Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Ayam Lokal | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

AYAM KAMPUNG KEBAL FLU BURUNG?

Ayam Kampung masih diminati masyarakat. (Istimewa)

Ayam kampung atau ayam buras yang kini populer disebut ayam lokal memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ayam kampung juga identik dengan pemeliharaan non-intensif. Dikala wabah AI (Avian Influenza) melanda, bagaimana seharusnya memelihara ayam kampung? Benarkah mereka kebal terhadap serangan AI?

Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas yang tinggi, termasuk di sektor ayam asli (native chicken). Nataamijaya (2000) mencatat, terdapat 32 galur ayam lokal asli yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi ayam pedaging, petelur, petarung dan ayam hias. Dibalik segala pesonanya, ada satu hal yang menjadi sorotan, yakni mengenai kekebalan alami terhadap AI yang dimiliki oleh ayam lokal. Di sini penulis mencoba menggali hal tersebut untuk membuka cakrawala masyarakat terhadap ayam lokal.

Tahan AI, Mitos atau Fakta?
Sudah menjadi hal yang umum bahwa masyarakat Indonesia khusunya di pedesaan banyak memelihara ayam kampung sebagai hewan pemeliharaan. Pemeliharaan biasanya dengan sistem non-intensif (diumbar tanpa diberi makan), maupun semi intensif (dikandangkan seadanya, diumbar dan diberi makan). Selain minim perawatan, alasan yang biasanya terlontar dari masyarakat adalah tahan penyakit.

Berdasarkan pengalaman dari beberapa rekan-rekan peternak ayam kampung, memang perawatan terutama program medis yang diberikan bisa dibilang minim. Jika yang lain sibuk dengan program kesehatan ayam broiler dan layer berupa vaksin, suplementasi dan sebagainya, ayam kampung justru sebaliknya. Mereka cukup diumbar, diberi makan dan dipanen telur maupun dagingnya.

Meskipun produktivitasnya rendah, ayam lokal memiliki keunggulan tersendiri. Maeda et al. (2006), menyatakan bahwa 63% ayam lokal Indonesia tahan terhadap virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau flu burung, karena memiliki frekuensi gen antivirus Mx+ yang lebih tinggi. Secara genetik, ketahanan terhadap virus, termasuk virus ND (Newcastle Disease), salah satunya dikontrol oleh gen Mx.

Berdasarkan data dari Gen Bank dengan nomor akses DQ788615, berada di kromosom 1 dan bekerja mentranskripsi protein Mx yang berfungsi sebagai promotor ketahanan terhadap infeksi virus. Gen Mx dilaporkan dapat digunakan sebagai penciri genetik untuk sifat ketahanan tubuh ayam terhadap infeksi virus, seperti virus AI dan ND.

Hasil penelitian Maeda tersebutlah yang menjadi rujukan bahwa sebagian besar (63%) ayam lokal Indonesia... (CR)


Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Mei 2019.

Peluang Menantang Usaha Bibit Ayam Lokal

DOC ayam lokal. (Foto: Dok. CV Nitnot)

Hingga kini belum ada data pasti kebutuhan DOC ayam lokal secara nasional. Namun, yang jelas, sejumlah pasar masih menunggu pasokan. Berminat?

Geliat bisnis ayam kampung memang tak ada matinya. Seperti halnya dengan ayam broiler, selagi penggemar daging ayam kampung masih ada, maka bisnis di sektor peternakan ini pun akan tetap ada. Bahkan ke depan, kemungkinan bisnis ini makin menjanjikan dengan menjamurnya rumah makan yang khusus menyediakan daging ayam lokal.

Pergerakan omzet di bisnis ayam lokal tak hanya dirasakan para pemilik rumah makan dan peternakan pembesaran saja, namun juga para penyedia bibitnya. Riko Saputro, salah satu pemilik CV Nitnot, peternak DOC ayam kampung di Blitar, Jawa Timur, misalnya. Meski baru dua tahun dijalani, omzet perusahaan penyedia bibit (DOC) ini meningkat tajam.

“Kalau tahun lalu masih sebatas puluhan ribu ekor per minggu, sekarang sudah mencapai 100 ribu ekor lebih per minggu,” ungkapnya kepada Infovet.

CV Nitnot adalah perusahaan yang bergerak di bidang penyedia bibit ayam lokal. Perusahaan yang beralamat di Jl. Moh Hatta No. 4, Kelurahan Sentul, Kecamatan Kepanjen Kidul, Blitar, Jawa Timur ini dimiliki oleh tiga orang, salah satunya Riko Saputro.

Bisnisnya dimulai sejak 2017. Mulanya hanya coba-coba menjual DOC ayam Joper, brand ayam kampung super CV Nitnot. Setelah dijalani beberapa bulan, Riko melihat peluang pasar cukup besar dan prospeknya cukup menjanjikan. Sejak itu, ia dan kedua investor lainnya mulai serius menggarap bisnis ini. “Dari hasil uji coba pasar yang kami lakukan, kami benar-benar kewalahan memenuhi permintaan pasar,” ujarnya.

Sekali peluang datang, jangan pernah ditolak, itulah prinspi bisnis Rio dan dua temannya. Untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup besar itu, CV Nitnot menjalin kerjasama dengan beberapa penetas di sekitar Kota Blitar. Lebih dari lima pembibit ayam kampung yang diajak kerjasama, namun baru dua penetas saja yang rutin memasok DOC ke CV Nitnot. Selebihnya, memasok sesuai dengan persediaan masing-masing peternak.

Dari awal pasokan yang sebelumnya hanya puluhan ribu ekor DOC, kini dalam setiap minggu, kapasitas produksinya mencapai 100 ribu DOC. Namun, lagi-lagi itu pun belum bisa memenuhi permintaan pasar yang Riko jajaki.

“Dari sekian banyak perintaan yang kami terima, kami baru bisa memenuhi sekitar 20 persen dari potensi pasar yang ada. Sekarang kami sedang mengusahakan agar kapasitas produksinya dinaikkan,” kata Riko. Jika daya pasoknya hanya 100 ribu ekor, berarti permintaan pasar yang masuk ke CV Nitnot tak kurang dari 500 ribu DOC per minggu.

Riko mengakui, bukan perkara mudah mendongkrak jumlah produksi dalam tempo singkat. Butuh waktu untuk mempersiapkan demi menjaga kualitas DOC. “Target saya dalam beberapa tahun ke depan maunya bisa mencapai satu juta ekor DOC produksinya per minggu. Target ini untuk memenuhi pasar di Pulau Jawa dan Provinsi Lampung,” tambahnya.

Bongkar dan vaksinasi DOC. (Foto: Dok. CV Nitnot)

Peluang Makin Terbuka
Besarnya potensi pasar penyediaan DOC ayam lokal juga diakui oleh Naryanto, pemilik PT Sumber Unggas Indonesia, yang berada di Parung, Bogor, Jawa Barat. Menurut pria yang akrab disapa Anto ini, permintaan pasar terhadap DOC ayam lokal dalam beberapa tahun terakhir terus meningkat. Karena itu, saat ini dia tengah fokus untuk penambahan populasi indukan agar DOC yang dihasilkan lebih banyak dan dapat menyediakan DOC bagi pihak luar.

“Saat ini jumlah produksi DOC kami sudah mencapai 100 ribu ekor per minggu. Kami akan terus berupaya menambah kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan pasar,” ujar Anto kepada Infovet.

Untuk meningkatkan kualitas bibit ayam lokal asli, Sumber Unggas Indonesia telah menambah jenis, yaitu ayam Sentul, ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak) dan ayam Kedu. Pihaknya bekerjasama dengan Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian dan telah mendapatkan lisensi ayam KUB serta Pra Lisensi ayam SenSi (Sentul Seleksi), sehingga produk DOC memiliki hasil standar Agro Inovasi.

Ketua Himpuli (Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia), Ade M. Zulkarnain, menyebut prospek bisnis di bidang penyediaan bibit ayam lokal akan terus membaik seiring permintaan pasar yang terus bertambah. Ini merupakan peluang yang lebih terbuka di sektor hulu atau pembibitan. 

“Apalagi sampai sekarang pengadaan DOC masih bersumber di Jawa, maka perlu dibangun pembibitan yang lebih dekat dengan peternak di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan NTB,” kata Ade saat ditemui Infovet.

Menurut dia, sejak delapan tahun terakhir, terjadi perubahan yang signifikan di peternakan ayam lokal, yaitu berkembangnya usaha pola intensif dengan populasi yang cukup besar. Jika sebelumnya peternak yang memiliki populasi di atas 1.000 ekor bisa dihitung dengan jari, sekarang sudah cukup banyak. Tak hanya di Pulau Jawa, tapi juga di berbagai daerah.

Tingginya permintaan DOC ini disebabkan meningkatnya pertumbuhan peternak ayam lokal pedaging saat ini. Hanya saja, lanjut Ade, masih belum diimbangi dengan pengadaan DOC. Selain itu, sesuai data di Himpuli, usaha di pembibitan yang sesuai standar Good Breeding Practice (GBP) juga masih sedikit, jumlahnya di bawah lima perusahaan.

Data Himpuli menunjukkan, saat ini ada beberapa perusahaan pembibitan yang meningkatkan produksinya. Ada yang produksi DOC 100.000 ekor per bulan sampai 600.000 ekor per bulan. Sementara, dari Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerain Pertanian, disebutkan populasi tahun lalu sekitar 315 juta ekor.

Selain usaha pembibitan ayam lokal asli yang sudah sesuai GBP, juga marak tumbuhnya usaha pembiakkan ayam persilangan di Jateng, Jogja dan Jatim. “Walaupun skala usahanya kecil, tapi jumlahnya cukup banyak. Mereka menyilangkan ayam ras layer dengan ayam Bangkok atau dengan ayam lokal asli,” katanya.

Aktivitas bongkar di kargo bandara (Foto: Dok.CV Nitnot)

Kendala Bisnis
Ketua Himpuli ini tidak bisa memastikan secara pasti besaran kebutuhan DOC ayam lokal untuk memenuhi permintaan pasar secara nasional. Menurutnya, belum ada data yang valid dalam menghitung kebutuhan ayam lokal. Asosiasi maupun peternak belum mendata itu, tapi secara umum ada peningkatan permintaan pasar rata-rata sekitar 15% per tahun.

Hal itu pun juga diakui oleh Riko Saputro dan Naryanto, yang tak memiliki data pasti kebutuhan secara nasional akan kebutuhan DOC ayam lokal. Namun yang jelas, pergerakan permintaan pasar terus naik dalam setiap bulan.

Di balik besarnya potensi pasar bibit ayam lokal ini, sejumlah kendala usaha juga masih menghadang. Tak hanya kendala dalam hal produksi, namun juga kedala non-teknis saat berhadapan dengan konsumen. Riko, misalnya, mengaku kendala dalam menjalankan bisnis ini justru bukan pada persoalan produksi. Peternak ini malah menemukan keraguan supplai dari para konsumen.

Dari permintaan pelanggan CV Nitnot yang ada selama ini, ada beberapa perusahaan yang meminta untuk menambah jumlah pasokan bibit ayam lokal hingga dua kali lipat dalam waktu singkat. “Mereka ragu kalau pasokannya tidak bisa rutin. Nah, kami tetap yakinkan pada mereka bahwa kami memiliki stok yang cukup untuk memenuhi permintaan mereka. Tapi kadang konsumen masih ragu juga,” ungkap Riko.

Lain lagi kendala yang disebut oleh Ade sebagai Ketua Himpuli. Menurutnya, ada tiga kendala yang dihadapi peternak secara keseluruhan selama ini. Pertama, pemanfaatan sumber daya genetik ayam asli yang masih terbatas, karena persepsi di peternak pertumbuhannya cukup lama dan produktivitas telurnya rendah. Tapi itu sudah mulai teratasi dengan adanya strain ayam lokal asli hasil penelitian Balitnak.

Kendala kedua, yakni aspek permodalan. Usaha pembibitan memerlukan biaya yang tidak sedikit, khususnya bagi peternak kelas UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah).
Ketiga, regulasi pemerintah yang masih membatasi modal usaha. Berdasarkan Perpres No. 44/2016, usaha ayam lokal hanya untuk UMKM dengan modal maksimal Rp 10 miliar. “Nah, bagaimana bisa membangun pembibitan dalam skala yang cukup besar kalau investasinya dibatasi?,” ujar Ade.

(Dari kiri): Riko Saputro (Dok. Pribadi), Naryanto dan Ade M. Zulkarnain.

Karena itu, sejak dua tahun terakhir, Himpuli menyuarakan agar penerintah merevisi batasan modal di usaha ayam lokal. Tujuannya, agar iklim investasinya lebih kondusif bagi investor yang akan masuk ke usaha ini, terutama untuk pembibitan. (Abdul Kholis)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer