Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Upsus Siwab | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Arah Pembangunan Peternakan Indonesia, Menuju Swasembada Protein Hewani


Oleh: Drh I Ketut Diarmita MP
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan nasional, pembangunan pertanian khususnya pada sektor peternakan pada intinya bertujuan untuk mencapai ketahanan pangan melalui penyediaan protein hewani asal ternak. Hal ini perlu diketahui publik khususnya insan pelaku usaha peternakan.

Indonesia akan menuju Swasembada Protein Hewani. Sumber protein hewani yang dikonsumsi masyarakat kita, berasal dari keanekaragaman ternak, tidak semata-mata bersumber dari daging sapi dan kerbau. Penguatan peningkatan produksi dan reproduktivitas selain sapi dan kerbau, kita juga mendorong bertumbuh kembangnya ternak kecil seperti kambing, domba, kelinci, unggas, sapi perah dan ikan.

Selaku Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH), Kementerian Pertanian, Saya berpandangan, ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengaksesnya (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun.

Terkait penyediaan protein hewani asal ternak, saat ini Indonesia telah mencapai swasembada daging ayam, bahkan telah mampu mengekspor telur ayam tetas (hatching eggs) ke Myanmar dan telah mengekspor daging ayam olahan ke Papua New Guinea.

Pemerintah Jepang dan Timor Leste juga telah menyetujui Indonesia untuk mengekspor daging ayam olahan ke negaranya, tinggal menunggu realisasi. Pemerintah terus melakukan upaya untuk membuka negara baru tujuan ekspor daging ayam olahan, untuk mencegah terjadinya kelebihan pasokan daging ayam di dalam negeri.

Sementara itu, untuk komoditas kambing dan domba, saat ini Indonesia sudah dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sedang proses persiapan ekspor ke Brunei Darussalam dan Malaysia.

Pemerintah terus mendorong masyarakat untuk diversifikasi konsumsi protein hewani, jadi tidak hanya menkonsumsi daging sapi atau kerbau saja, bisa daging ayam, telur, daging kambing/domba dan kelinci, bahkan ikan yang jumlahnya sangat melimpah. 

Esensi Upsus Siwab
Guna memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan tercapainya swasembada protein hewani nasional, dilaksanakan percepatan peningkatan populasi sapi/kerbau. Ketersediaan produksi daging sapi lokal tahun 2018 belum mencukupi kebutuhan nasional. Prognosa produksi daging sapi di dalam negeri tahun 2018 sebesar 403.668 ton, namun perkiraan kebutuhan daging sapi di dalam negeri 2018 sebesar 663.290 ton. Sehingga kebutuhan daging sapi baru terpenuhi 60,9% dari daging sapi di dalam negeri.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), penyediaan sapi potong dan daging sapi dalam negeri selama ini 98% berbasis peternakan rakyat. Peternakan sebagai lokomotif pembangunan pertanian adalah suatu keniscayaan apabila 4.204.213 Rumah Tangga Peternak/RTP (Sensus Pertanian 2013) yang menguasai lebih dari 98% ternak di Indonesia tersebut diorganisasi dan dikonsolidasikan dengan baik.

Pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan pembiayaan di sub sektor peternakan khususnya sapi, diantaranya dengan memperbesar alokasi anggaran untuk peternakan sapi, di mana sejak 2017 alokasi APBN difokuskan kepada Upsus Siwab (Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting). Dengan program yang dijalankan pemerintah, diharapkan produktivitas sapi lokal bisa meningkat.

Esensi Upsus Siwab adalah merubah pola pikir petani ternak kita, yang cara beternaknya selama ini masih bersifat sambilan, menuju kearah profit atau menguntungkan bagi dirinya. Sesungguhnya dalam roadmap pembangunan peternakan di Indonesia telah tertuang sasaran utama pengembangan sapi tahun 2045. Kita berupaya terus secara sungguh-sungguh untuk terwujudnya Indonesia sebagai lumbung pangan Asia.

Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 akan dicapai melalui empat tahapan: 1) Swasembada dan Rintisan Ekspor akan dicapai pada 2022, 2) Ekspor akan dicapai pada 2026, 3) Pemantapan ekspor akan dicapai pada 2035, 4) Lumbung Pangan Asia akan dicapai pada 2045. Kebijakan pengembangan sapi adalah peningkatan populasi, sehingga share produksi daging lokal meningkat, meningkatnya kemampuan ekspor dan bertambahnya usaha sapi berskala komersil.

Pondasi untuk menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber produksi. Program Upsus Siwab yang diawali pada 2017, dengan target kebuntingan sapi/kerbau tiga juta ekor, dari aseptor sebanyak empat juta ekor.

Program tersebut diatur dalam peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/ PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting yang ditandatangani Menteri Pertanian pada 3 Oktober 2016. Upaya ini dilakukan sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mengejar swasembada daging yang ditargetkan oleh Presiden Joko Widodo tercapai pada 2022, serta mewujudkan Indonesia yang mandiri dalam pemenuhan pangan asal hewan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat.

Upsus Siwab 2018 dilaksanakan melalui strategi optimalisasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) di 34 provinsi yang dibagi menjadi tiga bagian, 1) Daerah sentra sapi yang pemeliharaan dan IB-nya sudah dilaksanakan secara intensif, yaitu Jawa, Bali dan Lampung. 2) Daerah sentra peternakan dengan sistem pemeliharaan semi intensif (Sulawesi Selatan, Sumatera dan Kalimantan). 3) Daerah ekstensif yang tersebar di Provinsi NTT, NTB, Papua, Maluku, Sulawesi, NAD dan Kalimantan Utara. Tujuh provinsi yang menjadi tumpuan Upsus Siwab yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Upaya mewujudkan capaian tersebut yaitu Pertama, melakukan sosialisasi tentang program dan kegiatan tersebut baik pada jajaran pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat peternak. Kemudian mendorong kinerja petugas teknis di lapangan dengan melakukan bimbingan teknis pelaporan untuk petugas inseminator. Di samping itu, juga melakukan pelatihan petugas baru dibidang IB (inseminator, PKb dan ATR) dan menyediakan alat dan sarana IB, yaitu semen beku, N2 cair, kontainer, gun, plastik glove dan lain lain, serta menyediakan insentif berupa biaya operasional pelayanan kepada para petugas inseminator, PKb dan ATR.

Kedua, memperkuat aspek perbenihan dan perbibitan untuk menghasilkan benih dan bibit unggul berkualitas dan tersertifikasi dengan penguatan tujuh Unit PelaksanaTeknis (UPT) Perbibitan yaitu BPTU HPT (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Padang Mangatas, BPTU HPT Siborong-borong, BPTU HPT Pelaihari, BPTU HPT Denpasar, BPTU HPT Sembawa, BPTU HPT Baturraden, BPTU HPT Indrapuri, dengan demikian diharapkan adanya peningkatan kualitas genetik dan populasi di masing-masing UPT Perbibitan.

Ketiga, penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas, Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.

Keempat, pengembangan HPT (Hijauan Pakan Ternak) melalui penyediaan lahan/penanaman HPT seluas 338,5 ha pada 2018. Pengembangan HPT untuk pengembangan sapi potong juga dilakukan melalui pengembangan padang penggembalaan dengan target pembangunan seluas 200 ha pada 2018, melalui optimalisasi lahan ex-tambang dan kawasan padang penggembalaan di Indonesia Timur. Selain itu, juga dilakukan pemeliharaan terhadap 600 ha padang penggembalaan yang sudah dibangun oleh Ditjen PKH.

Kelima, penanganan gangguan reproduksi bertujuan untuk mempertahankan jumlah sapi betina produktif, sehingga angka jumlah akseptor yang akan dilakukan IB dan bunting meningkat. Target pelaksanaan gangguan reproduksi sebesar 200.000 ekor. Operasional pendanaan penanganan gangguan reproduksi dialokasikan pada delapan UPT Kesehatan Hewan (BBVet atau Bvet) dan lima provinsi, yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Lampung. Komponen penanganan gangguan reproduksi terdiri dari pelaksanaan identifikasi status reproduksi, pengadaan obat dan hormon.

Keenam, pengendalian pemotongan betina produktif, bekerjasama dengan Baharkam Mabes Polri, bertujuan untuk menurunkan jumlah pemotongan sapi betina produktif, menambah atau mempertahankan jumlah akseptor Upsus Siwab  dan menyelamatkan kelahiran pedet melalui pencegahan pemotongan sapi betina produktif bunting.

Pemerintah juga melakukan perbaikan sistem distribusi dan tataniaga yang belum efisien, salah satunya dengan fasilitasi kapal khusus ternak. Peran pemerintah daerah adalah menjaga keseimbangan struktur populasi ternaknya dan menginisiasi pembentukan wilayah sumber bibit pada daerah padat ternak. Sampai saat ini terdapat 11 sumber bibit dan pengembangan perbibitan di pulau terpilih.

Dalam pelaksanaan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, perlu adanya dukungan dari semua pihak untuk mendukung sub sektor peternakan dan tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga dari pihak swasta serta masyarakat pada umumnya. ***

PENANGANAN INFEKSI UTERUS SETELAH MELAHIRKAN

Kementrian Pertanian berusaha keras untuk meningkatkan populasi sapi nasional, salah satunya melalui Program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Pelaksanaan teknisnya berkaitan dengan peningkatan perfoma reproduksi sapi indukan yaitu meningkatkan angka kebuntingan, menurunkan service perconseption, menurunkan jarak antar kelahiran, meningkatkan panen pedet, menangani kasus gangguan reproduksi dan langkah lainya. Data lapangan yang penulis dapatkan diantaranya, masih banyaknya kasus Anestrus postpartus dan panjangnya masa days open yang banyak dipengaruhi karena faktor infeksi saluran reproduksi dan faktor defisiensi nutrisi.
Program Upsus Siwab Kabupaten Lampung Utara 2017.
Infeksi pada uterus (rahim) merupakan kejadian yang umum terjadi pada sapi induk selama periode setelah melahirkan (postpartum). Sapi dengan masa nifas (puerperiumI normal, uterus bebas dari kontaminasi bakteri empat minggu postpartum). Uterus secara normal dilindungi dari kontaminasi bakteri oleh vulva, sphincter vestibular dan servik. Selama dan segera setelah melahirkan, normalnya uterus akan dikontaminasi oleh bermacam mikroorganisme patogen dan non-patogen. Sebagian besar bakteri akan dieliminasi oleh mekanisme pertahanan uterus selama masa puerperium. Organisme patogen yang tetap berada di uterus dan menyebabkan penyakit di uterus sapi adalah Actinomyces pyogenes. Bakteri Gram-negatif anaerob, Fusobacterium necrophorum dan Bacteroides melaninogenicus sering mengikuti A. pyogenes. Bacteroides menurunkan daya chemotaxis dan menghambat phagocytosis (pembunuhan) bakteri yang dilakukan netrofil, persistensi A. pyogenes juga diikuti coliform, Pseudomonas aeruginosa, staphylococci, hemolytic streptococci. Clostridium spp. juga dapat menginfeksi uterus dan menyebabkan metritis gangrene atau tetanus parah. Sebagian besar organisme yang mengkontaminasi uterus selama masa postpartum akan memproduksi penicillinase.
Infeksi uterus berkaitan dengan retensi plasenta/Retained Fetal Membrane (RFM), distokia, kembar, kondisi berlebihan, kondisi kekurangan, konsumsi urea berlebihan pada periode kering dan populasi sangat padat, penanganan RFM secara manual, kondisi beranak tanpa sanitasi memadai, serta adanya traumatik pada saat pertolongan kelahiran. Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi potong. Infeksi uterus diartikan infeksi dengan ciri adanya lendir dari uterus, masa postpartum, temuan klinis dan status hormonal.
Metritis merupakan hasil keradangan parah pada lapisan lapisan  uterus/endometrium (mukosa, submukosa, muskularis dan serosa). Terjadi pada minggu pertama setelah melahirkan dan berkaitan dengan distokia, RFM dan trauma saat melahirkan. Sapi mengalami sepsis, demam, depresi, anoreksia, produksi susu menurun dan keluarnya lendir dari vagina. Metritis dibagi menjadi metritis postpartum akut dan metritis toksik. Risco dkk (2007), melaporkan bahwa kejadian metritis 13,8% pada masa  laktasi, dengan angka kejadian rata-rata 17,4% dan interval kasus 8,5%-24,2%.
Endometritis adalah keradangan pada endometrium yang tidak separah metritis, hanya sebatas lapisan spongiosum. Kejadian ini mengikuti kelahiran, perkawinan, inseminasi buatan, atau karena infusi bahan yang mengiritasi ruang endometrium. Endometritis diikuti dengan eksudat purulen (kental) terlihat dari permukaan vulva. Sapi tidak terlihat sakit dan palpasi uterus teraba normal. Endometritis akut terjadi temporer, setelah siklus estrus dan bakteri umumnya dapat dieliminasi. Endometritis kronis ditandai lendir purulen pada vagina. Endometritis menimbulkan rendahnya angka konsepsi pada IB pertama dan membutuhkan  beberapa kali IB untuk terjadi konsepsi.
Pyometra menciri dengan akumulasi nanah atau eksudat purulen pada ruang endometrium, korpus luteum persisten dan anestrus. Kondisi ini sering terjadi pada sapi yang mengalami ovulasi pertama postpartum sebelum kontaminasi bakteri pada uterus benar-benar tereliminasi seluruhnya. Korpus luteum persisten akan bertahan lama, karena cairan intrauterin mencegah terjadinya luteolisis. Progesteron dari korpus luteum akan bertahan dalam uterus dan menekan  mekanisme pertahanan uterus. Pyometra disebabkan oleh Tritrichomonas fetus yang banyak terjadi pada musim kawin.

Infeksi uterus postpartum lebih banyak terjadi
pada sapi perah dibandingkan sapi potong.
Diagnosa Infeksi Saluran Reproduksi
Berdasarkan gejala klinis, infeksi uterus bervariasi tergantung pada virulensi dari organisme penyebabnya dan adanya fakor predisposisi penyakit. Lochia (lendir postpartum) normalnya di keluarkan dari saluran reproduksi awal minggu pertama setelah melahirkan, namun lendir akan bertahan sampai 30 hari jika involusi uterus tertunda. Lendir akan berwarna coklat gelap, merah, putih atau terlihat gejala klinis sepsis. Palpasi perrektal bertujuan untuk melakukan evaluasi involusi uterus, yang umumnya terjadi setelah tiga minggu melahirkan. Involusi uterus yang tertunda teraba tanpa tonus dan kurangnya garis-garis involusi (longitudinal rugae) seperti yang ditemukan pada uterus normal. Pada kasus metritis, uterus membengkak dan rapuh, terjadi deposit fibrin dan perlengketan uterus dengan organ lain dapat diraba. Involusi berjalan  normal, jika cairan di dalam lumen uterus sudah tidak dapat dipalpasi pada 14-18 hari setelah melahirkan.
Sapi yang lumen uterusnya berisi cairan yang bertahan lama setelah kelahiran dan dapat diraba, menunjukkan adanya gangguan patologis, tertundanya involusi uterus atau terjadi kerusakan uterus yang permanen. Evaluasi ukuran servik dan terlihatnya leleran kental juga diperlukan untuk diagnosa. Endometritis pada sapi perah ditandai dengan adanya lendir kental dari uterus atau diameter servik lebih besar dari 7,5 cm setelah 20 melahirkan atau lendir mukopurulen 26 hari setelah melahirkan.
Pengamatan eksudat purulen dengan menggunakan speculum vaginoskop untuk mendiagnosa endometritis subakut dan kronis, serta untuk mengevaluasi respon penanganan. Penelitian menunjukan 16,9% endometritis dan vaginoskopi mampu mengidentifikasi lendir purulent 44% total kasus. Sterililitas speculum, disposable dan persiapan alat sangat penting dilakukan agar aseptis bagi perineum dan alat genital luar. Real-time ultrasonography digunakan untuk menunjukkan perubahan uterus yang berhubungan dengan infeksi postpartus. Cairan intrauterin karena infeksi uterin berisi partikel echogenik dan mudah dibedakan dengan cairan non-echogenik yang muncul pada saat estrus dan kebuntingan. Dinding uterus yang mengalami infeksi akan memiliki ketebalan yang berbeda. Sapi dengan kasus metritis sepsis, terjadi peningkatan jumlah netrofil (neutropenia). Hypocalcemia, yang terjadi pada awal postpartum menyebabkan metritis. Kejadian ketosis dan metritis secara bersamaan sering terjadi pada sapi perah. Konsentrasi level Nonesterified Fatty Acids (NEFAs) pada sarah sapi mengganggu fungsi limfosit dalam pertahanan tubuh.
Sampel yang digunakan untuk kultur bakteri adalah cairan intrauterine, dilakukan kultur pada lingkungan aerob dan anaerob. A. pyogenes dan Gram-negatif anaerob biasanya disebut sebagai organisme penyebab infeksi uterus. Kultur bakterial dan uji sensitifitas antibiotik menunjukkan kejadian infeksi uterus pada suatu peternakan. Pada suatu penelitian, 157 kasus endometritis terdeteksi dengan palpasi rektal, namun isolasi bakteri dari lendir uterus hanya 22% dari jumlah sampel.
Diagnosa dengan histologi sel/jaringan, netrofil memberikan respon primer pada patogen bakteria saat uterus dalam kondisi postpartum, sehingga terjadi peningkatan jumlah sel-sel Polymorphonuclear (PMN) pada lumen uterus. Evaluasi jumlah dan sebaran PMN dalam uterus dapat mengidentifikasi endometritis. Endometritis subklinis pada sapi perah, tidak menunjukkan gejala klinis, terlihat normal tanpa terlihat lendir infeski. Netrofil berkisar 18% pada 20-33 hari postpartum dan lebih besar 10% pada hari 34-47 postpartum.

Penanganan dan  Prognosa
Terapi untuk infeksi uterin dibagi menjadi empat kategori, yakni terapi intrauterin (antibiotik dan antiseptik kimia), antibiotik sistemik, supportif terapi dan terapi hormon. Beragam antibiotik dan antiseptik kimia banyak dilakukan infusi intrauterin untuk penanganan infeksi postpartum sapi. Uterus memiliki lingkungan anaerob, sehingga dipilih antibiotik yang mampu bekerja tanpa oksigen. Kebanyakan antibiotik dan kimia menekan aktivitas netrofil pada uterus dan melamahkan mekanisme pertahanan uterus, sehingga penggunaannya harus sangat hati-hati. Organisme penyebab infeksi uterus postpartum biasanya sensitif terhadap penicillin, tetapi bakteri kontaminan yang ada beberapa minggu postpartum menghasilkan penicillinase, sehingga menghilangkan efek penicillin pada pemberian intrauterin. Organisme tersebut akan tereliminasi 30 hari postpartum, maka pemberian penicillin intrauterin efektif dilakukan setelah 30 hari postpartum dengan dosis Minimal Inhibitory Concentration (MIC) 1x106U mampu menekan A. pyogenes.
Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk terapi intrauterin untuk infeksi postpartum, karena isolat A. pyogenes dari uterus sapi resisten terhadap oxytetracycline, oxytetracycline mengiritasi uterus dan menyebabkan endometritis, serta menimbulkan residu pada susu dengan masa withdrawal time yang sulit ditentukan. Terapi larutan iodine intrauterin banyak dilakukan dokter hewan. Kejadian RFM dan endometritis menurun pada sapi yang diinfusi dengan 500 mL, 2% Lugol’s iodine segera setelah melahirkan dan enam jam berikutnya. Pemberian infusi 50-100ml, larutan 2% polyvinylpyrrolidone-iodine 30 hari postpartus tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi normal dan merugikan terhadap kesuburan sapi karena endometritis. Sehingga, terapi intrauterin dengan larutan iodine untuk penanganan infeksi uterus tidak direkomendasi.
Beragam antibiotik spektrum luas direkomendasikan dengan pemberian injeksi pada kasus infeksi uterin sapi. Penicillin ataupun analog sintetiknya telah direkomendasikan (20.000 to 30.000 U/kg BB). Oxytetracycline tidak direkomendasi dengan pemberian sistemik karena susah mencapai MIC yang dibutuhkan untuk mematikan A. pyogenes pada lumen uterus. Ceftiofur (generasi ke 3 cephalosporin) merupakan antobiotik spektrum luas yang efektif untuk bakteri Gram-positif dan Gram-negatif penyebab metritis. Ceftiofur dapat menembus semua lapisan uterus tanpa menimbulkan residu pada susu. Pemberian ceftiofur subkutan dosis 1mg/kg pada sapi perah postpartum menghasilkan konsentrasi ceftiofur dan metabolitnya aktif dalam plasma, jaringan uterus dan cairan lochia, efektif untuk menangani metritis. Pemberian ceftiofur dosis 2,2 mg/kg selama lima hari berturut turut, sama efektifnya dengan pemberian procaine penicillin G atau procaine penicillin G plus oxytetracycline infusi intrauterin untuk pengobatan infeksi. Terapi cairan elektrolit (polyionic nonalkalizing) diperlukan pada penanganan dehidrasi karena metritis. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs seperti flunixin meglumine digunakan untuk mencegah toksemia dan meningkatkan kebugaran. Terapi tambahan berupa kalsium dan suplemen energi membantu pemulihan induk.
Pemberian estrogen dan oxytocin tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan kontraksi myometrium, menghasilkan estrogen sehingga material sepsis akan tersebar ke seluruh uterus dan servik, menyebabkan salpingitis bilateral. Prostaglandin F2α (PGF2α) dan analognya  banyak digunakan pada bermacam abnormalitas saluran reproduksi, seperti infeksi uterin postpartum. Konsentrasi prostaglandin F2α pada serum berhubungan dengan involusi uterus. Prostaglandin tidak berperngaruh pada aktivitas ovarium postpartus, tapi berpengaruh pada konsentrasi luteinizing hormone pada plasma. Prostaglandin merupakan hormon yang bagus untuk terapi pyometra. Luka endometrium mengalami kesembuhan dalam 30 hari, kesuburan akan membaik. Pemberian GnRH tunggal pada awal postpartum atau dikombinasi PGF2α 14 kemudian, akan menginduksi siklus estrus namun tidak meningkatkan perfoma reproduksi sapi perah dengan kasus distokia, RFM, atau keduanya.
Prognosis untuk kesembuhan infeksi uterin postpartum bervariasi tergantung tingkat keparahan. Kebanyakan sapi dengan endometritis dapat disembuhkan. Metritis diikuti dengan septisemia berakibat kerusakan permanen, penurunan produksi susu, laminitis, atau kematian pasien walaupun dengan pengobatan yang agresif. Pyometra dapat disembuhkan dengan penanganan intensif dan benar.

Pencegahan Penyakit
Sapi dengan abnormalitas postpartum seperti hypocalcemia, distokia dan RFM lebih beresiko terhadap infeksi uterus dibanding dengan sapi normal. Manajemen sanitasi, nutrisi, menjaga kepadatan populasi dan pencegahan stress harus ditingkatkan untuk mencegah kasus infeksi. Kebersihan kandang saat melahirkan, prosedur aseptis untuk penanganan distokia sangat dibutuhkan. Kontaminasi lingkungan oleh mikroorganisme patogen menimbulkan infeksi saluran reproduksi selama 2-3 bulan postpartus. Sapi dengan gejala infeksi saluran reproduksi dipisahkan ke kandang isolasi. Pemberian ceftiofur sistemik yang berhubungan dengan distokia, RFM, atau keduanya mengurangi kejadian metritis hingga 70% dibandingkan dengan sapi yang tanpa dilakukan pemberian antibiotik.

Oleh: Drh. Joko Susilo
Medik Veteriner Muda
Balai Veteriner Lampung


KAWAL PROGRAM UPSUS SIWAB, KEMENTAN GANDENG TNI-AD

JAKARTA, 28 April 2017. Bertempat di Kantor Pusat Kementerian Pertanian, Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Drh. I Ketut Diarmita, MP dan  Asisten Teritorial Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (Aster TNI AD) mendeklarasikan kerjasama dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau.
“Kerjasama ini dilakukan untuk mempercepat pencapaian kecukupan pangan hewani asal ternak, termasuk di dalamnya keberhasilan Upsus Siwab,” ujar I Ketut Diarmita.
Menurut Diarmita, perjanjian kerjasama ini juga sekaligus untuk menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Menteri Pertanian dengan Panglima TNI Nomor 10/MoU/RC.120/M/12/2016 tentang Ketahanan Pangan. Sebagaimana diketahui bahwa terkait dengan penyediaan pangan hewani asal ternak,  Kementan mempunyai program percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau dalam rangka pemenuhan daging sapi dan kerbau di dalam negeri. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting.
Lebih lanjut disampaikan, Upsus Siwab merupakan suatu kegiatan yang terintegrasi dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau secara masif dan serentak, melalui pendekatan sistem manajemen reproduksi yang terdiri dari unsur-unsur: (a) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi, (b) pelayanan inseminasi buatan (IB) dan kawin alam, (c) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair, (d) pengendalian pemotongan sapi/kerbau betina produktif, dan (e) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat.
“Upaya ini dilakukan sebagai wujud komitmen pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan asal ternak dan meningkatkan kesejahteraan peternak sekaligus mengejar swasembada sapi tahun 2026 seperti yang ditargetkan Presiden Joko Widodo. Pada tahun 2017, kita targetkan kebuntingan ternak sapi dan kerbau mencapai 3 (tiga) juta ekor. Selain dari kelahiran anak sapi/kerbau, target lain yang akan dicapai yaitu menurunnya angka penyakit gangguan reproduksi dan menurunnya pemotongan sapi betina produktif,” kata I Ketut Diarmita.
Foto bersama jajaran Kementerian Pertanian dan TNI AD.
“Untuk mensukseskan pelaksanaan Upsus Siwab, kami perlu dukungan dan sinergi dengan program/kegiatan TNI yang bertujuan untuk peningkatkan populasi dan produksi sapi dan kerbau di Indonesia,” ucapnya. Lebih lanjut I Ketut Diarmita menyampaikan, TNI-AD sebagai instansi negara bidang pertahanan negara yang tugas pokoknya dalam pemberdayaan wilayah pertahanan di darat, serta menciptakan kondisi sosial wilayah yang kondusif dan ketersediaan logistik wilayah, sehingga diharapkan dapat mendukung program pemerintah dalam mewujudkan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau.
“Deklarasi ini menunjukkan adanya komitmen bersama antara Kementerian Pertanian dan TNI AD untuk bekerjasama melaksanakan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau,” ungkap Diarmita.
Menurutnya, Perjanjian Kerjasama ini dimaksudkan sebagai upaya bersama untuk meningkatkan keterpaduan yang sinergi melalui kegiatan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau dalam rangka mendukung sistem pertahanan negara.
Dalam kerjasama ini, Ditjen PKH Kementan dan TNI-AD akan bersama-sama menggerakan peternak dan petugas teknis dalam pelayanan Upsus Siwab. Kedua belah pihak juga akan meningkatkan kapasitas aparatur, personil TNI AD (Babinsa), dan peternak dalam rangka pelaksanaan kegiatan Upsus Siwab, serta melakukan pendampingan kegiatan Upsus Siwab dalam rangka pengembangan sapi dan kerbau, terutama untuk pengembangan perbibitan sapi Brahman Cross ex impor yang ada di Aceh, Sumatera Utara dan Riau.
Selanjutnya disampaikan, pelaksanaan kerjasama ini akan ditindaklanjuti oleh wakil-wakil para pihak yang dalam hal ini pihak Ditjen PKH adalah Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak dan Direktur Pakan, sedangkan dari pihak Aster TNI AD yaitu Perwira Pembantu III/Perlawanan Wilayah Staf Teritorial Angkatan Darat (Paban III/Wanwil Sterad).

Dirjen PKH I Ketut Diarmita didampingi
Wakil Aster TNI AD Brigjen Budi Sulistijono
saat melayani pertanyaan wartawan. 
Mencegah Penyelewengan
Dalam kesempatan tersebut Dirjen PKH I Ketut Diarmita juga menilai bahwa banyak kecurangan yang terjadi di lapangan dalam program Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab). Untuk itu pihaknya menggandeng Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Ia mengatakan TNI AD memiliki banyak pesonil (Babinsa) yang tersebar di seluruh wilayah dan dinilai mampu melakukan pengawasan. "Target kita semua sapi-sapi yang kita masukkan dari 2016 harus diawasi karena kita ingin hasilnya nanti jangan sampai menurun," ujar Diarmita.
Selain itu keamanan selama ini juga menjadi kendala. Ia mengakui program Upsus Siwab yang difokuskan di tiga provinsi Sumatra Utara, Aceh dan Riau belum terekam dengan baik. Misalnya ketika sapi indukan sakit atau mati tidak tercatat apa penyebabnya dan total jumlahnya. "Kenapa mati, bukti-buktinya, semua harus dipertanggungjawabkan dengan baik," kata dia.
Sebab selama ini tidak sedikit sapi indukan yang justru sakit atau dipotong untuk dijual dagingnya. Wakil Asisten Teritorial TNI AD Brigjend Budi Sulistijono mengatakan, pengawalan dan pendampingan Upsus Siwab merupakan implementasi pihaknya dalam mewujudkan swasembada pangan. Dalam lima tahun terakhir, kata dia, perkembangan situasi nasional khususnya komoditas daging menjadi masalah serius terutama menjelang hari raya keagamaan.
Ia mengaku, kerjasama Upsus Siwab ini sebenarnya sudah diuji coba selama lima bulan dan berjalan lancar. Pengawasan yang dilakukan pihaknya termasuk pengawasan terhadap semen beku, inseminator, petugas inseminasi buatan dan sebagainya.
"Melalui pendampingan dan pengawasan diharapkan bisa mengatasi kurang optimalnya program pemerintah membuat sapi bunting," ujar Budi.
Ia meminta Kementan membuat panduan berupa buku petunjuk atau Standar Operasional Pelaksanaan (SOP) sebagai pedoman kerja. Hal tersebut nantinya bisa menjadi petunjuk kepada Babinsa dan masyarakat petani untuk meminimalisir terjadinya kesalahan di lapangan.
Untuk diketahui, total pengadaan sapi indukan 2016 sebanyak 15.824 ekor dengan rincian sapi indukan Brahman Cross ex impor sebanyak 4.397 ekor dan 11.427 ekor sapi lokal.
“Saya berpesan kepada para wakil yang ditugaskan agar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sehingga tujuan kerjasama ini dapat terlaksana dengan baik dan saya ucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Asisten Teritorial TNI-AD beserta jajaran, atas waktu dan kehadirannya di tengah-tengah kesibukan melaksanakan tugas negara,” pungkas I Ketut Diarmita menutup sesi tanya jawab dengan wartawan. (WK)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer