Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Info Iptek | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

HEAT STRESS SAPI PERAH DAN CARA MENGATASINYA

Oleh: Drh. Joko Susilo

Heat stress pada sapi terjadi ketika  beban panas tubuh melebihi kemampuan sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya heat stress, meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/ menit. Akibat dari heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu tubuh,  keluar air keringat,  dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan (feed intake), produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfoma reproduksi menurun. Parameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat stress; frekuensi nafas melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2 °C, menurunnya produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan kering (dry matter intake). 

Heat loss merupakan  mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh , dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas semua organ dalam tubuh.  Ada 3 cara pelepasan panas  yaitu produksi panas karena metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar (sensible) dan keluarnya panas secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas produksi/metabolisme meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan mengurangi  produksi panas dari metabolisme dengan pakan rendah serat. Sensible heat loss terjadi jika panas tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas tubuh akan keluar dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini tergantung pada suhu lingkungan, luas permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan resistensi terhadap udara. Latent heat loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit atau menguapnya (evaporasi) panas dari hidung. 

Beberapa prinsip untuk mengurangi  heat stress, secara genetik sapi Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi susu di daerah panas. Ketersediaan air  cukup ditempat yang sesuai, dingin dan bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh (mengurangi  jarak tempuh). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau ditengah kandang seperti  (housing area dan holding pen). Di tempat pemerahan  (Milking center), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu lama, tersedia ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada jalan keluarnya sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan pendingin. 

Ada beberapa metode untuk meng­hindari heat stress dan lingkungan kandangnya:
1.    Menyiasati pakan, feed additif, dan obat
2.    Mengusahakan atap agar tetap dingin
3.    Pembuatan saluran ventilasi
4.    Melalui pipa bawah tanah (under ground pipe)
5.    Menyediakan kolam untuk berendam
6.    Exit lane sprinklers
7.    Kandang dengan ventilasi yang baik
8.    Cooling fan
9.    Sprinkler kombinasi dengan fan cooling

Selengkapnya mengenai pembahasan diatas, silahkan baca majalah Infovet edisi 232 - November 2013

  

Gangguan Metabolik Dominasi Masalah Kesehatan pada Sapi

Semakin bersemangatnya para peternak sapi skala rakyat de­ngan menambah populasi, tidak terlepas dari membaiknya kondisi harga jual sapi potong di pasar pada awal tahun 2013 ini. Hal itu secara langsung telah semakin menggairahkan dunia peternakan Indonesia. Dinamika pembanguan peternakan  rakyat, memang begitu terasa sekali tergambar di masyarakat akar rumput.

Ketika pasokan daging impor berlebih dan masuknya sapi bakalan dari luar negeri, maka secara langsung telah membuat peternak skala rakyat frustasi. Begitu keluar kebijakan untuk menutup atau mengurangi kran impor daging serta sapi bakalan, maka bagi peternak skala rakyat, seolah dunia semakin ceria dan cerah.  Seperti yang terjadi saat ini

Kali ini, seolah angin, memang sedang bertiup me­ngarah ke rakyat. Gairah dan animo peternak untuk memelihara dalam jumlah yang lebih dari biasanya. Meskipun sebenarnya, pada saat ini harga bibit sapi bakalan sudah termasuk sangat tinggi, namun justru pasar ternak sapi begitu bergairah dan ramai. Semoga saja, dalam waktu dekat atau setidaknya kurun waktu 5 tahun ke depan, pemerintah tetap konsisten untuk mengontrol de­ngan ketat volume impor daging sapi  dan sapi bakalan. Sebab jika ada perubahana kebijakan dan kemudian impor daging dibuka secara berlebih maka tentu saja akan membuat peternak sapi skala rakyat akan kembali terlukai dan mungkin patah arang untuk beternak lagi.
 
Konsekuensi dari semangat besar para peternak skala rakyat, maka nampak jelas dengan kebutuhan akan konsentrat dan bekatul di warung sapronak. Permintaan yang meningkat dari pakan jenis itu erat terkait dengan asumsi para peternak, bahwa untuk menggenjot pertumbuhan sapi  dan cepat panen, konsentrat dan bekatul adalah kuncinya.
 
Itulah hasil pengamatan Drh Yusuf Arrofik seorang praktisi Kesehatan Hewan Ternak dan Suradi seorang peternak sapi.
 
Meskipun asumsi itu tidak benar secara keseluruhan, namun juga tidak salah. Hanya kurang tepat memaknai­nya. Menurut Yusuf, akibat dari asumsi itu telah membawa dampak yang kurang baik di dalam aplikasi di lapangan. Orientasi peternak yang menggebu untuk menghasilkan sapi cepat gede dan kurang mendapatkan informasi yang benar secara keilmuan, akhirnya kemudian banyak dijumpai muncul gangguan kesehatan yang justru bukan dengan penyebab agen infeksius (virus, bakteri, jamur dan parasit) akan tetapi justru karena malnutrisi.
 
Malnutrisi alias salah ransum sehingga berakibat buruk terhadap ternaknya, bukan saja oleh karena aspek kekurangan pakan saja, namun  kini justru pengertian malnutris bergeser kearah salah memberikan ransum yang benar. Dalam konteks ini volume pakan justru tersedia berlebih hanya salah dalam memberikan proporsinya.
 
Suradi pun mengakui, bahwa akibat salah menerima informasi, para peternak kemudian lebih mengutamakan pemberian konsentrat dan menihilkan pemberian jerami apalagi hijauan. Namun dirinya sudah melalui fase itu, dan sudah tidak lagi bernafsu dengan jalan yang keliru. Beberapa tahun yang lalu, memang ia juga melakukan hal yang sama yaitu memberikan secara berlebih konsentrat ataupun bekatul. Namun terbukti justru telah membuatnya menanggung kerugian besar. Sapinya bukan menjadi cepat gede, namun sapi ambruk oleh karena susah defekasi bahkan ada sapinya yang kolik sehingga berujung dengan kematian.
 
Aplikasi informasi yang salah itu, kini kembali terjadi ketika para peternak begitu bergairah sekali untuk segera secara cepat mendapatkan keuntungan. Terutama dari selisih harga beli dan harga jual dalam tempo yang semakin singkat.
 
Menurut Yusuf pola pikir itu sudah benar. Bahwa sebaiknya waktu memelihara sesingkat mungkin, dengan hasil sapi cepat gede. Dan menurut  pemahaman  peternak cara tempuh agar sapi cepat gede adalah diberikan ransum konsentrat saja. Sebab metoda itu dianggap  yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
 
Pola pikir peternak yang sudah benar itu dan hanya caranya yang keliru, akhrinya justru berbuah sapinya mengalami gangguan kesehatan yang berupa gangguan metabolis yang bersifat akut. Untuk mengatasi masalah itu bukanlah perkara yang mudah, oleh karena wajar jika kemudian selalu berakhir dengan kematian yang didahului dengan sapi ambruk.
 
Suradi juga mengakui kasus kematian pada sapi miliknya saat mengaplikasikan pemberian pakan yang keliru, kala itu. umumnya selalu didahului dengan kesulitan defekasi, sapi gelisah yang sangat tanpa mau makan, hanya minum terus menerus, sampai akhirnya perutnya membuncit, kembung dan ambruk . Dan akhirnya mati secara cepat.
 
Setelah mendapatkan informasi akan penyebab kematian dari seorang Dokter Hewan akhirnya Suradi tidak lagi melakukan langkah keliru ransum. Menurutnya, sapi itu menu dasarnya rumput, maka tidak bisa dihilangkan begitu saja, menu rumputnya. Sedang­kan menurut Yusuf, bisa saja sapi tidak diberikan menu rumput, namun harus dengan latihan yang lama dan pakan penggantinya haruslah juga berupa daun daunan. “Hijauan rumput atau jerami dapat ditiadakan namun harus ada pakan substitusi, dan selain itu sebaiknya memang konsentrat untuk penguat dan pemacu pertumbuhan.”
 
Problema gangguan metabolis pada sapi, ternyata menurut Yusuf juga mendominasi gangguan kesehatan pada sapi perah. Hal ini terkait dengan menu pakan sapi perah yang mana peternak juga cenderung memberikan porsi berlebih pada konsentrat dan mengurangi hijauan rumputnya.
 
Selanjutnya menurut Yusuf, dalam mengatasi masalah gangguan metabolis yang selalu bersifat  akut itu, ada beberapa upaya dan langkah. Pertama yang paling utama adalah merombak ransum menu yang keliru. Kedua, mengatur jadwal pemberian konsentrat secara benar dengan pemberian hijauan rumput atau jeraminya. Terutama proporsi antar hijauan rumput dan jerami dengan konsentrat. Ketiga, adalah melakukan tindakan injeksi preparat yang membantu memacu secara cepat proses metabolis di dalam lambung/rumen sapi. Keempat, membantu proses defekasi melalui pemberian suppositoria di dalam rectum dan anus. Kelima, oleh karena gangguannya bersifat akut, maak injeksi preparat penguat tubuh menajdi suatu keharusan agar sapi tidak lemas dan berakhir dengan kematian. (iyo)

Potensi Pemanfaatan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

Diasuh oleh : Drh. Abadi Soetisna MSi.

Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 400 spesies dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Data WHO tahun 2005 menyebutkan, sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan herbal. Di Indonesia, penggunaan herbal untuk pengobatan dan obat tradisional sudah dilakukan sejak lama. Ini diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi dan juga tertulis pada daun lontar dan kepustakaan keraton.

Minat masyarakat dalam menggunakan herbal terus meningkat berdasarkan konsep back to nature (kembali ke alam). Ini dibuktikan dengan meningkatnya pasar obat alami Indonesia. Pada 2003 pasar obat herbal sekitar Rp 2,5 triliun, pada 2005 sebesar Rp 4 triliun, dan pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 8 triliun.

Dari pengertiannya obat herbal adalah obat yang zat aktifnya dari tanaman (daun, batang, akar, kayu, buah, ataupun kulit kayu). Obat herbal terkadang juga sering disebut sebagai jamu. Bagaimana dengan pemanfaatan obat herbal di industri kesehatan hewan Indonesia.

Peluang ini sangat terbuka lebar karena diketahui 60% bahan baku obat hewan Indonesia semua dipenuhi dari impor. Pertanyaannya kenapa tidak diambil dari alam Indonesia saja yang melimpah? Karena asumsi pemanfaatan obat herbal dari sektor perunggasan Indonesia tahun 2013 saja sudah sangat besar. Contohnya populasi ayam breeder yang diperkirakan mencapai 20,8 juta ekor, broiler 2,2 milyar ekor, layer 114,7 juta ekor, dan layer jantan yang mencapai 80,3 juta ekor.

Dari Tabel diatas diketahui jika penggunaan obat herbal sudah mencapai ± 5% saja, maka sedikitinya terdapat potensi pasar penggunaan herbal sebesar (5% x Rp. 3.293.395.250.000) = Rp. 164.669.762.500.
Kemudian untuk pemanfaatan bahan herbal ini kita juga harus tahu faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk penggunaan dan pemasaran obat herbal untuk hewan. Seperti misalnya Penggelompokan Obat Hewan golongan Farmasetika, Biologik, Premix, atau Obat Alami. Serta tujuan penggunaan obat apakah untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemacu pertumbuhan, atau kosmetika.

Dari sisi regulasi Kementerian Pertanian telah mengatur pembuatan – penyediaan – peredaran obat untuk hewan? Dan tentu saja ini juga berlaku untuk obat herbal yang diperuntukkan untuk hewan yaitu harus aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. Kemudian obat tersebut harus memiliki khasiat/efikasi sesuai tujuan pengobatan dan berkualitas dengan standar mutu yang sesuai dengan persyaratan Pemerintah     lolos uji di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

Peraturan lain juga harus mengatur bahwa berapa jenis herbal/tanaman yang boleh digunakan dalam satu sediaan obat herbal. Misalnya, paling banyak 10 jenis tanaman. Alasannya, dikarenakan proses pengujiannya susah, lama, tidak mudah, dan tidak murah.

Perlu ditelaah pula bagaimana kemungkinan terjadinya “Drug Interaction” dari setiap jenis tanaman obat. Apakah sinergis, adisi, potensiasi, atau antagonis. Kemudian standarisasi ukuran/dosis yang digunakan. Misalnya, ukuran “segenggam” harus distandarkan dengan disebutkan satuan-satuannya, misal (berat = gram, volume = ml). Dan terakhir standarisasi dosis untuk berapa banyak, berapa lama, berapa kali penggunaan dalam sehari.

Sehingga muncul pertanyaan apakah obat herbal (alami) boleh dicampur dengan obat kimia (farmasetik)? Jawabannya tidak boleh, jangan sampai “membingungkan” khasiat penggunaannya, apakah obat hewan itu yang berkhasiat obat herbalnya atau obat kimianya.

Karena regulasi belum ada dari PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indoensia) tentang penggunaan obat herbal untuk diresepkan oleh Drh? Jangan sampai Drh. yang membuat resep herbal dituduh melakukan malpraktik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh tentang penggunaan obat herbal bagi Drh.

Sehingga tak salah jika masih ada pihak-pihak yang meragukan khasiat penggunaan obat herbal. Sebagai contoh adalah proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari, pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan berbeda. Atau, karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta sulit untuk memastikan dosis yang sesuai.

Selain itu belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter hewan, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat hewan berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia, serta belum ada organisasi profesi kedokteran hewan yang khusus mendalami herbal Indonesia.

Selama ini penggunaan obat herbal untuk hewan hanya berdasarkan pengalaman empiris. Seharusnya sudah dapat diketahui dengan pasti, misalnya setelah penelitian secara menyeluruh mengenai suatu jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai antidiare. Contoh : Daun Jambu – karena mengandung tanin, Kunyit – karena mengandung curcumin, Cengkeh – karena mengandung eugenol. Kedepan diperlukan proses standarisasi dari obat herbal tersebut.   

Faktor sosialisasi, selain faktor ilmiah yang sudah disebutkan tadi, perlu juga disosialisasikan ke masyarakat mengenai “kehebatan” dari obat herbal tersebut. Namun juga patut ditelaah secara berimbang betulkah obat herbal lebih aman daripada obat kimia? Yang penting jangan memberi informasi yang berlebihan kepada konsumen.

Faktor pemerintah, sejauh mana dukungan pemerintah terhadap obat herbal. Sampai saat ini obat herbal yang sudah didaftarkan di Kementerian Pertanian – lebih banyak daripada produksi obat herbal di Indonesia. Pemerintah perlu menyiasati agar obat herbal di Indonesia tidak terkalahkan oleh obat hewan impor.

Yang tidak kalah penting adalah “berapa banyak” keuntungan yang didapat bila kita unggul obat herbal untuk obat hewan. Misalnya seberapa besar keuntungan bagi para pengusaha pabrik obat; seberapa besar keuntungan bagi para peternak; seberapa besar pendapatan devisa negara; seberapa besar keuntungan bagi para tenaga kerja. Jangan lupa faktor harga, obat alami harus lebih murah dari obat kimia.

Setelah semua faktor disebutkan, dan secara signifikan obat herbal itu lebih baik dan lebih aman daripada obat kimia (farmasetik), maka kegiatan ini harus di sosialisasikan kepada masyarakat. “Jangan sampai ada dusta diantara kita” dan “Jangan Galau, karena masa depan obat herbal Kemilau”.  ***

Seberapa Pentingkah Vaksinasi Pada Ikan?

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus adalah penyebab penyakit yang paling merugikan bagi para petani ikan. Oleh sebab itu, pengendalian penyakit bakterial dan virus merupakan usaha yang harus dilakukan. Vaksinasi merupakan satu langkah penting untuk diambil.
 
Menurut Dr Ir Murwantoko, MSi, staf pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan UGM, dalam prakteknya vaksinasi ikan memang masih dianggap hal yang baru. “Penyebaran informasi mengenai vaksinasi belum merata,” ungkapnya. “Pada beberapa kelompok petani, mereka aktif menggali pengetahuan tentang vaksin dan di mana bisa memperolehnya. Selain itu, terdapat kelompok pembenih ikan yang siap menghasilkan benih ikan tervaksin,” urai pria kelahiran Sleman ini.
 
Keuntungan yang dirasakan dengan memanfaatkan vaksinasi diantaranya aman, ramah lingkungan, dan memberi perlindungan lama. Aman, karena bahan vaksin merupakan racun yang membahayakan ikan. “Jika terjadi kesalahan dalam pemberian dosis misalnya terlalu banyak, juga tidak menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan,” katanya.
 
Bahan vaksin juga ramah terhadap lingkungan dan manusia serta tidak meninggalkan residu berbahaya. Vaksinasi juga menjanjikan waktu perlindungan yang lebih lama, sekitar 2 hingga 3 bulan.
 
Metode pemberian vaksin yang umum dilakukan yaitu melalui suntikan, rendaman, lewat oral, maupun pakan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan jka ditinjau dari efektivitas vaksin serta teknik pemberiannya. Cara suntikan memberikan efektifitas vaksinasi yang paling baik, tetapi untuk melakukan cara ini diperlukan keterampilan dan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sedangkan, metode secara oral mudah dilakukan, namun tingkat efektifitasnya kecil.
 
“Vaksin itu ada yang berupa sel utuh, komponen sel, atau protein. Seberapa jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk tiap ekor ikannya sangat tergantung dari jenis vaksin, cara pemberian, dan ukuran ikan.” Dr Murwantoko juga menjelaskan penentuan banyaknya vaksin yang diperlukan ini didasarkan pada hasil penelitian. Umumnya untuk dilakukan secara suntikan sebanyak 107 sel per ikan. Sementara untuk rendaman dilakukan pada konsentrasi 108 sel/ml. Untuk protein sub unit dilakukan pada dosis 25 μg per ikan.
 
Sosialisasi vaksinasi pada ikan harus menjadi sebuah kebijakan, bukan hanya di pemerintah pusat tapi juga dinas yang ada di daerah. Dinas-dinas di daerah perlu menyampaikan informasi pentingnya vaksinasi kepada para penyuluh atau kelompok petani.
 
Sementara secara teknis, bisa meminta kepada para pakar penyakit ikan baik yang ada di perguruan tinggi maupun di UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya yang harus dipersiapakan adalah infrastruktur berupa vaksinator. Keberhasilan vaksinasi sangat ditentukan oleh tenaga yang melakukan vaksinasi. Para tenaga vaksinator ini nantinya diharapkan bisa melayani serta mendampingi petani ikan saat melakukan vaksinasi.
 
Hasil pengujian yang dilakukan Dr Murwantoko bersama rekannya menunjukkan vaksinasi mmberikan perlindungan yang nyata. Ikan yang telah divaksin kemudian diinfeksi dengan penyakit memberikan tingkat kehidupan ikan yang lebih tinggi. Uji di lapangan juga memperlihatkan ikan yang divaksin sanggup bertahan terhadap infeksi alami yang terjadi di lingkungan budidaya. Secara umum pemberian vaksinasi dapat memberi kelulushidupan sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin.
 
Vaksin-vaksin yang sudah ada selama ini baru sebatas produk uji coba yang sebagian besar diproduksi oleh laboratorium. Idealnya, ke depan vaksin akan diproduksi secara industri dan ada ketentuan harga yang pasti. Jadi, harga produk vaksin saat ini belum bisa dijadikan dasar perhitungan riil biaya yang dibutuhkan petani.
 
Masalah teknis vaksinasi juga berpengaruh pada komponen harga. “Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa cara vaksinasi berpengaruh kepada efektivitas vaksin. Semakin efektif teknisnya, semakin sedikit jumlah vaksin yang diperlukan dan otomatis semakin kecil biaya komponen vaksin,” ujar doktor lulusan Nara Institute of Science and Technology, Jepang itu kepada Infovet dalam wawancara tertulisanya.
 
Produsen vaksin masih menemui kendala dalam mengembangkan vaksin di Indonesia. Pertama, terkait dengan pengembangan dan desain vaksin. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah penelitian-peneltian untuk mencari sumber vaksin baru, peningkatan efektivitas vaksin, dan lain-lain. Untuk segmen ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi maupun institusi penelitian.
 
Produksi vaksin dalam hal ini  lebih banyak untuk uji coba dan prototype produksi. Setelah dari segmen tersebut idealnya vaksin diproduksi secara industri untuk produksi dalam skala missal. Supaya bisa diproduksi dan dipasarkan, perlu memperoleh ijin sebagai obat. Pengajuan ijin produksi obat harus dilakukan oleh produsen. Hal tersebut adalah prosedur yang lazim di manapun. Sehingga bukan hambatan, yang lebih tepat adalah bagaimana kerjasama dan sinergisitas antara para kelompok peneliti dengan industri harus lebih ditingkatkan. (nung)

BEF DAN HELMINTHIASIS MASIH JADI MOMOK PETERNAK PEDESAAN

Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan Helminthiasis adalah 2(dua) jenis penyakit yang masih diperkirakan menjadi gangguan kesehatan pada sapi. Sedangkan diare, kembung dan helminthiasis pada jenis ternak kambing adalah yang akan selalu mengancam.
 
Menurut Drh Heru Tri Susilo, staf pada Dinas Pertanian Kotamadya Magelang Jawa Tengah, bahwa ancaman gangguan kesehatan dari penyakit penyakit itu adalah yang sebenarnya merupakan jenis penyakit sangat konvensional.
 
Mengapa begitu, tiada lain oleh karena sepanjang tahun 2012, penyakit itu nyaris menduduki rang­king tertinggi dalam hal laporan para petugas kesehatan hewan di lapa­ngan.
 
Sebagai penyakit sangat konvensional, akhirnya memang seolah menjadikan prediksi di tahun 2013 mendatang masih akan menjadi gangguan kesehatan ternak yang terus berulang. Namun demikian menurut Heru, yang juga bergiat sekali melakukan pendampingan secara langsung terhadap para peternak di pedesaan, problem itu sangat rumit sekali.
 
Lebih lanjut, menurut ayah 2 anak yang juga alumni dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini, bahwa berbicara masalah penyakit pada hewan ternak yang dikelola oleh peternak skala rakyat di pedesaan, tidak hanya bicara pada status kesehatan ternak semata. Namun akan selalu berhubungan dan terkait erat dengan perilaku dan budaya masyarakatnya.
 
Sebagai contoh tentang Helminthiasis, para peternak skala rakyat meskipun tingkat kesadaran terhadap ternaknya sudah lumayan baik dan lebih maju, namun demikian ternyata masih banyak yang sama sekali tidak mau menjalankan program pemberantasan agen penyakit itu secara rutin dan terprogram.
 
Umumnya jika  mereka dalam sebuah kawasan yang tergabung dalam sebuah kandang kelompok kawasan tertentu, maka jauh akan lebih mudah untuk megikuti program pemberantasan penyakit itu. Namun demikian, untuk peetrnak yang masih soliter atau mandiri dalam lokasi kandang pemeliharaan, dapat dipastikan sulit sekali untuk menerima program itu.
 
Padahal sebagaimana diketahui, bahwa program pemberantasan itu haruslah bersifat massif dan terja­dwal dengan baik. Oleh karena itu jika saja, ada satu atau beberapa peternak yang belum mau menerima program pemberantasan sebagai sebuah kebutuhan, sudah pasti akan mempengaruhi tingkat keberhasilan secara menyeluruh.
 
Mengapa demikian???  Oleh karena jika ditilik dari siklus hidup agen penyakit yang satu ini, maka program pengendalian berupa memutus siklus hidup adalah jalan terbaik dan termurah.
 
“Memotong siklus hidup agen penyakit dari Helminthiasis adalah jalan paling efektif dan jelas lebih murah. Namun jika masih ada beberapa peternak yang enggan dan tidak mau menerapkan program pemberantasan secara rutin dan massif maka akan menemui ke­gagalan penuntasannya,” jelas Heru yang juga aktif memberikan penyuluhan terhadap kelompok peternak di Magelang ini. 
 
Heru menuturkan, itulah  salah satu bukti dari perilaku dan budaya masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi besar atas gagalnya pengendalian penyakit.
 
Demikian juga dengan penyakit BEF. Penyakit yang sebenarnya termasuk dalam katagori ringan namun intensitas dan frekuesinya cukup tinggi, tidak akan terlepas dari perilaku dan budaya masyarakat peternak. Sebagai penyakit dengan penyebab berupa agen virus, maka potensi penyebarannya menjadi sangat cepat dan sulit terkontrol jika tidak segera dilakukan penanganannya.
 
Meskipun peternak itu memelihara ternaknya secara soliter, terpisah,  namun, tetap saja mampu menyebarkan agen penyakit itu ke kawasan kandang kelompok dengan berbagai cara dan mekanisme penularan.
 
Heru memberikan contoh nyata tentang sulitnya memberantas penyakit yang disebabkan oleh virus yang se famili dengan virus penyebab Rabies, yaitu Rhabdovirus ini. Sebenarnya penyakit yang juga dikenal sebagai penyakit demam tiga hari ini, relatif mudah untuk dikendalikan jika saja ada kebersamaan dari para peternak dalam suatu kawasan. Gejala klinis yang muncul seharusnya segera dilaporkan kepada petugas kesehatan/Dokter Hewan. Dan kemudian bagi peternak lain yang ternaknya dalam suatu kawasan semuanya harus siaga melalu langkah perbaikan kualitas pakan dan kebersihan lingkungan.
 
Penyakit cukup merugikan karena membuat peternak skala rakyat harus sering mengeluarkan ongkos pengobatan. Maka untuk mencegahnya, menurut Heru harus ada kesadaran bersama untuk menghadapi penyakit itu. Hanya sayangnya memang, butuh waktu lagi untuk merubah pola fikir dan pemahaman akan beberapa penyakit yang meski ringan namun selalu merugikan secara finansial.
 
Berbicara penyakit pada kambing dan domba, menurut Heru memang hanya ada 3 jenis gangguan keseha­tan yang potensial meresahkan peternak pada tahun 2012 dan juga diperkirakan masih akan terulang pada tahun 2013 mendatang. Helminthiasis pada kambing, nyaris sama kasusnya pada ternak sapi, sedangkan kembung dan diare justru berbeda dan termasuk ancaman serius terhadap kesehatan ternak kambing dan domba.
 
Mengapa demikian? Oleh karena kambing dan domba adalah jenis ternak ruminansia yang paling rentan dan berdampak kefatalan. Kefatalan yang dimaksud adalah berupa kematian yang sangat tinggi akibat dari jenis gangguan kesehatan itu. Prevalensi mortalitas hamper lebih dari 70-80% pada kambing dan domba yang terkena gangguan kesehatan kembung dan diare.
 
Menurut Heru, demikian tinggi­nya ancaman gangguan kesehatan itu oleh karena sifat penyakitnya. Pada kasus kembung akan berjalan sangat akut. Sedangkan pada diare meskipun sub akut dan cenderung kronis pada kambing dan domba, namun umumnya penanganannya sering terlambat. Sehingga akhirnya selalu berakhir dengan kematian ternak itu.
 
Atas dasar perilaku dan budaya masyarakat pada umumnya dalam budidaya ternak Sapi, Kerbau, Kam­bing serta Domba di daerah pedesaan, maka menurut Heru tiada lain langkah dan peran Dokter Hewan sangatlah penting dan dibutuhkan sekali. Peran praktisi Dohe di lapa­ngan, kini tidak hanya sekedar memberikan tindakan medis semata, namun juga harus sedikit demi sedikit mempengaruhi pola pikir dan perilaku para peternak. Sehingga bukan saja akan sangat membantu para praktisi Dohe dalam menjalankan tugas, namun sudah pasti akan sangat berpengaruh terhadap kualitas peternak dalam budidaya ternaknya.
(iyo) 

GENJOT POPULASI SAPI 2013 DENGAN PENGENDALIAN PENYAKIT REPRODUKSI DAN PARASIT

Program swasembada daging sapi dan kerbau 2014 sudah diambang mata, namun berbagai masalah masih menjadi hambatan dalam pencapaian program Pemerintah ini. Diantaranya adalah gangguan reproduksi  dan infeksi parasit. Hal itu disampaikan Drh Rosalia Ariyani saat memberikan presentasinya dihadapan puluhan peternak sapi potong dan perah yang tergabung dalam Forum Peternak Sapi Indonesia (FPSI) wilayah Jakarta, Jabar dan Banten di Sentul Bogor, Sabtu (3/10).
 
Acara ini dihadiri juga oleh Direktur Budidaya Ternak Ruminansia Kementerian Pertanian, Ir Fauzi Luthan dan Kepala Balai Inseminasi Buatan Lembang Drh Maidaswar MSi. Pada kesempatan tersebut Drh Rosalia juga didampingi Tim Sanbe Group lain diantaranya Puji Hartono, S. Pt. dan Drh Sofyar.
 
Dalam paparannya Drh Rosalia menguraikan dari data hasil rilis awal PSPK 2011 Kementerian Pertanian bahwa populasi sapi potong tahun pada 2003 sebesar 10.177.299 ekor, sementara pada tahun 2011 berdasarkan sensus berjumlah 15.402.188 ekor. Sehingga diketahui angka pertumbuhan sapi potong per tahun mencapai 653.000 ekor/tahun atau 5,32% per tahun.
 
Sementara jika ditilik dari pola penyebaran sapi potong, Pulau Jawa menjadi yang terbesar dengan jumlah populasi mencapai 7,5 juta ekor atau 50,74%. Disusul Sumatera de­ngan 2,7 juta ekor (18,40%), Bali dan Nusa Tenggara dengan  2,1 juta ekor (14,19), Sulawesi dengan 1,8 juta ekor (11,97%) dan sisanya tersebar di Kalimantan, Maluku dan Papua.
 
Lebih lanjut Drh Rosalia menjelaskan seputar akselerasi produktivitas untuk sapi potong dan sapi perah. Dimana untuk sapi potong lebih bertumpu pada program pembibitan dan penggemukan, sementara untuk sapi perah selain bertumpu pada program pembibitan juga pada peningkatan manajemen untuk meningkatkan produksi susu.
 
Drh Rosalia menguraikan secara lebih gamblang soal penyebab bebe­rapa faktor yang turut menghambat produktivitas. Diantaranya adalah jumlah sapi betina non produktif di Indonesia yang jumlahnya mencapai 50% sapi betina dewasa. Berbagai gangguan reproduksi yang umum ditemui diantaranya adalah silent estrus, anestrus, cystic ovary, mumifikasi fetus, sindroma metritis mastitis, dll. Semua gangguan penyakit tersebut menyebabkan angka service per conception (S/C) yang tinggi, calving internal yang panjang dan kematian pedet pra sapih yang tinggi.

Kerugian Nasional Capai 8,2 Trilyun/Tahun Akibat Cacingan
Di lain pihak infeksi cacing pada sapi juga menimbulkan dampak yang tidak kalah merugikan, mulai dari gangguan pencernaan,      malabsorbsi, turunnya intake pakan, dehidrasi, anemia, turunnya daya tahan tubuh, kurus, diare, dan menurunnya kualitas karkas dan fertilitas.
 
“Menurut penelitian Siregar tahun 2003, infeksi cacing menyebabkan keterlambatan berat badan per hari 40% dari sapi normal (potong) dan penurunan produksi susu 15% (pe­rah),” jelas Drh Rosalia.
 
Rosa menjabarkan potensi kerugian akibat cacingan ini adalah kehilangan penambahan berat badan yaitu 0,6 kg/ekor/hari  x 40% = 0,24 kg/ekor/hari. Maka kerugian untuk skala 1000 ekor sapi adalah = 1.000 ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25% = 60 kg/hari. Sehingga dalam setahun (365 hari) mencapai 21.900 kg daging sapi hi­dup. Jika diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000, maka kerugian per 1.000 ekor sapi mencapai 1,68 Milliar/tahun.
 
Lebih jauh, Rosa juga menghitung potensi kerugian secara nasional dengan populasi sapi potong berdasarkan hasil sensus 2011 yaitu 15 juta ekor, maka akan didapat potensi kerugian secara nasional yaitu (15 juta ekor x 0,24 kg/ekor/hari x 25%) x 365 hari = 328.500.000 kg da­ging sapi hi­dup/tahun. Yang apabila diasumsikan harga daging hidup per kg adalah Rp 30.000 maka kerugian secara nasional mencapai  Rp 9.855.000.000.000/tahun atau Rp 9.8 Trilyun/tahun.
 
Untuk itu dalam rangka penanggulangan sistem reproduksi Drh Rosalia menganjurkan pe­ngobatan gangguan hormonal sapi betina de­ngan hormon prostaglandin (CAPRIGLANDIN®). Selain itu untuk me­ngatasi infeksi saluran reproduksi sapi betina pasca melahirkan dilakukan dengan pengobatan kemoterapeutik/antibiotik topikal (COLIBACT® Bolus).
 
Sementara untuk memberantas penyakit cacing pada sapi potong dapat digunakan obat cacing berspek­trum luas (VERM-O®, FLUKICIDE®, dan KLOSAN®) yang diberikan setiap 3-6 bulan sekali.
 
Menurut Rosalia pemberian CAPRIGLANDIN® dapat mening­katkan angka kelahiran dari 50% menjadi 75%. Sementara pemberian COLIBACT® Bolus dapat mencegah endometritis dan infeksi bakteri sa­luran reproduksi serta meningkatan S/C (keberhasilan kebuntingan per konsepsi). Sementara obat cacing dari Sanbe yang disarankan adalah VERM-O® juga terbukti mampu mengembalikan pertambahan berat badan menjadi normal.

Mastitis Bikin Untung Semakin Tipis
Pada kesempatan yang sama Rosa juga mengulas tentang penyakit mastitis atau radang ambing yang menyebabkan kerugian paling besar dalam peternakan sapi perah akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya pera­watan dan pengobatan yang mahal.
 
Menurut Rosa, Penyebaran penyakit mastitis dapat melalui peme­rahan yang tidak mengindahkan kebersihan, alat pemerahan, kain pembersih puting, dan pencemaran dari lingkungan kandang yang kotor. Mastitis dapat disebabkan oleh beberapa bakteri, antara lain adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, dan E. Coli. Mastitis merupakan inflamasi pada ja­ringan ambing yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Mikroorganisme yang biasa menyebabkan mastitis adalah bakteri yang masuk dalam ambing, berkembangbiak dan memproduksi toksin dalam glandula ambing seperti Staphylococcus aureus dan E. Coli.
 
Mastitis sangat rawan terjadi saat setelah pemerahan, awal masa laktasi, dan awal masa kering kandang. Persentase kejadian mastitis subklinis pada sapi perah di Indonesia mencapai 95-98%, sedangkan 2-3% merupakan mastitis klinis yang terdeteksi.
 
Namun saat ini peternak tidak perlu khawatir karena Sanbe dapat membantu memberikan solusi pe­ngobatan dan pencegahannya. Diantaranya dengan pengobatan mastitis saat kering kandang menggunakan DRYCLOX® untuk mengobati mastitis pada sapi yang disebabkan infeksi bakteri gram positif dan negatif. Sementara untuk pengobatan mastitis saat laktasi, Sanbe memiliki CLOXALAK® dan MASTILAK® 
 
Rosa juga mencontohkan potensi kerugian akibat mastitis subklinis dengan populasi 1.000 ekor, rata-rata produksi susu 15 liter/ekor/hari, penurunan produksi susu akibat mastitis subklinis 15% dan asumsi harga susu/liter Rp 3.800. Maka, kerugian bisa mencapai Rp  1.346.625.000 atau Rp  1.35 Milyar.
 
Sementara biaya program pencegahan mastitis menggunakan DRYCLOX® atau CLOXALAK® dari Sanbe tidak lebih dari 10 % dari biaya kerugian tersebut, sehingga dapat mening­katkan produksi air susu sapi yang lebih besar.
 
Drh Rosalia juga menganjurkan agar pengendalian mastitis lebih berhasil peternak dituntut untuk selalu menjaga kebersihan/higienis dalam tata laksana pemeliharaan, misal :
  • Kebersihan kandang
  • Kebersihan sapi termasuk membersihkan daerah lipat paha sapi yang akan diperah
  • Kebersihan peralatan perah (ember, alat takar, milk can dll)   
  • Kebersihan/mencuci mesin peme­rah atau tangan pemerah sebelum dan sesudah pemerahan
  • Mencuci ambing dengan air bersih dan lap dengan kain bersih, kain untuk masing-masing am­bing
  • Program tits dipping sebelum dan sesudah pemerahan
  • Monitor mastitis menggunakan  CMT.
  • Pengobatan mastitis
“Dengan upaya yang lebih fokus sapi potong dan sapi perah dapat le­bih ditingkatkan produktivitasnya,” pungkas Drh Rosalia Ariyani.
 (wan)

PEMBERANTASAN RABIES PERLU PERAN SERTA BANYAK PIHAK


"Tuntutan atas kualitas vaksin rabies yang baik menyeruak seiring dengan sulitnya rabies diberantas di daerah endemik."
- Prof. Bambang Sektiari, FKH UNAIR.


Rabies merupakan penyakit paling mematikan yang bersumber dari hewan, maka di Indonesia jika hanya mengandalkan peran dari satu instansi/lembaga Pemerintah, sudah pasti akan sangat sulit untuk me­ngatasinya sampai kapanpun. Apalagi untuk memberantas hingga tuntas, akan memakan waktu yang lama dan panjang. Untuk itu peran serta banyak pihak secara sinergis akan membuahkan hasil yang jauh lebih cepat, lebih konkrit, dan lebih baik.

Peran serta Sanbe Group dalam hal ini PT Caprifarmindo Laboratories, jelas merupakan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam usaha pemberantasan rabies terutama di negeri ini agar dapat segera mendeklarasikan sebagai negara atau setidaknya daerah yang bebas dari penyakit Rabies.

Demikian cuplikan wawancara singkat dengan Prof. Dr. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA dengan Infovet usai presentasinya di forum Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-12 di Hotel Saphir Yogyakarta.
Menurut Prof Bambang, Rabies sebagai penyakit zoonosis sudah lama diketahui ada di muka bumi ini. Korban tewas yang ditimbulkannya sudah terlalu banyak, maka jika tidak ada inisiatif dan peran nyata dari masyarakat dan pihak-pihak swasta, maka kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan. 

“Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dalam setahunnya korban meninggal karena tertular penyakit Rabies mencapai 55.000 orang di seluruh belahan bumi ini. Terbanyak berada di benua Asia dan Afrika,” papar Prof Bambang yang merupakan seorang ayah dari 4 orang anak ini.

Selanjutnya Doktor lulusan Universitas Rene Descartes (Paris V), Perancis 1997, mengungkapkan bahwa benua Asia dan Afrika masih merupakan daerah endemis yang menyeramkan. Di Indonesia sendiri sampai saat ini, hampir sebagian besar provinsinya masih merupakan daerah tertular dan belum bebas dari penyakit itu. Menurut catatan dari Kementerian Pertanian RI, hanya Jawa Tengah dan Jawa Timurlah yang dinyatakan sebagai daerah yang bebas dari penyakit itu.

Di Indonesia problema klasik dalam pemberantasan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis adalah kompleks. Koordinasi antar instansi terkait belum sinergis, dan diperparah dengan kurangnya ketersediaan vaksin yang memadai dan berkualitas. Koordinasi memang gampang diucapkan, namun pada realitas di lapangan merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan.

Instansi yang kompeten membuat dan menyediakan vaksin untuk kasus penyakit itu, ternyata belum mampu untuk secara signifikan berkontribusi terhadap permasalahan klasik ini.  Peran serta banyak pihak memang menjadi sebuah keharusan agar penyakit zoonosis itu dapat dienyahkan, atau setidaknya semakin dipersempit kawasan geografis yang menjadi daerah endemis.

Berbicara masalah produk vaksin yang mempunyai peran penting dalam pemberantasan penyakit Rabies di Indonesia ini, menurut Prof Bambang yang juga Koordinator Bidang Akreditasi Pusat Penjaminan Mutu dan Mantan Ketua LPPM Universitas Airlangga Surabaya itu, bahwa ketersediaan terkait jumlah dosis mungkin dapat diatasi, namun terkendala dalam distribusi dan aplikasi di lapangan.

“Selain itu mungkin yang pa­ling memprihatinkan adalah kualitas vaksin yang ada di lapangan. Tuntutan mutu vaksin yang berkualitas agar menghasilkan tingkat proteksi yang optimal dari hewan yang divaksinasi akan semakin meningkat. Bukan saja untuk memberikan perlindungan, namun juga aspek lama proteksi yang didapatkan,” ujar pria yang tahun ini genap berusia 50 tahun ini.

Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia yang selama ini terpublikasi, bahwa kegagalan vaksinasi rabies tidak hanya disebabkan karena level proteksi yang rendah dan program pelaksanaannya yang belum optimal. Namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah produk vaksinnya yang belum mampu memberikan proteksi dalam jangka lama.

Ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan titer antribodi pasca vaksinasi yang rendah meskipun dalam jangka waktu yang pendek pasca vaksinasi. Atas kondisi tersebut mendesak munculnya inovasi yang menghasilkan vaksin rabies dengan potensi proteksi yang tinggi dan efek proteksi bertahan lama.

Dengan demikian tutur pria kelahiran Surabaya, 11 Agustus 1962 yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Klinik Veteriner pada Januari 2009 silam, peran serta pihak manapun dalam rangka untuk meredam ancaman penyakit hewan yang zoonosis itu harus diterima dengan tangan terbuka dan didukung penuh oleh semua pihak, khususnya Pemerintah.

PT Caprifarmindo Laboratories, sebagai perusahaan nasional yang berskala internasional, akhirnya mampu menjawab problema kompleks dari pemberantasan penyakit rabies ini. Melalui produk vaksin rabiesnya CAPRIVAC RBS®, vaksin produksi Capri ini telah sesuai dengan harapan Prof. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA.

Vaksin ini memiliki standar kualitas melebihi kualitas vaksin yang selama ini beredar di pasaran. Apalagi didukung sistem distribusi yang mampu menjangkau wilayah Indonesia yang luas.

Dari hasil pengujian dibuktikan vaksin rabies Caprifarmindo mampu memberikan proteksi yang optimal serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga aman untuk aplikasi di lapangan.

Presentasi Prof Bambang, menjadi sangat istimewa oleh karena dipaparkan dalam forum yang sangat berkelas bagi para dokter hewan praktisi di Indonesia, yaitu KIVNAS yang berlangsung sejak tanggal 10-13 Oktober 2012 di Yog­yakarta. (iyo/infovet nov 12)

BENARKAH “CLOSED HOUSE” MENYIMPAN SEGUDANG PENYAKIT?

Memang di lapangan banyak muncul pertanyaan kritis oleh peternak yang sedang diperkenalkan tentang sistem pemeliharaan kandang tertutup atau Closed House (CH). Mulai yang benar-benar mengkritisi system itu sampai ke jenis pertanyaan yang cenderung menyesatkan. Demikian paparan Ir Dhanang Purwantoro ketika tulisan Infovet edisi Maret 2012 yang lalu mengupas tentang CH dan banyak muncul perasaan skeptis dari yang belum menerapkan sistem itu.
 
Beredar informasi menyesatkan bahwa CH menjadi sarang aneka penyakit bagi kawasan sekitar, juga tentang aneka penyakit jamur yang tumbuh subur di kawasan sekitar dan bahkan ada informasi tentang tingginya kasus penyakit pernafasan dan penyakit lain yang penularannya melalui udara.
Dengan ringan Dhanang menjawab aneka keraguan yang belum menerapkan itu dengan mengajaknya berkunjung dan bertanya langsung yang sudah menerapkan sistem itu. Para peternak yang sedang berminat dan belum mengaplikasikan sistem itu dipersilakan bertanya langsung kepada peternak lain yang sudah menerapkannya.
 
Hasilnya berupa tanggapan yang memang beraneka ragam. Ada yang langsung memutuskan untuk mengaplikasikan dan ada yang masih terus berfikir ulang. Namun demikian mayoritas yang berminat akan dengan mantap untuk segera menerapkan sistem itu. Sebuah keraguan adalah hal yang biasa dialami oleh pelaku bisnis termasuk peternak. Sebab dengan keraguan akan muncul banyak pemikiran dan pertimbangan sehingga akhrinya dibuatlah sebuah keputusan.
 
Jika saja CH masih banyak persoalan dengan penyakit dan juga dengan hasil/ produktifitas, maka tentu saja CH sudah tidak akan lagi diaplikasikan dan berhenti dalam pengembangan dan penyempurnaan. Buktinya bahwa sistem CH di luar negeri menjadi keharusan dan di Indonesia sendiri, hingga saat ini terus berkembang dan menjadi pilihan para peternak yang cerdas dan ingin meraih keuntungan berlipat.
 
“Kalau memang CH menjadi masalah baru dalam sistem pemeliharaan ayam, maka sudah pasti tiada lagi pengembangan dan penyempurnaan sistem itu, bahkan tidak ada lagi yang membuat peralatan pendukung untuk sistem itu. Namun buktinya, justru model dan bentuk peralatan pelengkap untuk CH terus diperbarui dan terus disempurnakan oleh para produsennya. Ini bukti nyata bahwa CH bukan menjadi biang munculnya aneka penyakit” ujar Dhanang dengan tegas, menolak sinyalemen yang salah.
 
Dhanang memang mengakui, banyak penawaran pembuatan CH yang diterima oleh para peternak di Indonesia, dengan tidak jelas jejak rekam perusahaannya. Kandang yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit itu, meskipun mampu memberikan peningkatkan produktifitas, ternyata ada yang tidak sepadan dengan nilai investasinya. Hal itu menurut Dhanang oleh karena ada segelintir perencana dan pembuat konstruksi kandang CH yang tidak menerapkan layanan lengkap atau paripurna. Antara perencana dan penyedia perlengkapan CH tidak satu atap, sehingga akan menghasilkan kandang sistem CH yang asal-asalan. “Jika perencana dan equipment untuk kandang CH tidak kualified, maka hanya akan menghasilkan kandang CH “ecek-ecek” dan barangkali benar jika kemudian banyak aneka penyakit dan gangguan pertumbuhan pada ayam-ayamnya” tegas Dhanang.
 
Sepertinya Dhanang memang berniat menyanggah pendapat yang salah tentang sistem kandang tertutup, maka kepada Infovet ditawarkan untuk melihat sendiri di lapangan akan hasil yang diperoleh para peternak yang sudah mengaplikasikan CH. Memang benar adanya, bahwa ada beberapa konstruksi CH yang asal-asalan, meski equipment yang digunakan berkualitas relative bagus. Akhirnya memang kurang optimal, alias tidak setara dengan nilai investasi pembuatan kandang CH. Sedangkan pada CH dengan disain konstruksi dan equipment yang sesuai rekomendasi pembuat peralatan, akan diperoleh hasil yang sungguh mencengangkan.
 
Bahkan ketua APAYO Drh Hary Wibowo, dengan nada berkelakar bahwa jika CH sudah banyak menjadi pilihan peternak, akan mengancam para peternak skala menengah seperti dirinya.
“Kalau CH sudah banyak diterapkan oleh para peternak, maka tidak perlu ada lagi model kemitraan, karena hasil pemeliharaan dengan sistem itu mampu memelihara dalam jumlah banyak dalam satu kandang dan irit tenaga kerja. Sedangkan model kemitraan, sampai saat ini lebih cenderung memberi kesempatan peluang usaha kepada para peternak skala gurem” jelasnya.
 
Berkaitan dengan intensitas gangguan kesehatan atau serangan penyakit pada kandang CH, menurut Hary, memang harus diakui menjadi sangat minimalis. Artinya problema penyakit yang sering menjadi masalah pada sistem terbuka, akan dipangkas pada titik terkecil dan sebaliknya produktifitas akan mencapai titik maksimal. Hal yang sama ditekankan oleh Dhanang, bahwa CH akan membuat produktifitas ayam mencapai titik optimal, dengan resiko gangguan kesehatan atau serangan penyakit sangat rendah sekali.
Di samping itu, memang harus diakui pula, bahwa tingkat keseragaman pertumbuhan dapat terjaga dengan baik. Namun dengan catatan jika CH dibuat dengan aturan yang benar. Disain dan equipment yang ditawarkan oleh Dhanang, memberikan jaminan akan hasil yang memuaskan. Dan bahkan ia mengklaim sebagai perencana dan pelaksana pembuatan CH yang terbaik di Indonesia sampai saat ini.
 
Infovet yang melihat dan membuktikan di lapangan pada kandang CH hasil pekerjaan Dhanang, bahwa aspek uniformitas/ keseragaman pertumbuhan nyaris mencapai 95% atau jauh di atas rata-rata keseragaman pertumbuhan pada sistem kandang terbuka yang hanya mencapai 65-75% saja. Dan dari hasil recording /catatan harian, terlihat sekali tingkat mortalitas yang sangat rendah sekali dan bahkan nyaris total dalam periode pemeliharaan selalu di bawah 1%. Sebuah angka yang selalu dinanti dan diharapkan oleh para peternak.  Memang harus diakui, bahwa meski secara kasat mata terlihat, bahwa begitu padat dan rapat populasi ayam dalam suatu kandang, namun ternyata ayam sangat nyaman dan tidak terlihat sedikitpun ayam terganggu dalam bernafas maupun gerakannya. Inilah yang dimaksud dengan efisiensi ruangan dan kenyamanan.
 
Selanjutnya terkait dengan informasi adanya gangguan penyakit yang berasal dari Jamur dalam pakan dan penyakit CRD kompleks, Dhanang menyanggah dan menjelaskan akan sinyalemen itu. Memang tidak salah jika sinyalemen akan munculnya penyakit itu pada kandang CH, namun itu terjadi umumnya pada kandang CH yang konstruksinya ecek-ecek. Mengapa bissa terjadi demikian ? Oleh karena umumnya, kandang CH yang dibangun tidak sesuai dengan disain yang benar, justru akan menjadi masalah bagi ternak yang berada di dalamnya. Kasus penyakit oleh karena jamur yang terjadi pada CH ecek-ecek, lebih disebabkan mekanisme penyimpanan dan pengelolaan pakan yang tidak baik. Pada CH yang baik, lanjut Dhanang, tempat utama pakan / silo,ada treatment pakan sebelum di alirkan ke tempat-tempat pakan pada kandang. Sehingga potensi terjadi kontaminasi agen infeksi jamur relative akan sangat kecil terjadi. Begitu juga dengan tangki penyimpan air minum yang selalu rutin mendapatkan treatmen, maka akan diperoleh air minum yang sangat hiegynis. Jadi CH konstruksi yang ditawarkan Dhanang dengan tempat pakan dan minum yang serba otomatis.
 
Selain itu, sistem pengatur udara yang bersifat otomatis dan didukung mega blower keluar/ exhaust fan yang penempatannya selalu diperhitungkan dengan matang, maka potensi gangguan penyakit CRD ataupun penyakit pernafasan lainnya,  akan sangat kecil terjadi. Penempatan mega blower yang asal pasang, tidak sesuai dengan seharusnya, maka tidak akan mampu memberikan kenyamanan ayam yang berada di dalam. Mega blower tidak hanya berfungsi untuk membantu mengatur suhu udara di dalam kandang saja, namun juga berfungsi membuang gas amoniak dan sulfida yang  menjadi gas iritans pada sistem pernafasan ayam. Dengan demikian, efek buruk gas iritans itu tiada akan merusak kesehatan ayam. Sebab gas itu menjadi pemicu awal munculnya gangguan pernafasan yang disebabkan oleh agen penyakit virus, mycoplasma maupun bakteri serta jamur.
 
Pada kandang CH 'ecek-ecek' sering justru kasus penyakit CRD maupun mycotoxin, memang menjadi masalah serius setelah kasus penyakit konvensional lainnya mampu ditekan. Hal itu jelas sekali oleh karena penempatan dan penataan alat pengatur suhu ruangan yang salah dan atau kurang tepat. Juga oleh karena pengatur suhu ruangan yang tidak bersifat otomatis. Mestinya jika mau menerapkan CH, maka semua haruslah bersifat otomatis, dengan mengurangi kontak sekecil mungkin pekerja dengan ayam.
 
Kasus penyakit CRD ataupun penyakit lainnya yang penularannya lebih cenderung melalui udara, pada kandang sistem CH akan dapat ditekan sekecil mungkin. Namun dengan syarat, bahwa disain dan konstruksi CH harus sesuai dengan rekomendasi termasuk peralatan yang digunakan.(iyo)

BAGI-BAGI TELUR DI PERINGATAN HARI TELUR SEDUNIA

Asosiasi Perunggasan baik petelur maupun pedaging di bawah koordinasi Pusat Informasi dan Pasar (Pinsar) Unggas Nasional mengkampanyekan Hari Telur Sedunia yang jatuh pada 8 Oktober 2010 di Bundaran HI, Jakarta.

Koordinator kampanye Hari Telur Sedunia, Ricky Bangsaratu, yang dijumpai Infovet di lokasi kampanye, Jumat (8/10), mengatakan target acara tersebut lebih menekankan agar konsumsi telur meningkat dan mempersiapkan agenda bulanan yang direncanakan bekerjasama dengan Kementerian Pertanian.

Perkembangan perunggasan nasional telah jauh beranjak. Tantangan yang dihadapi juga kian beragam dan kompleks. Sampai kini, sekalipun berbagai perkembangan telah berlangsung, namun tingkat konsumsi telur per kapita nasional belum juga mencapai 5 kg. Jauh dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara sekalipun.

Ini disebabkan masih banyak anggota masyarakat kita yang belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya kandungan gizi asal telur bagi kesehatan, pertumbuhan, kecerdasan anak-anak dan keluarga, serta produktifitas. Di sisi lain, dari kalangan terdidik juga masih banyak persepsi yang keliru tentang telur. Kenyataan menunjukkan sebaliknya, rokok yang mengandung racun berbahaya, tingkat konsumsinya jauh lebih tinggi dibanding dengan konsumsi telur. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya kampanye gizi ini.

Tanggal 8 Oktober, adalah hari Telur Se-Dunia (World Egg Day). Salah satu momen terbaik bagi masyarakat perunggasan, untuk mengingatkan kembali kepada sesama insan perunggasan bahwa ada tugas besar tentang peningkatan konsumsi telur nasional.

“Maka adalah penting bagi segenap anggota Pinsar Unggas Nasional dan seluruh stakeholder perunggasan nasional untuk terus menyatu dan melakukan aksi Kampanye Gizi. Aksi-aksi yang menciptakan simpati dan mengedukasi masyarakat agar masyarakat semakin tercerahkan akan pentingnya nilai gizi dalam produk unggas, khususnya telur. Tidak saja bagi kesehatan keluarga, tetapi juga bagi masa depan anak bangsa,” ujar Ricky Bangsaratu .

Kampanye gizi lewat aksi pembagian 12.000 butir telur rebus dilaksanakan di Bundaran Hotel Indonesia dan melibatkan publik figur yang identik dengan icon kesehatan, kekuatan dan prestasi. Diantaranya adalah Rikas (L-Men of the year 2010), Hadi Yulizar (Top 5 L-Men 2007), Kris T. Lalamentik (Runner Up L-Men 2006), Davi (Binaragawan Nasional) dan Nania (Indonesian Idol).

“Kampanye Hari Telur Sedunia ini merupakan yang pertama di Indonesia. Acara ini diperingati dunia pada tiap Jumat kedua bulan Oktober,” kata Vinca Lestari Dharmawan, Ketua Bid. Layer Pinsar yang juga panitia kampanye. Dalam kesempatan tersebut, mereka mensosialisasikan manfaat telur sebagai makanan yang aman untuk dikonsumsi. Telur adalah sumber protein terbaik dan termurah untuk anak-anak hingga orangtua dan sarapan telur bisa melangsingkan.
Selain itu, putih telur bisa meringankan demam berdarah dan telur kaya dengan kandungan protein, energy, folat, albumin, kolin, lecithin, iron, riboflavin, niacin, magnesium, potassium, natrium, lipid, vitamin A, lutein dan zeaxanthin.

“Kampanye yang dilakukan sebanyak 120 orang tersebut merupakan anggota asosiasi perunggasan dari Jawa, Sumatera dan Bali. Setelah acara ini akan diadakan rapat evaluasi dan jika acara ini dinilai berhasil maka kampanye akan dilakukan setiap tahun dan bisa merangkul daerah lain,” kata Ricky menambahkan.

Selain asosiasi peternak, kampanye ini juga mendapat dukungan dari perusahaan yang bergerak dibidang perunggasan diantaranya adalah perusahaan integrator perunggasan dan produsen/distributor obat hewan. Dengan semboyan “1 Telur Sehari Anda Pasti Sehat”, diharapkan di masa mendatang kegiatan kampanye yang berlangsung secara kontinyu dan terencana akan mampu meningkatkan konsumsi telur nasional. Tidak saja untuk meningkatkan konsumsi protein hewani yang mencerdaskan anak bangsa, namun juga untuk menggerakan ekonomi rakyat, kemandirian bangsa dan ketahanan pangan nasional.

Lima Manfaat Terbaik dari Telur
Terdapat 5 manfaat terbaik yang didapatkan dari mengkonsumsi telur yaitu sebagai nutrisi penting karena kaya akan vitamin, mencegah penyebaran Food-Borne Phatogen E Coli, Mencegah kadar kolesterol dalam darah, sangat baik untuk kesehatan mata dan memiliki protein yang tinggi.

Telur adalah sumber protein yang relatif murah. Selain itu juga telur mengandung choline, zat yang diperlukan oleh tubuh supaya tetap sehat terutama untuk perkembangan otak dan memori.

Nutrisi penting, telur mengandung berbagai nutrisi penting yaitu protein, vitamin A, D, E, dan B, fosfor dan zinc. Berkadar lemak dan kalori rendah. Satu butir telur hanya mengandung 80 kal. Inilah yang membuat telur sangat disarankan saat seseorang menjalani diet.

Mencegah penyebaran Food-Borne Pathogen, E Coli. Putih telur memiliki peran yang sangat penting mencegah penyebaran bakteri. Menurut penelitian oleh peneliti di Jepang, adalah zat peptide (yang ada ditelur) yang mengikat bakteri E.Coli dan mencegah untuk bisa menyebar.

Mencegah kadar kolesterol dalam darah. Tidaklah benar jika ada yang berpendapat bahwa telur meningkatkan kadar kolesterol darah. Tetapi sebaliknya menurut penelitian di Universitas Harvard, tidak ada hubungan antara penyakit kardiovaskular dan makan telur. Telur hanya mengandung 5 gram lemak dan hanya terdiri dari lemak jenuh. Tanpa mengandung lemak tak jenuh, yang memicu kenaikan kolesterol.

Baik bagi mata, pada telur terdapat Lutein dan Zeaxanthin. Dua zat ini membantu menjaga kesehatan mata dan melindungi mata dari efek ultraviolet sinar matahari. Selain itu juga 2 zat ini mengurangi risiko terkenanya penyakit Age-related Macular Degeneration, salah satu penyebab kebutaan bagi orang yang berusia diatas 65 tahun. Juga sudah dibuktikan bahwa dengan memakan telur, dapat mengurangi risiko penyakit katarak.

Sebagai sumber protein tinggi. Seperti yang sering dikatakan orang tua dulu, kalau telur sumber protein dan karena itu telur digunakan sebagai standarisasi dari sumber protein yang lain. Protein berfungsi untuk memperbaiki organ tubuh. Otot, kulit, dan organ-organ tubuh semua tersusun dari protein. Protein sendiri terdiri dari 20 zat asam amino yang berbeda-beda, dan 9 di antaranya tidak diproduksi oleh tubuh kita sendiri. Telur mengandung 9 zat penting dan asam amino, yang berfungsi meningkatkan kadar protein dalam tubuh.

Makan Telur Dapat Menurunkan Berat Badan
Makan telur sangat mengenyangkan terlebih lagi semua kandungan protein dan zat gizi di dalamnya terpenuhi. Makan telur 1-2 butir tiap hari membuat orang gampang merasa kenyang sehingga bisa menurunkan berat badan.

Itulah mengapa pada tahun 1979, mantan perdana menteri Inggris Margaret Thatcher bisa mengurangi berat badannya dalam jangka waktu singkat dengan mengonsumsi 28 butir telur dalam seminggu.

Makan sebutir telur tiap hari mencukupi kebutuhan 20 persen konsumsi harian manusia. Sehingga setelah makan telur orang tidak perlu lagi berlebihan mengonsumsi makanan lainnya.
Sebuah tim peneliti yang melakukan penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa orang yang makan telur memiliki hampir semua zat gizi yang lebih tinggi daripada orang yang tak mengonsumsi telur.

“Manfaat kesehatan dari telur tampak sangat besar. Sehingga mungkin tidak berlebihan jika menyebutnya makanan super. Telur merupakan makanan yang paling bergizi dari semua makanan yang ada,” kata Dr Carrie Ruxton, seorang ahli diet independen dan penulis laporan, seperti dilansir dari Dailymail, Rabu (10/3/2010).

Telur bisa dianggap ‘makanan super’ karena selain dapat meningkatkan kesehatan juga dapat melawan obesitas. Dan menurut ahli gizi, makan telur satu butir sehari dapat menurunkan berat badan.

Studi yang dirilis ini akan dipublikasikan pada bulan Juni dalam jurnal Nutrition and Food Science. Studi ini meneliti 71 penelitian dan bahan referensi yang memeriksa komposisi gizi telur dan perannya sebagai makanan.

Peneliti menemukan bahwa telur tidak hanya rendah kalori, tetapi juga merupakan sumber kaya protein dan dikemas dengan zat gizi yang penting bagi kesehatan, terutaman vitamin D, vitamin B12, selenium, dan kolin. Telur adalah makanan ideal pada setiap tahap kehidupan serta mudah dimasak dan menyenangkan untuk dimakan.

Sebuah laporan juga menegaskan bahwa diantara makanan protein, telur mengandung campuran asam amino esensial terkaya. Ini sangat penting untuk anak-anak, remaja, dewasa muda karena keseimbangan yang tepat diperlukan untuk pertumbuhan dan perbaikan. Dalam telur juga ditemukan antioksidan yang tinggi, yang dapat membantu mencegah penuaan terkait macular degeneration yang menyebabkan kebutaan.

Kelompok-kelompok tertentu yang mendapatkan manfaat dengan makan lebih banyak telur yaitu kaum muda, pecinta daging dan orang-orang yang menghindari susu.

Temuan kunci adalah bahwa telur merupakan makanan penting sumber vitamin D dan dapat memberikan kontribusi yang signifikan untuk meningkatkan asupan harian vitamin D. Rendahnya kadar vitamin D dikaitkan dengan sejumlah kondisi medis seperti kerusakan tulang, kanker, penyakit jantung, multiple sclerosis, gangguan kekebalan tubuh dan masalah-masalah kesehatan mental.

Temuan terbaru yang didanai oleh British Egg Industry Council, mengatakan bahwa satu atau dua telur sehari tidak berpengaruh pada kolesterol total bagi kebanyakan orang. Menurut Dr Ruxton, ada manfaat gizi yang nyata bila makan telur tiap hari. Bukti menunjukkan bahwa telur dapat berguna untuk mengenyangkan, mengendalikan berat badan dan juga untuk kesehatan mata. (Red)

DKI Jakarta Waspada Rabies, Perketat Pengawasan Lalu Lintas Hewan Penular

Oleh:
Drh Rudewi
Medik Veteriner Madya
Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta

Berjangkitnya wabah rabies di beberapa Kabupaten di Propinsi Banten baru-baru ini telah memberikan kekhawatiran penularan kepada propinsi di sekitarnya. Rabies dinyatakan telah berjangkit di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Kota Sukabumi Propinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak Propinsi Banten sesuai Kepmentan No.3600/Kpts/PD.640/10/2009.

Sementara itu Propinsi DKI Jakarta yang dinyatakan bebas Rabies sejak tanggal 6 Oktober 2004 berdasarkan Kepmentan No.566/Kpts /PD.640/10/2004 semakin menguatkan kewaspadaan terhadap penyebaran penyakit yang dapat menular ke manusia ini. Sebelumnya status nol kasus rabies ini terus dipertahankan selama kurang lebih 9 tahun.

Peningkatan kewaspadaan dilakukan melalui pengetatan pengawasan lalu lintas hewan penular rabies, pasalnya DKI Jakarta saat ini telah dikepung oleh daerah penyangga (immune belt) yaitu daerah yang berbatasan langsung dengan daerah tertular. Pengawasan terhadap hewan rentan rabies, serta pencegahan dan penanggulangannya ini pun telah diatur dalam Perda DKI No. 11 Tahun 1995.

Rabies atau penyakit Anjing Gila adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh virus, bersifat akut karena menyerang susunan syaraf pusat pada hewan berdarah panas maupun manusia yang menderita.

Rabies sangat ditakuti karena bersifat zoonosis dan merupakan penyakit yang sangat berbahaya apabila gejala klinis yang timbul selalu diikuti dengan kematian baik pada hewan maupun manusia dan sampai saat ini belum ada obatnya.

Semua hewan berdarah panas dapat menularkan rabies. Anjing, kucing dan kera termasuk hewan yang sangat berpotensi dalam menularkan rabies dan lebih dari 90 % kasus rabies di Indonesia ditularkan oleh anjing, sehingga anjing menjadi obyek utama dalam pemberantasan rabies. Virus rabies masuk kedalam tubuh manusia atau hewan melalui luka akibat gigitan hewan penderita rabies maupun luka yang terkena air liur hewan atau manusia penderita rabies.

Ada 2 macam gejala rabies yaitu Rabies ganas dan Rabies tenang. Rabies ganas ditandai dengan hewan menjadi ganas menyerang atau menggigit apa saja, ekor dilengkungkan di bawah perut diantara dua kaki, tidak menurut lagi pada perintah pemilik, air liur keluar berlebihan, kejang-kejang kemudian lumpuh dan biasanya hewan mati setelah 4-7 hari sejak timbul gejala atau paling lama 12 hari setelah penggigitan.

Sedangkan untuk rabies tenang ditandai dengan hewan menjadi suka bersembunyi ditempat gelap dan sejuk, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar berlebihan, kejang-kejang berlangsung singkat bahkan sering tak terlihat, kelumpuhan serta kematian dapat terjadi dalam waktu singkat.

Pencegahan dan Kewaspadaan
Pemilik atau pemelihara hewan penular rabies wajib untuk memelihara hewan yang sudah tertular rabies di dalam rumah atau pekarangan rumah. Bila rumah tidak dipagar maka anjing harus dirantai kurang lebih 2 meter. Apabila dibawa keluar rumah, anjing harus dilengkapi dengan pengaman (dibrongsong). Pemberian vaksinasi anti rabies pada anjing, kucing dan kera peliharaan juga merupakan suatu kewajiban, vaksinasi pun dilakukan secara teratur setiap tahun.

Selain itu masyarakat juga harus aktif dalam melaporkan setiap kasus penggigitan hewan penular rabies kepada manusia. Hewan penular rabies yang menggigit dilaporkan dan dibawa ke Rumah Observasi Rabies, Balai Kesehatan Hewan & Ikan di Ragunan. Sementara manusia yang digigit dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan pertolongan.

Tindakan observasi akan dilakukan terhadap hewan penular rabies yang telah menggigit manusia di Rumah Observasi Rabies Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta selama 14 hari. Jika mengalami kematian pada saat masa observasi maka kepala anjing tersebut dikirim ke laboratorium untuk kepastian diagnosa penyebab kematian. Namun apabila dalam masa observasi hewan tetap hidup maka hewan segera divaksin anti rabies dan dikembalikan kepada pemilik atau dieliminasi bila tidak ada pemilik.

Petugas maupun masyarakat juga secara rutin melakukan penangkapan hewan penular rabies yang berkeliaran ditempat umum yang selanjutnya dilakukan eliminasi. Sementara itu setiap pemilik atau pemelihara hewan penular rabies dilarang untuk menelantarkan hewan penular rabies serta membiarkan hewan penular rabies berkeliaran di luar pekarangan rumah.

Pengawasan lalu lintas terhadap setiap pemasukan dan pengeluaran hewan penular rabies dari dan ke DKI Jakarta, harus mendapatkan rekomendasi atau izin dari Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dan disertai dengan surat Kesehatan Hewan dan Surat Keterangan Vaksinasi Rabies serta syarat lain yang ditetapkan oleh Gubernur.

Syarat-syarat pemasukan meliputi beberapa hal yaitu harus melalui tempat pemasukan, mempunyai surat Keterangan Kesehatan atau Health Certificate yang berisi antara lain keterangan tidak menunjukkan gejala klinis rabies dalam waktu kurang dari 48 jam sebelum diberangkatkan yang diterbitkan oleh Dokter Hewan berwenang atau Dokter Hewan Prakahtek.

Selain itu juga harus mempunyai Surat Keterangan Identitas (Paspor) yang berisi antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya 6 bulan di negara atau wilayah/daerah asal sebelum diberangkatkan dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur 6 bulan serta tidak dalam keadaan bunting 6 minggu atau lebih dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui saat diberangkatkan.

Apabila diberangkatkan melalui darat tidak boleh melalui wilayah atau daerah tertular. Dan apabila dalam perjalanan harus transit maka harus memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Karantina Hewan.

Bagaimana Menangani Kasus Gigitan
Pertolongan pertama pada penderita gigitan adalah dengan mencuci luka gigitan secepatnya dengan sabun detergen selama 5-10 menit di bawah air yang mengalir, dikeringkan dan diberi yodium tinctura atau alkohol 70% setelah itu segera pergi ke “RABIES CENTER” yaitu:
RSUD TARAKAN
Jl. Kyai Caringin No. 7 Jakarta Pusat.
Telp. 021-3503150
RUMAH SAKIT PUSAT INFEKSI PROF. DR. SULIANTI SAROSO
Jl. Sunter Baru Permai, Jakarta Utara .
Telp. 021-6506559

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Dinas Kelautan dan Pertanian Propinsi DKI Jakarta, Bidang Peternakan yang beralamat di Jl. Gunung Sahari Raya No. 11, Jakarta Pusat Telp (021)6285484.

SINAR X UNTUK KEDOKTERAN HEWAN

SINAR X UNTUK KEDOKTERAN HEWAN

(( KIVNAS X (Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional X PDHI 2008) yang dilaksanakan di IPB International Convention Center (IICC) di Bogor pada 19 Agustus sampai dengan 22 Agustus 2008 di antaranya mempresemntasikan pemanfaatan radiografi sebagai sarana diagnostik penunjang dalam dunia kedokteran hewan yang aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. ))

M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana dari Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa Radiografi merupakan sarana penunjang diagnostik yang sudah berkembang pesat baik didunia kedokteran manusia maupun dalam dunia kedokteran hewan yang bertujuan untuk kesejahteraan.
Menurut ilmuwan tersebut, pemanfaatan sinar-x dalam radiodiagnostik dunia kedokteran hewan sangat menunjang dalam penegakkan diagnosa. Secara tidak langsung hal ini akan memberikan kontribusi radiasi yang berasal dari sumber radiasi buatan terhadap pasien.
Kontribusi radiasi buatan akan menimbulkan efek biologis yang secara langsung atau tidak langsung akan diderita oleh penerima radiasi. Pemanfaatan radiasi yang semena-mena tanpa memperhatikan bahayanya sangat merugikan pada banyak pihak yang ikut andil dalam radiogafi.
Selanjutnya, kata M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana, pemanfaatan radiasi di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Oleh karena itu, maka pemanfaatan sinar-x sebagai radiodiagnostik bidang kesehatan telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif serta Surat Keputusan Kepala BAPETEN Nomor 01/Ka-BAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja dengan Radiasi.
“Dengan demikian segala sesuatu berkaitan pemanfaatan radiasi untuk radiodiagnostik harus dilakukan dengan arif dan bijaksana yang aman baik bagi hewan, manusia dan lingkungan,” kata dua ilmuwan itu.
M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana bermaksud sosialisasi pemanfaatan sinar-x sebagai sarana diagnosa penunjang (radiodiagnostik) dalam dunia kedokteran hewan yang aman baik bagi hewan, manusia dan lingkungan.

Sejarah Sinar X
Sinar-x ditemukan oleh ahli fisika Jerman yang bernama Wilhelm Conrad Roentgen pada 8 November 1895, sehingga sinar-x ini juga disebut Sinar Roentgen.
Perkembangan Roentgen di Indonesia dimulai oleh Dr. Max Herman Knoch seorang ahli radiologi berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai dokter tentara di Jakarta. Pemanfaatan sinar-x ini terus berkembang dari tahun ke tahun dan sudah banyak dimanfaatkan dalam dunia kedokteran hewan sebagai sarana penunjang diagnosa.

Radiasi Ionisasi
Sinar-x merupakan gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnit. Energi sinar-x relative besar sehingga memiliki daya tembus yang tinggi. Sinar-x tebagi atas 2 (dua) bentuk yaitu sinar-x karakteristik dan sinar-x brehmsstrahlung.
Proses terbentuknya sinar-x diawali dengan adanya pemberian arus pada kumparan filament pada tabung sinar-x sehingga akan terbentuk awan elektron. Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-x karakteristik dan sinar-x brehmsstrahlung.
Sinar-x yang dihasilkan keluar dan jika beinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah efek foto listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Radiasi ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Bahaya Efek Biologis Radiasi
Disamping sinar-x memiliki nilai positif juga memiliki nilai negatif secara biologis. Efek biologis berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang terpapar. Sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar radiasi.
Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan berupa efek stokastik dan deterministik (non stokastik). Efek stokastik adalah peluang efek akibat paparan sinar-x yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas ambang dosis.
Sedangkan efek deterministik (non stokastik) merupakan efek yang langsung terjadi apabila paparan sinar-x melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Dosis radiasi bersifat akumulatif sehingga dosis paparan yang diterima akan bertambah seiring dengan frekuensi radiasi yang mengenahinya.

Keselamatan Radiasi dalam Radiodiagnostik
Keselamatan radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, paramedis), anggota masyarakat dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Radiodiagnostik merupakan kegiatan yang memanfaatkan energi (sinar-x/foton) untuk tujuan diagnosis berdasarkan panduan Radiologi.
Syarat proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-x sebagai sarana penunjang diagnosa radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1) justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi.
Justifikasi didasarkan pada manfaat yang diperoleh lebih besar dari resiko yang timbul. Limitasi dosis ditentukan oleh BAPETEN dan tidak boleh dilampaui atau disebut dengan Nilai Batas Dosis (NBD). NBD adalah dosis terbesar yang dapat diterima dalam jangka waktu tertentu tanpa menimbulkan efek genetik dan somatik akibat pemanfaatan tenaga nuklir.
“Optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi harus diupayakan agar dosis yang diterima serendah mungkin dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi,” kata dua ilmuwan itu.

Tindakan Keselamatan Radiasi Radiodiagnostik
Keselamatan pasien dilakukan dengan meminimalisasi dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan tehnik radiografi dengan memanfaatkan kV tinggi.
Keselamatan operator (dokter hewan) terhadap paparan radiasi dilakukan dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-x, menggunakan sarana proteksi radiasi (apron Pb, sarung tangan Pb, kaca mata Pb, pelindung tiroid Pb dan alat ukur radiasi) serta mempersingkat waktu radiasi.
Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan. Melapisi ruangan dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap sinar-x yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Yang Harus Diperhatikan
Pemanfaatan sinar-x sebagai sarana diagnostik penunjang penegakkan diagnosa. “Harus memperhatikan efek biologis negatif dalam radiografi sehingga pemanfaatan sinar-x menjadi aman baik bagi hewan manusia dan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana mengakhiri bahasannya. (KIVNAS/ YR)

JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN TERNAK

JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN TERNAK

(( Kandungan-kandungan zat pakan dalam jerami padi inilah yang digertak kondisinya dengan enzim xilanase. Alhasil, kandungan seratnya menurun. Segangkan protein kasarnya meningkat, sehingga kandungan gizinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. ))

Jerami padi biasa dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Terlebih bila musim kemarau menjerang. Sayangnya kandungan nutrisi dan kecernaannya rendah, apalagi bila dibandingkan dengan pakan hijauan. Hal ini lantaran tingginya kadar serat kasar sebagai penyusun dinding sel tanaman. Juga rendahnya kadar protein serat kasarnya.

Mengingat jerami padi mudah didapatkan sebagai alternatif pakan ternak, peternak acap mengupayakan perbaikan potensi pakan jerami padi ini. Ahli pakan ternak Mirni Lamid dari Departemen Peternakan FKH Unair Surabaya memberi jalan perbaikan ini dengan perlakuan biologi mengunakan enzim xilanase.

Kata Mirni Lamid, perlakuan biologi menggunakan enzim xilanase pada jerami padi itu selain ramah lingkungan juga mampu memperbaiki potensi pakan berserat. Proses kimianya adalah dengan mengubah struktur ligno selulosa dan lignohemiselulosa.

Sehingga, “Akan lebih memudahkan degradasi fraksi hemiselulosa pada jerami padi secara efisien dan optimal,” kata Mirni Lamid. Dari hasil penelitiannya, penambahan enzim xilanase dengan waktu inkubasi 2 hari dapat menurunkan kandungan serat dan meningkatkan kandungan protein kasar.

Manfaatnya, menurut Mirni Lamid, penggunaan enzim Xilanase dapat memberi respon positif dalam peningkatan kualitas jerami padi sebagai pakan ternak ruminansia tersebut. Mengapa bisa demikian, ahli pakan ternak itu menjelaskan semua berdasar penelitiannya.

Enzim Xilanase sebagaian besar dihasilkan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan fungi. Kelompok enzim glikosil hidrolase mampu memecah ikatan glikosidik pada xilan dengan kecepatan lebih dari 10 pangkat 17 kali. “Oleh sebab itu, keberadaan enzim ini memegang peranan penting dalam mendegradasi limbah yang kaya hemiselulose,” kata Mirni Lamid.

Hemiselulose merupakan polisakarida struktural sel tanaman terbanyak kedua setelah selulose. Komponen hemiselulose terpenting dari sel tanaman adalah xilan tersebut. Xilan tersusun atas rantai polixilos membentuk heteropolisakadrida bercabang yang sulit didegradasi oleh mikroba rumen.

Dalam penelitian Mirni Lamid tersebut, ia melalui tahap-tahap esksplorasi enzim xilanase untuk mengetahui optimasi pH dan suhu. Kemudian uji potensi enzim xilanase dalam upaya meningkatkan kualitas jerami yang meliputi kandungan bahan kering, bahan organik, serat kasar dan protein kasar.

Kandungan-kandungan zat pakan dalam jerami padi inilah yang digertak kondisinya dengan enzim xilanase. Alhasil, kandungan seratnya menurun. Segangkan protein kasarnya meningkat, sehingga kandungan gizinya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. (YR)

SINAR X UNTUK KEDOKTERAN HEWAN

SINAR X UNTUK KEDOKTERAN HEWAN

Info Iptek Infovet 160 September 2008


(( KIVNAS X (Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional X PDHI 2008) yang dilaksanakan di IPB International Convention Center (IICC) di Bogor pada 19 Agustus sampai dengan 22 Agustus 2008 di antaranya mempresemntasikan pemanfaatan radiografi sebagai sarana diagnostik penunjang dalam dunia kedokteran hewan yang aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. ))

M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana dari Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor menyatakan bahwa Radiografi merupakan sarana penunjang diagnostik yang sudah berkembang pesat baik didunia kedokteran manusia maupun dalam dunia kedokteran hewan yang bertujuan untuk kesejahteraan.

Menurut ilmuwan tersebut, pemanfaatan sinar-x dalam radiodiagnostik dunia kedokteran hewan sangat menunjang dalam penegakkan diagnosa. Secara tidak langsung hal ini akan memberikan kontribusi radiasi yang berasal dari sumber radiasi buatan terhadap pasien.

Kontribusi radiasi buatan akan menimbulkan efek biologis yang secara langsung atau tidak langsung akan diderita oleh penerima radiasi. Pemanfaatan radiasi yang semena-mena tanpa memperhatikan bahayanya sangat merugikan pada banyak pihak yang ikut andil dalam radiogafi.

Selanjutnya, kata M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana, pemanfaatan radiasi di Indonesia diawasi oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Oleh karena itu, maka pemanfaatan sinar-x sebagai radiodiagnostik bidang kesehatan telah diatur oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif serta Surat Keputusan Kepala BAPETEN Nomor 01/Ka-BAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja dengan Radiasi.

“Dengan demikian segala sesuatu berkaitan pemanfaatan radiasi untuk radiodiagnostik harus dilakukan dengan arif dan bijaksana yang aman baik bagi hewan, manusia dan lingkungan,” kata dua ilmuwan itu.

M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana bermaksud sosialisasi pemanfaatan sinar-x sebagai sarana diagnosa penunjang (radiodiagnostik) dalam dunia kedokteran hewan yang aman baik bagi hewan, manusia dan lingkungan.

Sejarah Sinar X

Sinar-x ditemukan oleh ahli fisika Jerman yang bernama Wilhelm Conrad Roentgen pada 8 November 1895, sehingga sinar-x ini juga disebut Sinar Roentgen.

Perkembangan Roentgen di Indonesia dimulai oleh Dr. Max Herman Knoch seorang ahli radiologi berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai dokter tentara di Jakarta. Pemanfaatan sinar-x ini terus berkembang dari tahun ke tahun dan sudah banyak dimanfaatkan dalam dunia kedokteran hewan sebagai sarana penunjang diagnosa.

Radiasi Ionisasi

Sinar-x merupakan gelombang elektromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnit. Energi sinar-x relative besar sehingga memiliki daya tembus yang tinggi. Sinar-x tebagi atas 2 (dua) bentuk yaitu sinar-x karakteristik dan sinar-x brehmsstrahlung.

Proses terbentuknya sinar-x diawali dengan adanya pemberian arus pada kumparan filament pada tabung sinar-x sehingga akan terbentuk awan elektron. Pemberian beda tegangan selanjutnya akan menggerakkan awan elektron dari katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-x karakteristik dan sinar-x brehmsstrahlung.

Sinar-x yang dihasilkan keluar dan jika beinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah efek foto listrik, efek hamburan Compton dan efek terbentuknya elektron berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Radiasi ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Bahaya Efek Biologis Radiasi

Disamping sinar-x memiliki nilai positif juga memiliki nilai negatif secara biologis. Efek biologis berdasarkan jenis sel yaitu efek genetik dan efek somatik. Efek genetik terjadi pada sel genetik yang akan diturunkan pada keturunan individu yang terpapar. Sedangkan efek somatik akan diderita oleh individu yang terpapar radiasi.

Apabila ditinjau dari segi dosis radiasi, efek radiasi dapat dibedakan berupa efek stokastik dan deterministik (non stokastik). Efek stokastik adalah peluang efek akibat paparan sinar-x yang timbul setelah rentang waktu tertentu tanpa adanya batas ambang dosis.

Sedangkan efek deterministik (non stokastik) merupakan efek yang langsung terjadi apabila paparan sinar-x melebihi ambang batas dosis dimana tingkat keparahan bergantung pada dosis radiasi yang diterima. Dosis radiasi bersifat akumulatif sehingga dosis paparan yang diterima akan bertambah seiring dengan frekuensi radiasi yang mengenahinya.

Keselamatan Radiasi dalam Radiodiagnostik

Keselamatan radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk melindungi pasien (hewan), pekerja (operator, dokter hewan, paramedis), anggota masyarakat dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi. Radiodiagnostik merupakan kegiatan yang memanfaatkan energi (sinar-x/foton) untuk tujuan diagnosis berdasarkan panduan Radiologi.

Syarat proteksi radiasi dalam pemanfaatan sinar-x sebagai sarana penunjang diagnosa radiodiagnostik harus memperhatikan beberapa hal diantaranya adalah (1) justifikasi pemanfaatan tenaga nuklir, (2) limitasi dosis dan (3) optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi.

Justifikasi didasarkan pada manfaat yang diperoleh lebih besar dari resiko yang timbul. Limitasi dosis ditentukan oleh BAPETEN dan tidak boleh dilampaui atau disebut dengan Nilai Batas Dosis (NBD). NBD adalah dosis terbesar yang dapat diterima dalam jangka waktu tertentu tanpa menimbulkan efek genetik dan somatik akibat pemanfaatan tenaga nuklir.

“Optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi harus diupayakan agar dosis yang diterima serendah mungkin dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi,” kata dua ilmuwan itu.

Tindakan Keselamatan Radiasi Radiodiagnostik

Keselamatan pasien dilakukan dengan meminimalisasi dosis paparan. Tindakan dilakukan dengan cara memperkecil luas permukaan paparan, mempersingkat waktu paparan, menggunakan filter dan menggunakan tehnik radiografi dengan memanfaatkan kV tinggi.

Keselamatan operator (dokter hewan) terhadap paparan radiasi dilakukan dengan melakukan radiografi dalam jarak sejauh mungkin dari sumber sinar-x, menggunakan sarana proteksi radiasi (apron Pb, sarung tangan Pb, kaca mata Pb, pelindung tiroid Pb dan alat ukur radiasi) serta mempersingkat waktu radiasi.

Keselamatan lingkungan terhadap bahaya radiasi dilakukan dengan merencanakan desain ruang radiografi yang aman baik bagi pasien, operator dan lingkungan. Melapisi ruangan dengan Pb dan memperhitungkan beban kerja ruangan terhadap sinar-x yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Yang Harus Diperhatikan

Pemanfaatan sinar-x sebagai sarana diagnostik penunjang penegakkan diagnosa. “Harus memperhatikan efek biologis negatif dalam radiografi sehingga pemanfaatan sinar-x menjadi aman baik bagi hewan manusia dan lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata M. Fakhrul Ulum dan Deni Noviana mengakhiri bahasannya. (KIVNAS/ YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer