![]() |
Pemukulan gong oleh Dirkeswan,
Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa,
sebagai simbolis penyelenggaraan seminar Pinsar
Indonesia
dan PT Elanco Animal Health Indonesia.
|
Seminar yang berlangsung sukses dari sisi jumlah peserta ini dihadiri oleh tiga pembicara yakni, Ketua Umum Pinsar Indonesia Singgih Januratmoko mewakili peternak, Direktur Kesehatan Hewan (Dirkeswan) Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa dan akademisi Prof Drh Agus Setiyono dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Menurut Fadjar, regulasi ini merupakan peraturan implementasi dari Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 18 Tahun 2009, khususnya pasal 22 ayat 5, pasal 49 ayat 2 dan pasal 51 ayat 4. “Pada prinsipnya, peraturan ini bertujuan untuk menghasilkan produk unggas atau ternak yang lebih aman dari sisi residu antibiotik dalam produk unggas. Pasalnya, gejala meningkatnya Antibiotic Microbial Resistence (AMR) yang dilaporkan WHO menunjukkan sudah dalam kondisi kritis dan segera ditangani. WHO memprediksi pada tahun 2050 nanti, AMR akan menjadi faktor penyebab kematian manusia nomor satu di dunia,” ujar Fadjar.
Sementara itu Prof Agus Setiyono, memaparkan, penting dan strategisnya peran dokter hewan dalam pelaksanaan di lapangan dari Permentan tersebut. Dokter hewan berdasarkan PP No. 3 Tahun 2017 memiliki kewenangan atau otoritas dalam menentukan dan pengawasan penggunaan antibiotik pada hewan. Untuk itu, beliau mendorong dan mengusulkan dibentuknya otoritas veteriner di perusahaan, kelompok peternak dan koperasi yang berhubungan langsung dengan proses pemeliharaan atau produksi ternak. Otoritas veteriner ini bisa menjembatani antara unit usaha peternakan dan dokter hewan pemerintah yang berwenang melakukan pengawasan.
Ketua Umum Pinsar Indonesia Singgih Januratmoko, menuturkan, bahwa seminar ini dilaksanakan sebagai wujud bahwa Pinsar Indonesia mendukung pelaksanaan Permentan No. 14 Tahun 2017, demi produk unggas yang baik dan masa depan kesehatan masyarakat yang lebih baik.
“Kita menyadari bahwa selama ini yang menjadi kendala utama ekspor unggas Indonesia adalah kandungan residu antibiotik yang belum memenuhi kriteria negara tujuan. Untuk itu, mudah-mudahan ke depan produk unggas nasional bisa lebih mudah untuk diekspor, dan kami berharap, dengan seminar ini peternak bisa lebih siap dalam pemeliharaan ayamnya tanpa menggunakan antibiotik dalam pakan. Memang tidak mudah, tetapi mau tidak mau, suka tidak suka, harus dilakukan untuk masa depan yang lebih baik,” pungkas Singgih. (HD)
0 Comments:
Posting Komentar