Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Fenomena Pemasar Obat Hewan Mandiri: ”Ancaman atau Prospek bagi Perusahaan yang Mapan?” | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Fenomena Pemasar Obat Hewan Mandiri: ”Ancaman atau Prospek bagi Perusahaan yang Mapan?”

Adalah Drh Nur Fauzi lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang memilih terjun menjadi seorang pemasar obat hewan yang mandiri. Di lapangan lebih sering disebut sebagai TS Freelance.

Seperti juga pada umumnya sarjana yang baru lulus, Fauzi demikian biasa disapa, mempunyai cita-cita dan idealisme tinggi untuk mewujudkan impiannya sejak kuliah dulu. Begitu lulus sebagai dokter hewan yang masih gress alias baru lepas dari kampus ia segera melayangkan surat lamaran ke berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Tidak lain tujuannya kecuali untuk membuktikan kepada masyarakat di kampung halamannya dan juga keluarga besarnya bahwa ia mampu mensejajarkan dengan sarjana yang lainnya yang lebih dahulu bekerja dan sukses berkarier di kota besar.

Termasuk beruntung ia hanya dalam hitungan kurang dari 1 (satu) bulan setelah lepas dari kampus sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan obat hewan yang termasuk mapan, meskipun harus jauh dari keluarga besarnya nun jauh di Pekalongan. Dan kota Medan, Sumatera Utara adalah pertama kali yang ia jejaki sebagai awal meniti karier. Jabatannya memang mentereng seperti yang tertulis di kartu namanya yang selalu ia bagikan ke setiap orang yang ketemu, termasuk ke kerabat dan keluarga besarnya di kampung, yaitu ”Technical Sales Representative”.

Meski sebenarnya bagi banyak kalangan masih awam arti jabatan pekerjaannya itu, namun sudah sangat berati bagi Fauzi dan keluarga besarnya. Setidaknya menurut Fauzi hal itu sudah membuktikan bahwa ia tidak termasuk dalam daftar deretan sarjana penganggur. Apalagi ia bisa mengirimkan kabar dan sedikit uang juga beberapa lembar fotonya dengan berlatar belakang kendaraan roda empat sebagai penunjang kerja/dinasnya. Seolah semakin, menguatkan ”posisi sosial” dirinya dan keluarga besarnya bahwa ia sudah memasuki kelas sosial baru yang patut diperhitungkan. Dan bahkan menjadi bahan perbincangan kawan SD SMP dan SMA nya serta tetangga di kampung halamannya.

Terlebih ketika di sela hari liburnya bisa meluangkan waktu untuk pulang kampung, meski hanya sebentar sudah menjadikan dirinya tampil beda dan disapa banyak orang sejak dari mulut jalan sampai halaman yang menuju rumahnya. Orang tua dan sanak famili serta tetangga se desa seolah sudah mendaftar antri untuk bisa ketemu, ngobrol dan tentunya yang penting adalah mereka nitip pesan agar bisa diajak kerja jika ada lowongan kerja.

Namun, perjalanan hidup dan peruntungan seseorang memang salah satu misteri manusia di dunia, selain hidup dan jodoh. Akhirnya Fauzi, meninggalkan kota Medan dan tidak kembali ke kampung halaman tetapi menuju ibukota Metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib kembali. Tidak jelas alasannya, namun yang umum terjadi sebagai orang yang lahir dan besar dengan kultur Jawa, maka memang meninggalkan kampung halaman yang sangat jauh menjadi salah satu beban berat dalam hidupnya.

Masih beruntung Fauzi dapat kembali menjalani profesi yang sama yaitu di perusahaan obat hewan yang di tempatkan di sentra unggas Jawa Timur, Blitar. Di kota ini ia kembali dengan pekerjaan dan jabatan yang sama meski di kartu namanya kini disebut sebagai ”Sales Excecutive Service”. Kembali kartu nama itu di’sebar’ ke kolega dan tentu saja kepada keluarga besarnya di kampung halaman. Muncul bisik-bisik di keluarganya dan sudah pasti juga para tetangga bahwa Fauzi naik jenjang jabatannya alias promosi kedudukannya dalam bekerja karena bisa kembali ke Jawa.

Semakin banyak saja kerabat dan tetangga yang berharap Fauzi bisa dan mau menarik anak-anak desa yang masih menganggur. Fauzi pun mendengar permintaan itu tidak bisa lain kecuali dengan mengangguk meski dengan kepala yang terasa berat. Dan berikutnya ketika secara ekonomi dirasakan sudah mapan, ia memutuskan membina rumah tangga dengan gadis Klaten. Praktis, kini waktunya tidak ada lagi untuk sekedar mudik menengok keluarganya di Pekalongan, tetapi lebih banyak dihabiskan di Blitar dan sehari dalam seminggu di Klaten. Singkat cerita ia ternyata hanya mampu bertahan 3 tahun dalam menggeluti pekerjaan di kota kecil itu yang terpisah dari istri yang dicintai.

Kali ini alasan ia meninggalkan kota itu muncul dari mulutnya, bahwa ia tidak bisa pisah terlalu lama dengan istrinya yang berada di Klaten Jawa Tengah. Sehingga kembali ia mencoba mencari pekerjaan yang secara geografis tidak jauh dari mukim istrinya. Dan masih beruntung lagi Fauzi kembali bekerja di perusahaan obat hewan dengan wilayah kerja di sekitar Klaten, seperti Jogja, Solo, Boyolali dan Magelang.

Tetapi ternyata, justru jauh lebih singkat ia bekerja di dekat mukim istri, hanya bertahan 3 bulan. Keputusan keluar karena waktu untuk bisa ketemu istri hanya malam hari dan itupun sudah sangat capek sekali. Hal ini oleh karena wilayah kerja yang relatif luas dan medan yang berat.

Fenomena seperti ini tidak menjadi monopoli Drh Nur Fauzi, karena ratusan orang dan bahkan ribuan Dokter hewan dan Sarjana Peternakan mengalam perjalanan hidup yang nyaris sama. Benturan antara peradaban sosial manusia Indonesia (Jawa?) versus peradaban global. Kultur Jawa yang lebih menekankan keeratan kekerabatan (sosial) dan kultur modern global yang seolah manusia menjadi mesin ekonomi, akhirnya melahirkan benturan.

Banyak yang tidak mampu melawan kondisi seperti itu, akan tetapi juga tidak sedikit yang sukses dan maju mengikuti irama peradaban global.

Fauzi adalah salah satu ’korban’ yang tergilas peradaban global dan kini menekuni pekerjaan yang sama namun tidak secara langsung dibawah payung sebuah perusahaan. Dengan jabatan dan sebutan yang sebenarnya masih sama yaitu sebagai tenaga pemasar obat hewan. Namun kini, ia kini lebih bebas menentukan ritme kerja dan mengotong beban kerja hariannya.

Meski tidak bisa lepas 100% dari pengaruh perusahaan/produsen, namun ternyata profesi ini kini justru yang banyak diminati para Dokjter Hewan dan Sarjana Peternakan yang baru lulus maupun yang sudah lama malang melintang di lapangan. Setidaknya di Kota-kota di Jawa Tengah profesi tenaga pemasar obat hewan mandiri, tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para produsen/importir sarana peternakan di Indonesia.

Volume penjualan atau omzet para tenaga pemasar mandiri kini, tidak bisa diremehkan dan justru menjadi salah satu mitra penting perusahaan yang pada umumnya banyak berkantor pusat di kota-kota besar.

Beberapa pihak memandang kehadiran tenaga pemasar mandiri sebagai ancaman serius. Argumennya, bahwa kelompok pemasar ini sering secara berani membanting harga, sehingga pasar menjadi kacau. Bahkan terkadang sisipan obat illegal dan juga menenteng obat murni / pure melahirkan masalah di lapangan bagi perusahaan legal. Namun harus diakui dan juga tidak bisa dibantah lagi karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak sedikit perusahaan legal/resmi justru memasok obat illegal serta obat pure ke peternak dan para pemasar mandiri.

Jika kesemrawutan peredaran obat yang tidak jelas asal usulnya itu, kesalahan hanya ditimpakan kepada para pemasar mandiri, maka jelas tidak adil dan kurang bijak. Kenyataan lapangan seperti itu, harus dipertimbangkan oleh pihak yang menyalahkan. Oleh karena itu memang lebih bijaksana, jika ada pendapat bahwa para pemasar mandiri ini justru sebagai mitra efisien dan effektif bagi perusahaan/produsen sarana peternakan, terutama setelah mati surinya Poultry Shop dalam 10 tahun terakhir ini.

Pemasar mandiri bisa menjual dengan harga lebih miring dan murah oleh karena beban operasional yang ditanggung memang relatif jauh lebih ringan. Biaya operasional yang relatif kecil itu tidak lepas dari margin keuntungan yang dipatok para pemasar mandiri yang tipis. Bahkan pada umumnya dengan dukungan mobilitas berupa kendaaraan roda dua yang lebih luwes dan mampu menerobos kawasan yang terpencil sekalipun, tentu salah satu sebab efisien.

Fenomena Fauzi dan Pemasar Mandiri atau TS Freelance, memang patut menjadi renungan bagi para praktisi marketing di tingkat atas sebuah perusahaan. Apakah keberadaannya menjadi mitra atau justru sebagai kompetitor, maka sangat tergantung dari kecerdasan para pemegang kendali pemasaran di level perusahaan. Yang pasti ini adalah sebuah realitas lapangan yang harus disikapi dengan bijak. Akan dimusuhi atau dilembagakan sebagai mitra..... ? (iyo)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer