Di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang
dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Sekretaris Jenderal PPSKI (Perhimpunan
Peternak Sapi Dan Kerbau Indonesia) yang juga Dosen Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran Bandung, Rochadi Tawaf, menyampaikan bahaya dari
masuknya ternak hidup dari negara yang statusnya belum bebas penyakit hewan
menular utama, yaitu potensi tertular penyakit mulut dan kuku (PMK). Epidemi PMK
akan mengakibatkan terjadi kerugian sosial ekonomi yang sangat besar.
![]() |
Rochadi Tawaf (tengah) diapit para mantan Dirjen Peternakan yaitu Sofjan Sudardjat dan Soehadji saat sidang lanjutan di MK. |
Berdasarkan sensus pertanian oleh Biro Pusat
Statistik (BPS) 2013, sebanyak 98% ternak sapi dikuasai oleh usaha peternakan
rakyat. Usaha tersebut berada di pedesaan sebagai usaha ternak yang bersifat tradisional,
terkendala teknologi, skala kecil, dan cenderung digunakan sebagai keperluan
adat budaya dan keagamaan. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini, juga cukup
besar. Tahun 2015 sebanyak 4,2 juta orang terserap atau sekitar 11% dari total
tenaga kerja sektor pertanian. Dengan tingkat pendidikan sangat rendah yaitu
37,4 % berpendidikan SD.
Berdasarkan hal tersebut, kondisi peternakan rakyat
Indonesia sangat rentan terhadap berbagai intervensi, khususnya penyakit. Oleh
sebab itu, peternakan Indonesia perlu diproteksi. Hal demikian sejalan dengan
konsideran Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan butir b, yaitu “bahwa
dalam penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal
terhadap pemasukan dan pengeluaran ternak hewan, dan produk hewan, pencegahan
penyakit hewan …”. Konsideran ini mengisyaratkan bahwa tiada pilihan lain bagi
Pemerintah, selain harus bertindak melakukan pengamanan maksimal atau maximum
security terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan peternakan.
Sementara itu, Tri Satya Putri Naipospos, pakar dari
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies, selaku ahli yang
dihadirkan Pemerintah mengungkapkan kemampuan produksi daging dalam negeri
masih sekitar 439.053 ton dibandingkan dengan kebutuhan nasional sebanyak
674.059 ton.
Artinya, ada kekurangan pasokan. Sedangkan tingkat
konsumsi daging sapi kita sekarang berkisar 2,61 kg per kapita, dengan demikian
Indonesia adalah yang terendah di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Pemerintah
tengah mencari alternatif sumber penyediaan pasokan ternak dan produk hewan
dari negara-negara yang biasa memasok atau biasa berdagang dengan Indonesia.
Peluang itu harus diambil guna mencegah penularan dari negara lain yang mungkin
saja belum bebas PMK.
Saat ini ada banyak negara yang sekarang belum bebas
tetapi ada kemajuan dalam hal menciptakan zona-zona bebas. Pertanyaannya adalah
sekarang, apakah zona bebas penyakit yang diinginkan pemerintah itu bisa kita
katakan aman atau tidak? Apakah mendukung dalil Pemohon bahwa dengan memasok
produk dari zona bebas dalam negara tertular akan memudahkan masuknya virus PMK
ke Indonesia ?
Pemerintah juga menghadirkan Ishana Mahisa selaku
Ketua Umum Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia. Sebagai saksi, ia
menjelaskan pemasukan bahan baku daging keperluan industri hanya didapatkan
dari negara bebas PMK. Pada saat ini, industri pengolahan daging dalam kondisi
kebimbangan setelah pihaknya mendapatkan data dari BPS yang menunjukkan
peningkatan impor daging olahan melonjak tajam sejak 2012 sampai dengan 2015.
Dalam lima tahun terakhir terjadi kenaikan harga
daging sapi beku impor untuk keperluan industri. Akibatnya, perusahaan yang
kebanyakan berbasis daging sapi mulai bergeser ke produk yang berbasis ayam.
Dan para pebisnis berbasis ayam itu memiliki pabrik lebih dari satu, karena
ketersediaan bahan baku ayam lebih banyak ketimbang daging sapi atau daging
merah
Sebelumnya, sejumlah dokter hewan, peternak, dan
pedagang hasil ternak, yaitu Teguh Boediyana (Ketua PPSKI), Mangku Sitepu, Gun
Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Rachmat Pambudy, Mutowif, dan Dedi Setiadi merasa
dirugikan dan/atau potensial dirugikan hak-hak konstitusionalnya akibat
pemberlakuan zona base di Indonesia berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36C ayat
(1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU
Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kerugian tersebut lantaran adanya prinsip minimum
security dengan pemberlakuan zona. Hal tersebut dinilai Pemohon mengancam
kesehatan ternak dan menjadikan sangat bebasnya importasi daging segar yang
akan mendesak usaha peternakan sapi lokal, serta tidak tersedianya daging dan
susu segar sehat yang selama ini telah dinikmati. UU Peternakan dan Kesehatan
Hewan dinilai semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah
ketergantungan yang tinggi pada impor ternak dan produk ternak. (wan)
Sumber : mahkamahkonstitusi.go.id
0 Comments:
Posting Komentar