Indonesia, negara kaya raya di jagad khatulistiwa terbentang dengan pongah di antara dua benua dan dua samudera. Memiliki ribuan pulau besar dan kecil, yang mengandung berbagai kekayaan alam baik yang tidak dapat maupun yang dapat diperbaharui.
Sebagai negara kaya raya, Indonesia masih menyimpan banyak permasalahan-permasalahan yang menggelayut di pilar-pilar penyangga negeri ini? Sebut saja perihal korupsi yang sampai saat ini masih saja santer dibicarakan. Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah perihal kecukupan pangan untuk bangsa besar ini. Namun pangan yang dimaksud bukanlah pangan yang hanya terpenuhi secara kuantitasnya saja, sisi kualitas harus menjadi prioritas utama demi terwujudnya generasi bangsa yang sehat, dengan tingkat inteligensi yang tinggi.
Kenyataannya, harapan itu masih jauh. Bagai mengejar fatamorgana, bangsa yang hidup dengan kemewahan wilayahnya ini masih saja didera dengan kondisi pangan yang tidak mencukupi persyaratan hidup. Hal ini dibuktikan dengan capaian per kapita konsumsi protein hewani masih jauh dari cukup. Tercatat sampai saat ini konsumsi daging per kapita per tahun, baru mencapai 8,5 Kg (data USDA-GAIN Report Oktober 2007), dari angka tersebut konsumsi daging ayam hanya 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur pun hanya 67 butir/kapita/tahun. Angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN. Di samping itu, program swasembada daging 2010 sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Dapatkah bangsa ini tumbuh sempurna dengan IQ tinggi bila mereka hanya disuguhi pangan yang mencukupi dari segi kuantitasnya saja?
“Jelas tidak,” jawab Prof Dr Ir HM Hafil Abbas MS Pakar dan Pengamat Perunggasan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Menurutnya, proses tumbuh kembang anak harus didukung oleh asupan makanan bergizi, baik berupa makanan dengan kandungan protein nabati maupun makanan yang kaya dengan kandungan protein hewani.
“Kedua jenis makanan ini harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang dapat menunjang pertumbuhan bagi anak,” tegas Prof Abbas. Untuk menghasilkan produk unggas dengan kualitas yang baik, diperlukan sinergisme dari semua aspek pendukungnya. Aspek-aspek tersebut menurutnya adalah aspek bibit, pakan, obat-obatan dan vaksin, peralatan dan aspek pasar. “Pasar perunggasan Indonesia tetap membaik dari tahun ke tahun,” ujarnya.
Lantas seberapa cerahkah prospek perunggasan Indonesia di tahun 2010 nanti? “Prospek perunggasan kita jelas tetap cerah dan itu dipastikan apalagi bila kondisi perekonomian global kembali kemasa sedia kala. Hal yang perlu diperhatikan oleh semua penggerak usaha ini adalah menyangkut sesuatu yang tidak berhubungan dengan masalah teknis peternakan itu sendiri, tetapi faktor-faktor lingkungan non teknis lainnya yang akan berpengaruh terhadap kelancaran usaha ini,” papar Guru Besar Ilmu Unggas Fakultas Peternakan Universitas Andalas ini.
Dikatakannya, aspek non teknis tersebut dapat berupa aspek kualitatif, diantaranya aspek ekonomis dan juga aspek politik dan keamanan (polkam). Kedua aspek ini jelas dapat mempengaruhi iklim berusaha di sektor industri manapun termasuk industri perunggasan itu sendiri. Misalkan saja lingkungan strategis global negara-negara produsen unggas yang potensial seperti Brazil dan China, serta beberapa negara lainnya di Eropa. Contohnya akibat penyakit Avian Influenza, produk-produk unggas dari negara-negara tersebut tidak boleh masuk ke Indonesia. Hal ini merupakan pukulan berat bagi Negara-negara tersebut, sehingga dari industri peternakan sendiri mengalami kerugian yang besar. Selain itu masalah kehalalan masih tetap menjadi isu utama yang membantu menghambat masuknya produk unggas ke Indonesia, termasuk dari USA.
“Cerita singkat ini bak setali tiga uang dengan kondisi dunia perunggasan kita bila saja pemerintah, swasta dan pihak terkait lainnya tidak menata sistem berusaha yang baik,” ujar Prof Abbas. Lantas apa saja sistem dimaksud? “Yang terpenting adalah sistem regulasi dan distribusi dari produk perunggasan itu sendiri,” tegasnya. Sejauh ini kondisi pasar unggas hanya menjadi milik perorangan dan kelompok, bukan menjadi milik peternak yang sudah mati-matian untuk menghasilkan produk unggas dengan jumlah dan mutu yang sesuai dengan permintaan pasar. Hal yang menjadi sorotan umum menurut Prof Abbas kondisi harga bibit dan pakan yang terus saja tidak stabil. Artinya manakala harga bibit murah selalu diikuti dengan harga pakan naik atau nilai jual produk unggas tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis. Bagi peternak yang berusaha dengan menggunakan modal sendiri, hal ini jelas jadi masalah, namun bagi peternak yang menggunakan jasa kemitraan, mereka tetap menikmati hasil sesuai dengan kontrak yang disepakati diawal kegiatan. Sebaliknya, harga yang baik hanya dapat dinikmati oleh peternak dengan modal sendiri dan para pemegang modal di bidang usaha ini.
Disisi lain, produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku pakan seperti jagung dan bungkil kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina, Brazil, Peru, Chili, dan negara lainnya, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia. Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS). Diharapkan pada tahun 2010 nanti, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor dan ekspor bahan baku pakan dan bibit.
Namun, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa peningkatan produksi tetap tidak dapat berjalan mulus. Banyak hal yang perlu diwaspadai di samping peran aspek ekonomi, politik dan keamanan tadi, salah satunya keberadaan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada ternak. Indonesia merupakan Negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang diduga dapat mendukung pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme, apakah yang bersifat patogen ataupun yang non patogen. Kehadiran mikroorganisme ini jelas dapat mengganggu pertumbuhan ternak yang dipelihara, bahkan kehadirannya dapat menimbulkan kematian bila tak tertangani dengan baik.
Menurut Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD, mikroorganisme dapat tumbuh di bagian manapun di lokasi peternakan. Mulai dari lantai kandang, celah-celah lantai kandang, di permukaan tempat makan dan tempat minum, bagian parsial atau permukaan bahan-bahan bangunan kandang ataupun dari anak kandang yang menangani atau yang menjadi operator kandang selama proses produksi.
Mikroorganisme masuk dan keluar dari lokasi peternakan tanpa dapat diketahui oleh peternak. Indikasi awal yang dapat dijadikan dasar bahwa kandang telah terpapar mikroorganisme adalah munculnya tanda-tanda penyakit, baik gejala umum maupun tanda-tanda khusus yang mencirikan kepada jenis peyakit tertentu. Menurut Gubes Patologi FKH UGM ini, penyakit yang sering muncul di usaha peternakan adalah dari kelompok penyakit viral seperti ND, Gumboro dan penyakit viral lainnya.
Namun penyakit lain misalnya penyakit bakteri, parasit dan jamur juga tetap menjadi perhatian utama. Hal ini mengingat kondisi wilayah Indonesia dengan dua musimnya, yakni musim hujan dan musim kemarau atau pada saat peralihan kedua musim tersebut. Sejauh ini, peran penyakit bakteri, parasit dan jamur masih dipandang strategis dalam mengurangi nilai akhir berupa laba atau untung dari usaha peternakan. Untuk menekan kerugian yang disebabkan oleh mikroorganisme tersebut maka diperlukan kewaspadaan peternak terkait masuknya bibit penyakit ke lokasi usaha peternakannya.
Bila dipelajari rentetan kasus penyakit ayam per Januari 2009 sampai medio November 2009, kasus terbesar pada ayam petelur masih seputar penyakit korisa, ND, dan kolera. Ketiga penyakit ini menurut Prof Charles menduduki posisi tiga besar dalam menimbulkan kerugian pada peternak ayam petelur. Pada ayam padaging, penyakit CRD kompleks, CRD dan kolibasilosis kembali menduduki posisi tiga besar setelah berjaya menggerogoti ayam pedaging selama kurun waktu 2008 lalu.
“Penyakit-penyakit ini umumnya menyerang ayam petelur dan pedaging secara berulang, artinya kesempatan booming di tahun depan juga perlu diwaspadai,” tegas mantan Dekan FKH UGM ini.
Sementara itu, untuk penyakit AI, peternak tetap diminta waspada melalui penerapan tatalaksana pemeliharaan maupun pelaksanaan vaksinasi secara tepat, baik tepat waktunya maupun tepat dosisnya. Selain itu, peternak jangan sampai mengesampingkan pelaksanaan program biosekuriti secara ketat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya. “Perhatian peternak seyogianya bukan tertuju semata pada kasus penyakit AI, namun untuk kasus penyakit lainnya, penanganan yang komprehensif hendaknya juga diterapkan,” ajak Prof Charles.
Evaluasi Penyakit Di Tahun 2009
Berdasarkan jenis kasus serangan penyakit pada ayam petelur maupun ayam pedaging, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya tantangan penyakit di usaha peternakan belumlah banyak berubah. Perjalanan penyakit unggas masih seputar penyakit viral, bakteri, parasit dan jamur. Meskipun demikian, peternak tidak dapat memungkirinya bahwa penyakit yang menyerang usaha peternakannya relatif kompleks, dimana sering ditemui kasus-kasus penyakit komplikasi sehingga menyulitkan dalam penanganannya.
Hal ini mungkin menjadi sebuah peringatan bahwa kondisi lingkungan peternakan mulai jenuh, artinya konsentrasi bibit penyakit lebih tinggi dari periode sebelumnya. Diperparah dengan kondisi peternak yang belum menyadari sepenuhnya arti tentang upaya penerapan biosekuriti secara tepat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya.
Penerapan biosekuriti secara tepat dan menyeluruh tersebut adalah pertama pelaksanaan masa istirahat kandang yang seharusnya minimal 14 hari tidak dilaksanakan. Beberapa kasus di lapangan, masa istirahat kandang lebih cepat, hanya 7 hari atau kurang dari 14 hari. Padahal kondisi ini tidak baik karena akan menyebabkan bibit penyakit selalu berada di lingkungan peternakan tersebut, akibatnya serangan penyakit akan selalu berulang. Pengalaman Kaliman peternak ayam broiler Desa Baleharjo, Wonosari, Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan kebenaran dari apa yang menjadi patokan khusus perihal masa istirahat kandang ini.
Menurut Kaliman, kandang memang harus diistirahatkan dengan rentang waktu minimal 14 hari atau lebih. Hal ini bertujuan agar siklus bibit penyakit dapat tuntas dienyahkan dari lokasi peternakan. Sejauh ini, sejak 11 tahun berkiprah di usaha peternakan ayam pedaging, Kaliman masih tetap mempertahankan kaedah ini, alhasil Kaliman selalu sukses menuai keuntungan dari usahanya.
Kedua, sanitasi kandang tidak dilakukan secara sempurna, misalnya masih ada sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang. Menurut Prof Charles, sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang merupakan tempat yang nyaman bagi bibit penyakit untuk bertahan hidup. Sebaiknya peternak menggunakan air bertekanan tinggi untuk melenyapkan sisa-sisa feses tersebut.
Ketiga, sistem pemeliharaan tidak diterapkan secara all in all out juga akan membawa dampak serangan penyakit yang selalu berulang. Di samping itu, program pemberian obat yang dilakukan secara tidak tepat juga turut ikut bagian dalam menyebabkan bandelnya kasus penyakit. Pemberian obat yang secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat dapat mempercepat terjadinya kasus resistensi.
Hal ini dibenarkan oleh Akademisi dari Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya drh Iwan Syahrial MSi. Menurutnya, resistensi obat pada ternak berdampak pada sulitnya penanganan penyakit, sehingga penyakit tersebut bisa saja bersifat endemis. Oleh sebab itu, pemberian obat sudah saatnya dilakukan secara tepat sesuai dengan diagnosis penyakit dan lebih bijak.
Bekal Untuk Tahun 2010
Mengingat peran daging ayam sebagai subtitusi daging ruminansia terutama daging sapi akan terus berlanjut, bahkan peluangnya akan semakin besar. Hal tersebut didasarkan pada pasokan daging sapi yang semakin berkurang, untuk imporpun selain jumlahnya terbatas karena negara pemasok yang terbatas akibat faktor penyakit, juga harganya relatif tinggi.
Selama 5 tahun terakhir ini, tren perkembangan perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besaran setiap tahunnya masih fluktuatif. Isu flu burung masih ada namun tidak dikaitkan dengan isu pemusnahan unggas sehingga konsumen tidak lagi dibayang-bayangi oleh kasus Flu Burung.
Sebelum memasuki jendela baru tahun 2010, beberapa hal yang perlu menjadi catatan penting adalah (1) kenali dan pahami lebih seksama tentang sifat dan potensi ayam komersial modern, (2) aplikasi vaksinasi dan pengobatan perlu dilakukan secara tepat.
Untuk program pengobatan misalnya, drh Iwan Syahrial MSi Kandidat Doktor pada Program Studi Sains Veteriner FKH UGM Yogyakarta menegaskan harus memenuhi 4 persyaratan, yakni jenis obatnya, kemampuan obat mencapai organ yang sakit, obat tersedia dalam kadar yang cukup dan obat harus berada dalam tubuh ayam dalam waktu yang cukup pula, (3) tingkatkan keramahan terhadap lingkungan, dan (4) semua usaha tersebut harus didukung dengan penerapan biosekuriti yang tepat dan menyeluruh agar tatalaksana pemeliharaan yang baik dapat memberikan hasil yang baik pula untuk kesejahteraan peternak.
Prospek Untuk Pengembangan Ternak Besar
Departemen Pertanian menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada tahun 2014. Hal ini disampaikan Menteri Pertanian Suswono dalam Seminar Nasional Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan atau Swasembada Daging di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (7/11), upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu, juga memanfaatkan lahan-lahan yang masih potensial digunakan untuk usaha peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun ke depan.
”Dengan berbagai upaya ini, populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun 2014,” kata Suswono. Program swasembada daging sapi telah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Selama periode ini, Indonesia masih mengimpor 40 persen dari total kebutuhan daging sapi yang ada pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton. Meskipun populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga tahun 2009 meningkat sebanyak 4,4 persen per tahun, populasi sapi potong dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Dari berbagai kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, Departemen Pertanian menargetkan hasil sebanyak 50.000 ekor sapi dalam lima tahun mendatang. Di bidang pemanfaatan lahan potensial, integrasi perkebunan sawit dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun.
Suswono juga menyebutkan rencana pemanfaatan lahan telantar untuk pengembangan peternakan dan pertanian. Saat ini lahan telantar di Indonesia mencapai 7,13 juta hektar. Salah satu masalah dalam peternakan adalah terbatasnya pemanfaatan lahan potensial sebagai basis budidaya sapi. Selain itu, kegiatan pembibitan sapi pun belum berkembang karena keterbatasan permodalan di kalangan peternak. Pada tahun 2007 usaha pembibitan sapi hanya berjumlah tiga unit dan pada tahun 2008 meningkat menjadi enam unit. Akibatnya, saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar satu juta ekor sapi induk.
Guru besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Prof Endang Baliarti, mengatakan, pendampingan pada peternak rakyat sangat penting untuk mencapai swasembada daging sapi. Hal ini mengingat lebih dari 90 persen ternak sapi dipelihara oleh sekitar 6,5 juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan peternakan yang sangat minim. “Banyak dari peternak sapi potong itu juga telah berusia tua, dengan tingkat pendidikan lulusan sekolah dasar sehingga pengetahuan mereka pun terbatas,” papar Prof Endang. Endang juga menekankan pentingnya penyediaan pakan lokal. Areal perkebunan serta hutan bisa menjadi sumber pakan sapi yang sangat potensial.
Permasalahan yang akan timbul terkait budidaya sapi ini menurut drh Agung Budiyanto MP PhD adalah kasus-kasus reproduksi. Kasus tersebut seperti repeat breeding yang masih tinggi, dan Services per Conception yang cenderung meningkat. Menurutnya, kemungkinan repeat breeding disebabkan akibat lemahnya recording, dan silent heat. Perubahan performans reproduksi karena cross breeding juga perlu dikaji secara komprehensif untuk diperoleh solusi yang tepat.
Penyakit yang perlu diwaspadai menurut alumnus program doktoral United Graduated School of Veterinary Science Yamaguchi University Japan 2007 ini adalah kemungkinan bisa timbul Brucellosis, IBR, John Disease apabila manajemen kesehatan dan manajemen reproduksi tidak dilakukan dengan baik. Penyakit lain yang juga perlu diwaspadai adalah endometritis, klinis maupun subklinis, vaginitis, metritis dan kasus-kasus reproduksi lainnya. Untuk peternak, karena musim pancaroba, dimana resistensi dari ternak biasanya menurun perlu dilakukan langkah-langkah antara lain yang penting adalah perbaikan nutrisi, pemeriksaan kesehatan secara rutin, penanganan secepatnya apabila ada perubahan yang abnormal dari hewan peliharaannya.
Konsultasi dengan dokter hewan lebih intensif akan lebih baik dalam mencegah ternak terpapar berbagai macam bibit penyakit. Pada akhirnya, mengutip satu catatan penting dari Champbell dan Lashley tahun 1985 menyatakan bahwa Negara yang kaya ternak tidak akan pernah miskin, sedangkan Negara yang miskin ternak tidak akan pernah kaya, maka jayalah negeri ini dengan segudang ternak yang dimilikinya. (sadarman)