Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini harga ayam | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Harga Khusus Daging Ayam dan Telur Januari-Maret 2019

Foto: Pixabay

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memutuskan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) telur dan daging ayam. Salinan Surat Menteri Perdagangan No. 82/M-DAG/SD/1/2019 tertanggal 29 Januari 2019 yang diperoleh Infovet, dijelaskan keputusan tersebut dilakukan berlaku untuk periode Januari hingga Maret 2019.

“Mengingat kenaikan harga jagung dan pakan di tingkat perternak yang berdampak pada kenaikan harga daging ayam dan telur di tingkat peternak dan konsumen berada di Harga Acuan, sehingga keputusan ini diambil untuk kondisi yang tidak normal," bunyi aturan tersebut seperti dikutip Infovet, Jumat (8/2/2019)

Terdapat juga harga acuan pembelian daging dan telur ayam di tingkat peternak serta harga acuan penjualan di tingkat konsumen, sebagaimana diatur dalam Permendag No. 96/2018 berlaku untuk kondisi normal.

Dalam permendag tersebut, harga acuan pembelian daging dan telur ayam ras di tingkat farmgate dipatok Rp 18.000/kg (harga batas bawah) hingga Rp 20.000/kg (harga batas atas).

Mendag menetapkan harga khusus pembelian daging dan telur ayam ras di tingkat farmgate seharga Rp 20.000/kg (harga batas bawah) hingga Rp 22.000/kg (harga batas atas). Sementara itu, harga khusus penjualan daging ayam ras kepada konsumen ditetapkan seharga Rp 36.000/kg dan telur ayam ras seharga Rp 25.000/kg.

Harga ini berlaku sejak surat tersebut ditandatangani tertanggal 29 Januari 2019 sampai dengan 31 Maret 2019. Selanjutnya, harga kembali mengacu pada Permendag 96/2018. (NDV)

Dampak Aturan Harga Baru Telur dan Ayam Bagi Peternak

Ilustrasi. (Sumber : Google)

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018 tentang harga baru acuan telur ayam dan daging ayam mulai berdampak bagi  peternak. Peternak ayam mengaku sudah mulai merasakan perbaikan harga jual sejak awal bulan Oktober.

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar), Singgih Januratmoko mengatakan harga telur dan ayam di tingkat peternak  sudah mulai mengalami peningkatan atau berada di kisaran Rp 18 ribu sampai Rp 20 ribu per kilogram.

Singgih mengaku pergerakan harga di tingkat peternak baru terjadi di Pulau Jawa untuk komoditas  telur. Harga daging ayam sudah hampir merata di seluruh Indonesia. Menurutnya, harga telur masih sekitar Rp 17 ribu per kilogram di Jawa Timur untuk tingkat peternak.

Pihaknya meminta pemerintah melakukan penghitungan jumlah pasokan dan permintaan telur dan daging ayam dengan lebih tepat. Apalagi menjelang kuartal IV,  permintaan bahan makanan biasanya relatif lebih tinggi sehingga harga jual berpotensi kembali naik.

“Harga ayam dan telur sangat elastis tergantung pasokan dan permintaan sehingga harus cepat diantisipasi,” ujar Singgih.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Bulog dan Berdikari belum melakukan penyerapan seperti tercantum pada aturan. Selain itu, Singgih juga menyebutkan Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) belum optimal dalam penyerapan untuk mendorong harga. Alasannya, pembelian telur dan ayam saat ini lebih banyak dilakukan oleh  pedagang besar serta Rumah Potong Hewan (RPH).

Sementara itu, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti menjelaskan aturan penyerapan telur dan ayam oleh BUMN baru akan dilakukan jika ada kebutuhan mendesak dan mengintervensi harga pasar, seperti jika harga ayam dan telur jatuh jauh di bawah harga acuan atau sebaliknya.

Mekanisme serapannya  juga tak bisa dilakukan seketika, melainkan harus berdasarkan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

“Kementerian Perdagangan bertugas untuk memberikan penugasan nantinya,” imbuh Tjahya.

Sementara itu, terkait kerja sama penyerapan ayam dan telur di tingkat peternak antara pemerintah dengan pengusaha retaail menurutnya juga belum mencapai kesepakatan. Upaya tersebut menjadi salah satu opsi memaksimalkan potensi penyerapan dan meningkatkana harga telur dan ayam di tingkat peternak, meski diakui Tjahja bahwa serapan dari peretail masih relatif kecil.

Oleh karena itu, upaya lain yang terus dilakukan  untuk menjaga harga yam dan telur yakni dengan mengawasi pergerakan harga di pasar tradisional. “Untuk meminta Aprindo, kami masih akan lihat situasi dan kondisi,” ujar Tjahya.

Sebelumnya, Bulog dan Berdikari menyatakan belum menerima penugasan untuk intervensi harga ayam dan telur jika pergerakannya tak sesuai dalam regulasi pemerintah. Kewajiban itu tercantum dalam Permendag 96/2018 sejak 1 Oktober 2018.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh menyatakan Bulog belum mendapatkan penugasan dari pemerintah. “Kalau ada pasti kami siap, pasti mekanismenya sama saja seperti beras,” kata Tri.

Demikian pula halnya dengan yanag dituturkan Direktur Utama Berdikari, Eko Taufik Wibowo bahwa  menurutnya belum ada arahan untuk tindak lanjut dari Permendag 96/2018.

Menurutnya, Berdikari sebagai perusahaan pelat merah bidang peternakan siap untuk melakukan penugasan jika ada diminta pemerintah. “Kami siap,” ujarnya. (Sumber: katadata.co.id)

Peternak Ayam di Ciamis Kosongkan Kandang

Harga jual ayam dibawah harga kesetimbangan atau BEP ( Foto: Antara)


Sudah satu bulan atau satu kali siklus panen, Asep Nana (50) tidak memasukkan bibit ayam ke kandang. Peternak ayam di wilayah Cipaku ini mengambil tindakan tersebut untuk mengurangi kerugian ayam yang lebih besar.

Seperti diberitakan oleh laman pikiranrakyat.com, sebagian peternak di  wilayah Tatar Galuh Ciamis terpaksa menunda memasukkan bibit ayam ke kandang. Pantauan di wilayah Cipaku, hari ini Selasa (4/9/2018), setidaknya ada dua peternak yang sejak satu siklus musim panen sekitar satu bulan tidak memasukkan bibit ayam ke dalam kandang. Meski dikosongkan, peternak tetap merawat kandang ayam.

Hal itu terlihat dari peralatan seperti tempat pakan atau ransum serta tempat air yang ditata rapih dan bersih. Beberapa peralatan lainnya yang digunakan untuk pemanas juga dijajarkan di luar kandang. Selain itu kondisi lantai yang masih berupa tanah juga terlihat bersih dan kering.

Dedi, peternak ayam yang tinggal tidak jauh dari kandang ayam milik Asep mengemukakan hal serupa. Saat ini dia juga memilih belum memasukkan bibit ayam ke dalam kandang, dengan alasan menunggu kondisi kembali stabil. 

Sekretaris Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Ciamis, Otong Bustomi mengatakan saat ini peternak ayam tengah merugi. Alasannya harga jual ayam dibawah harga kesetimbangan atau break even point (BEP).

“Harga atau biaya operasional lebih tinggi dibandingkan harga jual, otomatis peternak rugi. Pertanyannya sampai kapan kondisi ini akan berakhir atau sampai kapan kemampuan peternak bertahan,” ujarnya. ***


Hilirisasi, untuk Stabilitas Harga dan Kesehatan Unggas





Saat tulisan ini disusun, harga daging ayam di pasar tradisional di wilayah Jakarta sekitar Rp 37 ribu per kg, harga telur ayam Rp 24 ribu per kg. Berbagai media memberitakan, memasuki bulan puasa, masyarakat mengeluh harga terus melonjak. Pemerintah, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementan tampak sibuk mengupayakan agar harga kebutuhan pokok masyarakat tidak mengalami kenaikan.

Dalam kasus ini, peternak unggas mendapat bagian yang disalahkan karena dianggap menjual ayam dan telur dengan harga terlalu tinggi. Padahal fakta di lapangan tidak demikian. Harga telur di Blitar Rp 17 ribu per kg, di Pakanbaru bahkan hanya Rp 16 ribu per kg. Ini adalah harga yang normal, tidak ada lonjakan sama sekali, bahkan pakanbaru harga lebih rendah dari harga normal. Memang, menjelang bulan Puasa, harga di peternak sempat mengalami kenaikan, namun masuk pekan kedua sudah mulai kembali ke harga normal. Bahkan, dibanding dengan harga acuan Kementan sebesar Rp 18 ribu per kg untuk telur maupun ayam hidup, harga di peternak di sebagian daerah masih di bawah harga acuan pemerintah.

Pelaku usaha peternakan sebagai produsen sejatinya wajar jika berharap adanya kenaikan harga di waktu permintaan naik. Setidaknya bagi mereka, ada saatnya untuk menikmati untung, karena di bulan-bulan lain meskipun harga jatuh, mereka tetap berkomitmen tidak melakukan mogok produksi. “Meski rugi, saya tetap pelihara, untuk menjaga kelangsungan hubungan bisnis,” ujar para peternak.

Ingat kasus 2014 hingga 2016, harga ayam dan telur berada di bawah harga pokok produksi selama berbulan-bulan. Sebagian peternak yang tidak kuat untuk menanggung kerugian terpaksa mengistirahatkan kandangnya, bahkan ada yang berhenti total dan mengupayakan mengais rejeki dengan upaya lainnya.

Publik mungkin kurang paham bahwa menjalankan usaha “barang hidup” dalam sebuah negara kepulauan yang sangat luas ini sangat berbeda dengan memproduksi barang manufaktur.  Produsen peralatan rumah tangga dapat melakukan proyeksi bahwa di bulan tertentu misalkan menjelang lebaran dan saat tahun baru, terjadi lonjakan permintaan alat rumah tangga. Hal ini dapat diantisipasi dengan jumlah produksi yang sesuai kebutuhan pasar. Jika di saat tertentu terjadi oversupply juga tidak terlalu menjadi masalah karena barang yang diproduksi dapat disimpan di gudang dan dapat di jual kembali di saat permintaan melonjak.

Menjalankan usaha peternakan, tidak bisa dijalankan seperti memproduksi alat rumah tangga. Prediksi naik turunnya permintaan harus lebih cermat. Supply demand sepanjang tahun di sebuah negara harus dianalisa sehingga dapat diprediksi pergerakan naik turunnya permintaan.  Pertumbuhan ekonomi wilayah, laju inflasi dan tingkat kesadaran masyarakat akan konsumsi protein hewan ikut mempengaruhi permintaan. Pergerakan permintaan juga harus dilihat per daerah, karena Indonesia memiliki adat konsumsi protein hewani yang berbeda-beda waktunya.  Musim hajatan di berbagai daerah yang waktunya tidak seragam biasanya ikut berkontribusi meningkatkan konsumsi protein hewani.

Sementara itu dari sisi produksi juga ada beberapa aspek yang harus dikaji agar bisa menyediakan produk peternakan sesuai permintaan. Misalkan saja wabah penyakit hewan, kelangkaan produksi bibit, musim kemarau panjang, pasokan bahan baku pakan dan sebagainya, akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas produksi.
Ini semua tidak bisa bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Jika produksi peternakan diserahkan ke mekanisme pasar, resikonya adalah produksi tidak bisa terkendali. Ketika diprediksi bahwa saat tertentu akan terjadi lonjakan permintaan semua pelaku usaha akan berlomba memproduksi, hingga akibatnya terjadi oversupply dan harga anjlok.

Tahap berikutnya, karena harga jatuh, pelaku usaha akan mengurangi produksi. Sebagian di antaranya berhenti total. Selanjutnya karena para pelaku usaha mengurangi produksinya maka pasokan berkurang hingga di bawah permintaan. Harga menjadi naik kembali. Demikian seterusnya, setelah harga naik, gairah usaha peternakan kembali meningkat hingga kembali terjadi oversupply.

Kejadian ini berputar-putar terus dengan skala gejolak yang makin membesar, akibat konsumsi protein dan jumlah penduduk terus meningkat. Untuk memudahkan pemahaman terhadap permasalahan unggas, Dr Soehadji (Dirjen Peternakan 1988-1996) menggambarkan masalah ini sebagai lingkaran siput.

Bagaimana mengatasi semua ini? Sebagaimana disebut di muka, manajamen pengendalian produksi tetap harus dilakukan oleh pemerintah. Adanya tim ahli Dirjen PKH saat ini sebagai tim untuk menganalisa supply demand unggas, adalah langkah yang baik. Hendaknya kita tidak apriori dengan upaya ini. Publik harus mendukung dan mengkritisi jika ada kekurangan.

Langkah ini perlu dilanjutkan dengan langkah lain untuk mengurangi gejolak, yaitu hilirisasi perunggasan. Gagasan hilirisasi sudah cukup lama bergaung, namun belum berjalan optimal. Maksud hilirisasi adalah upaya memperkuat industri hilir perunggasan mulai dari pemotongan, penyimpanan dan pengolahan. Asumsi bahwa gejolak akan semakin besar adalah apabila industri hilir tidak digarap. Jika mayoritas masyarakat membeli ayam harus dalam bentuk ayam hidup, maka gejolak akan terus membesar. Itu sebabnya masyarakat harus dibiasakan membeli ayam beku, ayam dingin segar dan hasil olahannya.

Dengan indusri hilir yang baik, keuntungannya bukan hanya pada stabilitas harga, tapi juga kesehatan unggas dan juga kesehatan konsumen. Penyebaran penyakit AI (dan beberapa penyakit lain) akan lebih terkendali jika peredaran perdagangan ayam bukan lagi ayam hidup.

Pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana agar konsumen membeli ayam dengan harga yang wajar dan seirama dengan harga di peternak. Kementerian Perdagangan perlu mengurai masalah ini dengan secermat-cermatnya. Jangan seperti sekarang, konsumen membeli produk unggas dengan harga mahal, padahal peternak tidak menikmati harga yang melonjak tinggi. ***

Editorial Majalah Infovet Edisi 288/Juli 2018

BEGINI LANGKAH KEMENTAN ATASI GEJOLAK HARGA DAGING DAN TELUR AYAM

JAKARTA, 30 Maret 2017. Dalam rangka mengatasi permasalahan perunggasan di Indonesia saat ini, terutama terkait adanya penurunan harga ayam hidup (broiler dan jantan layer) serta telur dibawah harga pokok produksi, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer tanggal 29 Maret 2017.
“Ini merupakan kebijakan pemerintah di bagian hulu untuk menata bisnis perunggasan di Indonesia, dengan tujuan melakukan supply management (manajemen pasokan). Pemerintah bersama-sama dengan Tim Analisis dan Tim Asistensi perunggasan dengan mempertimbangkan kondisi pasar saat ini, maka perlu mengatur kembali pasokan bibit agar sesuai dengan naik turunnya permintaan, sehingga tidak terjadi over supply,” ungkap Dirjen PKH I Ketut Diarmita.
Dirjen PKH Kementerian Pertanian I Ketut Diarmita
siap mendampingi pihak Istana menerima
perwakilan peternak yang berdemo siang ini Kamis, (30/3).  
Tujuh (7) langkah yang dilakukan Kementan untuk mengatasi masalah perunggasan di bagian hulu yaitu: 1). Penerbitan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras; 2). Pembentukan Tim Analisis, Tim Asistensi dan Tim Pengawas dalam mendukung pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016; 3). Analisis daging dan telur ayam ras; 4). Pertemuan dengan stakeholder terkait dengan dinamika perunggasan nasional; 5). Pemantauan ke pelaku usaha terkait pelaksanaan Permentan Nomor 61 Tahun 2016 oleh Tim Pengawas Ayam Ras dalam kesiapan Sertifikasi Produk DOC FS; 6). Penerbitan Surat Edaran Dirjen PKH No. 02926/SE/PK.010/F/03/2017 tentang Pengurangan DOC FS Broiler, dan SE Dirjen PKH Nomor 03035/SE/PK.010/F/03/2017 perihal Pengurangan DOC FS Jantan Layer; 7). Penerbitan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3035/Kpts/PK010/F/03/2017 untuk menjadi dasar hukum dalam pelaksanaan pengurangan DOC FS Broiler, DOC FS Jantan Layer dan FS Ayam Layer.
Menurut I Ketut Diarmita, kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan harga Live Bird Broiler dan Live Bird Jantan Layer yang berada di bawah Harga Pokok Produksi (HPP) dan berdasarkan rekomendasi dari Tim Analisis dan Tim Asistensi pada tanggal 22 Maret 2017, sehingga pada tanggal 24 Maret 2017 dikeluarkan Surat Edaran (SE) Dirjen PKH tentang Pengurangan DOC FS.
Kebijakan ini diputuskan dengan mempertimbangkan perhitungan potensi produksi DOC FS Broiler rata-rata 63.000.000 ekor/minggu, sehingga perlu dilakukan pengurangan produksi DOC FS Broiler sebanyak 5.000.000 ekor/minggu secara nasional dari Pembibit PS Broiler yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan suplai dan demand. Oleh karena itu, peningkatan populasi ayam ras harus diimbangi dengan seberapa besar kebutuhan atau permintaan untuk menghindari terjadinya penurunan harga akibat over supply daging ayam.
“Para Pembibit Parent Stock (PS) Broiler untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS sebanyak 8% dari total produksi di perusahaan melalui setting telur tertunas. Selain itu juga,  Pembibit PS Jantan Layer untuk melakukan pengurangan produksi DOC FS Jantan Layer sebanyak 20% dari total produksi,” kata I Ketut Diarmita.
Perwakilan peternak yang diterima di Istana Negara. 
Lebih lanjut disampaikan, dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian tersebut juga disebutkan mengenai pengurangan FS layer dilakukan melalui afkir FS layer usia diatas 70 minggu pada peternak yang memiliki FS layer di atas 100.000 ekor.
“Pengurangan ini dilakukan secara bertahap mulai tanggal 27 Maret 2017 dan akan ditinjau kembali setiap 2 minggu oleh Ditjen PKH. Selanjutnya para pelaku usaha dalam melaksanakan pengurangan DOC FS Broiler dan DOC FS Jantan Layer serta FS Layer wajib menyampaikan laporannya secara tertulis kepada Dirjen PKH,” jelas I Ketut Diarmita.
“Saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang melaporkan ke kami bahwa mereka sudah mulai melaksanakan himbauan seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Dirjen PKH. Beberapa perusahaan memanfaatkan dana CSR mereka dengan cara membagikan telur ke panti asuhan, panti jompo, pondok pesantren dan lain-lain,” tambahnya.
“Pengawasan akan dilakukan cross monitoring oleh Tim Analisis dan Pengawas Bibit Ternak Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya,” ungkap I Ketut Diarmita.
Langkah-langkah yang akan dilaksanakan Ditjen PKH selanjutnya, yaitu: 1) Revisi Permentan Nomor 61 Tahun 2016 dengan memasukkan pengaturan terhadap distribusi DOC Layer; 2). Pemantauan terhadap pengurangan produksi DOC FS di perusahaan PS di sentra produksi utama (hatchery); 3). Evaluasi dampak pengurangan produksi DOC FS; 4). Perbaikan data dari sumber data yang dapat dipertanggungjawabkan; 5). Penyusunan Road Map Ras Pedaging dan Petelur Tahun 2017-2019; 6). Pemetaan wilayah produksi dan distribusi Ayam Ras Pedaging dan petelur yang disinkronkan dengan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota terkait.
Sedangkan untuk di hilir, Ditjen PKH juga terus mendorong tumbuhnya usaha pemotongan, penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar atau telur segar melainkan ayam beku, ayam olahan, tepung telur ataupun inovasi produk lainnya. “Hal ini mengingat pasar untuk komoditi unggas di Indonesia didominasi fresh commodity, sehingga produk mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga, sehingga intervensi pemerintah perlu dilakukan dari hulu hingga hilir”, tambah Dirjen PKH menjelaskan.
Lebih lanjut I Ketut Diarmita, MP menghimbau agar peternak memperbaiki manajemen pemeliharaan dan menerapkan prinsip-prinsip animal welfare, biosecurity dan treacibility. Selain itu juga perlu modernisasi supply chain from farm to table. I Ketut Diarmita menyampaikan, saat ini perusahaan yang memiliki Rumah Pemotongan Ayam (RPA) telah melakukan penyimpanan dengan fasilitas cold storage, hanya mampu menampung stock sebesar 15-20% dari total produksi.
“Peternak mandiri maupun integrator saat ini sama-sama menjual ayam hidup, maka keduanya terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand), sehingga jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki cadangan dana ketika harga jatuh akan mudah mengalami kebangkrutan,” ungkap I Ketut Diarmita.
Untuk itu, Pemerintah telah mewajibkan bagi pelaku usaha dengan kapasitas produksi produksi paling sedikit 300.000 (tiga ratus ribu) per minggu harus mempunyai Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) yang memiliki fasilitas rantai dingin. Sehingga angka penjualan ayam beku dapat ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.
“Pemerintah melalui Ditjen PKH juga terus melakukan kampanye Ayam Dingin Segar yang sudah dilakukan di 20 titik untuk wilayah Jabodetabek saat ini,” kata I Ketut Diarmita. “Selain itu juga Ditjen PKH terus mendorong perusahaan integrator untuk membuka pasar di luar negeri. Para pelaku industri perunggasan diharapkan dapat menjual produk daging ayamnya ke pasar di luar negeri, sehingga pasar dalam negeri dapat diisi oleh peternakan unggas rakyat,” kata I Ketut Diarmita menambahkan.
Dirjen PKH menjelaskan, untuk daging ayam olahan kita juga sedang mengupayakan dan mendorong agar beberapa unit usaha pengolahan daging ayam yang telah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Jepang agar segera merealisasikan ekspornya. “Hal ini tentunya diharapkan dapat menyusul keberhasilan Indonesia ekspor ke PNG saat ini, dan sejak tahun 2015 Indonesia juga telah mengekspor telur ayam tetas (Hatching Eggs) ke negara Myanmar,” ungkap I Ketut Diarmita.
“Jika semua sudah berjalan sebagaimana mestinya, cara ini tentunya akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar,” ujar I Ketut Diarmita. (wan)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer