Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Pangan | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

MANAJEMEN RANTAI PASOK DAN KEAMANAN PANGAN DI SAAT PANDEMI COVID-19

Daging, produk pangan hasil ternak. (Foto: Istimewa)

Rantai pasok merupakan rangkaian aliran barang, informasi dan proses yang digunakan untuk mengirim produk atau jasa dari lokasi sumber pemasok ke lokasi tujuan pelanggan.

Dimulai dari titik produsen ini bahan pangan akan bergerak menuju berbagai metode pengolahan. Pergerakan bahan pangan ini difasilitasi unit usaha logistik dan transportasi, yang akan menjamin bahwa produk pangan akan sampai kepada konsumen dengan tepat waktu dan berkualitas. 

Hal itu dijelaskan oleh Pengajar Fakultas Peternakan IPB, Dr Epi Taufik, dalam Pelatihan Online "Logistik Rantai Dingin pada Produk Hasil Ternak" yang diselenggarakan Forum Logistik Peternakan Indonesia (FLPI) dan Fakultas Peternakan IPB. Acara berlangsung pada 20-21 Mei 2020 juga menghadirkan narasumber dari kalangan praktisi atau swasta, yakni Direktur Operasional PT Adib Logistics, Irene Natasha. 

Dijelaskan Epi, perbedaan mendasar antara rantai pasok pangan dengan rantai pasok lainnya adalah perubahan yang terus-menerus dan signifikan terhadap kualitas produk pangan di seluruh rantai pasok hingga pada titik akhir produk tersebut dikonsumsi. Adapun berdasarkan jenis proses produksi dan distribusi dari produk nabati dan hewani, rantai pasok pangan dibedakan atas dua tipe, yakni rantai pasok produk pangan segar dan rantai pasok produk pangan olahan.

Rantai pasok produk pangan segar seperti daging, sayuran, bunga, buah-buahan, secara umum rantai pasoknya meliputi peternak atau petani, pengumpul, grosir, importir, eksportir, pengecer dan toko-toko khusus. Pada dasarnya seluruh tahapan rantai pasok tersebut memiliki karakteristik khusus, produk yang dibudidayakan atau diproduksi dari sebuah farm atau pedesaan. Proses utamanya adalah penanganan, penyimpanan, pengemasan, pengangkutan dan perdagangan produk.

Adapun rantai pasok produk pangan olahan seperti makanan ringan, makanan sajian, atau produk makanan kaleng.

"Pada rantai pasok ini, produk pertanian dan perikanan digunakan sebagai bahan baku dalam menghasilkan produk-produk pangan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Dalam banyak hal, proses pengawetan dan pendinginan melalui sistem rantai pendingin akan memperpanjang masa guna (shelf life) dari produk pangan yang dihasilkan," ujar Epi.

Kesuksesan rantai pasok pangan, lanjut dia, sangat tergantung pada interaksi yang kuat dan efektif antara pemasok bahan ramuan, penyedia bahan kemas utama (contact packaging providers), pengemas ulang (re-packers), pabrik maklon (co-manufacturers), pedagang perantara dan pemasok lainnya. (IN)

INTEGRASI DATA PERTANIAN INDONESIA : BERGERAK MAJU, MENGAKHIRI KELAPARAN

Integrasi data pangan : mutlak dilakukan demi pengentasan kelaparan


Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, bersama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) berkomitmen untuk bekerja sama dalam integrasi statistik pertanian dan ketahanan pangan.

Kerja sama dimaksudkan untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yang kedua yakni mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, nutrisi yang lebih baik, serta mendukung pertanian berkelanjutan. Komitmen tersebut ditegaskan dalam jumpa pers penyampaian ihwal penyelenggaraan Konferensi Statistik se-Asia Pasifik ke-28 (#APCAS) di Badan Pusat Statistik (5/2).

Indonesia adalah salah satu contoh negara dengan pertumbuhan penduduk tercepat di Asia-Pasifik. Hal tersebut menyebabkan perkembangan populasi dan kemajuan ekonomi yang signifikan. Peningkatan tersebut menciptakan tantangan besar bagi pemerintah terkait dengan isu ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, sekaligus perubahan iklim.

“Pertanian adalah akar dan solusi dari tantangan ini. Kebijakan pertanian yang progresif dan responsif sangat penting untuk memastikan pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia maju. Statistik pertanian menjadi dasar atau fondasi kebijakan, terutama untuk memenuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan,“  kata Stephen Rudgard, perwakilan FAO di Indonesia.

Indonesia memang terus bergerak maju dan mengembangkan kebijakan pertanian berdasarkan data statistik pertanian dan pangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi  permasalahan perbedaan data yang kerap terjadi. Perbedaan yang disebabkan oleh penggunaan berbagai konsep, definisi, dan metodologi yang menghalangi koordinasi kementerian dan lembaga dalam merumuskan kebijakan.

“BPS menyambut baik acara APCAS di Indonesia karena forum ini sangat penting untuk memperbaiki Sistem Statistik Pertanian di Asia Pasifik untuk dapat menyediakan Statistik Pertanian yang akurat, tepat waktu, dan relevan guna mendukung SDGs. Selain itu, BPS juga akan menyelenggarakan Sensus Pertanian pada  2023 sehingga pengalaman dari negara-negara Asia Pasifik yang telah menggunakan teknologi terkini dan modern bisa kita adopsi ” ujar Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik, dalam sambutan singkatnya mengenai kegiatan #APCAS usai menyampaikan rilis pertumbuhan ekonomi.

Kementerian Pertanian telah berkomitmen dalam data pertanian yang terintegrasi bekerja  sama dengan Badan Pusat Statistik Indonesia dan provinsi dan kabupaten.

"Ketersediaan data yang akurat sesuai fakta di lapangan menjadi sangat penting sebagai landasan dalam penyusunan program dan kebijakan pembangunan pertanian yang tepat untuk mencapai target-target yang ditetapkan  “ kata Dr. Ketut kariyasa, Kepala Pusdatin Kementan.

Sebagai tuan rumah #APCAS yang akan diadakan di Bali pada 10-14 Februari 2020, Indonesia akan menjadi tempat bersejarah ajang berdiskusi dan berbagi pengetahuan dari negara-negara anggota FAO di kawasan Asia dan Pasifik. Pertemuan ini diharapkan menghasilkan solusi dan implementasi terbaik mengenai statistik pertanian dan kebijakan yang sesuai yang dapat diterapkan pada berbagai negara masing-masing.

Penyelenggaraan #APCAS ke-28 diharapkan berfokus pada pada capaian negara dalam mengimplementasikan indikator tujuan pembangunan berkelanjutan yang berada di bawah tanggung jawab FAO. Konferensi  juga akan membahas perkembangan statistik dalam lingkup regional maupun global. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung penggunaan teknologi yang hemat biaya seperti penggunaan tablet untuk pengumpulan data dan penggunaan Big Data dalam bentuk citra satelit atau data pengamatan bumi untuk kemajuan statistik pertanian dan pangan di masa depan.

Keanggotaan #APCAS terbuka untuk seluruh negara anggota FAO. Saat ini anggota APCAS berjumlah 31 negara, diantaranya : Afghanistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Kamboja, Cina, Fiji, Prancis, India, Indonesia, Republik Islam Iran, Jepang, Laos, Maladewa, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Nepal, Baru Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Republik Korea, Samoa, Sri Lanka, Thailand, Timor Leste, Tonga, Inggris, Amerika Serikat, dan Vietnam. (CR)


HARI PANGAN SEDUNIA 2019 : MARI PERBAIKI KUALITAS MAKANAN KITA

Peringatan Hari Pangan Sedunia 2019 : Mari Perbaiki Kualitas Makanan Kita

Hari Pangan Sedunia (World Food Day) diperingati setiap tanggal 16 Oktober dengan menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya. Peringatan ini juga diadakan untuk memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang. Tema Global Hari Pangan Sedunia tahun ini adalah “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk  #Zerohunger ”

“Mencapai “Tanpa Kelaparan” (Zero Hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Tahun ini, Hari Pangan Sedunia menyerukan tindakan lintas sektor untuk membuat pola pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kita mengajak semua orang untuk mulai berpikir tentang apa yang kita makan,” kata Kepala Perwakilan FAO Indonesia, Stephen Rudgard. Hari Pangan Sedunia dirayakan setiap tahun, tepat pada hari lahir FAO. Hari ini adalah salah satu hari terbesar dalam kalender PBB. Peringatan ini diadakan pada lebih dari 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, komunitas  dan menyerukan aksi untuk mencapai SDG2 - Zero Hunger.

Dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis kita telah mengubah pola pangan sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi dan bertambahnya pendapatan. Kita telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging dan produk hewani lainnya.  Waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah semakin sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.

Kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif telah menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia. Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di Negara - negara berpendapatan rendah,  di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.  Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan. Di Indonesia, 30,8% anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2% anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8% mengalami obesitas.

Hari Pangan Sedunia 2019 menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Untuk ini, kemitraan adalah hal mendasar. Petani, pemerintah, peneliti, sektor swasta dan konsumen, semua memiliki peran untuk dimainkan,”kata Rudgard.

Kementan memberikan perhatian khusus soal ini dengan sebuah program untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga dengan nama Obor Pangan Lestari (Opal)”, tegas Kuntoro Boga Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumberdaya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.

Pola Pangan Sehat Harus Bisa Diakses Semua orang

Pola Pangan sehat adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit. Ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam. Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.

Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi . Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar. Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang Beragam, Seimbang dan Aman (B2SA),” Boga menambahkan.

Opal dirancang sebagai salah satu langkah konkrit pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA). FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan Hari Pangan Sedunia dalam serangkaian acara termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Sulawesi Tenggara pada 2-5 November dan Festival Kaki Lima Jakarta “Pangan Sehat, siap santap” pada 10 November. Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung, Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045. (FAO/CR)

TEKNOLOGI PETERNAKAN DAN VETERINER DUKUNG KEMANDIRIAN PANGAN DI ERA INDUSTRI 4.0

Foto bersama pada kegiatan Seminar Nasional TPV di Universitas Jember, Jember, Jawa Timur. (Foto: Infovet/Sadarman)

Kemandirian pangan di era industri 4.0 harus terus ditingkatkan dan dipertahankan. Hal ini mengingat bahwa pangan merupakan bagian utama yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia. Industri peternakan merupakan salah satu penunjang penyediaan bahan pangan nasional, terdiri dari daging, susu dan telur. Untuk menghasilkan produk yang optimal diperlukan teknologi yang mumpuni, mulai dari penyediaan bibit hingga desain pemasaran produk yang tuntutan era industri 4.0. 

Merujuk pada pentingnya hal itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Penelitian Pengembangan Peternakan, menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Teknologi Peternakan dan Veteriner (TPV) Mendukung Kemandirian Pangan di Era Industri 4.0”, yang diselenggarakan di Universitas Jember, Jember, Jawa Timur, Selasa (15/10/2019).

Ketua Panitia Pelaksana, Dr Wisri Puastuti, dalam laporannya menyatakan seminar TPV tahun ini diikuti sekitar 160 orang peserta, 5 makalah undangan, 46 makalah oral dan 56 makalah yang di posterkan.

“Harapannya ini dapat menjadi ajang pertukaran dan penyebaran informasi ilmiah hasil penelitian teknologi peternakan dan veteriner, terjalinnya hubungan kerjasama antara lembaga penelitian, perguruan tinggi, praktisi peternakan dan stakeholder, serta menghasilkan rumusan informasi teknologi peternakan dan veteriner untuk mendukung kemandirian pangan di era industri 4.0,” kata Dr Wisri.

Pada seminar TPV 2019 kali ini, lanjutnya, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor mengenalkan aplikasi Smart Feed Agrinak (SFA) yang dikreasikan oleh Cecep Hidayat. Aplikasi berbasis Android ini dapat digunakan peternak untuk memformulasikan bahan pakan menjadi pakan ayam Kampung Unggul Balitnak.

Rektor Universitas Jember, Moh. Hasan PhD, menyambut baik pelaksanaan seminar di kampusnya. “Seminar ini memiliki makna khusus bagi Universitas Jember yang baru saja mendirikan Program Studi Peternakan yang berkampus di Bondowoso. Keberadaan program tersebut merupakan terobosan yang diambil universitas untuk ikut serta menyiapkan generasi muda peternakan yang melek teknologi, terkait dengan peternakan sesuai dengan tuntutan era industri 4.0,” tuturnya.

Dalam pelaksanaan Seminar TPV 2019, menghadirkan pembicara Dr Haryono Soeparno (dari Universitas Bina Nusantara), Prof Dr Heather Burrow (University of New England, Australia), Dr Paul Boon (dari IACCB), Prof Dr Achmad Subagio (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Jember) dan Agus Sholehul Huda SPt (Praktisi Ternak Domba). Seminar dihadiri oleh para peneliti dari berbagai lembaga penelitian dan akademisi. Di akhir acara, peserta seminar diajak mengunjungi wisata alam terkenal di Jawa Timur, yakni Blue Fire di Kawah Ijen dan Taman Nasional Baluran di Banyuwangi. (Sadarman)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer