Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Heat Stress | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

TANTANGAN BROILER MODERN: KEMARAU BASAH, MIKOTOKSIN DAN HEAT STRESS

Ternak ayam broiler. (Foto: Animal Equality)

Broiler modern dalam 5-10 tahun terakhir ini mengalami pertumbuhan yang sangat cepat, baik dari populasi ataupun kualitas pertumbuhannya, sehingga benar-benar mencapai performa dan efisiensi yang sangat optimal.

Dalam aspek genetik, banyak para ahli mencoba mengeksplorasi hal tersebut. Potensi genetik broiler modern akan muncul dengan baik saat bisa berkolaborasi dengan beberapa hal, diantaranya kecukupan dan keseimbangan nutrisi dari pakan, tata laksana pemeliharaan sesuai SOP (Standard Operating Procedure) dan faktor lingkungan yang mendukung kenyamanannya. Saat kondisi kenyamannya terganggu maka potensi genetik tersebut tidak akan muncul sepenuhnya. Demikian juga goncangan nilai nutrisi pakan akan sangat berdampak terhadap ekspresi fenotipenya. Munculnya potensi genetik tersebut sering disebut sebagai ekspresi fenotipe. Hal ini bisa muncul 100%, 75% atau bahkan tidak lebih dari 50% sangat dipengaruhi oleh kemampuan fisiologi ayam dalam menghadapi faktor stres yang mengganggunya. Dan akhir-akhir ini pengaruh cuaca oleh perubahan musim menjadi salah satu penyebab yang berdampak terhadap ekspresi fenotipe broiler modern.

Pengaruh Musim
Di Indonesia hanya mengenal dua musim saja pada awalnya, yaitu kemarau dan penghujan. Sekitar 15-20 tahun lalu (sekitar tahun 1990-2000), dampak ini belum terlalu terasa sehingga pola tahunannya pun masih gampang diprediksi (Februari-Agustus musim kemarau dan mulai September-Januari musim penghujan). Namun dalam 10 tahun terakhir ini sudah mengalami perubahan pola musim yang berdampak pada beberapa faktor penentu kenyamanan ayam untuk tumbuh optimal.

Kaitannya dengan prediksi perubahan musim ini, BMKG (Badan Meteorologi Klomatologi dan Geofisika) telah memberikan peringatan perubahan transisi musim.

Berdasarkan data BMKG terbaru (Juni 2020), prakiraan awal musim kemarau masing- masing daerah berbeda-beda. Namun rata-rata terjadi pada Mei, Juni dan Juli. Sebagian besar daerah sudah menunjukkan kondisi dimana curah hujan mulai berkurang dan seiring berjalan intensitas cuaca panas saat siang sangat terasa, bahkan beberapa daerah suhu tertinggi di siang hari mencapai 38-39° C. Tingginya suhu di siang hari yang ekstrem ini, tiba-tiba berubah dengan turunnya hujan di sore hingga malam hari. Dampak cuaca ini sangat berpengaruh terhadap kenyamanan broiler modern itu sendiri.

Dihubungkan dengan bulan sebelumnya, pada Mei 2020, rata-rata performa ayam mengalami penurunan dengan derajad variasi berbeda-beda antara kandang open, tunel dan closed. Tingginya kasus penyakit dan banyaknya kegagalan produksi sangat berpengaruh terhadap jumlah stok populasi nasional pada bulan tersebut. Pada saat yang sama, hancurnya harga ayam di kalangan peternak, semakin menambah tingginya jumlah peternak yang gulung tikar.

Puncak musim kemarau ini akan terjadi di Agustus dan September 2020. Berdasarkan prakiraan BMKG pula, kemarau yang terjadi tahun ini masuk dalam kategori kemarau basah. Dimana kondisi musim kemarau tahun ini masih mempunnyai peluang terjadinya hujan pada waktu-waktu tertentu pada daerah tertentu pula.

Berdasarkan data tersebut, sifat hujan musim kemarau tahun 2020 bisa dikategorikan menjadi tiga, yakni AN (atas normal), N (normal) dan BN (bawah normal). Masing-masing area mempunyai potensi hujan di musim kemarau yang berbeda. Dimana pada saat-saat tertentu cuaca akan berubah drastis yang pada awalnya panas akan berubah menjadi lembab. Dengan demikian, istilah kemarau basah adalah istilah tepat yang dijadikan sebagai istilah mewakili situasi ini. Kondisi inilah yang menyebabkan resiko cemaran mikotoksin akan semakin tinggi meski di musim kemarau. Untuk lebih detail dan rinci mengetahui daerah mana yang beresiko tinggi terhadap fenomena ini silahkan di akses web BMKG.

Upaya deteksi dini dan persiapan menghadapi kondisi tersebut dalam perspektif tata laksana pemeliharaan broiler modern menjadi... (Selengkapnya baca di Majalah Infovet edisi Juli 2020)

Drh Eko Prasetio
Commercial broiler farm consultant

Bahaya Stress Panas (Heat Stress) pada Sapi dan Cara Mendeteksinya

Upaya jangka panjang mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA melalui kajian mendalam. (Sumber: noticiascalabozo.com)
Gejala stress panas (heat stress) dapat terjadi pada sapi akibat gangguan pada proses metabolisme tubuh karena cekaman panas yang tinggi. Stress panas pada sapi dapat menurunkan produktivitas pada ternak sehingga harus diatasi. Bangsa sapi Bos indicus memiliki daya tahan panas (heat tolerant) yang baik dibandingkan dengan sapi Bos taurus (Gantner et al., 2011). Hal itu disebabkan karena bangsa sapi Bos taurus tidak memiliki kemampuan homeostatis yang baik pada cuaca panas (Blackshaw dan Blackshaw, 1994).

Beberapa sapi lokal di Indonesia seperti sapi Bali, Madura dan Pasundan juga memiliki daya tahan panas yang baik (Atmadilaga, 1959; Putra et al., 2014). Zona aman untuk bangsa sapi Bos taurus adalah pada suhu 5-20oC (perah) dan 15-25oC (potong). Selain itu, zona aman untuk bangsa sapi Bos indicus pada suhu 16-27oC (Polsky dan von Keyserlingk, 2017). Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim panas, sehingga heat stress dapat terjadi pada beberapa bangsa sapi eksotik (Bos taurus) atau persilangannya yang dipelihara di Indonesia.

Gejala Heat Stress
Tanda-tanda gejala heat stress dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gejala yang terlihat (visible sign) dan gejala yang tidak terlihat (invisible sign).

Gejala yang terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Dalam kandang koloni, sapi cenderung saling merapat satu sama lain (bunching).
b. Sapi lebih sering berdiri dan terlihat gelisah.
c. Sapi sering menyerang dengan tiba-tiba (slobbering).
d. Sapi bernafas dengan cepat dan mulut terbuka (panting).
e. Daya keseimbangan sapi berkurang dan terlihat gemetar (trembling).
f. Sapi lebih banyak minum.
g. Konsumsi pakan dan proses ruminasi berkurang.
h. Sapi lebih sering mengeluarkan urine.

Gejala yang tidak terlihat pada sapi yang mengalami heat stress antara lain sebagai berikut:
a. Kadar PH di dalam rumen sapi rendah.
b. Motilitas mikroba di dalam rumen berkurang.
c. Pembuluh darah perifer membesar.
d. Mineral elektrolit (Ca, K, Na) dan senyawa bikarbonat (HCO3) di dalam tubuh berkurang.
e. Produksi hormon reproduksi terganggu.
f. Daya tahan terhadap penyakit parasit dan non-parasit berkurang.
g. Perkembangan sel telur dan sperma terganggu.

Monitoring Heat Stress
Salah satu cara untuk mendeteksi gejala heat stress pada sapi adalah dengan melihat tanda-tanda respirasinya. Tingkat respirasi pada sapi dapat dikelompokkan menjadi empat kategori seperti pada tabel.

Tabel Tingkat Respirasi pada Sapi
Score
Deskripsi
0
Respirasi normal (sekitar 60 sampai 90 kali per menit)
1
Respirasi mulai meningkat (sekitar 80 sampai 110 kali per menit)
2
Respirasi disertai dengan mulut sedikit terbuka dengan sedikit lendir saliva (sekitar 100 sampai 130 kali per menit)
3
Respirasi disertai dengan mulut yang terbuka lebar dengan lendir saliva yang banyak (sekitar 120 sampai 140 kali per menit)
4
Kondisi respirasi seperti pada score 3, tetapi disertai dengan lidah yang menjulur keluar (>140 kali per menit) dan kepala tertunduk ke bawah

Sumber: Marder et al., (2006).

Sapi dengan ciri score 2 perlu diwaspadai terjadi heat stress. Sapi yang mengalami heat stress dengan score 4 dapat menyebabkan kematian. Contoh sapi yang terkena gejala heat stress tersaji pada Gambar 1. Monitoring heat stress dalam suatu peternakan dapat dilakukan berdasarkan suhu udara (dry bulp temperature) dan kelembaban udara (relative humidity).

Nilai yang diperoleh dari kedua parameter tersebut selanjutnya digunakan untuk mengetahui nilai Temperature Humidity Index (THI) seperti pada Gambar 2. Nilai THI terdiri dari lima kategori, yaitu normal (THI <75), aware (70-74), alert (75-78), danger (79-83) dan emergency (THI >83).

Sifat heat tolerant secara kuantitatif dapat diukur dengan menghitung nilai koefisien Benezra dan koefisien Rhoad dengan rumus persamaan menurut Soeharsono (2008), sebagai berikut:




Keterangan:
IA : Index Adaptability (koefisien Benezra)
HTC : Heat Tolerant Index (koefisien Rhoad)
RTI : Suhu tubuh siang hari
RTO : Suhu tubuh pagi hari 
NRI : Frekuensi respirasi siang hari
NRO : Frekuensi respirasi pagi hari

Seekor sapi yang memiliki nilai IA = 2,00 menunjukkan bahwa sapi tersebut memiliki sifat heat tolerant. Nilai IA yang lebih tinggi atau lebih rendah dari 2,00 menunjukkan bahwa sifat heat tolerant semakin rendah. Sementara itu, nilai HTC = 100 menunjukkan bahwa sapi memiliki sifat heat tolerant yang optimal. Semakin rendah nilai HTC maka sifat heat tolerant pada sapi semakin rendah.

Sapi Pasundan memiliki nilai IA sebesar 2,05-2,24 sedangkan nilai HTC sebesar 89,20-94,60 (Putra et al., 2016). Rata-rata nilai IA dan HTC pada sapi Bali masing-masing sebesar 2,20 dan 93,00 (Muin et al., 2013; Atmadilaga, 1959). Nilai HTC pada sapi tropis berkisar antara 64-95 (Huitema, 1986).

Cara Mengatasi Heat Stress 
Permasalahan heat stress pada sapi pernah diulas di majalah Infovet edisi 232-November 2013 dengan judul “Heat Stress Sapi Perah dan Cara Mengatasinya” yang ditulis oleh Drh Joko Susilo. Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa heat stress pada sapi dapat diatasi dengan beberapa cara antara lain:
a. Menyiasati pakan, feed additive dan obat.
b. Mengusahakan atap kandang agar tetap dingin.
c. Membuat saluran ventilasi melalui pipa bawah tanah (under ground pipe).
d. Menyediakan kolam untuk berendam (dipping).
e. Memasang exit lane sprinklers dan cooling fan pada kandang.

Upaya untuk mengatasi heat stress tersebut memerlukan modal yang besar dan hanya dapat diaplikasikan pada peternakan skala industri. Upaya jangka panjang untuk mengatasi heat stress dapat dilakukan dengan seleksi ternak secara konvensional maupun tingkat DNA (molekuler) melalui kajian yang lebih mendalam.

Sebab, sifat heat tolerant pada sapi bersifat heritable (dapat diwariskan), sehingga seleksi ternak dapat dilakukan berdasarkan nilai IA dan HTC pada masing-masing individu. Seleksi molekuler pada sifat heat tolerant dapat dilakukan melalui identifikasi genotip (genotyping) pada beberapa kandidat gen yang mempengaruhi sifat heat tolerant, antara lain gen Bovine Heat Shock Protein 70 (bHSP70) dan Bovine Na/K adenosin triphosphatase alpha 1 (bATP1A1).

Muin et al. (2013), melaporkan bahwa genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali merupakan genotip yang paling banyak ditemukan (dominan) pada sapi Bali. Genotip AA pada gen HSP70 sapi Bali diduga merupakan gen yang mempengaruhi heat tolerant pada sapi Bali.

Gambar 1. Salah satu ciri sapi yang mengalami gejala stress panas dengan score 1 (A),
score 2 (B), score 3 (C) dan score 4 (E). (Sumber: ag.ndsu.edu)
Gambar 2. Temperature humidity index (THI) pada sapi. (Sumber: Reynolds, 2016)

Widya Pintaka Bayu Putra, S.Pt., M.Sc.
Peneliti Bidang Genetika dan Pemuliaan Ternak,
P2 Bioteknologi - LIPI
Email: widya.putra.lipi@gmail.co.id 

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer