Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, rupanya
tak main-main dengan janjinya, yakni mewajibkan importir memasok 20% sapi
indukan dari kuota sapi bakalan yang diterimanya.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Sapi Potong
Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano mengungkapkan, sejumlah pengusaha sampai
saat ini belum juga mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian
Perdagangan (Kemendag), meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan
dari Kementerian Pertanian.
![]() |
Joni Liano, Direktur Eksekutif Gapuspindo |
"Persoalannya itu kebijakan tersebut hanya
disampaikan secara lisan, bukan tertulis. Bagi kita pengusaha harus ada
landasan hukumnya. Padahal jelas kita sudah mematuhi regulasi impor sapi
bakalan. Pasalnya 39 perusahaan anggota Gapuspindo sampai saat ini belum juga
mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag atas rekomendasi impor
sebanyak 150.000, meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan dari
Kementerian Pertanian," jelas Joni di kantor Gapuspindo, Pasar Minggu,
Jakarta, Rabu (28/9).
Menurutnya, Menteri Perdagangan memaksa pengusaha
agar mau memenuhi keinginannya dengan mengimpor 20% sapi indukan. Sementara
rekomendasi impor sebanyak 150.000 ekor sapi yang saat ini sudah diteken
Kementan belum mengantongi SPI dari Kemendag.
"Maunya Menteri Perdagangan kebijakan lisannya
diterapkan (impor indukan). Tapi kenapa izin impor sapi kita di catur wulan III
ikut disandera. Kita sudah ajukan SPI sejak 24 Agustus, tapi sampai sekarang
belum keluar. Sesuai aturan dua hari setelah pengajuan SPI, harus sudah ada
keputusan," ucap Joni.
Regulasi yang dimaksudnya yakni Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, dan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ekspor Impor Produk Hewan.
"Artinya kalau mau menyandera impor sapi
bakalan, harus ada aturan barunya. Jangan tiba-tiba, jadi menurut saya tidak
ada alasan Menteri Perdagangan sandera izin sapi bakalan untuk catur wulan III.
Karena dasar hukumnya tak ada," ujar Joni.
Kebijakan lisan Menteri Perdagangan (Mendag)
Enggartiasto Lukita yang memberlakukan instrumen impor sapi bakalan yang
dikaitkan dengan sapi indukan dengan rasio 1:5 dimana setiap 5 ekor sapi
bakalan yang di impor harus ada pengadaan 1 ekor sapi indukan lokal atau impor,
sangat memberatkan para perusahaan penggemukan sapi potong.
“Terus terang kami terkendala dari segi aspek
pendanaan, persiapan infrastruktur, dan lainnya, bahkan dari segi bisnis
ternyata juga merugikan,” ujar Joni Liano.
Di luar itu, sambung dia, pengusaha tak masalah jika
harus mengimpor sapi indukan. Namun hal tersebut perlu waktu menyiapkan
infrastruktur dari kandang, sampai pengadaan sapi indukannya. Selain itu, rasio
20% sapi indukan yang diwajibkan juga dianggap terlalu tinggi dan tidak ada
kajian teknis dan akademisnya.
"Jangan lisan saja, perlu waktu penyiapan,
secara teknis memelihara sapi indukan dengan penggemukan bakalan berbeda. Harus
ada kajian teknis dulu penetapan rasio 1:5 atau 20% itu," tandasnya.
“Idealnya untuk saat ini rasio 1:15 baru
memungkinkan bagi pengusaha feedlot,” imbuh Joni seraya mempertanyakan kenapa
kewajiban yang sama tidak diberlakukan bagi perusahaan pengimpor daging beku
yang sama sekali tidak memberi nilai tambah bagi usaha peternakan dalam negeri.
![]() |
Didik Purwanto, Wakil Ketua Gapuspindo |
Sebagai Ilustrasi jika perusahaan memiliki kapasitas
kandang 10.000 ekor maka impor sapi bakalan dapat dilakukan 3 kali periode per
tahun sehingga total impor sapi bakalan 30.000 ekor/tahun dan harus memiliki
sapi indukan 6.000 ekor (20% dari total impor sapi bakalan). Jika pola tersebut
direalisasikan maka pada tahun 2018 total populasi indukan plus anak menjadi
14.880 ekor (148% dari kapasitas kandang-Road map terlampir), kandang akan
dipenuhi sapi indukan artinya usaha penggemukan dipaksa untuk berubah menjadi
usaha indukan yang bisnisnya jelas merugi.
Total investasi untuk 6.000 ekor sapi indukan
senilai Rp. 254,7 Milyar dan selama 14 bulan kerugian sebesar Rp. 21 Milyar
(struktur biaya terlampir). Apabila kebijakan lisan tersebut dipaksakan maka
Industri penggemukan sapi akan mati, pada hal jumlah tenaga kerja langsung
sebanyak 22.000 KK (Kepala Keluarga) dan nilai investasi Rp.15,5 Triliun
ditambah 2.5 Triliun per tahun untuk pembelian bahan baku pakan ke petani di
pedesaan (Monetisasi Ekonomi di Pedesaan).
Sangat mengkhawatirkan dengan tidak adanya kepastian
Izin Cawu III dan tentu akan berdampak terhadap penyediaan sapi potong pada
bulan Januari, Februari dan bulan seterusnya di tahun 2017. Saat ini stock sapi
sebanyak 160.000 ribu ekor jumlah ini mensuplai kebutuhan akan konsumsi daging
yang cenderung meningkat pada bulan November, Desember bertepatan hari Natal
dan Tahun baru.
Dampak lainnya adalah akan menguras sapi lokal untuk
di potong. Proyeksi kebutuhan konsumsi daging sapi tahun 2017 sebesar 685 .000
ton atau equal sapi hidup sejumlah 3,8 juta ekor sapi yang harus di potong
diantaranya 700.000 ekor adalah sapi bakalan impor (kuota sudah ditetapkan
Pemerintah sebanyak 700. 000 ekor tahun 2017). Apabila kontribusi sapi bakalan
impor tidak dapat direalisasikan karena Industri penggemukan sapi potong tidak
beroperasional atau mati akibat dari kebijakan lisan Menteri Perdagangan maka
tentu sapi lokal akan terkuras sebanyak 3,8 juta ekor atau 23% dari total
populasi. Angka ini menunjukkan negatif
growth population (rata-rata angka kelahiran 20,8%). Kondisi tersebut
sangat kontradiktif terhadap program pemerintah berswasembada pada 10 tahun
kedepan.
“Berita mengejutkannya, saya menyesalkan keputusan
Mendag memberikan izin impor sapi bakalan kepada tiga perusahaan penggemukan
sapi potong pada 23 September lalu, yang dinilai bersifat diskriminasi, sebab
anggotanya tidak dapat,” tegas Joni.
Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan mendorong oligopoli karena kuota
impor hanya diberikan pada tiga perusahaan besar. Bahkan jika sampai akhir
tahun Kemendag tetap tidak menerbitkan SPI kepada seluruh anggota Gapuspindo,
maka pasokan sapi untuk awal tahun 2017 akan kosong. Tentu saja ini berpotensi
menggerek harga daging sapi dan meningkatkan volume sapi lokal yang dipotong
untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
![]() |
Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita |
Kuota Impor Sapi dan Daging Beku
Resmi Dihapus
Sebelumnya Pemerintah resmi menghapus sistem kuota
impor sapi sebagai disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di
kantornya, Senin, 26 September 2016. “Tak hanya berlaku untuk sapi hidup, kuota
impor daging beku juga dihapus. Hilang, enggak ada kuota-kuotaan," kata
Enggartiasto Lukita.
Sebagai penggantinya, pemerintah akan mengeluarkan
ketentuan baru yakni importir diwajibkan mendatangkan satu ekor sapi indukan
untuk setiap lima sapi bakalan yang diimpornya. Ketentuan itu akan dituangkan
dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016
tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
Kebijakan ini sebenarnya telah berjalan. Saat ini,
Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor 300 ribu ekor sapi
bakalan hingga 2018 dengan ketentuan tersebut. Ada tiga perusahaan importir
yang telah berkomitmen menjalankannya. Dua di antaranya adalah Santori dan
Great Giant Livestock (GGL). "Mereka sudah tanda tangan di atas meterai
untuk impor 60 ribu sapi indukan, di luar izin impor 300 ribu sapi bakalan yang
didapatnya," kata Enggar.
Kendati izin ini sampai 2018, Enggar tidak menutup
kemungkinan ada tambahan impor sapi jika ada pengusaha lain yang memenuhi
syarat. "Ya keluarin lagi, mengajukan berapa pun sapi indukan saya
kasih," katanya.
Yang pasti, kata Enggar, pada 2018 pemerintah akan
melakukan audit di tiap perusahaan penerima izin impor. Bila terbukti mereka
tak memenuhi ketentuan, "Kami sita sapinya, kalau tidak ada ya asetnya,
itu sesuai perjanjian," kata Enggar.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Syarkawi Rauf mendukung langkah pemerintah ini. Sebab ia menilai pembatasan
impor dengan kuota akan membuka peluang korupsi. "Kuota itu banyak moral
hazard-nya, seperti kasus suap impor sapi dulu kan karena adanya kuota,"
katanya.
Ia menambahkan, kewajiban mengimpor indukan juga
bisa menambah populasi sapi di dalam negeri. "Ini kami apresiasi,"
katanya. (wan)