avian Influenza menurut OIE (Organisasi Kesehatan hewan Dunia) adalah stamping out, tanpa vaksinasi ataupun dengan vaksinasi.

Versi baru kriteria bebas AI menurut OIE adalah jika melakukan stamping out bebas AI dapat dinyatakan setelah 3 bulan dari kasus terakhir.

Jika hanya melakukan vaksinasi tanpa stamping out, bebas AI dapat dinyatakan setelah 1 tahun dari kasus terakhir.

Aspek penting penanggulangan AI pada hewan dan manusia di sisi hulu adalah menekan pencemaran virus AI di lapangan dengan mengendalikan kasus AI pada unggas atau hewan lain. Lalu mencegah penularan AIV dari unggas/hewan ke manusia.

Pada sisi hilir, aspek pentingnya adalah mencegah perluasan kasus flu burung pada manusia dengan tujuan penting mencegah terjadinya penularan antar manusia (pandemi influenza).

Vaksinasi

Masalah yang muncul pada vaksinasi adalah vaksinasi mungkin tidak dapat mencegah timbulnya infeksi AIV. Unggas yang divaksinasi dan kontak dengan virus AI lapang dapat membebaskan sejumlah virus AI (Viral Shedding) jika biosecurity longgar.

Masalah berikutnya, vaksinasi AI akan menekan jumlah AIV yang mencemari lingkungan, dan dapat bertindak sebagai sumber infeksi untuk unggas dan mungkin juga manusia.

Jalan keluar dari masalah tersebut, peternakan yang terinfeksi AIV harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara tepat. Vaksin AI pun harus memenuhi kriteria kualitas tinggi, homolog dengan virus AI lapang yaitu subtipe H atau subtipe H dan N.
Aplikasi vaksinasi pun harus tepat. Dan jangan lupakan, monitoring dan evaluasi terus-menerus.

Manfaat vaksinasi ini adalah menekan kerugian akibat AI menekan mortalitas dan gangguan gangguan produksi. Vaksinasi pun menekan penyebaran virus AI (viral shedding) dan selanjutnya menekan kejadian AI.

Vaksinasi juga meningkatkan ketahanan terhadap tantangan virus AI lapang. Dan jangan lupa,vaksinasi menekan jumlah ayam yang peka terhadap infeksi virus AI.

Adapun faktor-faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan vaksinasi terhadap AI adalah vaksinasi harus merupakan bagian dari suatu sistem penanggulangan AI secara terpadu. Vaksinasi ini harus selalu disertai oleh biosecurity ketat.

Selanjutnya perlu monitoring dan evaluasi terus-menerus menyangkut tingkat keamanan vaksin. Baik itu dengan sistem sentinel dan atau uji DIVA maupun uji laboratorik lain.

Monitoring dan evaluasi pun menyangkut tingkat perlindungan vaksin, dan kemungkinan mutasi virus AI asal lapang.

Vaksinasi pun, perlu ada strategi keluar sesuai perkembangan kasus. (YR)

Robohnya Peternakan Kami

Mulai tanggal 1 Februari 2007, di Jakarta khususnya, dunia peternakan di Indonesia mengalami babak baru. Mulai tanggal itu Pemerintah DKI Jakarta melarang warganya memelihara unggas. Jika ada warga yang membangkang terhadap Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 itu, pemda tidak segan-segan akan menyita dan memusnahkan unggas-unggas milik masyarakat itu. Dengan aturan itu kelak 2,8 juta ekor unggas di Jakarta akan musnah dan dimusnahkan.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso itu terkait dengan merebaknya kembali virus flu burung. Pemda DKI Jakarta getol memerangi flu burung sebab menurut data dari sebaran flu burung pada tahun Juni 2005 sampai 2007, Jakarta berada di peringkat kedua dalam jumlah korban akibat flu burung, pernah tercatat dari 21 orang yang positif menghidap virus flu burung, 19 diantaranya meninggal dunia. Sementara Jawa Barat berada pada peringkat pertama, dari 25 orang yang positif mengidap virus, 20 di antaranya meninggal.

Peraturan yang dikeluarkan Sutiyoso sejak 17 Januari 2007 itu diharapkan mampu mencegah penularan dan penyebaran virus flu burung. Dalam peraturan menyebutkan pemusnahan bisa dilakukan dengan cara dikonsumsi secara benar, dijual, atau dimusnahkan sendiri dengan ganti rugi sebesar Rp12.500 per ekor. Apabila warga tetap ingin memelihara unggas untuk hobby atau pendidikan maka ia diwajibkan memiliki sertifikat.

Peraturan itu bisa dikeluarkan atas inisitiatif Sutiyoso sendiri, bisa juga karena adanya tekanan dari Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari. Menkes melihat masyarakat enggan memusnahkan unggas-unggas itu sehingga diperlukan perda atau payung hukum. Desakan menteri kesehatan itu lebih-lebih ditujukan ke sembilan propinsi, yakni Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan

Setelah Sutiyoso mengeluarkan peraturan itu, beberapa kepala daerah menyusul langkah-langkah yang telah dilakukan Sutiyoso. Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah beberapa hari lalu telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Larangan Pemeliharaan Unggas di Pemukiman. Di Banten sendiri pernah tercatat dari 12 orang yang positif mengidap virus flu burung 10 diantaranya meninggal dunia.

Gencarnya para kepala daerah mengeluarkan peraturan pelarangan pemeliharaan unggas di pemukiman terkait surat edaran (SE) Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf Nomor 440/93/SJ. SE itu berisi perintah kepada kepala daerah untuk segera melakukan langkah-langkah penanganan flu burung sesuai dengan status daerah masing-masing. Apabila seluruh kepala daerah mengeluarkan peraturan yang sama maka akan ada 120 juta ekor unggas akan dimusnahkan.

Merebaknya kembali virus flu burung kali ini memang membikin repot, tidak heran bila peraturan dan kebijakan baru dibuat kembali agar penularan virus itu bisa dicegah. Merebaknya virus flu burung di Indonesia kali ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya yang membikin geger. Apa yang terjadi saat ini sama seperti yang terjadi ketika meninggalnya keluarga Iwan Iswara Rafei bersama kedua anaknya, Nurul dan Sabrina, akibat flu burung. Atas kematian keluarga Iwan itu pemerintah pun melakukan pemusnahkan terhadap ribuan unggas dan ratusan babi.

Kegagalan Pemerintah

Bangsa Indonesia memang tidak pernah belajar pada pengalaman yang sudah-sudah. Pemerintah baru melakukan tindakan reaktif ketika kejadian itu terulang atau terjadi lagi. Tsunami, kecelakaan di darat-laut-udara sebenarnya sudah sering terjadi namun pemerintah selalu gagal mengantisipasi serta mencegah dan anehnya pemerintah melakukan tindakan yang sama atau sudah pernah dilakukan ketika peristiwa itu terulang.

Menghadapi flu burung kali ini mungkin pemerintah sudah kehilangan akal. Berbagai komnas, kebijakan, tindakan, dan peraturan sudah dibuat namun tidak mampu mengatasi penularan flu burung. Presiden SBY saat membuka Pekan Peternakan Unggulan Nasional (PPUN) di Pandaan, Jawa Timur, 2005 yang lalu pun sudah mencanangkan Tumpas Flu Burung. Namun berbagai jalan itu tidak mampu mengatasi wabah flu burung. Peraturan baru yang melarang memelihara unggas di pemukiman sebenarnya bukan langkah yang baru, apa yang dilakukan pemerintah kali ini sebenarnya langkah yang sudah pernah dilakukan yang intinya memusnahkan unggas.

Peraturan itu jika disimak justru akan merugikan dunia peternakan. Memelihara unggas (ayam, itik, entok, angsa, burung dara, dan buruh puyuh) merupakan sudah menjadi bagian hidup masyarakat. Ketika belum ada SE Mendagri dan Pergub Banten Nomor 1 Tahun 2007, Walikota Cilegon Aat Syafa’at dan Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah menolak pemusnahan unggas di pemukiman. Mereka mengatakan pemusnahan unggas akan menutup usaha peternakan rakyat. Apalagi Pandeglang sedang menurunkan angka kemiskinan melalui pengembangan unggas. Bagi masyarakat memelihara unggas untuk menambah penghasilan hidup. Walau jumlahnya 20 ekor atau di bawahnya namun usaha itu mampu menopang hidup mereka. Setiap hari mereka mampu menjual satu hingga dua ekor ayam. Apabila per ekor dinilai seharga Rp12.500 maka sehari mampu memperoleh uang sebesar Rp25.000, uang itu untuk ukuran rakyat kecil mempunyai nilai yang cukup.

Telur yang dihasilkan pun mampu menambah gizi dan aneka lauk yang dikonsumsi.
Peraturan yang dikeluarkan pemda itu hanya menguntungkan industri peternakan besar atau industri peternakan dengan modal besar. Akibatnya peternakan akan dimonopoli oleh industri-industri besar. Peraturan pemda itu kelak juga akan mengimbas pada pabrik industri pakan, akan banyak industri pakan tutup apabila pemeliharaan unggas dilarang.

Pelarangan memelihara unggas akibat merebaknya flu burung itu nasibnya sama dengan peternakan babi. Karena virus flu burung juga menyerang babi maka beberapa peternakan babi yang keberadaannnya sudah lama dan mapan ditutup keberadaannya. Pelarangan adanya peternakan babi telah merugikan dan membuat hilangnya mata pencaharian peternakan-peternak babi yang berada di Tangerang, Sragen, Wonosobo, Purwokerto, Bogor, dan daerah lainnya. Pada suatu kesempatan Presiden Asosiasi Monogastrik Indonesia (AMI) Ir Rachmawati mengutarakan, apabila babi dilarang dijual maka akan merugikan peternak. Peternak skala menengah (300 induk babi) jika tidak sekali menjual babi dari kandangnya akan mengalami kerugian sekitar Rp19 juta. Kerugian itu akan mencapai ratusan juta sebab peternakan babi di Jawa jumlahnya mencapai 200 orang.

Namun apakah peraturan pemda yang dikeluarkan itu mampu mencegah penularan virus flu burung? Jawabannya tidak menjamin, sebab sebelum peraturan itu dikeluarkan sudah banyak unggas dan babi yang dimusnahkan, pengawasan lalu lintas unggas pun sudah diketatkan, namun penularan virus flu burung tetap terjadi. Menularnya virus flu burung ke manusia belum tentu disebabkan peternakan unggas semata namun dipengaruhi oleh banyak faktor. Penularan flu burung masing-masing ahli mempunyai teori sendiri-sendiri, bisa akibat dari unggas, babi, anjing, kucing, bahkan manusia. Merebaknya kembali wabah flu burung merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mengatasi penyakit itu sebab berbagai skenario yang disusun selalu jebol dan gagal. Peraturan itu yang pasti akan mematikan peternakan dan usaha rakyat, kalau direlokasi itu merupakan eufisme dari pemusnahan. (Ardi Winangun)

NAMBAH MODAL atau NAMBAH AKAL

Oleh: Drh Agus Wahyudi B

Diera tahun 80-an peternak layer memelihara ayam sangat sederhana. Kandang Pullet model postall begitu juga diperiode layer ayam dipelihara didalam batery bambu dengan tempat pakan berupa kotak terbuat dari kayu. Permasalahan yang muncul sangat komplek dari pakan berjamur dalam kotak pakan, Coccidiosis, Kolera, telur kotor, puncak produksi hanya 82 %, dan dicapai pada umur 28 minggu.

Diera tahun 90-an peternakan ayam petelur terhitung maju pesat. Kandang pullet sudah model slate, tempat minum beel-drinker. Pemeliharaan di layer sudah menggunakan batery kawat, tempat pakan pakai pralon PVC. Strain ayam sudah banyak pilihan dan performance produksinya lumayan dengan puncak produksi 87 %, dicapai umur 26 minggu.

Diera milenium peternakan layer dipuncak kemajuan. Kandang pullet sudah dibagi menjadi dua fase. Fase pertama biasa disebut fase starter (umur 1 minggu s/d umur 5 minggu) dan fase grower ( umur 6 minggu s/d umur 17 minggu). Kandang grower sudah menggunakan batery kawat sehingga waktu pindah ke kandang layer faktor stressingnya bisa minimal. Kandang layer sudah banyak ditawarkan kandang closed house dengan dalih lebih efisien dan sebagainya. Puncak produksi dicapai umur 23 minggu lama puncak 16 s/d 20 minggu dengan rate 93%.

Bagi peternak yang berduit perkembangan teknologi yang ujungnya nambah modal tidak akan menjadi masalah namun bagaimana bagi peternak dengan modal serba mepet. Kemajuan teknologi tidak berarti tidak membawa dampak negatif apabila tidak dipahami dan dimengerti dengan baik dan dijalankan oleh tenaga yang potensial. Begitu juga dengan peternak yang ketinggalan teknologi yang selalu mempertahankan pola manajemen kuno yang selalu cukup dan dihitung sudah untung paradigma ini juga mesti berubah.

Dalam mengambil suatu pilihan dan untuk memutuskan memang faktor modal menjadi pertimbangan utama. Misalkan pilihan untuk memutuskan perlunya pembuatan kandang grower di budidaya Pullet. Kandang grower akan menghasilkan pullet yang seragam, status kesehatan yang homogen, deplesi rendah, perlakuan baik di bidang budidaya maupun kesehatan lebih mudah di tangani dan dimonitoring, pencapaian berat badan dan uniformity lebih mudah dicapai dan periode layer tidak late produksi. Namun biaya untuk pengadaan kandang tersebut tidak murah barang kali secara global non tanah membutuhkan biaya Rp18.500/ekor.

Kandang grower bisa menghasilkan produksi pullet dan performa produksi lebih baik karena :

 Kepadatan ayam per m2 lebih longgar
 Feeder dan drinker space lebih panjang
 Stres ayam waktu perlakuan baik program budidaya maupun kesehatan bisa diminimal.

Kelebihan lainnya :
 Tenaga kerja menangani populasi ayam lebih banyak
 Akurasi penghitungan populasi sangat tepat.
 Replacement dan hasilan jumlah produksi pullet bisa optimal

Kelebihan-kelebihan yang dihasilkan kandang grower bisa disiasati dengan tanpa harus menambah modal banyak. Ikhtiar yang bisa dilakukan adalah :
 Kurangi kepadatan ayam misalkan 1m2 untuk 12 ekor menjadi 10 ekor/m2
 Standarisasi jumlah tempat pakan dan minum ditambah. Misalkan satu bell drinker/galon untuk 80 ekor diubah menjadi 60 ekor, satu tempat pakan kapasitas 10 kg untuk 50 ekor diubah menjadi 40 ekor
 Pelatihan untuk tenaga kusus/tim khusus yang menangani program budidaya dan kesehatan. Materi pelatihan dititikberatkan tentang cara handling ayam yang baik. Misalkan program seleksi, program potong paruh dan lain sebagainya. Pelatihan ini bisa dikerjakan sendiri atau kerja sama dengan suplier obat atau pakan (contoh Medion).
 Penghitungan populasi real bisa dilakukan 3 (tiga) kali yaitu pada saat potong paruh, vaksin coriza, dan vaksin triple ( ND, IB dan IBD kill).
 Jumlah produksi pullet yang dihasilkan relatif lebih sedikit. Hal ini bisa diakali dengan penambahan lokasi kandang.

Sekarang mulai kita berhitung perlukah mengeluarkan modal untuk pembuatan kandang grower atau cukup dengan akal merekayasa budidaya yang telah dibahas diatas. Ada hal yang sangat penting yang tidak didapat dikandang grower yaitu exercise. Ayam petelur membutuhkan tulang yang kuat. Kekuatan tulang tidak hanya terletak pada faktor nutrisi namun juga harus dilatih dengan exercise.

Dan perlu diingat ayam petelur berada di cages selama 70-an minggu dengan posisi menahan tubuh (karena tatakan telur mempunyai kemiringan kurang lebih 20o) sehingga faktor tulang sangat penting agar culling ayam karena lumpuh tidak terjadi.

Tips penanganan lalat yang mujarab (Buat Box sendiri dalam artikel ini)

Dipergantian musim biasa akan terjadi peningkatan populasi lalat. Hal ini bisa disadari karena setiap makhluk hidup mempunyai siklus hidup dalam perkembangannya, dan salah satu faktor yang menentukan perkembangannya adalah kelembapan dan suhu yang cocok. Ada beberapa cara menangani lalat yaitu :

a. Lewat pakan, dengan memberi Cyromazine. Pilih produk yang baik, karena bisa berefek kepenurunan %HD. Penggunaan cyromazine tergantung kebutuhan, sebaiknya tidak digunakan terus.
b. Spray manure, dengan menggunakan Dichlorvos. Agar lebih tahan efek dari dichlorvos bisa ditambahkan detergen sebagai surftaktan. Waktu menyemprot jangan sampai kena ayam, pakan, dan tempat minum.
c. Pasang bambu yang telah dibelah menjadi 8 (delapan) bagian, dengan panjang 1 meter dan tancapkan di daerah antar kandang. Bambu diolesi kecap untuk merangsang lalat hinggap dimalam hari. Semprot lalat pada malam hari dengan Cyperkiller, Nuvantop atau Butox.

Semoga cara tersebut diatas bisa digunakan untuk menyelesaikan persoalan lalat dari fase larva hingga lalat dewasa.

Opini

[Edisi 158 September 2007] SOSIS DAN CHICKEN NUGGET GIZI VS MURAH

BAGAIMANA MENGENALI DAN MENGATASI IMUNOSUPRESI ?

Pertahanan tubuh merupakan fungsi fisiologis yang amat penting bagi mahluk hidup. Dengan pertahanan tubuh berjalan optimal, mahluk hidup dapat tumbuh berkembang, bereproduksi dengan optimal. Bila berbicara mengenai pertahanan tubuh, perlu diketahui pula ancaman-ancaman penyakit yang dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh sehingga perkembangan tubuh dan produksi menjadi terganggu.

Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi. Jadi, sangatlah penting untuk mengenali dan mengetahui imunosupresi.

Pertahanan tubuh Ayam

Pertahanan tubuh ayam dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertahanan tubuh non spesifik dan pertahanan tubuh spesifik.

Sistem pertahan tubuh non spesifik merupakan sistem pertahanan tubuh yang melindungi dari berbagai ancaman secara umum. Sistem pertahan non spesifik berupa : hambatan mekanik, seperti kulit, mukosa, mukus dan silia pada saluran pernafasan. Selain itu berupa fagositosis, sistem komplemen dan sel pembunuh.

Sistem pertahanan tubuh spesifik, berkaitan dengan adanya respon kekebalan tubuh yang dapat berperantara seluler maupun humoral. Respon kekebalan tubuh berperantara humoral dapat bersifat aktif maupun pasif. Sistem ini mampu mengenali antigen sebagai benda asing. Mempunyai spesifitas tertentu dan mempunyai memori atau ingatan terhadap antigen.

Respon kekebalan tubuh yang bersifat aktif merupakan hasil vaksinasi, dan materi yang berkaitan dengan repon kekebalan humoral aktif adalah antigen, epitop, antibodi dan limfosit.

Respon kekebalan tubuh yang bersifat pasif merupakan hasil transfer atau perolehan kekebalan asal induk. Perolehan kekebalan pasif yang didapatkan anak ayam dari induknya biasanya tidak seragam. Kekebalan yang diperoleh tergantung dari titer antibodi induk dan akan habis dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal inilah yang perlu diperhitungkan dalam menyusun program vaksinasi.


Parameter Imunosupresi

Kemampuan mengetahui tanda-tanda terjadinya imunosupresi sangat penting. Dengan mengetahui tanda-tanda imunosupresi, maka penanganannya akan menjadi efektif karena tepat pada sasaran.

Tanda-tanda terjadinya kasus imunosupresi adalah performa produksi yang jelek dari suatu flok peternakan, yang dapat disebabkan oleh adanya kematian yang sangat tinggi, pencapaian berat badan yang rendah, konversi pakan yang tinggi dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam yang rendah, banyaknya ayam yang kerdil. Tanda lain kasus imunosupresi adalah meningkatnya reaksi pernafasan, misal setelah melakukan vaksinasi dan terjadinya outbreak penyakit pada suatu peternakan. Hal tersebut dapat disebabkan adanya reaksi suboptimal terhadap vaksinasi. Gambaran perubahan patologi anatomi untuk kasus imunosupresi adalah terjadinya atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabrisius dengan limpa. Bila ukuran bursa fabrisius sama atau lebih kecil dari limpa, pada 5 minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ayam antara lain : rusaknya organ limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi virus dan mikotoksin, rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakterial, stress yang mempengaruhi fungsi organ limfoid primer, dan efek nutrisi dan manajemen yang dapat mempengaruhi organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh, organ limfoid penghasil sistem kekebalan tubuh harus dijaga.

Organ Pertahanan Tubuh.

Organ tubuh ayam yang memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh ayam adalah bursa fabricius dan thymus. Kedua organ ini merupakan organ primer atau utama dalam sistem kekebalan. Bursa fabricius akan tumbuh cepat dalam 3 minggu pertama umur ayam. Ukuran bursa akan lebih besar dari lien kurang lebih 5 minggu pertama kehidupan ayam dengan rasio ukuran bursa sebanding dengan ukuran berat badan tubuh. Bursa akan mengalami regresi dimulai pada umur 8 minggu.

Organ lain yang berperan dalam sistem kekebalan adalah limfa, lempeng peyer pada mukosa usus, tonsil sekalis, struktur limfoid sepanjang saluran pernafasan, kelenjar harder dan konjungtiva mata.


Penyakit Penyebab Imunosupresi.

Kejadian imunosupresi disebabkan oleh kerusakan dan terjadinya gangguan fungsi organ limfoid. Penyakit yang merusak struktur dan fungsi organ limfoid primer adalah gumboro, mareks, mikotoksikosis, infeksi reovirus, infeksi chicken anemia dan infeksi ALVJ. Sedangkan penyakit yang dapat merusak struktur dan fungsi organ limfoid sekunder adalah Newcastle disease, Avian Influenza, Swollen Head Syndrome, Infeksius bronchitis, Infeksius Laryngotracheitis, pox bentuk basah, aspergillosis, koksidiosis, mikoplasmosis, snot, kolibasilosis, kolera unggas, salmonellosis dan helmintiasis.

Lisovit, Optimalkan Fungsi Kekebalan

Sudah dapat dipastikan bahwa pencegahan penyakit lebih baik dari pada pengobatan. Praktek pencegahan penyakit yang baik dapat diilustrasikan seperti sebuah rantai sepeda yang akan bekerja dengan baik apabila keseluruhan bagian menyatu. Praktek pencegahan penyakit di peternakan dapat di bagi dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah : Pencegahan stress pada ayam, manajemen pemeliharaan, kualitas dan suplai air minum, test serologi, sanitasi, vaksinasi, pencegahan parasit dan pengendalian polutan.

Masalah imunosupresi berkaitan dengan upaya untuk penanganan dan kontrol penyakit harus dapat diatasi secara serius karena hal tersebut dapat mengganggu konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam yang telah disusun dengan baik. Selain dengan mengeliminasi dan memperbaiki penyebab utama timbulnya kasus imunosupresi, seperti pemberian antibiotika untuk penyebab imunosupresi asal bakteri ataupun penggunaan berbagai jenis vaksin sebagai pencegahan penyakit pencetus timbulnya imunosupresi, perlu suatu upaya untuk memperkuat status kekebalan ayam, atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam yaitu dengan pemakaian Lisovit® .

Lisovit® memiliki kandungan ensim muramidase yang memiliki dua efek yaitu efek anti bakterial karena kemampuannya memecah dinding sel bakteri di saluran pencernaan ayam dan kemampuan menstimulasi kekebalan tubuh ayam karena mampu memproduksi fragmen peptidoglikan, sehingga mampu meningkatkan aktivitas makrofag dan mampu untuk menstimulasi pembentukan limfosit.

Lisovit® memiliki kandungan ensim peroksidase yang memiliki efek katalisa oksidasi dari donor hidrogen untuk mendukung proses generasi molekul oksigen reaktif yang dapat menginaktivasi substansi asing.

Lisovit® mengandung ekstrak tanaman berkhasiat (Echinaecea) yang berperan menstimulir kekebalan seluler dengan meningkatkan aktifitas phagositik dari makrofag dan kecepatan pembentukan limfosit, serta meningkatkan aktifitas Sel T sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh.

Lisovit® juga mengandung dua macam vitamin, yaitu : vitamin E sebagai antioksidan yang mampu mempengaruhi berbagai sel dari system kekebalan seperti limfosit dan makrofag untuk menghasilkan interferon yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Yang kedua, vitamin C yang berperan dalam proses reduksi oksidasi di dalam tubuh yang mentransfer hidrogen dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berbagai keadaan stress.

Berdasarkan mekanisme kerja yang terdapat di dalamnya, maka Lisovit® mampu mengoptimalkan vaksinasi, meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap stress dan serangan penyakit, serta tidak kalah penting dapat meningkatkan daya kerja antibiotika golongan betalactam (amoxicillin, ampicillin, dll). Maka dengan pemberian Lisovit®, kasus-kasus imunosupresi dapat segera dipercepat pemulihannya dan dapat menstimulir timbulnya respon kekebalan sehingga konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam dapat berjalan dengan baik.

Cara pemberian Lisovit® pada ayam pedaging, ayam petelur dan ayam bibit diberikan selama 3 hari berturut-turut dengan selang waktu 1 hari, pada saat vaksinasi atau kejadian stress. Dosis untuk ayam pedaging di minggu pertama 30 gram/1000 ekor, minggu kedua 50 gram/1000 ekor dan di minggu ketiga 100 gram/1000 ekor. Dosis untuk ayam petelur dan ayam bibit 100 gram/1000 ekor.


Drh Nur Vidia Machdum
Technical Department Manager
PT. ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl DR Saharjo No 266
JAKARTA. Telp.021 8300300

PENGEBALAN TERHADAP GUMBORO DENGAN VAKSIN YANG TIDAK MENIMBULKAN DAMPAK IMMUNOSUPRESI

Industri peternakan ayam ras yang cukup pesat perkembangannya di Indonesia, baik peternakan ayam petelur maupun pedaging, sampai saat ini masing cukup sulit untuk keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh gangguan penyakit Gumboro, dimana penyakit tersebut secara ekonomis sangat merugikan, oleh karena gangguan pertumbuhan, inefesiensi pakan dan sejumlah besar kematian yang dapat ditimbulkan pada kelompok ayam yang terserang penyakit tersebut, serta meningkatnya biaya pemakaian obat-obatan dan disinfektan . Dampak lain yang tidak kalah pentingnya dari ayam yang pernah terserang Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) berupa immunosupresi jangka panjang oleh karena terjadinya “deplesi” (kelainan) pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisiusnya.

Terjadinya dampak immunosupresi yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab Gumboro atau oleh karena pemakaian vaksin Gumboro yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), erat kaitannya dengan kelainan dan atau gangguan fungsi dari Bursa Fabrisius sebagai penghasil zat kebal tubuh. Adanya kelainan dan atau gangguan fungsi pada Bursa Fabrisius, menyebabkan kekebalan dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya menjadi kurang optimal dan ayam relatif rentan terhadap infeksi penyakit lainnya.

Penyakit Gumboro dan Dampak Immunosupresinya.

Bila virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan menyerang ayam umur dibawah 3 (tiga) minggu, lebih banyak kecenderungannya akan timbul Gumboro bersifat subklinis, walaupun pada kasus tertentu dapat muncul dan diamati bentuk klinisnya. Pada kelompok ayam yang terinfeksi walaupun tidak menunjukkan gejala klinis, tetap berpotensi menimbulkan dampak immunosupresi, berupa kelainan dan atau gangguan fungsi dari organ limfoid primer seperti Bursa Fabrisius dan sel Thymus.

Kasus infeksi virus Gumboro ganas (vv-IBD) asal lapangan yang menyerang ayam umur diatas 3 (tiga) minggu kecenderungannya menampakkan gejala klinis yang sangat jelas, mulai dari adanya kelesuan dan ayam nampak menggigil, bulu berdiri dan cenderung bergerombol serta disertai adanya diare warna keputihan. Akibat diare, ayam menjadi dehidrasi, ayam nampak tremor dan sangat lemah sehingga berakhir dengan kematian.

Efek immunosupresi yang ditimbulkan, diawali dengan adanya infeksi virus vv-IBD yang secara langsung menginfeksi dan melakukan perbanyakan diri (depopulasi atau replikasi) pada Bursa Fabrisius dan Thymus sebagai organ target utamanya. Mekanisme terjadinya immunosupresi oleh karena infeksi virus Gumboro, kemungkinan besar terkait dengan adanya kematian sel-sel penghasil limfosit B, terutama yang terdapat pada Bursa Fabrisius.

Sel limfosit B merupakan salah satu calon pembentuk zat kebal tubuh. Adanya kerusakan sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius sebagai akibat infeksi virus penyebab Gumboro, mengakibatkan adanya penurunan jumlah produksi sel B oleh Bursa Fabrisius, yang selanjutnya akan berakibat pada terjadinya penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh dari perlakuan vaksinasi yang diberikan pada tahap selanjutnya. Atau karena adanya kerusakan folikel dari Bursa Fabrisius, menyebabkan kemampuan organ tersebut dalam menghasilkan zat kebal tubuh untuk melawan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen lainnya menjadi kurang optimal, sehingga ayam menjadi peka dan mudah terserang berbagai macam penyakit.

Vaksinasi Gumboro dan Dampak Immunosupresinya

Pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain) seringkali dapat menimbulkan terjadinya deplesi (kelainan) pada Bursa Fabrisius, sehingga berdampak pada berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius untuk memproduksi zat kebal tubuh. Bursa Fabrisius yang mengalami kelainan karena dampak dari pemakaian vaksin intermediate plus atau hot strain, menyebabkan ayam menjadi sensitif terhadap berbagai perlakuan manajemen dan stress serta infeksi agen penyakit lainnya. Adanya kelainan pada Bursa Fabrisius akan berdampak pada keberhasilan program vaksinasi terhadap penyakit yang lainnya (seperti terhadap ND, IB dll). Sehingga dapat berpengaruh pada performance ayam secara keseluruhan.

Pada ayam petelur dan breeder kurang dianjurkan pemakaian vaksin intermediate plus terlebih yang hot strain. Karena pemakaian vaksin Gumboro dengan kandungan virus vaksin jenis intermediate plus atau hot strain, dapat merusak sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius yang sedang pesat-pesatnya mengalami perkembangan untuk menghasilkan zat kebal tubuh (limfoblas  limfosit B  sel antibodi). Rusaknya sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius oleh virus vaksin yang cukup keras tersebut, akan menyebabkan berkurangnya kemampuan Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, sehingga respon terhadap jenis vaksinasi lainnya tidak bisa optimal dalam menghasilkan zat kebal tubuh (antibodi).

Pada ayam tipe petelur karena masa pemeliharaannya yang lebih lama dibandingkan dengan ayam pedaging, faktor dari Bursa Fabrisius sebagai organ limfoid primer memegang peranan sangat penting untuk menghasilkan zat kebal tubuh pada umur-umur awal dari perkembangan ayam, sampai pada akhirnya (umur 6 minggu keatas) peranan dari Bursa Fabrisius dalam menghasilkan zat kebal tubuh, diambil alih oleh organ limfoid sekunder (limpa, proventrikulus, sel-sel thymus, seca tonsil, sum-sum tulang) yang kian pesat perkembangannya.

Tanda – Tanda Immunosupresi Pada Ayam

1. Reaksi post vaksinasi meningkat, seperti setelah diberikan vaksinasi ND golongan La-Sota, nampak ayam bersin-bersin dan gejala gangguan sistem pernafasan lainnya.

2. Pada ayam yang mati bila dilakukan pembedahan, terlihat Atropi pada Bursa Fabrisius dan kebengkakan pada organ limfoid lainnya.

3. Ayam jadi mudah terserang penyakit, terutama penyakit yang menyebabkan gangguan produksi dan kematian yang tinggi.

4. Performance ayam secara keseluruhan menjadi suboptimal, seperti :

 Berat badan rendah dan pertumbuhan tidak merata

 Produksi telur cenderung berpluktuasi dan sulit mencapai puncak produksi

 Mortalitas cenderung tinggi bila terjadi infeksi penyakit

 Feed konversinya mengalami peningkatan


Kontrol dan Pencegahan Terhadap Gumboro

Sebagaimana halnya dengan kontrol dan pencegahanan terhadap penyakit lainnya pada peternakan ayam, kontrol dan pencegahan terhadap penyakit Gumboro juga harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi perbaikan semua aspek manajemen pemeliharaan ayam yang saling terkait satu sama lainnya.

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dan dilakukan guna mencegah dan melakukan kontrol serta meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap serangan virus penyebab penyakit immunosupresi tersebut, diantaranya:

1. Menerapkan praktek manajemen yang baik, mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok ayam seperti udara yang kaya akan kandungan oksigennya, air yang berkualitas (bebas pencemaran logam berat dan mikroorganisme patogen serta pH-nya normal ; 6,5 – 7,2) dan Pakan yang berkualitas, dengan nilai gizi yang berimbang sesuai kebutuhan masing-masing tipe dan umur ayam.

2. Meningkatkan praktek sanitasi dan desinfeksi untuk menekan populasi dan keganasan virus penyebab Gumboro di lapangan.

3. Upayakan pemeliharaan ayam dengan system “ all in all out “ khususnya pada pemeliharaan ayam pedaging dan pada ayam petelur, sedapat mungkin pemeliharaanya dipisahkan dengan ayam remaja dengan jarak lokasi yang terpisah cukup jauh. Hal ini bertujuan mencegah penularan kedua penyakit tersebut dari ayam dewasa kepada ayam yang lebih muda.

4. Vaksinasi terhadap Gumboro dengan HIPRAGUMBORO-BPL2 atau HIPRAGUMBORO-I2 pada ayam induk, agar DOC yang dihasilkannya mempunyai kekebalan asal induk yang baik terhadap Gumboro. Tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap infeksi virus Gumboro asal lapangan pada 2 (dua) minggu pertama hidup anak ayam.

5. Vaksinasi dengan vaksin HIPRAGUMBORO-GM97 merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap infeski virus penyebab Gumboro ganas (vv-IBD).

Air minum
Diprogramkan pada daerah resiko tinggi terhadap vv-IBD.

Sesuaikan dengan level dan keseragaman maternal antibodi terhadap Gumboro yang dimiliki oleh anak ayam.



Adanya reaksi post vaksinasi yang dapat ditimbulkan dari pemakaian auto vaksin atau vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang cukup keras (intermediate plus atau hot strain), sudah tentu perlu dijadikan dasar pertimbangan dalam pelaksanaan dan pemilihan jenis vaksin Gumboro yang digunakan. Sebagai contohnya, vaksin Gumboro jenis “intermediate plus/hot strain” yang diberikan pada ayam umur muda (umur dibawah 12 hari), dapat menimbulkan deplesi pada sel-sel limfoid dari Bursa Fabrisius dan bersifat immunosupresi sebagai bentuk reaksi post vaksinasinya. Oleh karena itu dianjurkan pemakaian vaksin Gumboro, seperti HIPRAGUMBORO-GM97 yang aman terhadap Bursa Fabrisius dan organ limfoid lainnya, serta mampu menghasilkan kekebalan yang bersifat spesifik terhadap vv-IBD virus maupun virus IBD klasik.


Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA –Spain
wayan@hipra.com

VAKSINASI terus atau PEMBELAJARAN dahulu

Tampaknya kisah flu burung (Avian Influenza) di Indonesia masih akan panjang. Kita sangat prihatin korban manusia masih saja berjatuhan (Jembrana, Agustus 2007), belum lagi korban ternak unggas yang tak terhitung nilainya. Sampai saat ini iklan layanan masyarakat diberbagai media semua mengkampanyekan Tumpas Flu Burung sangat gencar. Kapan flu burung akan berakhir di negeri kita tercinta ini kita tidak tahu

Kembali lagi sasaran pemberantasan flu Burung pada peternakan sektor 4. Hampir setiap pemerintah daerah mengalokasikan anggaran untuk kegiatan pemberantasan flu burung. Kegiatan yang sering diadakan adalah vaksinasi dan desinfeksi pada peternakan sektor 4. Desinfeksi biasanya dijalankan oleh masyarakat sendiri karena cukup mudah dan mengajak masyarakat mandiri. Pemerintah cukup membagikan desinfektan saja. Desinfeksi dan vaksinasi biasanya sudah merupakan kegiatan rutin 4x setahun atau 3x setahun, atau 2x setahun ada pula yang 1x setahun. Sampai saat ini efektifitas vaksinasi disektor4 masih dipertanyakan. Kegiatan vaksinasi disektor 4 sering belum terkoordinasi dengan baik. Ayam atau unggas yang sudah terlanjur dilepas/umbar tidak mungkin kita kejar-kejar saat itu juga untuk divaksin, kedatangan petugas vaksinasi yang terlambat juga menjadi kendala karena membuat masyarakat meragukan kedatangan petugas dan ayam-ayampun dilepas. Sifat kegiatan yang rutin kadang menjadi tidak mengacuhkan kondisi cuaca. Kondisi cuaca yang kurang baikpun vaksinasi tetap dilakukan dan efek sampingnya dapat kita tebak banyak ayam yang mati setelah divaksin.

Kegiatan disektor 4 biasanya bersifat gratis, semua kegiatan dari pengadaan vaksin, operasional petugas, peralatan, desinfektan dan lain-lain ditanggung pemerintah. Jika dinilai dalam bentuk rupiah akan sangat besar sekali, tetapi apakah hasilnya sepadan dengan biaya yang kita keluarkan? Kenapa demikian? karena masalah kita sebenarnya disektor 4 adalah pada pola hidup dan cara beternak masyarakat. Walaupun kegiatan vaksinasi terus dilaksanakan tetapi apabila kesadaran masyarakat belum ada kita hanya akan menghabis-habiskan energi dan biaya. Sektor 4 adalah masyarakat yang sangat tradisional, berpikir sangat sederhana dan naluri turun-menurun yang kental dan sangat susah untuk ditinggalkan. Wilayah kita sudah merupakan daerah endemis penyakit Flu Burung. Pola beternak umbaran tanpa kandang yang jelas sangat rentan untuk dapat terjangkit penyakit Flu Burung lagi, masih ditambah kebiasaan hidup serumah dengan ternak seperti di dapur atau jadi satu dengan ternak lainnya. Satu kandang dapat terdiri atas ayam kampung, entog, itik, angsa bahkan kalkun atau unggas liar lainnya.

Mengenalkan cara hidup sehat dimasyarakat adalah hal yang perlu kita perjuangkan dengan keras, terus menerus tanpa kenal lelah. Kita butuh petugas-petugas dengan ketelatenan tinggi dan dapat dekat dengan masyarakat. Kesuksesan kegiatan Posyandu tahun '90an dapat kita contoh. Bagaimana dahulu pemerintah mengenalkan imunisasi, makanan bergizi, penimbangan berat badan dan lain-lain pada bayi dan balita serta ibu hamil, dan hasilnya cukup bagus. Tidak kurang informasi tentang Flu Burung/AI dari pemerintah pusat ataupun daerah yang telah disampaikan pada warga masyarakat, tetapi biasanya transfer informasi tersebut berhenti pada forum penyuluhan ditingkat kelurahan. Harapan pemerintah warga yang hadir di kelurahan dapat menyebarluaskan ke warga yang lain, namun kenyataannya informasi tidak sampai ke masyarakat luas.

Ternyata kita perlu masuk langsung ke forum-forum warga. Masyarakat akan sangat senang merasa dihargai keberadaannya jika kita langsung masuk ke dunia mereka. Jika sudah merasa dihargai, diakui (jawa: diuwongke) masyarakat akan dengan senang hati membuka diri terhadap masukan-masukan atau ide-ide baru. Kita dapat memanfaatkan forum-forum pertemuan warga yang sudah ada sebagai tempat transfer informasi atau memperkenalkan ide-ide baru. Ide yang kita usung jangan terlalu muluk-muluk. Kenalkan pola-pola yang sederhana, misalnya menyediakan kandang sederhana tempat berteduh unggas, pemanfaatan limbah sabun sebagai desinfektan kandang, atau membatasi lokasi berkeliarannya unggas. Dari ide sederhana itu akan muncul berbagai permasalahan, seperti membuat kandang atau sekedar pagar membutuhkan biaya, siapa yang mau menanggung? dan kita tidak bisa memaksakan kehendak. Untuk itulah perlunya ketelatenan dan kesabaran petugas pendamping membuka pikiran masyarakat akan pentingnya tatacara beternak yang baik. Apabila kita berhasil membawa pola hidup dan cara beternak masyarakat yang baik (peternakan sektor 4) akan sangat mudah kita menjadikan kegiatan vaksinasi menjadi efektif sebagai sarana pencegahan flu burung.

Tidak salah kegiatan vaksinasi dilakukan tetapi akan lebih baik jika didahului dengan penyadaran dan pembelajaran pada masyarakat. Butuh waktu yang cukup lama untuk memasukkan ide baru dan perlu ketelatenan serta kesabaran petugas pendamping. Mestinya buang-buang energi dan biaya untuk kegiatan vaksinasi Flu Burung tidak akan berulang jika kehadiran vaksinasi sudah dirasakan sebagai kebutuhan bagi masyarakat. Mari kita membangun bangsa melalui pembelajaran. Indonesia akan bebas Flu Burung jika kita berhasil menghadirkan pola beternak unggas yang baru dan baik dalam masyarakat. Hadirkan petugas peternakan yang tangguh menemani peternak (red: sektor 4). Kita tidak akan pernah menginginkan ayam atau unggas menjadi hewan langka bagi anak cucu kita. Selamat berjuang membangun bangsa.......


Dh Ely Susanti
Poskeswan Karangnongko, Klaten
Tm PDR 1 Kab. Klaten, LDCC Semarang

SOSIS DAN CHICKEN NUGGET GIZI VS MURAH

Oleh: Drh Agus Rumboko

Pada saat ini perkembangan konsumsi terhadap daging ayam sudah bervariasi. Disamping daging ayam segar, masyarakat bisa memilih daging olahan seperti Nugget, Sosis, Bakso dengan berbagai merk dagang. Untuk mendapatkannya pun sudah semakin mudah, kalau dulu produk-produk frozen tersebut hanya ada di supermarket, maka saat ini produk frozen sudah tersedia di outlet-outlet toko makanan, pasar becek, bahkan di kantin sekolah, di gerobak-gerobak dorong, banyak yang memperjual belikan produk tersebut dalam bentuk gorengan.

Pengetahuan terhadap produk tersebut saat ini sudah sangat baik, dibandingkan 5 tahun lalu. Segmentasinya pun sudah meluas, sosis dan nugget sudah bukan lagi makanan orang kelas atas. Supermarket dan Hypermarket sudah menyediakan Nugget dan Sosis dengan kemasan yang mewah, hingga Nugget dan Sosis Curah dengan harga yang murah. Masyarakat tinggal memilih, tanggal muda beli yang mahal, tanggal tua beli yang curah atau sebaliknya.

Di luar supermarket apalagi, di pasar becek, variasi produk lebih luar biasa. Nugget dan Sosis dengan berbagai merek di tata di freezer dan bahkan hanya di taruh di atas lapak tanpa fasilitas pendingin. Luar biasa, di segmen pasar becek tersebut, lalu lintas perdagangannya tumbuh pesat. Hal teserbut dikarenakan ada beberapa variasi produk yang akhirnya dipakai sebagai komoditi dan dijual kembali di kantin dan di depan sekolah dalam bentuk gorengan. Beribu-ribu Abang Penggoreng memperjualbelikan produk sosis, Tempura, Skalop, Nugget, dan Kornet. Akhirnya para produsen produk frozen pun berlomba lomba memenuhi kebutuhan Abang Penggoreng Sosis.

Perlombaan antar produsen Froozen Food semakin menggelora, ketika permintaan akan produk frozen yang murah dan bisa dijual kembali semakin tinggi. Abang Penggoreng Sosis pun semakin giat bekerja, karena mereka mendapatkan berbagai dukungan dari produsen, begitu juga agen-agen mereka. Semakin lama semakin banyak untungnya. Dan akhirnya mereka punya ide, kalo saja mereka bisa membuatnya sendiri di rumah? Mengapa harus beli ke pabrik?.

Maka dimulailah industri rumah tangga, yang membuat Nugget, Sosis, Sate dan banyak lagi. Asal mereka bisa goreng, dan anak anak suka? Maka untung akan didulang. Maka menjadi sah-sah saja, di depan sekolah anak kita, Abang Penggoreng Sosis tidak lagi menjual sosis beneran. Mereka memilih menjual produk buatan mereka sendiri, dengan rasa gurih, penuh MSG.

Di supermarket pelaku bisnis Frozen Food juga semakin kreatif. Tapi sayang kreativitas mereka tidak diimbangi rasa kasihan terhadap konsumen. Dibuatlah Nugget Curah, Sosis Curah, Dari bahan tepung dengan perasa ayam kuat. Dan tentu saja harganya Murah.


Bagaimana dengan Gizinya?

Perlahan lahan akhirnya konsumen terbiasa mengenal nugget dengan aroma rasa curah yang murah, nugget dan sosis murah dengan bahan baku seadanya, gizi cukupnya. Semakin lama semakin tinggi permintaan produk “seadanya”, semakin bergairah produsen berkreasi dan memenuhinya. Tentu saja jangan tanya gizinya, mereka sudah tidak perlu lagi memakai daging ayam bagus untuk membuat Nugget. Sehingga jadilah Nugget dari kepala leher, Nugget dari tepung dengan perasa ayam. Konsumen mereka adalah Abang Penggoreng Sosis, yang luar biasa bekerja memasarkan kepada anak anak kita.

Dulu ketika awal Abang Penggoreng Sosis masih menjual Sosis, Nugget, Baso yang diproduksi oleh pabrik besar, pastilah nilai gizi dan takaran proteinnya dapat dipertanggung jawabkan. Pabrikan sekelas Japfa Confeed, Charoen Pokphand Indonesia, Sierad Produce dan terakhir Wonokoyo, sangat concern terhadap nilai gizi produk yang diproduksinya. Karena mereka juga mempunyai raw material yang cukup untuk memperduksi Frozen Food. Saat ini Abang Penggoreng Sosis sudah mulai pintar memodifikasi barang jualannya. Mereka menjual tidak hanya sosis, nugget, baso dari pabrikan tersebut, namun mereka menjual : tempura, sate kakap, kornet boneka, karage mawar, nugget donat, yang diproduksi oleh Rumah Tangga. Tentu saja syarat gizi dan higienitas produknya tidak bisa lagi dapat disamakan dengan produksi perusahaan besar.


Frozen Food atau Bukan?

Frozen food sebenarnya produk makanan yang mensyaratkan penyimpanan di tempat beku minus 18 derajat celcius. Dengan model pengawetan tersebut, sedikit diperlukan bahan pengawet atau bahkan tidak perlu lagi ada bahan pengawet. Tentu saja perlakuan terhadap produk frozen sangat istimewa. Mulai dari proses produksinya, penyimpanan di gudang produksi, proses distribusinya, hingga proses penjualan retailnya hingga bagaimana menyimpan produk di tempat konsumen. Sehingga seharusnya frozen food adalah daging ayam olahan yang kualitasnya sama dengan daging segar. Ditambah dengan bumbu yang dapat menambah gairah makan anak anak.

Dengan Frozen Food, seharusnya ibu-ibu rumah tangga selalu dapat menyediakan gizi yang cukup untuk keluarganya. Demikian apabila semua proses produksi, distribusi dan perlakuan terhadap produk Frozen food sesuai dengan standar. Namun saat ini perkembangannya sangat memprihatinkan. Dimulai dari berkembangnya pembuatan Nugget dan produk frozen food sudah dapat diproduksi oleh industri rumah tangga. Tentu saja proses produksinya sangat sederhana. Dan maklum apabila proses pengawetannya tidak lagi melalui Quick Frozening Machine, sehingga benar-benar sempurna pembekuannya. Paling hanya disimpan di suhu frezer Box. Namun menurut pengamatan penulis, produk produk rumah tangga sangat awet di simpan di suhu ruang. Maka pasti di dalamnya di tambahkan pengawet. Jadi proses pengawetannya tidak lagi tergolong frozen food.

Maka dari itu, seharusnya pembaca betul-betul teliti bahwa sebenarnya makanan frozen food (sosis, nugget dan bermacam macam daging olahan further processing meat) seharusnya diawetkan dengan mekanisme pembekuan. Apabila dijumpai di pasar terdapat produk dengan keawetan yang luar biasa, tanpa disimpan dalam suhu yang disyaratkan, maka produk tersebut bukanlah produk frozen food. Dan yang pasti menggunakan bahan pengawet kimiawi.


Pilih Bergizi atau Murah

Untuk memenuhi gizi dan protein dalam konsumsi kelurga, sepatutnya tidak hanya mempertimbangkan harga. Tingkat konsumsi protein hewani (daging ayam) di Indonesia masih sangat rendah. Dengan variasi produk (chicken nugget, sosis, bakso) sebenarnya dapat membantu meningkatkan tingkat konsumsi terhadap daging ayam. Namun sayang sekali terkadang masyarakat masih memiliki kecenderungan mencari produk yang harganya murah, asal masih berasa AYAM. Dan ternyata para produsen terpaksa harus tergoda untuk memenuhi keinginan masyarakat untuk memproduksi barang murah tersebut, dan akhirnya dibuatlah Nugget, Sosis, Baso yang mementingkan RASA AYAM. Dan akhirnya seperti FX Rahardi (di harian KOMPAS), menyebut dan mencurigai bahwa nugget dibuat dari daging ayam sisa, MDM, Tulang.

Jadi akhirnya semestinya FX Rahardi lebih melihat mekanisme Action dan Reaction, mekanisme Supply and Demand, yang tambah lama bertambah menurunkan kualitas. Karena memang produsen sangat mengikuti kemauan konsumen. Karena konsumen juga akhirnya mencari akal untuk mencari produk yang murah, dan tumbuhnya produsen produsen rumah tangga. Dan yang paling menyedihkan, peranan pemerintah (Badan POM) yang pengawasannya sangat lemah. Mereka tidak pernah secara aktif mengikuti perkembangan industri makanan di pasar.

Pemenuhan gizi dan protein memang tidak selalu harus mahal, tapi bahan dan produk yang sehat dan higienis harusnya tetap menjadi pilihan Daging Ayam olahan yang berbentuk Chicken Nugget, Sosis, Baso harusnya diawasi benar oleh Badan POM, agar tidak lagi jauh melenceng dari syarat-syarat kesehatan. Tidak seperti saat ini, Nugget Curah di supermarket yang hanya berisi tepung, dengan perasa ayam, dibiarkan saja di jual dan tanpa ada pengawasan dari Badan Penguji dan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Badan POM mungkin sedang menanggung banyak pekerjaan, sehingga masyarakat dibiarkan mengkonsumsi produk yang sebenarnya bukan daging ayam.


Penulis adalah praktisi perunggasan alimnus FKH UGM

Abstract Infovet September 2007

To strengthen the control of Avian Influenza (AI) in animals, Ministry of Agriculture had established Campaign Management Unit (CMU) within the Animal Health Directorate. The central management unit is operating through 9 regional operational units based nine Disease Investigation Centers in Provincial Level.

The envolvement of community especially related with animal production and health industry is essential in ensuring achievement of the program. Indonesia Veterinary Drug Association (ASOHI) as an organization comprising veterinary drug companies is directly relating with animal health program since its role in supplying biologicals and disinfectants as well as human resources such as veterinary technical representatives in the field.

The cooperation between ASOHI and CMU is being formulated to cover central and provincial level. In central level various activity will be implemented, namely:

- To prepare coordination on operational cooperation with all stakeholders.
- To formulate AI action plan.
- To monitor and evaluate mutual activity program.
- To coordinate with other institutions in AI control.

In provincial level will be implemented, namely:

- Periodic meeting between provincial CMU/LDCC, PDS/PDR with ASOHI provincial chapter, to coordinate technical services and discussion, relating with development of AI in each area, to formulate action plan on AI control in the community.
- Promoting AI control in the field.
- To send suspected AI samples to government laboratory and accredited private laboratory.
- To encourage capability of AI diagnosis in the field through short training to optimize early detection and early response.
It is hoped that cooperation with other associations related with poultry industry will also be implemented to optimize AI control.


Problem of Immunosuppresive Disease

Infectious Bursal Disease (IBD) or Gumboro, is one of important poultry disease, caused by viral infection, characterized with immunosuppressive, potentially cause high economic loss.

Some of farmers were disappointed that vaccination program is not totally guarantee the protection against this disease. As immunosuppressive disease, the presence of IBD could be easing infection of other diseases.

For broiler farmers IBD is really frightened since it could attack chicken in early period or prior to be harvested. The effective way to protect DOC (day old chick) against IBD is through maternal immunity by maintaining high level of humoral antibody in the parent stock.

There are 3 kind of preventive measure against early infection of the virus, namely:

- To prevent contact between chicken with Gumboro virus.
- To vaccinate parent stock
- To vaccinate DOC in early period with active and non virulent vaccine.


First Human Case of AI in Bali

First human case of AI (Avian Influenza) in Bali was reported on August 12th, 2007. the team of Ministry of Public Health and Consultant investigator of World Health Organization (WHO) had collected blood samples from the victim’s family in Dakin Tukad Aya village, Jembrana District. Further studies should be provided to conclude virus transmission.

Bali Province had been decided by Ministry of Agriculture as the first priority in controlling AI. Total cases of AI on human in Indonesia since the year 2005 had reported 104 persons infected, including 83 mortalities.

Dr Tri Satya Putri, vice chairman of National Commission for AI control appeal to the Government that recent outbreak of AI not be treated as ordinary cases, since the outbreak in poultry cause high mortality. She considered that action taken by Government is still slow.


Technical Sales Representatives

Technical sales representatives (TS) is officer in charge of animal health companies in the field. The presence of TS is very essential in providing information and services to the farmers, related with animal health problem and veterinary drug application.

Coverage of each TS in conducting their duties in certain area is decided by the companies, based on technical as well as economic consideration. In some areas there are independent or “freelance” TS, since they are not recruited by any companies, as they could sell products of various manufactures.

Many cases of conflict of interest between independent TS and certain companies, since they can sell the products in lower price as ability to operate the business in efficient way. The most important condition is they should run their business in line with regulation, in providing services to the farmers only market registered products.

Editorial Infovet Edisi 158 September 2007

Untuk mengatasi kelemahan dalam penanganan penyakit Avian Influenza (AI) khususnya dalam pengendalian dan implementasinya di lapangan, dalam lingkup Departemen Pertanian telah dibentuk Unit Pengendalian Penyakit AI (UPPAI) atau Campaign Management Unit (CMU).

Dalam melakukan tugas pengendalian telah dilaksanakan secara berjenjang melalui tingkat regional, propinsi dan kabupaten/kota, dengan implementasi di lapangan oleh tenaga-tenaga dokter hewan secara intensif melalui penyidikan dan tindakan responsif.

Menyadari bahwa keberhasilan dalam pengendalian penyakit sangat diperlukan dukungan masyarakat, adalah sangat tepat pihak UPPAI telah menjalin kerjasama dengan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia). Sebagai organisasi usaha obat hewan, ASOHI memang berkaitan dengan penanganan penyakit hewan, baik sebagai penyedia sarana kesehatan hewan berupa vaksin dan desinfektan maupun sumber daya manusia, dokter hewan sebagai technical services yang tersebar di lapangan.

Agar dapat efektif maka kerjasama ini akan dilakukan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Diharapkan kerjasama ini akan diperluas dengan melibatkan asosiasi-asosiasi lainnya terkait dalam industri perunggasan sehingga penanganan AI dapat dilakukan lebih optimum.

Gonjang ganjing Perususan Nasional (2) Salah Kaprah Pakan Sapi Perah

oleh Ir Tatang E P

Tingginya biaya produksi susu di Indonesia salah satu sebab utamanya karena penggunaan pakan yang tidak tepat. Basis pemberian pakan sapi perah kita masih menggunakan biji-bijian sedangkan hijauan hanya sebagai pelengkap.

Ini sebenarnya kurang tepat mengingat sapi perah mempunyai sistem pencernaan berbasis mikroba yang lebih cocok menggunakan pakan berserat alias hijauan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr Ir Marsetyo, dosen fakultas peternakan Universitas Tadulako, Palu.

Menurut Marsetyo, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, biji-bijian disamping harganya mahal, juga kurang pas diberikan kepada ternak sapi karena manusia juga membutuhkan biji-bijian.

Selain itu juga ternak sapi perah harus bersaing dengan unggas yang pasokan makanannya berbasis biji-bijian. Oleh karena itu penggunaan hijauan merupakan pilihan yang menarik untuk ternak ruminansia di Indonesia, walaupun porsinya bisa diatur.

Memang menurut Ir Mulyoto Pangestu PhD, dalam konsep nutrisi ruminansia : pakan berserat tetap dibutuhkan, namun bila ingin berproduksi tinggi ya harus ada pakan penguat tambahan.

Artinya menurut peneliti dari Monash University ini pengembangan sapi perah di Indonesia tak perlu ngotot untuk memperoleh produksi susu yang tinggi, namun yang menguntungkan.

Sebab iklim tropis membuat ternak memang lebih mungil dari ternak-ternak sapi sub tropis. Namun yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang memadai.

“Mungkin kita perlu melihat munculnya trend baru pada sapi potong dengan LowLine Breed yang tubuhnya mini dan beratnya hanya 200 kg,” tegasnya. Jadi apa salahnya kalau Indonesia mulai mencoba menikmati mungilnya sapi tropis supaya bisa memberikan rejeki sebesar Limousine atau Angus.

Ternak yang kecil bukan berarti akan kecil keuntungannya. Namun dengan ternak yang kemampuannya hidup di daerah tropis maka daya cerna terhadap hijauan akan lebih baik.

Hijauan di Indonesia sebenarnya cukup melimpah dan beragam. Sayangnya ini kurang dipahami oleh para peternak. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penelitian yang intensif mengenai hijauan. Akibatnya peternak hanya tahu untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan mempertinggi pakan yang berasal dari biji-bijian.

Peternak sapi perah lebih kenal dengan jagung, dedak, kedele, tepung daging dan tulang ketimbang rumput kolonjono, cetaria lampung atau bahkan jenis legume yang biasa menjadi penutup tanah di perkebunan.

Padahal penggunaan biji-bijian seperti jagung, dedak dan kedele akan berbenturan dengan industri unggas yang jauh lebih besar kebutuhannya.

Kebanyakan peternak sapi perah kita hanya memberikan rumput gajah atau rumput raja sebagai makanan hiajauan. Kedua rumput tersebut kandungan nutrisi tidak begitu bagus dan lebih banyak serat kasarnya saja.

Namun memang rumput gajah atau rumput raja dari segi ketersediaan memang memadai karena rumput ini besar sehingga mampu mengenyangkan sapi. Tapi sayang kandungan nutrisinya tidak begitu bagus.

Penggunaan hijauan sebagai salah satu alternatif untuk mendapatakan nutrisi yang murah harusnya menjadi prioritas bagi peternak untuk menekan harga susu sehingga memperoleh margin yang lebih tinggi.

Sayangnya pemerintah yang harusnya membantu mencarikan alternatif nutrisi dari hijauan tak banyak membantu. Riset tentang hijauan makanan ternak sangatlah minim. Apalagi berbicara tentang sistem pengawetan hijauan atau pemanfaatkan hijauan kering.

Dengan satuan ternak yang rendah memang peternak tak mungkin menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan atau mempunyai lahan yang memadai untuk makanan hijauan ternaknya.

Namun bukan tidak mungkin bila peternak yang mempunyai kepemilikan sapi perah sedikit dikumpulkan menjadi satu koperasi dan koperasilah yang mensupport untuk menyediakan lahan atau padang penggembalaan dengan hijauan pilihan dan kandungan nutrisi yang baik.

Di Negara-negara maju peternakan sapi baik perah maupun potong mengandalkan makanan hijauan yang diperoleh dari padang penggembalaan. Namun bukan berarti pakan yang berasal dari biji-bijian ditinggalkan hanya saja porsinya lebih kecil.

Penataan padang penggembalaan dengan berbagai macam tanaman baik rumput maupun legume terasa asing ditelinga kita. Padahal padang penggembalaan merupakan salah satu kunci sukses

Negara-negara pengekspor susu dan sapi terbesar di dunia macam Australia dan Selandia Baru. Karena biaya rumput dan legume jelas lebih murah ketimbang biji-bijian.


Kajian Yang Komprehensip

Sapi perah sebagai salah satu potensi besar di Negara ini harusnya pemerintah mampu memfasilitasi sebuah riset yang terpadu dan berkesinambungan.

Menurut Ir Budi Rustomo PhD, pakar sapi perah asal Fapet Unsoed melihat, pendekatan atau teknologi tanpa melihat karakteristik atau sifat-sifat dasar aslinya, akan menghasilkan sesuatu yang tidak optimal.

Pengetahuan tentang habitat asal, sifat asli dan behaviour mutlak diperlukan dalam menentukan pendekatan-pendekatan teknologi. Apalagi teknologi yang dibuat untuk memanipulasi atau menyiasati kinerja makhluk hidup seperti hewan ternak.

Dalam pengembangan teknologi peternakan, tiga pendekatan yang lazim dilakukan oleh pakar-pakar peternakan di negara barat.

1.Mengetahui sifat dasar (karakteristik) ternak. Termasuk mengerti benar “what is the purpose of God creating the creatures/species?”.
2. Mengetahui bagaimana ternak bisa hidup (how do they survive in the original habitat or in the junggle, before being domesticated)
3. Mengetahui how do they reproduce their offspring.

Ketiga pendekatan tersebut di atas yang seharusnya mendasari bagaimana ilmuwan peternakan mengembangkan teknologi. Baik teknologi di bidang pemuliaan, pakan, perkandangan, reproduksi, kesehatan dan banyak lagi faktor lainnya.

Budi yang pernah lama tinggal di Kanada dan Australia ini mencontohkan, Di Kanada, pada saat musim panas suhunya bisa mencapai 40 oC. Tapi, konsumsi pakan dan produksi susu tidak menurun.

Sebab, meskipun panas, kelembaban udaranya masih relatif rendah. Itupun masih dibantu dengan pemasangan blower dikandang-kandang pada saat musim panas.

“Namun Bila pendekatan itu kita tiru, peternak Indonesia dengan modal yang terbatas

akan bangkrut karena bengkaknya biaya listrik,” ujarnya memberi contoh.

Untuk itulah riset yang dilakukan haruslah terpadu dan berujung pada sosial ekonomi artinya peternak sapi perah Indonesia mampu menggunakan teknologi tersebut.


Penulis adalah Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI)

Fenomena Pemasar Obat Hewan Mandiri: ”Ancaman atau Prospek bagi Perusahaan yang Mapan?”

Adalah Drh Nur Fauzi lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang memilih terjun menjadi seorang pemasar obat hewan yang mandiri. Di lapangan lebih sering disebut sebagai TS Freelance.

Seperti juga pada umumnya sarjana yang baru lulus, Fauzi demikian biasa disapa, mempunyai cita-cita dan idealisme tinggi untuk mewujudkan impiannya sejak kuliah dulu. Begitu lulus sebagai dokter hewan yang masih gress alias baru lepas dari kampus ia segera melayangkan surat lamaran ke berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Tidak lain tujuannya kecuali untuk membuktikan kepada masyarakat di kampung halamannya dan juga keluarga besarnya bahwa ia mampu mensejajarkan dengan sarjana yang lainnya yang lebih dahulu bekerja dan sukses berkarier di kota besar.

Termasuk beruntung ia hanya dalam hitungan kurang dari 1 (satu) bulan setelah lepas dari kampus sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan obat hewan yang termasuk mapan, meskipun harus jauh dari keluarga besarnya nun jauh di Pekalongan. Dan kota Medan, Sumatera Utara adalah pertama kali yang ia jejaki sebagai awal meniti karier. Jabatannya memang mentereng seperti yang tertulis di kartu namanya yang selalu ia bagikan ke setiap orang yang ketemu, termasuk ke kerabat dan keluarga besarnya di kampung, yaitu ”Technical Sales Representative”.

Meski sebenarnya bagi banyak kalangan masih awam arti jabatan pekerjaannya itu, namun sudah sangat berati bagi Fauzi dan keluarga besarnya. Setidaknya menurut Fauzi hal itu sudah membuktikan bahwa ia tidak termasuk dalam daftar deretan sarjana penganggur. Apalagi ia bisa mengirimkan kabar dan sedikit uang juga beberapa lembar fotonya dengan berlatar belakang kendaraan roda empat sebagai penunjang kerja/dinasnya. Seolah semakin, menguatkan ”posisi sosial” dirinya dan keluarga besarnya bahwa ia sudah memasuki kelas sosial baru yang patut diperhitungkan. Dan bahkan menjadi bahan perbincangan kawan SD SMP dan SMA nya serta tetangga di kampung halamannya.

Terlebih ketika di sela hari liburnya bisa meluangkan waktu untuk pulang kampung, meski hanya sebentar sudah menjadikan dirinya tampil beda dan disapa banyak orang sejak dari mulut jalan sampai halaman yang menuju rumahnya. Orang tua dan sanak famili serta tetangga se desa seolah sudah mendaftar antri untuk bisa ketemu, ngobrol dan tentunya yang penting adalah mereka nitip pesan agar bisa diajak kerja jika ada lowongan kerja.

Namun, perjalanan hidup dan peruntungan seseorang memang salah satu misteri manusia di dunia, selain hidup dan jodoh. Akhirnya Fauzi, meninggalkan kota Medan dan tidak kembali ke kampung halaman tetapi menuju ibukota Metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib kembali. Tidak jelas alasannya, namun yang umum terjadi sebagai orang yang lahir dan besar dengan kultur Jawa, maka memang meninggalkan kampung halaman yang sangat jauh menjadi salah satu beban berat dalam hidupnya.

Masih beruntung Fauzi dapat kembali menjalani profesi yang sama yaitu di perusahaan obat hewan yang di tempatkan di sentra unggas Jawa Timur, Blitar. Di kota ini ia kembali dengan pekerjaan dan jabatan yang sama meski di kartu namanya kini disebut sebagai ”Sales Excecutive Service”. Kembali kartu nama itu di’sebar’ ke kolega dan tentu saja kepada keluarga besarnya di kampung halaman. Muncul bisik-bisik di keluarganya dan sudah pasti juga para tetangga bahwa Fauzi naik jenjang jabatannya alias promosi kedudukannya dalam bekerja karena bisa kembali ke Jawa.

Semakin banyak saja kerabat dan tetangga yang berharap Fauzi bisa dan mau menarik anak-anak desa yang masih menganggur. Fauzi pun mendengar permintaan itu tidak bisa lain kecuali dengan mengangguk meski dengan kepala yang terasa berat. Dan berikutnya ketika secara ekonomi dirasakan sudah mapan, ia memutuskan membina rumah tangga dengan gadis Klaten. Praktis, kini waktunya tidak ada lagi untuk sekedar mudik menengok keluarganya di Pekalongan, tetapi lebih banyak dihabiskan di Blitar dan sehari dalam seminggu di Klaten. Singkat cerita ia ternyata hanya mampu bertahan 3 tahun dalam menggeluti pekerjaan di kota kecil itu yang terpisah dari istri yang dicintai.

Kali ini alasan ia meninggalkan kota itu muncul dari mulutnya, bahwa ia tidak bisa pisah terlalu lama dengan istrinya yang berada di Klaten Jawa Tengah. Sehingga kembali ia mencoba mencari pekerjaan yang secara geografis tidak jauh dari mukim istrinya. Dan masih beruntung lagi Fauzi kembali bekerja di perusahaan obat hewan dengan wilayah kerja di sekitar Klaten, seperti Jogja, Solo, Boyolali dan Magelang.

Tetapi ternyata, justru jauh lebih singkat ia bekerja di dekat mukim istri, hanya bertahan 3 bulan. Keputusan keluar karena waktu untuk bisa ketemu istri hanya malam hari dan itupun sudah sangat capek sekali. Hal ini oleh karena wilayah kerja yang relatif luas dan medan yang berat.

Fenomena seperti ini tidak menjadi monopoli Drh Nur Fauzi, karena ratusan orang dan bahkan ribuan Dokter hewan dan Sarjana Peternakan mengalam perjalanan hidup yang nyaris sama. Benturan antara peradaban sosial manusia Indonesia (Jawa?) versus peradaban global. Kultur Jawa yang lebih menekankan keeratan kekerabatan (sosial) dan kultur modern global yang seolah manusia menjadi mesin ekonomi, akhirnya melahirkan benturan.

Banyak yang tidak mampu melawan kondisi seperti itu, akan tetapi juga tidak sedikit yang sukses dan maju mengikuti irama peradaban global.

Fauzi adalah salah satu ’korban’ yang tergilas peradaban global dan kini menekuni pekerjaan yang sama namun tidak secara langsung dibawah payung sebuah perusahaan. Dengan jabatan dan sebutan yang sebenarnya masih sama yaitu sebagai tenaga pemasar obat hewan. Namun kini, ia kini lebih bebas menentukan ritme kerja dan mengotong beban kerja hariannya.

Meski tidak bisa lepas 100% dari pengaruh perusahaan/produsen, namun ternyata profesi ini kini justru yang banyak diminati para Dokjter Hewan dan Sarjana Peternakan yang baru lulus maupun yang sudah lama malang melintang di lapangan. Setidaknya di Kota-kota di Jawa Tengah profesi tenaga pemasar obat hewan mandiri, tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para produsen/importir sarana peternakan di Indonesia.

Volume penjualan atau omzet para tenaga pemasar mandiri kini, tidak bisa diremehkan dan justru menjadi salah satu mitra penting perusahaan yang pada umumnya banyak berkantor pusat di kota-kota besar.

Beberapa pihak memandang kehadiran tenaga pemasar mandiri sebagai ancaman serius. Argumennya, bahwa kelompok pemasar ini sering secara berani membanting harga, sehingga pasar menjadi kacau. Bahkan terkadang sisipan obat illegal dan juga menenteng obat murni / pure melahirkan masalah di lapangan bagi perusahaan legal. Namun harus diakui dan juga tidak bisa dibantah lagi karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak sedikit perusahaan legal/resmi justru memasok obat illegal serta obat pure ke peternak dan para pemasar mandiri.

Jika kesemrawutan peredaran obat yang tidak jelas asal usulnya itu, kesalahan hanya ditimpakan kepada para pemasar mandiri, maka jelas tidak adil dan kurang bijak. Kenyataan lapangan seperti itu, harus dipertimbangkan oleh pihak yang menyalahkan. Oleh karena itu memang lebih bijaksana, jika ada pendapat bahwa para pemasar mandiri ini justru sebagai mitra efisien dan effektif bagi perusahaan/produsen sarana peternakan, terutama setelah mati surinya Poultry Shop dalam 10 tahun terakhir ini.

Pemasar mandiri bisa menjual dengan harga lebih miring dan murah oleh karena beban operasional yang ditanggung memang relatif jauh lebih ringan. Biaya operasional yang relatif kecil itu tidak lepas dari margin keuntungan yang dipatok para pemasar mandiri yang tipis. Bahkan pada umumnya dengan dukungan mobilitas berupa kendaaraan roda dua yang lebih luwes dan mampu menerobos kawasan yang terpencil sekalipun, tentu salah satu sebab efisien.

Fenomena Fauzi dan Pemasar Mandiri atau TS Freelance, memang patut menjadi renungan bagi para praktisi marketing di tingkat atas sebuah perusahaan. Apakah keberadaannya menjadi mitra atau justru sebagai kompetitor, maka sangat tergantung dari kecerdasan para pemegang kendali pemasaran di level perusahaan. Yang pasti ini adalah sebuah realitas lapangan yang harus disikapi dengan bijak. Akan dimusuhi atau dilembagakan sebagai mitra..... ? (iyo)

IMAKAHI Abdikan Diri ke Masyarakat

Sebagai bagian dari Insan pendidikan, terutama dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) bekerjasama dengan BEM FKH Universitas Airlangga (Unair), dan Kelompok Minat Profesi Veteriner (KMPV) Ternak Besar dan KMPV Unggas dan Burung FKH Unair Surabaya, mengadakan Pengabdian Masyarakat Nasional 2007 pada 4-13 Agustus 2007 di Kediri Jawa Timur.

Kegiatan yang diawali dengan acara Pra Munas IMAKAHI XI dan dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmasy) ini di sambut baik oleh Dekan FKH Unair, Prof Drh Hj Romziah Sidik PhD.

Dalam sambutannya Prof Romziah mengatakan bahwa sebagai calon generasi profesi dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan harus mampu menjawab segala tantangan yang ada, sehingga dengan adanya kegiatan ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa sebagai proses pembelajaran sebelum menempuh kehidupan yang sebenarnya. Bahkan melalui kegiatan pengmasy dapat dijadikan sebagai momentum yang baik untuk memperkenalkan profesi veteriner kepada masyarakat luas.

Menurut ketua pelaksana, Jeremia Sibarani, kegiatan pengmasy ini dilaksanakan di 4 kecamatan dengan 15 desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dimana tiap kecamatan dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing dan satu kordinator kecamatan serta satu orang supervisor ditiap desanya. Ditempat yang sama, Iwan Berri Prima selaku Ketua Umum IMAKAHI yang didampingi Dony Bindariyanto selaku ketua BEM FKH Unair dan Novi Susanty selaku Ketua IMAKAHI Cabang FKH Unair, berharap kegiatan ini dapat secara kontinyu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai program kerja rutin dari IMAKAHI.

Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah mahasiswa FKH Unair (Surabaya), delegasi mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala (Aceh), FKH Institut Pertanian Bogor (Bogor) dan FKH Universitas Udayana (Bali) dan delegasi mahasiswa FKH luar negeri dari Kanada. (Imakahi)

Lokakarya Stakeholder dan Alumni 2007 Fapet Undip

Guna mengantisipasi perkembangan Industri Peternakan yang demikian pesat, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (FP UNDIP) melakukan Pengkajian dan Pengembangan Kurikulum. Hal itu dimaksudkan agar lulusannya mempunyai kompetensi dalam bidangnya serta diakui oleh masyarakat pengguna (user). Oleh karenanya, dibutuhkan masukan dari stakeholder maupun alumni tentang tingkat kemampuan keilmuan serta keterampilan apa saja yang seharusnya dimiliki oleh Sarjana Peternakan. Agar masukan yang disampaikan oleh stakeholder dan alumni dapat ditangkap secara menyeluruh oleh semua komponen sivitas akademika FP UNDIP, maka pada hari Rabu tanggal 1 Agustus 2007 dilaksanakan Lokakarya Stakeholder dan Alumni tahun 2007.

Lokakarya yang berlangsung di Ruang Serba Guna Gedung F Lantai II Kampus Drh Soejono Koesoemowardojo, Tembalang-Semarang tersebut dihadiri sekitar 75 orang. Sebagian besar yang hadir adalah para dosen. Sementara dari pihak stakeholder adalah utusan dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Brebes, Peternak, serta wakil dari Industri Perunggasan. Beberapa alumni juga hadir sebagai narasumber.

Dekan FP UNDIP Dr Ir Joelal Achmadi MSc dalam sambutannya berharap agar para peserta benar-benar berpartisipasi aktif dalam lokakarya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa masukan dari peserta akan dipergunakan sebagai bahan menyusun rumusan profil dan kompetensi Sarjana Peternakan lulusan FP UNDIP yang siap kerja dan atau mampu berwirausaha. Selain memberi sambutan, Dekan juga membuka secara resmi acara Lokakarya yang didanai dari pos APBN tahun 2007 tersebut.

Setelah acara seremonial, dalam sesi pertama tampil 4 Ketua Program Studi yang memaparkan Profil dan Kompetensi masing-masing Lulusannya. Hingga saat ini, Program Studi Sarjana (S1) di FP UNDIP meliputi Produksi Ternak; Nutrisi dan Makanan Ternak; Sosial Ekonomi Peternakan dan Teknologi Hasil Ternak.

Wonokoyo Group tampil dalam sesi kedua. Sebagai stakeholder (pengguna=user), Wonokoyo Group memberikan masukan-masukan, yaitu : dalam penyusunan kurikulum yang akan datang hendaknya porsi Ilmu Perunggasan lebih ditingkatkan mengingat dunia perunggasan (khususnya di Indonesia) telah berkembang demikian pesatnya. Selain itu, porsi praktikal hendaknya diperbanyak lagi. Guna mencapai hal tersebut, Wonokoyo Group mengusulkan agar pihak FP UNDIP menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis Perunggasan di Indonesia, mulai dari sektor hulu hingga hilir. (HS)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer