Gery menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Peternakan IPB (Foto: Nunung) |
Kedatangan
Infovet Selasa pagi (22/5/2018) disambut senyuman lebar oleh Gery Buwana, pemilik
Global Buana Farm yang berlokasi di Desa Cihideung Udik, Ciampea, Bogor. “Beternak
itu sangat mengasyikkan,” ungkapnya mengawali perbincangan santai dengan
Infovet.
Selepas
lulus dari Monash University Australia, Gery memutuskan untuk beternak ayam
layer/petelur. Terlepas dari sang ayah yang juga memang seorang peternak, Gery
mengaku sangat suka berwirausaha.
Tepatnya
tahun 2013, Gery mengisi kandang-kandangnya dengan ayam Lohman Brown. Sejak
awal, Gery telah menggunakan sistem kandang closed
house. “Meski semua kandang belum closed house,” ujarnya.
Bagi
pria kelahiran Kota Salatiga ini, mengembangkan usaha peternakan sendiri,
dirinya belajar untuk lebih bersiap dan menyelesaikan rintangan dengan segera.
“Masalah yang berkaitan dengan kandang itu kompleks dan treatment-nya unik-unik atau berbeda satu dengan lainnya. Saya
pribadi merasakan dipacu untuk kreatif ketika beternak ,” ungkap Gery diselingi
tawa.
Bergulirnya
peraturan yang melarang penggunaan Antibiotic
Growth Promoter (AGP) di Indonesia, berpengaruh besar bagi peternak. Gery
menegaskan dari segi manajemen pemeliharaaan mengambil peran penting.
“Penerapan
biosekuriti sangat penting demi ayam yang sehat,” katanya. Gery menyatakan,
kendati di Indonesia sudah banyak produk vaksin bagus kemudian diperkuat dengan
kandang yang memberlakukan sistem biosekuriti ketat, bagaimanapun peternak
tetap sedih ketika terjadi penurunan produksi karena ayam sakit.
Antibiotik
yang selama ini dimanfaatakan untuk membersihkan/menjaga saluran pencernaan
ayam agar terhindar dari penyakit, harus dihilangkan. Menurut Gery, larangan
penggunaan AGP membuat ayam lebih rentan penyakit.
“Dampak
lainnya dari segi pakan mengalami penurunan kualitas, karena bahan baku impor
juga diberhentikan. Mengingat bahan baku lokal, seperti jagungnya kurang kering
, mudah sekali terkena jamur, dan harga sangat mahal tidak sebanding dengan kualitasnya,”
kritiknya.
Berbagi
pengalaman, Gery pernah memberikan ayamnya pakan dengan jagung lokal. “Awal sih memang biasa saja atau belum ada
tanda-tanda masalah ketika ayam memakannya. Jamur akan berasa setelah jangka
waktu tiga bulan,” kisahnya.
Setelah
ayamnya memakan jagung yang terkontaminasi jamur, hasil produksi mengalamai
penurunan. “Produksi yang biasanya 95% turun jadi 75%,” lanjut Gery. Langkah
yang ditempuh Gery, sebisa mungkin mengusahakan agar produksi telur tidak turun
lagi.
Pada
era Indonesia bebas AGP ini, Gery mengatakan dirinya setiap hari menggali
informasi sebanyak-banyaknya tentang pengganti AGP seperti acidifier, probiotik, prebiotik, asam amino, hingga tanaman herbal.
Gery pun membeli buku serta melakukan diskusi dengan sesama peternak dan
berkonsultasi dengan dokter hewan.
“Perkara
cost pasti naik, karena pakan saja
tidak cukup. Perlu menambahkan enzim maupun vitamin, sebagai upaya menjaga ayam
tetap sehat,” imbuh Gery. ***
Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Infovet edisi 290 - September 2018