![]() |
April H Wardhana saat menyampaikan presentasi makalahnya (Foto: Istimewa) |
Peneliti Balai Besar
Penelitian Veteriner (Bblitvet), April H Wardhana SKH MSi PhD mewakili
Indonesia dalam pertemuan jejaring internasional Non-Tsetse Transmitted Animal Trypanosomosis (NTTAT) yang ke-4
diselenggarakan pada 29 Juni 2018 di kantor OIE di Paris. Berbeda dengan
pertemuan sebelumnya, pertemuan tahun ini dilanjutkan dengan kegiatan menuju laboratorium
rujukan Trypanosomosis pada tanggal
2-6 Juli 2018 di Montpellier, Perancis.
Agenda utama pertemuan ini adalah membahas dua Trypanosomosis yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi (Surra) dan Trypanosoma equiperdum (Dourine). Dalam
pertemuan tersebut, April berkesempatan memaparkan presentasi tentang dua wabah
Surra yang terjadi pada tahun 2010-2012 di Pulau Sumba dan tahun 2013-2014 di
Provinsi Banten.
Kedua wabah tersebut memiliki sejarah yang berbeda sehingga
jumlah kematian ternak yang ditimbulkan akibat infeksi T. evansi juga berbeda.
Terjadinya wabah Surra di Sumba perlu mendapat penanganan yang serius, sehingga
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) memasukkan Surra
kembali ke dalam daftar Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS).
“Ketika pemaparan, saya memperoleh perhatian yang cukup
besar dari para peserta dengan banyaknya pertanyaan yang diberikan. Apresiasi
juga diberikan oleh para peneliti terkait informasi kronologis terjadi wabah
yang runut dan strategi pengobatan Surra yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia,” ungkap April kepada Infovet pekan lalu.
Lebih lanjut, April menerangkan pertemuan di Montpellier
juga membahas potensi Trypanosomosis pada
hewan sebagai zoonosis baru. Berdasarkan literatur, dugaan sebagai zoonosis
pernah dipublikasikan pada tahun 1903 di India, namun hal tersebut tidak banyak
menarik perhatian.
Ketika kejadian Surra pada tahun 2004 yang mengifeksi
peternak sapi di India, membuat para peneliti mulai menganalisis hingga ke aras
molekular. Saat itu diketahui bahwa peternak yang terjangkit Surra tidak
memiliki Apolipoprotein 1 (Apo L1) di dalam darahnya, sehingga parasit mampu
berkembang biak di dalam darah.
Protein ini bersifat trypanolitik (membunuh Trypanosoma dalam darah manusia normal).
Ketika itu, para peneliti sepakat bahwa Apo L1 adalah kunci faktor yang
menjawab mengapa manusia dapat terinfeksi Trypanosoma
dari hewan.
Pendapat tersebut kurang tepat setelah terjadinya kasus
Surra yang menginfeksi wanita di Vietnam pada tahun 2015. Wanita tersebut memiliki Apo
L1 norma ldalam darahnya, tetapi parasit ini masih mampu berkembang biak dalam
tubuhnya. Disamping T. evansi, spesies lainnya yang menginfeksi manusia adalah
T. lewisi. Parasit ini banyak ditemukan pada tikus, termasuk tikus rumah.
Selanjutnya, para peneliti Trypanosoma
di dunia membuat jejaring internasional yang diberi nama Network on Atypical Human Infection by Animal Trypanosomes
(NAHIAT). Jejaring ini dikoordinasi oleh Institute
of Research for Development (IRD) dan Center
for International Collaboration on Agricultural Research for Development
(CIRAD) yang didukung oleh Food and
Agriculture Organization (FAO), Office
International de Epizooties (OIE), World
Health Organization (WHO) dan beberapa lembaga penelitian internasional dan
universitas lainnya.
![]() |
Para peneliti dari berbagai negara |
NAHIAT memiliki tugas untuk mengumpulkan informasi dan
melaporkan kasus trypanosomiasis pada manusia yang diinfeksi oleh Trypanosoma pada hewan seperti T. evansi dan T. lewisi, termasuk memberikan rekomendasi langkah-langkah yang
harus dilakukan agar kasus ini tidak tersebar lebih meluas.
Menurut April, OIE menyediakan dana cukup besar untuk
negara-negara anggota dalam rangka melakukan kegiatan penelitian terkait
pengembangan metode deteksi dan pengobatan. Topik kegiatan
penelitian difokuskan pada Surra dan Dourine dengan melibatkan beberapa anggota
jejaring internasional NTTAT.
“Proposal penelitian dirancang oleh beberapa anggota dan
harus diselesaikan pada Agustus 2018, sehingga diharapkan kegiatan penelitian dapat
dilakukan tahun 2019,” pungkasnya. (NDV)