***
Membangun Rumah Masa Depan
***
Menetapkan Sudut Pandang
“Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?”
Selamat berpikir.
DAYA TARIK SAPI SUMBA ONGOLE
Oleh: Drh. Joko Susilo
Sapi lokal untuk bahan penggemukan semakin langka, setelah sapi PO, simental, limousine sekarang banyak feedlot mencari bakalan dari jenis sapi Bali, sapi Madura, sapi Kupang, dan sapi Sumba Ongole. Sapi Sumba Ongole (SO) adalah sapi ongole asli Indonesia berasal dari Sumba, Nusa Tenggara Timur dengan perawakan seperti sapi ongole (Jawa), warna asli putih, memiliki rangka dan perfoma produksi yang lebih baik dari sapi ongole. Frame yang tinggi panjang, bertanduk, perototan dan pertulangan kuat.
Di daerah asalnya sapi ini dipelihara dalam lahan penggembalaan (ranch) dengan panasnya sinar matahari di area ribuan hektar, pemilik sapi biasanya memiliki ratusan ekor sapi dan menandai sapinya dengan sobekan di telinga atau dengan cap bakar di paha.
Penggemukan SO
Mobilisasi sapi Sumba Ongole dari Sumba ke Jawa untuk tujuan penggemukan sudah berjalan lebih dari 20 tahun yang lalu. Sapi dibawa melalui kapal laut melewati pelabuhan di Surabaya, dan dibawa ke Jawa, di Jawa Barat penampungan sementara sapi banyak dilakukan di Tambun, Bekasi sebelum dibawa ke feedlot masing masing antara lain di Subang, Bandung, Sukabumi, Bogor, atau Banten.
Pengembang biakan SO (Breeding)
Semakin menurunnya kualitas sapi SO dan makin tingginya kebutuhan sapi lokal untuk bakalan penggemukan, menuntut pengusaha ternak untuk mengembangbiakan sapi SO dengan system intensif melalui perbaikan managemen pemeliharaan, perkawinan, pakan dan budidaya. Pengembangbiakan sapi SO secara intensif ditujukan untuk pemurnian dan masih menggunakan perkawinan alami. Sapi SO memiliki perfoma reproduksi yang sangat baik, hasil budidaya yang kami dapatkan kebuntingan > 90 % dengan rataan perkawinan 1-2 kali, mas produktif sampai 10 tahun, jarak antar kelahiran 12 – 13 bulan. Dalam perkembangan transfer embrio, sapi SO berreaksi sangat memuaskan terhadap superovulasi pada produksi embrio seperti yang pernah kami lakukan menghasilkan 20 buah embrio fertile kualitas excellent. Perfoma keturunan yang dihasilkan meliputi pertumbuhan yang lebih cepat, pada keturunan betina akan mencapai masa pubertas pada umur 13 bulan dengan berat badan 280 kg, dan berat badan indukan bisa mencapai 500kg. Pada beberapa pengamatan pemeliharaan, sapi SO tingkat reproduksinya sangat jelek di daerah yang dingin di dataran tinggi.
Penulis adalah Medis Veteriner
Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III Lampung
Direktorat Kesehatan Hewan, Dirjennak Keswan
Kementrian Pertanian RI
Tantangan Bisnis Perunggasan Indonesia Kian Beragam
Sementara itu FX Sudirman Ketua Umum Asosiasi Produsen Pakan Indonesia, bencana kekeringan di Amerika dan beberapa sentra produksi jagung dan kedelai berpengaruh sangat besar terhadap melambungnya harga bahan pakan. Terhambatnya transportasi di Argentina juga berakibat pada kelanggakaan bungkil kedelai di pasar domestik. “Kenaikan harga bahan baku ini menyebabkan pula naiknya harga pakan,” katanya.
Hal penting yang dikemukakan Gordon yaitu negara Brazil dan Thailand saat ini giat mengekspor produk unggasnya. Selain itu akan banyak perusahaan asing menjadikan India, Indonesia, China, dan negara di bagian Asia untuk target pasar ekspor.
Di kesempatan lain pada Kongres XI GPPU mengusung tema ‘Membangun Kepercayaan Menuju Efisiensi Produksi untuk Memenuhi Gizi Masyarakat Madani’ dengan sub tema ‘GPPU Siap Menghadapi Tantangan Nasional dan Global’, dihadiri 46 peserta anggota GPPU dan pada saat acara pembukaan dihadiri sekitar 75 peserta termasuk dari FMPI, GAPPI, ASOHI, GPMT, PPUN, GOPAN, PPAB, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali.
Agar para peserta kongres terinspirasi akan keindahan dan kekhusukan Pulau Dewata, oleh Krissantono, Ketua Umum BPP GPPU Indonesia menyatakan, “Dari Kongres XI ini diharapkan bisa menghasilkan putusan-putusan Kongres yang dapat lebih menyatukan para pembibit dengan insan perunggasan lainnya, dan lebih meningkatkan produktivitas kita semua,” ujar Krissantono.
Dengan demikian, sudah tepat Bali dijadikan sebagai tuan rumah kali ini, walaupun Bali belum memiliki Komda yang mensyaratkan telah memiliki minimal dua breeding dan/atau hatchery. Krissantono berprihatin, bahwa konsumsi per kapita penduduk Indonesia masih rendah dibanding Negara-Negara tetangga, kita masih sekitar 7 kg/orang/tahun atau konsumsi per orang 1 ekor ayam untuk setiap 3 bulan, sementara di Malaysia per orang 3 ekor ayam untuk setiap bulan. Dan, konsumsi telor ayam per orang 1,6 butir telor setiap minggu, sementara di Malaysia 1 butir telor setiap hari.
Tantangan ini baru dari sisi konsumsi perkapita. Secara jujur harus kita akui bahwa daya saing perunggsan kita masih masih rendah. Produktivitas masih relatif rendah, hampir 90 % bahan baku pakan tergantung dari luar, supply bibit masih impor dan struktur pasar masih belum efisien.
Di era globalisasi, penolakan produk hanya bisa ditujukan dari sisi ilmiah, bukan dengan alasan lainnya.
Akhir dari acara Kongres XI GPPU, Dirjen melantik pengurus GPPU periode 2012-2016, yang masih tetap dikomandani oleh Krissantono. (Mas Djoko R/Bali )/Infovet nov 12
PEMBERANTASAN RABIES PERLU PERAN SERTA BANYAK PIHAK
"Tuntutan atas kualitas vaksin rabies yang baik menyeruak seiring dengan sulitnya rabies diberantas di daerah endemik."
- Prof. Bambang Sektiari, FKH UNAIR.
Rabies merupakan penyakit paling mematikan yang bersumber dari hewan, maka di Indonesia jika hanya mengandalkan peran dari satu instansi/lembaga Pemerintah, sudah pasti akan sangat sulit untuk mengatasinya sampai kapanpun. Apalagi untuk memberantas hingga tuntas, akan memakan waktu yang lama dan panjang. Untuk itu peran serta banyak pihak secara sinergis akan membuahkan hasil yang jauh lebih cepat, lebih konkrit, dan lebih baik.
Peran serta Sanbe Group dalam hal ini PT Caprifarmindo Laboratories, jelas merupakan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam usaha pemberantasan rabies terutama di negeri ini agar dapat segera mendeklarasikan sebagai negara atau setidaknya daerah yang bebas dari penyakit Rabies.
Demikian cuplikan wawancara singkat dengan Prof. Dr. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA dengan Infovet usai presentasinya di forum Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-12 di Hotel Saphir Yogyakarta.
Menurut Prof Bambang, Rabies sebagai penyakit zoonosis sudah lama diketahui ada di muka bumi ini. Korban tewas yang ditimbulkannya sudah terlalu banyak, maka jika tidak ada inisiatif dan peran nyata dari masyarakat dan pihak-pihak swasta, maka kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan.
“Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dalam setahunnya korban meninggal karena tertular penyakit Rabies mencapai 55.000 orang di seluruh belahan bumi ini. Terbanyak berada di benua Asia dan Afrika,” papar Prof Bambang yang merupakan seorang ayah dari 4 orang anak ini.
Selanjutnya Doktor lulusan Universitas Rene Descartes (Paris V), Perancis 1997, mengungkapkan bahwa benua Asia dan Afrika masih merupakan daerah endemis yang menyeramkan. Di Indonesia sendiri sampai saat ini, hampir sebagian besar provinsinya masih merupakan daerah tertular dan belum bebas dari penyakit itu. Menurut catatan dari Kementerian Pertanian RI, hanya Jawa Tengah dan Jawa Timurlah yang dinyatakan sebagai daerah yang bebas dari penyakit itu.
Di Indonesia problema klasik dalam pemberantasan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis adalah kompleks. Koordinasi antar instansi terkait belum sinergis, dan diperparah dengan kurangnya ketersediaan vaksin yang memadai dan berkualitas. Koordinasi memang gampang diucapkan, namun pada realitas di lapangan merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan.
Instansi yang kompeten membuat dan menyediakan vaksin untuk kasus penyakit itu, ternyata belum mampu untuk secara signifikan berkontribusi terhadap permasalahan klasik ini. Peran serta banyak pihak memang menjadi sebuah keharusan agar penyakit zoonosis itu dapat dienyahkan, atau setidaknya semakin dipersempit kawasan geografis yang menjadi daerah endemis.
Berbicara masalah produk vaksin yang mempunyai peran penting dalam pemberantasan penyakit Rabies di Indonesia ini, menurut Prof Bambang yang juga Koordinator Bidang Akreditasi Pusat Penjaminan Mutu dan Mantan Ketua LPPM Universitas Airlangga Surabaya itu, bahwa ketersediaan terkait jumlah dosis mungkin dapat diatasi, namun terkendala dalam distribusi dan aplikasi di lapangan.
“Selain itu mungkin yang paling memprihatinkan adalah kualitas vaksin yang ada di lapangan. Tuntutan mutu vaksin yang berkualitas agar menghasilkan tingkat proteksi yang optimal dari hewan yang divaksinasi akan semakin meningkat. Bukan saja untuk memberikan perlindungan, namun juga aspek lama proteksi yang didapatkan,” ujar pria yang tahun ini genap berusia 50 tahun ini.
Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia yang selama ini terpublikasi, bahwa kegagalan vaksinasi rabies tidak hanya disebabkan karena level proteksi yang rendah dan program pelaksanaannya yang belum optimal. Namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah produk vaksinnya yang belum mampu memberikan proteksi dalam jangka lama.
Ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan titer antribodi pasca vaksinasi yang rendah meskipun dalam jangka waktu yang pendek pasca vaksinasi. Atas kondisi tersebut mendesak munculnya inovasi yang menghasilkan vaksin rabies dengan potensi proteksi yang tinggi dan efek proteksi bertahan lama.
Dengan demikian tutur pria kelahiran Surabaya, 11 Agustus 1962 yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Klinik Veteriner pada Januari 2009 silam, peran serta pihak manapun dalam rangka untuk meredam ancaman penyakit hewan yang zoonosis itu harus diterima dengan tangan terbuka dan didukung penuh oleh semua pihak, khususnya Pemerintah.
PT Caprifarmindo Laboratories, sebagai perusahaan nasional yang berskala internasional, akhirnya mampu menjawab problema kompleks dari pemberantasan penyakit rabies ini. Melalui produk vaksin rabiesnya CAPRIVAC RBS®, vaksin produksi Capri ini telah sesuai dengan harapan Prof. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA.
Vaksin ini memiliki standar kualitas melebihi kualitas vaksin yang selama ini beredar di pasaran. Apalagi didukung sistem distribusi yang mampu menjangkau wilayah Indonesia yang luas.
Dari hasil pengujian dibuktikan vaksin rabies Caprifarmindo mampu memberikan proteksi yang optimal serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga aman untuk aplikasi di lapangan.
Presentasi Prof Bambang, menjadi sangat istimewa oleh karena dipaparkan dalam forum yang sangat berkelas bagi para dokter hewan praktisi di Indonesia, yaitu KIVNAS yang berlangsung sejak tanggal 10-13 Oktober 2012 di Yogyakarta. (iyo/infovet nov 12)
VAKSINASI KOLERA JARANG DILAKUKAN?
”Di lapangan tidak begitu menjadi masalah. Selama pegang program pullet jarang terjadi,” kata Drh Setyono Al Yoyok sang direktur Pakarvet Malang. Intinya, tindakan yang dibutuhkan, katanya, ”Persiapan kandang, brooding atau pemanas pengindukan buatan, biosecurity.”
Vaksinasi bakterial tidak terlalu diperhatikan dan jarang dipakai dalam penanganan Kolera Unggas dan umumnya penyakit bakterial. Berbeda dengan vaksinasi bakterial untuk penyakit Coryza. Ya, Coryza saja yang diperhatikan. Sedangkan vaksinasi parasit Koksidiosis, jarang divaksin walau ada vaksin Koksi. Demikian menurut Drh Setyono Al Yoyok.
Berdasar pemantauan lapangan oleh sumber Sentral Ternak, vaksin yang banyak beredar di lapangan dan banyak digunakan pada ayam umumnya untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh virus. ”Karena virus tahan terhadap obat antibiotika,” kata sumber Sentral Ternak. Vaksin tersebut antara lain vaksin AI, Gumboro, ND, Cacar, IB dan Mareks.
Namun perhatikan statement ini, ”Ada juga beberapa vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan oleh bakteri seperti vaksin Kolera dan Coryza.” Ya, memang vaksin bakterial ini ada, cuma penggunaannya yang menurut Drh Yoyok jarang.
Bagaimana sesungguhnya ihwal vaksin Kolera Unggas, Infovet mendapatkan data dari Balai Besar Penelitian Penyakit Veteriner Bogor yang telah memproduksi vaksin ini. Sumber Bbalitvet mengungkap telah diproduksi vaksin bivalen isolat lokal untuk pengendalian penyakit kolera unggas Vaksin Kolera Unggas.
Vaksin tersebut adalah vaksin bivalen inaktif yang dikembangkan dari isolat lokal Kolera Unggas sendiri adalah penyakit bakterial yang menyerang ayam dan itik, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida. Komposisi vaksin dibuat dalam bentuk inaktif yang terdiri dari dua isolat (bivalen).
(Yonathan/Infovet Nov 12)
KOLERA, ANTISIPASI SAMPAI AKHIR
SIDIK JADI KEMENANGAN
Bambang Suharno |
Sang penjual mengatakan, “kalau begitu tunda dulu beli rumahnya, kapan lagi dapat membahagiakan sang ibu kalau bukan sekarang?” (Penjual ini agak aneh, ada pembeli potensial kok malah menyuruh menunda beli rumah hehe).
Ultah PT Gallus ke-10 : Terus Tingkatkan Kinerja Divisi
PT Gallus resmi menjadi badan hukum pada 30 November 2001. Pengesahan oleh Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 9 September 2002. Saat ini PT Gallus mempunyai divisi-divisi seperti Majalah Infovet, divisi penerbitan GITA Pustaka, GITA Organizer, GITA Multimedia, dan GITA Consultant.
Dalam sambutannya, Pemimpin Umum PT Gallus Drh Tjiptardjo SE menyampaikan harapannya. Untuk ke depan PT Gallus mudah-mudahan akan semakin kokoh dan memberikan kontribusi bagi pelaku bisnis veteriner dan peternakan khususnya, serta masyarakat luas pada umumnya.
Ketua Umum ASOHI turut mengungkapkan kebahagiaannya memperingati lahirnya PT Gallus yang tepatnya jatuh pada tanggal 9 September. “Pengembangan kinerja divisi-divisi harus senantiasa ditingkatkan. Jangan mudah puas dengan hasil yang ada sekarang ini,” katamya. Ia melanjutkan, tidak ada salahnya seperti divisi Majalah Infovet menciptakan terobosan baru dalam memunculkan informasi-informasi yang pintar dan tetap sedap dibaca.
BENARKAH “CLOSED HOUSE” MENYIMPAN SEGUDANG PENYAKIT?
Dengan ringan Dhanang menjawab aneka keraguan yang belum menerapkan itu dengan mengajaknya berkunjung dan bertanya langsung yang sudah menerapkan sistem itu. Para peternak yang sedang berminat dan belum mengaplikasikan sistem itu dipersilakan bertanya langsung kepada peternak lain yang sudah menerapkannya.
“Kalau CH sudah banyak diterapkan oleh para peternak, maka tidak perlu ada lagi model kemitraan, karena hasil pemeliharaan dengan sistem itu mampu memelihara dalam jumlah banyak dalam satu kandang dan irit tenaga kerja. Sedangkan model kemitraan, sampai saat ini lebih cenderung memberi kesempatan peluang usaha kepada para peternak skala gurem” jelasnya.
Di samping itu, memang harus diakui pula, bahwa tingkat keseragaman pertumbuhan dapat terjaga dengan baik. Namun dengan catatan jika CH dibuat dengan aturan yang benar. Disain dan equipment yang ditawarkan oleh Dhanang, memberikan jaminan akan hasil yang memuaskan. Dan bahkan ia mengklaim sebagai perencana dan pelaksana pembuatan CH yang terbaik di Indonesia sampai saat ini.
DAHLAN ISKAN BICARA SOAL TERNAK SAPI INDONESIA
Meski hanya sekilas namun nampaknya menteri yang penuh dengan kejutan dan gebrakan ini, begitu memahami benar akan basis kuat Negara Indonesia adalah harus bertumpu pada bidang agraris. Ia mencontohkan di negeri Cina yang dikenal dengan pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia, bahwa petani begitu diperhatikan kesejahteraannya. Meskipun lahan pertanian yang digarap oleh petani di Cina hanya merupakan pinjaman dari Negara, dan petani hanya sebagai penggarap, namun toh jauh dari sejahtera di banding dengan petani Indonesia.
Menurut Dahlan, keluhan tiadanya infrastruktur bagi pengembangan ternak sapi di kawasan PTP pada saat ini sudah tidak pantas dikeluhkan oleh para investor plat merah maupun swasta, khususnya BUMN yang bertugas di sektor pertanian.
JIMPITAN UNTUK MEMBESARKAN INDUSTRI PERUNGGASAN
Memang sekilas terdengar tradisional seperti yang berlaku di kampung-kampung masyarakat khususnya di daerah Jawa dengan menaruh jimpitan dalam kaleng di pojok rumah demi mendukung keamanan lingkungan. Padahal, mekanisme serupa dilakukan masyarakat di negara maju seperti di Amerika Serikat dengan istilah keren Commodity Checkoff Programs.
Menurut Dr Ir Arief Daryanto, MEC, Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB (MB-IPB), yang memaparkan upaya bersama tersebut dalam diskusi Round Table FMPI-US Grains Council di Jakarta belum lama ini. Arief menjelaskan, Commodity Checkoff Programs atau pemasaran bersama lewat program promosi dan R&D untuk meningkatkan permintaan pasar dan meningkatkan penerimaan produsen suatu komoditas.
Mengingat ini membawa kepentingan bersama, maka advertising bersifat generik namun tetap terukur. Parameter keberhasilan generic advertising dapat dilihat dari peningkatan permintaan pasar, harga yang diterima produsen meningkat, benefit > cost, dan porsi pembelian pemerintah menurun. Arief menyebutkan, B/C ratio untuk generic advertising program di kisaran antara 4 : 1 dan 6 : 1. Sebagai catatan, B/C ratio daging sapi 5.6:1, babi 4.8 : 1, susu 4.6 : 1, bunga 6.6 : 1, dan telur 4.7 : 1.
Arief mengatakan, di AS terdapat sekitar 17 program checkoff di tingkat federal dan banyak program sejenis di tingkat “state”. Program pungutan wajib (mandatory) ini berhasil mengumpulkan sekitar US $ 1 milyar. Tujuh besar Commodity Checkoff Programs di Amerika Serikat seperti American Egg Board, American Lamb Board, Dairy Checkoff Works, Cattlemen’s Beef Promotion and Research Board, National Pork Board, United Soybean Board, National Corn Growers Association.
Dr. Desianto Budi Utomo di tempat yang sama mendukung program pemasaran bersama tersebut karena secara obyektif dapat meningkatkan ‘pie’ market size perunggasan nasional melalui peningkatan konsumsi dan proaktif kampanye gizi. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta jiwa dan terus bertumbuh 1,4%/tahun tentunya akan mendorong permintaan produk unggas seperti daging dan telur.
Sistim Check-off, lanjut Desianto, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi daging per kapita per tahun yang masih rendah. Selain itu, sistem ini juga dinanti dapat menekan jumlah ‘free riders’, berkurang beban pajak dan kompetisi yang berlangsung fair. Karenanya, Desianto berharap ada insentif yang berperan sebagai ‘attractant’ yakni pengurangan pajak, termasuk bagian dari CSR, ‘free advertising’ dan mitra pemerintah.
Meski secara tradisional sudah dilakukan masyarakat terutama di Jawa, jika diterapkan dalam industri perunggasan Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal. Permasalahan yang perlu dicari solusinya antara lain aspek legalitas, aspek perpajakan, badan/lembaga yang auditable, sistem enforcement. Demikian pula asosiasi apa yang akan berperan dan dukungan pemerintah sangat diperlukan.
Desianto menekankan, melihat asosiasi bidang perunggasan di Tanah Air yang belum terintegrasi, implementasi sistem check-off dibutuhkan syarat komitmen panjang semua pihak terkait. keberadannya harus dapat diterima dan direstui oleh KPPU. Perlu kesadaran kebersamaan dalam hal koordinasi dan komunikasi, dan diperlukan pula keahlian dalam “manajemen implementasi”.
Karena di Kolombia butuh waktu untuk merealisasikan poultry check-off hingga sekarang membudaya. Seperti disampaikan Prof. Budi Tangendjaja, konsultan untuk U.S. Grains Council, Kolombia berhasil mewujudkan sistem check-off setelah beberapa asosiasi yang ada berintegrasi tahun 1990 – 1994. Asosiasi Propollo yang telah berkibar sejak 1972, Asohuevo (1970) dan Incubar (1967) bersatu menjadi FENAVI. Selanjutnya, asosiasi industri perunggasan tersebut bersama legislatif dan eksekutif membahas undang-undang hingga tepatnya tanggal 9 Februari 1994 Presiden menandatangani regulasi National Poultry Check-off Fund. Dana dikumpulkan dari produsen broiler dengan memungut 1% dari harga DOC. Sedangkan produsen layer dikenakan 5% dari harga DOC.
Dana terkumpul tersebut, lanjut Budi, digunakan untuk kegiatan kampanye dalam rangka menstimulus dan meningkatkan konsumsi daging ayam. Demikian pula kampanye untuk mendongkrak konsumsi telur dan menghapus mitos yang keliru dalam konsumsi telur.
Budaya maju bersama menjadi kunci penting dalam implementasi sistim jimpitan perunggasan tersebut. Pemerintah selaku regulator dan fasilitator juga dituntut menjalankan perannya dalam menjembatani terbentuknya wadah yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh pelaku bisnis. (sugeng)
CRD BANYAK DITEMUI DI KANDANG TERTUTUP
Hal itu oleh karena memang iklim untuk diterapkannya system itu kurang kondusif, terutama kala itu ada regulasi yang mengatur jumlah kepemilikan ayam/populasi setiap peternak atau perusahaan. Regulasi yang dibuat saat rezim Orde Baru itu memang seolah ada niat baik pemerintah untuk mengkapling usaha budidaya ayam negeri (ayam potong dan petelur) sebagai wilayah peternak dan pemodal skala menengah. Sedangkan para pemodal kuat dan perusahaan besar untuk diarahkan menggarap segmen usaha di hulu dan hilir.
MENGATASI CRD di Broiler Dan Layer
Penyakit yang sering kali muncul namun sering diabaikan peternak adalah Chronic Respiratory Disease (CRD). Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycoplasma gallisepticum ini merupakan penyakit menular menahun yang sebenarnya harus diwaspadai. Hal ini diungkapkan secara tegas oleh pakar kesehatan unggas Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dalam bukunya dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1. Hal yang sama disampaikan Hanggono SPt di depan para peserta seminar sehari dengan topik Manajemen Pemeliharaan Ayam Pedaging Modern dan Seni Mengobati yang dibesut oleh PT Riau Feed Centre bulan lalu.
Menurut Hanggono, kejadian CRD di lapangan sering dijumpai, baik pada ayam pedaging ataupun pada ayam petelur. “Penyakit yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus adalah penyakit pernafasan menahun atau CRD karena bagaimanapun, penyakit ini tetap dapat merugikan secara ekonomis,” ujar alumni Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya ini. Kerugian secara ekonomis dapat saja berupa memburuknya nilai konversi ransum akibat menurunnya konsumsi ransum, sehingga capaian berat badan panen pun tidak akan optimal.
Hal senada juga disampaikan Syafrinaldi SPt melalui pesan singkatnya, “Kejadian CRD bisa dikatakan terus ada disetiap periode produksi ayam pedaging.” Alumni Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang ini menyebutkan bahwa penyakit CRD sama halnya dengan api, kecil dibiarkan aman namun jika membesar akan menjadi lawan yang akan mendatangkan kerugian.
Terkait dengan kondisi tersebut, Prof Dr HM Partadiredja MSc (Almarhum) dalam bukunya dengan judul Manual Penyakit Unggas, menyebutkan bahwa penyakit CRD disebut juga dengan penyakit ngorok ayam. Penyakit ini ditandai dengan ingus katar yang keluar dari lubang hidung, kebengkakan muka, batuk dan terdengarnya suara sewaktu ayam bernafas. Selanjutnya, pada kondisi tertentu menurut Prof Partadiredja, kemungkinan besar penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut terutama pada ayam muda/pullet, sedangkan pada bentuk kronis efek nyata yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan pada produksi telur. Menariknya, meskipun angka kesakitan/morbiditas dari penyakit bakterial ini sangat tinggi, namun angka kematian/mortalitasnya cukup rendah jika dibandingkan dengan penyakit bakterial lainnya.
Hal ini ditanggapi Drh Jalaluddin MSc sebagai faktor kewajaran jika di tingkat peternak kurang perhatian terhadap penyakit ini. “Kemungkinan fenomena inilah yang menyebabkan sebagian peternak kurang intens menghadapi penyakit CRD ini,” ujar Jalaluddin.
Jika boleh dikata jujur, sebagai akademisi, drh Jalal sedikit miris dengan kondisi tersebut, betapa tidak, meskipun tingkat mortalitas penyakit tersebut cukup rendah namun yang perlu diwaspadai menurutnya adalah ikutan mikroorganisme sekunder yang akan memperburuk kondisi tubuh ayam itu sendiri.
“Penyakit apapun yang mendera ayam, ujung-ujungnya tetap ada kaitannya dengan melemahnya sistem pertahanan tubuh. Ayam yang terpapar bibit penyakit CRD, secara alami jelas telah melakukan pengurasan terhadap sediaan produk pertahanan tubuh atau imunitas, lalu jika tidak ditangani cepat, kondisi tubuh yang lemah tersebut, jelas akan memudahkan terpaparnya ayam dengan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit lainnya, sebut saja, apakah itu virus ND, IB dan atau virus dan bakteri patogen lainnya,” tutur alumni Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Jalal menegaskan, peternak harus fokus, jika dijumpai kasus mengarah pada gejala spesifik dari penyakit tersebut, harus cepat tanggap memberikan tindakan awal, yang dapat berupa pemisahan atau isolasi individu yang sakit dengan yang sehat, lalu individu yang sehat tersebut diberi antibiotika yang sesuai dengan target pencetus penyakit itu sendiri, dan untuk ayam yang sakit, lakukan tindakan pengobatan. Dengan demikian, kekuatiran akan munculnya infeksi sekunder dapat dilenyapkan dari ranah pikir peternak.
Terus Berulang
Penyakit CRD sering disamaartikan dengan lagu wajib, hal ini dimaknai sebagai penyakit yang kemunculannya terus berulang di lokasi peternakan/farm, baik di ayam pedaging maupun di ayam petelur. Melenyapkan penyakit CRD dari satu farm bukanlah suatu usaha yang mudah dilakukan peternak, hal ini mengingat bahwa penyakit tersebut dapat ditularkan secara vertikal dari induk ke anak melalui telur yang terinfeksi bakteri Mycoplasma gallisepticum.
Merujuk pada data lapangan hasil kerja keras para Technical Service (TS) PT Medion, penyakit CRD termasuk “Top Ten Diseases in 2007” di Indonesia. Data tersebut mendudukkan penyakit CRD pada urutan keempat. Walaupun menduduki posisi keempat, penyakit CRD bukanlah suatu penyakit yang dapat dianggap enteng oleh peternak, karena bagaimanapun dampak yang ditimbulkan cukup besar jika dihitung secara ekonomis.
Kejadian berulang pada CRD dapat saja berawal dari sistem pengelolaan usaha peternakan yang salah. Hal ini dibenarkan Syafrinaldi SPt, “Penerapan manajemen yang salah sering disebut sebagai pemicu munculnya kasus ini. Hal dimaksud misalnya peternak yang kebagian anak ayam (DOC) jelek, lalu dipelihara dan hasilnya tetap jelek,” urai Syafrinaldi yang juga technical services PT Sanbe Cabang Pekanbaru.
Senada dengan Syafrinaldi, Drh Jalalluddin MSc mengingatkan bahwa DOC dengan berat badan di bawah standar (<42 g) lebih rentan terserang penyakit pernapasan. Munculnya penyakit pernafasan tersebut menurut dosen FKH USK Nanggroe Aceh Darussalam ini dipicu oleh pemaksaan kerja paru-paru dalam menyuplai oksigen untuk proses metabolisme tubuh. Tindakan ini jelas salah karena dapat berdampak pada gangguan organ dan sistem organ pernapasan. Pemaksaan kerja keras pada paru-paru juga akan merusak organ pernapasan lainnya, seperti hidung (sinus hidung), trakea dan kantung udara. Akibat dari itu semua Kondisi tubuh akan melemah. Disamping itu, DOC yang berukuran tubuh lebih kecil tetap lebih mudah terinfeksi bakteri M. gallisepticum ataupun jenis mikroorganisme lainnya.
Sehubungan dengan itu, Salman peternak ayam pedaging yang tinggal di Desa Alam Panjang Kecamatan Rumbio Kabupaten Kampar menyebutkan bahwa kasus CRD dapat saja muncul disetiap periode pemeliharaan. Namun sejauh upaya peternak dalam menerapkan prinsip beternak aman dengan CRD, kasus tersebut setidaknya dapat diminimalisir kehadirannya.
Hal yang dimaksud Salman adalah memperhatikan semua hal terkait dengan manajemen pemeliharaan, mulai dari pemilihan DOC yang berkualitas tinggi sampai pada proses pemanenan. “Informasi yang saya dapatkan dari Majalah Infovet disebutkan kalau CRD merupakan penyakit yang muncul akibat kesalahan manajemen, jelaslah jika ingin penyakit tersebut tidak uncul di lokasi peternakan, maka perbaiki sistem manajemen yang ada di lokasi peternakan tersebut,” tutur Salman.
Salman melanjutkan, hal yang paling mudah dilakukan peternak sebenarnya adalah hanya menerima bibit atau DOC dengan kualitas prima saja, dan katakan tidak untuk sebaliknya. “Sulit memang dilakukan mengingat sebagian besar peternak beternak dengan pola kemitraan kan, artinya DOC dengan kualitas apa saja pastilah diterima, tak tau untung atau rugi, inilah risiko yang sebenarnya yang harus ditanggung peternak,” ujar peternak mandiri ini.
Hal lain yang dapat diterapkan disamping terkait dengan kualitas DOC adalah perbaiki sistem pemanas/brooding karena bagaimanapun, indikator keberhasilan dimulai dari fase tersebut. Lalu, menekan lajunya kadar amoniak yang ada di dalam kandang. Hal ini dilakukan Salman dengan jalan memperbaiki sistem turun naiknya tirai kandang yang digunakan, termasuk mengurangi tumpukan feses di bawah lantai kandang (jika kandang panggung).
Hal ini senada dengan apa yang dituliskan Prof Charles dalam bukunya dengan judul Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Jilid 1 bahwa tumpukan feses dapat memperburuk kondisi udara di dalam kandang akibat terjadinya peningkatan kadar amoniak yang bersumber dari tumpukan feses. Batas kadar amoniak yang aman sekitar 15-20 ppm. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Melengkapi apa yang dikatakan Salman, yang tidak kala pentingnya menurut Drh Jalaluddin MSc adalah penerapan aspek biosekuriti menyeluruh di lokasi peternakan. Hal ini dapat saja berupa membatasi lalu lalang angkutan umum, masyarakat atau apa saja yang terkait dengan kegiatan mobilitas di sekitar lokasi peternakan. Lalu, memisahkan ayam yang terpapar bibit penyakit dan atau ayam-ayam sakit dengan ayam yang tidak sakit, dan penerapan aspek sanitasi diseluruh areal kandang termasuk kandang itu sendiri, ayam dan anak kandangnya.
Hal ini diamini Fajar Datif Antariksawan, sejauh ini penyakit-penyakit yang berarti secara ekonomis belum sempat mampir (baca; tidak dijumpai) di lokasinya, kuncinya kata alumni Fapertapet UIN Suska Riau ini hanya satu, tetap menjaga kebersihan di seluruh lini area kandang. Dengan demikian, ternak tenang peternak pun senang, dan fulus pun datang (sadarman/riau).
ARTIKEL TERPOPULER
-
Cara Menghitung FCR Ayam Broiler FCR adalah singkatan dari feed convertion ratio, yaitu konversi pakan terhadap daging. FCR digunakan untuk ...
-
Manajemen pemberian pakan ayam petelur sangat penting. Mengingat biaya operasional terbesar adalah pakan (70-80%). Jika manajemen pakan buru...
-
Acara pendampingan pakan untuk peternak sapi perah yang dilaksanakan AINI dan KPSBU melalui daring. (Foto: Istimewa) Dalam acara Pendampinga...
-
Kenali Penyebab Turunnya Produksi Telur (( Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab turunnya produksi telur, diharapkan peternak dapat m...
-
Prof Dr Ismoyowati SPt MP, dari Unsoed, membawakan materi Mekanisme Kemitraan dalam Budidaya Ayam Broiler, dalam webinar Charoen Pokphand In...
-
Peran brooder sangat penting untuk menjaga suhu dalam kandang saat masa brooding , agar ayam nyaman dan pertumbuhannya bisa optimal. ...
-
Peternak unggas terutama self-mixing harus cerdas dalam memilih imbuhan pakan feed additive maupun feed supplement. (Foto: Dok. Infovet) Sej...
-
TIDAK ADA CERITANYA PETERNAK BROILER RUGI? (( Ayam pedaging, usaha peternakannya dihitung per periode. Perhitungannya ada kalah menangnya. M...
-
Karena kekeringan yang berkepanjangan, ketidakpastian yang diciptakan oleh pandemi Covid-19, dan pemadaman listrik yang berkelanjutan, peter...
-
Seorang peternak bercerita kepada Infovet bahwa ayam broiler umur 12 hari mengalami ngorok atau gangguan pernafasan. Setelah vaksinasi IB...