Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini feedloter | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Sandekala Bisnis Feedlot

Oleh: Rochadi Tawaf
Dosen Fakultas Peternakan Unpad dan Penasehat PP Persepsi

Bisnis penggemukan sapi potong (feedlot) mulai diintoduksikan di negeri ini sekitar awal tahun 1980-an.  Bisnis ini, tumbuh dan berkembang, setelah usaha rancher yaitu usaha ternak sapi potong berbasis padang penggembalaan  gulung tikar di era tahun 1970-an. Bisnis rancher kala itu, telah berhasil melakukan ekspor ternak sapi bali ke Hongkong. Usaha rancher tersebut tersebar di Sumatera Selatan (PT Gembala Sriwijaya) dan di Padang Mangatas Sumatera Barat, di Sulawesi Selatan (PT Bina Mulia Ternak dan PT Berdikari United Livestock), Serta  di NTT (PT Timor Livestock Co). Kehancuran bisnis rancher waktu itu, diduga kuat karena ketidak-mampuan bersaing dengan peternakan rakyat dan masuknya sapi kuning dari daratan China ke Hongkong.

Bisnis Feedlot
Bisnis feedlot tumbuh dan berkembang dengan cepat, karena daya dukung sumber daya yang kondusif. Utamanya, bahwa negeri ini menghasilkan produk ikutan dari industri perkebunan dan pertanian yang melimpah ruah. Murahnya harga bahan baku pakan tersebut, telah mendorong korporasi di sentra produksi industri pertanian, memanfaatkan peluang ini mendirikan usaha penggemukan sapi potong. Pada awal pertumbuhnnya, bahan baku sapi bakalan berasal dari sentra peternakan sapi di Jawa Timur. Namun karena kesulitan keberlanjutan ketersediaan sapi bakalan di dalam negeri, para pengusaha feedlot mulai melakukan importasi ternak dari Australia di awal tahun 1990-an.

Setelah sepuluh tahun sejak diintroduksikannya yaitu disekitar awal tahun 1990-an bisnis ini berkembang pesat, yang ditandai lahirnya Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (APFINDO) di tahun 1994. Dalam euphoria pertumbuhannya, asosiasi ini beranggotakan sekitar 65 perusahaan feedlot. Situasi perbankan sangat mendukung bisnis ini, kala itu. Bayangkan saja, hanya dengan modal 10% dari volume impor, pengusaha feedlot bisa mendapatkan fasilitas kredit perbankan dalam bentuk Usance L/C dengan lama pengembalian enam bulan. Bisnis ini, telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan perekonomian di perdesaan. Misalnya, penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan limbah dan penyediaan pupuk kandang bagi usaha tani.

Krisis Ekonomi
Booming bisnis feedlot ternyata tidak berjalan lama, hanya sekitar tujuh tahunan. Pada  tahun 1997-1998, merupakan tahun bencana bagi bisnis ini untuk pertamakalinya. Pasalnya, pada saat krisis ekonomi di tahun 1997 telah terjadi penurunan nilai tukar Rupiah terhadap USD yang sangat signifikan. Kondisi ini, telah memorak-porandakan bisnis feedlot yang menggantungkan hidupnya dari sapi bakalan impor. Bayangkan saja, di awal tahun 1997 sebelum krisis ekonomi nilai tukar rupiah sebesar Rp 1.750-2.000 per USD, bergerak menjadi sekitar Rp 15.000-17.500 per USD di akhir tahun 1998. Semua bisnis yang mengandalkan impor kolaps, para pengusaha feedlot kala itu mengalami kesulitan membayar kepada perbankan paling tidak sekitar 3 juta USD/perusahaan. Jumlah ini diperhitungkan dari enam shipment @500 ribu USD/shipment, berdasarkan fasilitas Usance L/C yang belum dibayar.

Feedlot. (Foto: beefcentral.com)
Bisnis Feedlot Kondusif
Pasca krisis ekonomi di tahun awal 2000-an bisnis feedlot cepat terecovery, pasalnya iklim usaha yang kondusif dan sistem perbankan serta tingginya permintaan konsumen akan daging sapi yang meningkat. Namun, para pengusaha feedlot pun mulai terseleksi secara alamiah. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah anggota APFINDO yang hanya tinggal sekitar 30 perusahaan. Dengan berubahnya pola usaha yang semula berorientasi terhadap kualitas daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal), saat itu berubah menjadi BASUH (Bayar Aman Sehat Utuh dan Halal). Hal ini diakibatkan berubahnya kebijakan perbankan yang tidak ada lagi memberikan fasilitas kredit (L/C) dengan tenggang waktu enam bulan.

Di periode tahun (2000-2010), pemerintah melahirkan program swasembada daging sapi. Dalam program ini, pemerintah memberikan peran penting terhadap bisnis feedlot dan importasi daging. Bisnis ini sempat booming kembali di tahun 2009, dengan omzet usaha sekitar Rp 2,7 triliun/tahun dan berdampak positif bagi pembangunan ekonomi secara nasional. Di era ini pembangunan bisnis feedlot masih mengacu kepada konsep Soehadji (1994/1996) yaitu program Gaung Lampung atau “tiga-ung dari lampung”. Program ini, mengatur rasio peran peternakan rakyat (sebagai tulang punggung), industri feedlot (sebagai pendukung) dan impor daging sapi (sebagai penyambung). Pada 2012, pemerintah melakukan pengetatan impor sapi bakalan. Hal ini dilakukan berdasarkan sensus BPS (2011), bahwa populasi ternak sapi saat itu berada pada kondisi swasembada. Maka, sejak itu dimulainya kondisi harga daging melambung tinggi. Namun, kala itu Menteri Pertanian Suswono, secara jantan mengakui bahwa kegagagalan swasembada daging sapi 2010 karena salah hitung.

Sandekala
Karut-marut masalah daging sapi terus berlanjut hingga saat ini. Di era pemerintahan Jokowi, kemelut ini bertambah ruwet dan tidak menentu arahnya. Pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah tidak lagi berorientasi dan berpihak kepada usaha peternakan sapi potong di dalam negeri, tapi lebih berorientasi kepada importasi daging. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang tidak memberikan kesempatan hidup kepada peternakan rakyat maupun industri feedlot yang ada. Indikasi dan dampaknya terhadap pembangunan ekonomi tampak jelas, yaitu pemerintah telah menetapkan standarisasi harga daging yang berada di bawah biaya produksi dan membuka keran impor dari berbagai negara seluasnya tanpa perhitungan dan perlindungan terhadap kondisi peternakan di dalam negari. Kondisi ini lah yang disebut sebagai “sandekala” bisnis feedlot di dalam negeri. pasalnya, dari kebijakan tersebut peternak rakyat dan perusahaan feedlot merugi, sebagian besar (50%) telah menurunkan volume impor dan usahanya bahkan tidak lagi melakukan importasi. Namun importasi daging beku dari India meningkat tajam (100%). Peternakan rakyat tidak lagi mampu menyuplai rumah potong hewan, karena pangsa pasarnya di intervensi oleh daging beku impor asal India. Selain itu, program pemerintah dalam bentuk Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting, menjadi tiada artinya karena harga produknya tidak merangsang peternak untuk meningkatkan produksi.

Akan mampu bertahan berapa lama lagi kah usaha peternakan sapi potong di dalam negeri untuk bangkit kembali? Atau akan muncul model bisnis baru integrasi sapi potong dengan industri pertanian? Namun, semuanya sangat bergantung kepada keberpihakan pemerintah terhadap usaha ternak rakyatnya itu sendiri, semoga industri ini cepat pulih. ***

Drama Impor Sapi Bakalan Catur Wulan III

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, rupanya tak main-main dengan janjinya, yakni mewajibkan importir memasok 20% sapi indukan dari kuota sapi bakalan yang diterimanya.

Dengan tidak adanya kepastian Izin Impor sapi bakalan Cawu III akan berdampak terhadap penyediaan sapi potong untuk kebutuhan perayaan natal dan tahun baru serta berpotensi menguras sapi lokal untuk di potong.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano mengungkapkan, sejumlah pengusaha sampai saat ini belum juga mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan (Kemendag), meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan dari Kementerian Pertanian.
Joni Liano, Direktur Eksekutif Gapuspindo
"Persoalannya itu kebijakan tersebut hanya disampaikan secara lisan, bukan tertulis. Bagi kita pengusaha harus ada landasan hukumnya. Padahal jelas kita sudah mematuhi regulasi impor sapi bakalan. Pasalnya 39 perusahaan anggota Gapuspindo sampai saat ini belum juga mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kemendag atas rekomendasi impor sebanyak 150.000, meski telah mendapat rekomendasi impor sapi bakalan dari Kementerian Pertanian," jelas Joni di kantor Gapuspindo, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (28/9).
Menurutnya, Menteri Perdagangan memaksa pengusaha agar mau memenuhi keinginannya dengan mengimpor 20% sapi indukan. Sementara rekomendasi impor sebanyak 150.000 ekor sapi yang saat ini sudah diteken Kementan belum mengantongi SPI dari Kemendag.
"Maunya Menteri Perdagangan kebijakan lisannya diterapkan (impor indukan). Tapi kenapa izin impor sapi kita di catur wulan III ikut disandera. Kita sudah ajukan SPI sejak 24 Agustus, tapi sampai sekarang belum keluar. Sesuai aturan dua hari setelah pengajuan SPI, harus sudah ada keputusan," ucap Joni.
Regulasi yang dimaksudnya yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemasukan Sapi Bakalan, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Ekspor Impor Produk Hewan.
"Artinya kalau mau menyandera impor sapi bakalan, harus ada aturan barunya. Jangan tiba-tiba, jadi menurut saya tidak ada alasan Menteri Perdagangan sandera izin sapi bakalan untuk catur wulan III. Karena dasar hukumnya tak ada," ujar Joni.
Kebijakan lisan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita yang memberlakukan instrumen impor sapi bakalan yang dikaitkan dengan sapi indukan dengan rasio 1:5 dimana setiap 5 ekor sapi bakalan yang di impor harus ada pengadaan 1 ekor sapi indukan lokal atau impor, sangat memberatkan para perusahaan penggemukan sapi potong.
“Terus terang kami terkendala dari segi aspek pendanaan, persiapan infrastruktur, dan lainnya, bahkan dari segi bisnis ternyata juga merugikan,” ujar Joni Liano.
Di luar itu, sambung dia, pengusaha tak masalah jika harus mengimpor sapi indukan. Namun hal tersebut perlu waktu menyiapkan infrastruktur dari kandang, sampai pengadaan sapi indukannya. Selain itu, rasio 20% sapi indukan yang diwajibkan juga dianggap terlalu tinggi dan tidak ada kajian teknis dan akademisnya.
"Jangan lisan saja, perlu waktu penyiapan, secara teknis memelihara sapi indukan dengan penggemukan bakalan berbeda. Harus ada kajian teknis dulu penetapan rasio 1:5 atau 20% itu," tandasnya.
“Idealnya untuk saat ini rasio 1:15 baru memungkinkan bagi pengusaha feedlot,” imbuh Joni seraya mempertanyakan kenapa kewajiban yang sama tidak diberlakukan bagi perusahaan pengimpor daging beku yang sama sekali tidak memberi nilai tambah bagi usaha peternakan dalam negeri.
Didik Purwanto, Wakil Ketua Gapuspindo
Sebagai Ilustrasi jika perusahaan memiliki kapasitas kandang 10.000 ekor maka impor sapi bakalan dapat dilakukan 3 kali periode per tahun sehingga total impor sapi bakalan 30.000 ekor/tahun dan harus memiliki sapi indukan 6.000 ekor (20% dari total impor sapi bakalan). Jika pola tersebut direalisasikan maka pada tahun 2018 total populasi indukan plus anak menjadi 14.880 ekor (148% dari kapasitas kandang-Road map terlampir), kandang akan dipenuhi sapi indukan artinya usaha penggemukan dipaksa untuk berubah menjadi usaha indukan yang bisnisnya jelas merugi.
Total investasi untuk 6.000 ekor sapi indukan senilai Rp. 254,7 Milyar dan selama 14 bulan kerugian sebesar Rp. 21 Milyar (struktur biaya terlampir). Apabila kebijakan lisan tersebut dipaksakan maka Industri penggemukan sapi akan mati, pada hal jumlah tenaga kerja langsung sebanyak 22.000 KK (Kepala Keluarga) dan nilai investasi Rp.15,5 Triliun ditambah 2.5 Triliun per tahun untuk pembelian bahan baku pakan ke petani di pedesaan (Monetisasi Ekonomi di Pedesaan).
Sangat mengkhawatirkan dengan tidak adanya kepastian Izin Cawu III dan tentu akan berdampak terhadap penyediaan sapi potong pada bulan Januari, Februari dan bulan seterusnya di tahun 2017. Saat ini stock sapi sebanyak 160.000 ribu ekor jumlah ini mensuplai kebutuhan akan konsumsi daging yang cenderung meningkat pada bulan November, Desember bertepatan hari Natal dan Tahun baru.
Dampak lainnya adalah akan menguras sapi lokal untuk di potong. Proyeksi kebutuhan konsumsi daging sapi tahun 2017 sebesar 685 .000 ton atau equal sapi hidup sejumlah 3,8 juta ekor sapi yang harus di potong diantaranya 700.000 ekor adalah sapi bakalan impor (kuota sudah ditetapkan Pemerintah sebanyak 700. 000 ekor tahun 2017). Apabila kontribusi sapi bakalan impor tidak dapat direalisasikan karena Industri penggemukan sapi potong tidak beroperasional atau mati akibat dari kebijakan lisan Menteri Perdagangan maka tentu sapi lokal akan terkuras sebanyak 3,8 juta ekor atau 23% dari total populasi. Angka ini menunjukkan negatif growth population (rata-rata angka kelahiran 20,8%). Kondisi tersebut sangat kontradiktif terhadap program pemerintah berswasembada pada 10 tahun kedepan.
“Berita mengejutkannya, saya menyesalkan keputusan Mendag memberikan izin impor sapi bakalan kepada tiga perusahaan penggemukan sapi potong pada 23 September lalu, yang dinilai bersifat diskriminasi, sebab anggotanya tidak dapat,” tegas Joni.
Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan mendorong oligopoli karena kuota impor hanya diberikan pada tiga perusahaan besar. Bahkan jika sampai akhir tahun Kemendag tetap tidak menerbitkan SPI kepada seluruh anggota Gapuspindo, maka pasokan sapi untuk awal tahun 2017 akan kosong. Tentu saja ini berpotensi menggerek harga daging sapi dan meningkatkan volume sapi lokal yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita
Kuota Impor Sapi dan Daging Beku Resmi Dihapus
Sebelumnya Pemerintah resmi menghapus sistem kuota impor sapi sebagai disampaikan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di kantornya, Senin, 26 September 2016. “Tak hanya berlaku untuk sapi hidup, kuota impor daging beku juga dihapus. Hilang, enggak ada kuota-kuotaan," kata Enggartiasto Lukita.
Sebagai penggantinya, pemerintah akan mengeluarkan ketentuan baru yakni importir diwajibkan mendatangkan satu ekor sapi indukan untuk setiap lima sapi bakalan yang diimpornya. Ketentuan itu akan dituangkan dalam revisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia Besar ke Dalam Wilayah Republik Indonesia.
Kebijakan ini sebenarnya telah berjalan. Saat ini, Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan izin impor 300 ribu ekor sapi bakalan hingga 2018 dengan ketentuan tersebut. Ada tiga perusahaan importir yang telah berkomitmen menjalankannya. Dua di antaranya adalah Santori dan Great Giant Livestock (GGL). "Mereka sudah tanda tangan di atas meterai untuk impor 60 ribu sapi indukan, di luar izin impor 300 ribu sapi bakalan yang didapatnya," kata Enggar.
Kendati izin ini sampai 2018, Enggar tidak menutup kemungkinan ada tambahan impor sapi jika ada pengusaha lain yang memenuhi syarat. "Ya keluarin lagi, mengajukan berapa pun sapi indukan saya kasih," katanya.
Yang pasti, kata Enggar, pada 2018 pemerintah akan melakukan audit di tiap perusahaan penerima izin impor. Bila terbukti mereka tak memenuhi ketentuan, "Kami sita sapinya, kalau tidak ada ya asetnya, itu sesuai perjanjian," kata Enggar.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mendukung langkah pemerintah ini. Sebab ia menilai pembatasan impor dengan kuota akan membuka peluang korupsi. "Kuota itu banyak moral hazard-nya, seperti kasus suap impor sapi dulu kan karena adanya kuota," katanya.
Ia menambahkan, kewajiban mengimpor indukan juga bisa menambah populasi sapi di dalam negeri. "Ini kami apresiasi," katanya. (wan)

Impor Sapi Siap Potong Dibuka, Feedloter Sambut Baik

Pemerintah bakal membenahi seluruh kebijakan impor sapi untuk merelaksasi masuknya sapi siap potong, daging potongan sekunder, dan jeroan. Sejak pertengahan 2015, impor sapi potong disetop.
Selain itu, Kementerian Pertanian menutup impor jeroan dan secondary cut sejak tahun lalu. Impor kedua jenis daging tersebut hanya diperbolehkan pada saat kondisi darurat dan hanya dilakukan oleh BUMN.
Impor sapi siap potong diharapkan mampu menekan harga sapi di dalam negeri, terutama sapi bakalan, sapi impor yang harus digemukkan terlebih dahulu di dalam negeri paling cepat 3 bulan, yang tetap dibanderol tinggi di pasar Tanah Air.
Saat ini, Kementerian Pertanian sedang merevisi Peraturan Menteri Pertanian No. 58/ Permentan/PK.210/11/2015 tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara RI. Peraturan itu merupakan revisi dari Permentan No 139/ Permentan/PD.410/12/2014 yang menjadi dasar pelarangan importasi jeroan sejak Januari 2015.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menegaskan, pihaknya segera mengusulkan revisi UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, agar sapi siap potong diperbolehkan untuk diimpor. Sapi siap potong sendiri merupakan sapi yang sudah cukup usia untuk langsung dipotong setelah diimpor, sedangkan sapi bakalan perlu waktu 3-4 bulan sebelum siap untuk dipotong.
Amran menuturkan, keuntungan importasi sapi bakalan adalah harganya yang lebih murah dan dimaksudkan untuk menambah lapangan kerja di dalam negeri.
“Tetapi harganya malah lebih tinggi dari sapi siap potong dari Australia. Ide awalnya kan agar harga lebih rendah daripada mengimpor langsung, tetapi yang terjadi saat ini terbalik. Makanya kami usulkan untuk direvisi,” katanya, saat ditemui Infovet di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (14/7).
Selain itu, menurutnya, relaksasi nantinya impor daging secondary cut yang selama ini ditutup bagi swasta akan dibuka lagi. “Regulasi Kementan hari ini paling lambat besok ka mi cabut, untuk secondary cut bisa masuk ke pasar nanti,” ujarnya.
Ketentuan yang melarang daging sapi impor masuk ke pasar tradisional juga akan dicabut. Pemerintah akan memperbolehkan daging sapi impor boleh masuk ke pasar tradisional. Daging-daging tersebut rencananya akan digelontorkan di area Jabodetabek. Selain karena kebutuhan terhadap daging sapi tinggi, alasan lain terkait harga yang sulit dikendalikan.
 “Kami melindungi peternak kecil, karena impor sapi potong ini hanya diperuntukkan 90% untuk pasar Jabodetabek. Kami mengisi Jabodetabek dulu. Lumbung-lumbung sapi lokal itu kami tidak isi,” jelasnya.

Pasar Terus Diguyur
Di tempat yang sama, Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengatakan, sejauh ini pengendalian harga komoditas pangan utama setelah Idulfitri masih belum sesuai harapan. Guyuran daging impor, lanjut Lembong, diperlukan tidak hanya untuk memasok kebutuhan selama Idulfitri dan mengendalikan har ga, tetapi juga untuk mengontrol laju inflasi 2016 di bawah 4%.
“Jadi kita menambah importasi untuk pasok di segala golongan, dari premium sampai secondary cut, sampai jeroan, jadi tentunya harus imbang antargolongan kan,” ujarnya.
Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana menilai, harga jual importasi daging sapi siap potong dengan sapi bakalan tidak akan banyak berbeda apabila kurs dolar AS masih tinggi, sehingga diyakini tidak signifikan dalam menekan harga.
Menurutnya, harga daging nasional sangat ditentukan oleh ni lai tukar dolar AS, mengingat pe menuhan kebutuhan daging im por hampir mencapai 50% dari total kebutuhan di dalam negeri.
Plt. Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih belum mengetahui persis kapan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang baru akan diterbitkan. Menurutnya, perubahan aturan adalah hal yang biasa karena regulasi memiliki sifat yang dinamis. Kemendag hanya mengatur dari sisi keselamatan, kesehatan, keamanan, dan lingkungan hidup.
Kemendag tetap optimistis langkah tersebut dapat menekan harga daging di pasar, tapi belum bisa memperkirakan berapa besar pengaruhnya. Hal ini berkaca dari pengalaman impor daging sebelum Lebaran, yang diklaim mampu menahan harga dari kenaikan lebih besar.
Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri menuturkan pemerintah perlu melakukan kajian ulang dan meningkatkan pemberdayaan produk dalam negeri. Abdullah berpendapat jika para pihak yang terlibat dalam produksi, distribusi, dan penjualan daging tidak mengambil untung berlebihan maka harga tidak akan terus naik. Berdasarkan analisis Ikappi, biasanya harga daging mulai turun pada H+7 Lebaran karena konsumsi masyarakat sudah berkurang.

Tanggapan Feedloter
Menangapi hal tersebut Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano, mengungkapkan pihaknya menyambut baik rencana pencabutan larangan impor sapi siap potong oleh pemerintah tersebut.
"Secara tidak langsung artinya pemerintah menyadari kalau daging segar tak bisa tergantikan oleh daging sapi beku. Pemerintah mengakui kalau selama ini kebijakan daging bekunya tak bisa menurunkan daging segar," kata Joni saat dikonfirmasi Infovet, Senin (18/7/2016).
Secara bisnis, lanjut dia, feedloter merasa tak ada pesaing baru dalam tata niaga daging sapi segar. Revisi UU tersebut juga membuka peluang feedloter untuk ikut mengimpor sapi siap potong. “Itu hanya soal pilihan ada daging segar dari siap potong. Toh kita kalau mau juga bisa mengimpor sapi siap potong,” katanya.
Kendati begitu, dari segi perhitungan, proses penggemukan sapi bakalan oleh feedloter tetap jadi pilihan, lantaran masih dianggap lebih menguntungkan. “Hitung-hitung bisnis secara harga lebih murah sapi siap potong. Tapi itu tak mempertimbangkan output dagingnya, saya kira feedloter masih lebih efisien dalam hal ini, silakan saja kalau pemerintah mau menyediakan opsi daging segar lain,” jelasnya.
Lebih lanjut dijelaskan Joni, bahwa penggemukan sapi di Indonesia justru diakui paling efisien di dunia. “Kita oleh dunia malah diakui sebagai salah satu negara dengan proses penggemukan paling efisien di dunia, banyak yang mengakui dari luar. Kenapa Australia tidak bersaing dalam penggemukan, karena di sana tidak efisien untuk itu,” terang dia.
Diakuinya kenapa feedlot di Indonesia efisien, sebab bahan pakan untuk proses penggemukkan melimpah dan murah “Kenapa saya sebut murah? Di Indonesia sumber pakannya banyak sekali, semua ada. Mulai dari hijauan, bungkil sawit, jerami padi itu sangat baik buat penggemukan. Artinya dari limbah itu, sapi yang beratnya 300 kg, bisa jadi 420 kg hanya dalam tiga bulan saja. Itu keunggulan kita,” pungkasnya. (wan/rbs)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer