Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Info Iptek | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

VAKSIN ANTHRAKS NASIONAL DAN DUNIA

VAKSIN ANTHRAKS NASIONAL DAN DUNIA


(( Vaksin Anthraks yang berkualitas memang pekerjaan penuh tantangan, sekaligus peluang bagi peneliti Tanah Air Indonesia untuk berbicara di tingkat nasional dan dunia untuk kemahslatan hajat hidup manusia dan kemanusiaan. ))


Belum lama ini seorang ilmuwan pemerintah Amerika Serikat bernama Bruce Ivins dari Lab Research for Biodefence di Ft. Detrick Md ditemukan bunuh diri, menghindar dari kejaran pemerintah. Pasalnya, ilmuwan ini telah berlaku ugal-ugalan (kriminal) dengan memperbanyak benih Anthraks di laboratoriumnya dan disebarkan ke mana mana melalui surat.

Demikian cerita Dr Drh Soeripto MSV dari Balai Besar Penelitian Veteriner (Bbalitvet) yang berkunjung ke Amerika Serikat belum lama berselang seraya bertutur, “Hal ini dilakukan Bruce Ivins semenjak 2001 di mana dia telah berhasil membunuh 5 orang dan sedikitnya 17 orang menderita akibat Anthraks, dan terakhir sebelum dia bunuh diri, diberitakan pada bulan yang lalu benih Anthraks tersebut telah disebarkan ke beberapa members of Congress.”

Dr Soeripto yang karyanya diakui dunia internasional bahkan dipatenkan dan diproduksi Negara produsen obat hewan di luar negeri dengan mendapat hak paten pun berkomentar,

“Siapa mau buat vaksin Anthraks? Jual ke Amerika, kalau berkualitas kemungkinan besar dibeli. Amerika sudah mencoba membuat dengan dana yang besar, tetapi belum berhasil.”

Sumber Infovet mengatakan, Anthraks atau Anthraks adalah penyakit menular akut yang disebabkan bakteria Bacillus anthracis dan sangat mematikan dalam bentuknya yang paling ganas. Anthraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan, namun juga dapat menjangkiti manusia karena terekspos hewan-hewan yang telah dijangkiti, jaringan hewan yang tertular, atau spora Anthraks dalam kadar tinggi.

Meskipun begitu, menurut sumber Infovet, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap Anthraks. Anthraks bermakna "batubara" dalam bahasa Yunani, dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam.

Infeksi Anthraks jarang terjadi namun hal yang sama tidak berlaku kepada herbivora-herbivora seperti ternak, kambing, unta, dan antelop. Anthraks dapat ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini lebih umum di negara-negara berkembang atau negara-negara tanpa program kesehatan umum untuk penyakit-penyakit hewan.

Beberapa daerah di dunia (Amerika Selatan dan Tengah, Eropa Selatan dan Timur, Asia, Afrika, Karibia dan Timur Tengah) melaporkan kejadian Anthraks yang lebih banyak terhadap hewan-hewan dibandingkan manusia.

Sumber Infovet menuturkan ada 4 jenis Anthraks yaitu Anthraks kulit, Anthraks pada saluran pencernaan. Anthraks pada paru-paru, Anthraks meningitis. Penyakit zoonoziz yang menular dari hewan ke manusia ini biasa ditularkan kepada manusia karena disebabkan pengeksposan pekerjaan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit dan daging, atau memakan daging hewan yang tertular Anthraks.

Selain itu, penularan juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan. Pekerja yang tertular kepada hewan yang mati dan produk hewan dari negara di mana Anthraks biasa ditemukan dapat tertular B. anthracis, dan Anthraks dalam ternakan liar dapat ditemukan di Amerika Serikat. Walaupun banyak pekerja sering tertular kepada jumlah spora Anthraks yang banyak, kebanyakan tidak menunjukkan simptom.

Karena bersifat zoonozis inilah maka Antharks di Indonesia bahkan di manapun sangat meresahkan. Tanah Air Indonesia beberapa kali heboh mengenai kasus Anthraks. Tentu kita masih ingat kasus kematian burung onta di Purwakarta pada akhir hampir sepuluh tahun lalu yang menghebohkan dan menjadi perhatian dunia internasional.

Lalu kasus daging kambing dari Bogor yang terkena bakteri Anthraks sehingga mengkhawatirkan para konsumen dan menjadi kepedulian pemerintah dan masyarakat luas. Betapa tidak, Bakterio Anthraks dapat memasuki tubuh manusia melalui usus kecil, paru-paru (dihirup), atau kulit (melalui luka). Anthraks tidak mungkin tersebar melalui manusia kepada manusia.

Yang paling heboh di dunia ketika Amerika menuduh Irak menyimpan senjata biologis sebagai rentetan peristiwa yang terjadi pada 11 September 2001, saat teror menghancurkan World Trade Centre (WTC) di New York. Menyusul tragedi itu, muncul bentuk serangan teror baru berupa pengiriman surat-surat gelap dalam amplop berisi bakteri berbahaya ke sejumlah alamat di AS. Sejauh ini, di AS surat berbahaya ini sudah menewaskan satu jiwa dan puluhan korban lainnya yang tertular.

Senjata biologis yang paling banyak dikenal masyarakat adalah bakteri yang terdapat di dalam amplop surat-surat gelap itu, yakni bakteri anthraks yang berbahaya. Umumnya bakteri yang di Indonesia lebih sering dipicu oleh penularan secara alami itu berbentuk serbuk atau bubuk putih. Sejauh ini belum berhasil diketahui atau dilacak, siapa pelaku pengiriman surat anthraks itu.

Daging yang terkena Anthraks mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berwarna hitam, berlendir, berbau. Beberapa gejala-gejala Anthraks (tipe pencernaan) adalah mual, pusing, muntah, tidak nafsu makan, suhu badan meningkat, muntah bercampur darah, buang air besar berwarna hitam, sakit perut yang sangat hebat (melilit) atau (untuk tipe kulit) seperti borok setelah mengkonsumsi atau mengolah daging asal hewan sakit Anthraks.

Gejala yang terlihat pada penderita adalah adanya luka yang berwarna kehitaman di tengah karena terjadi kematian sel dan mengering, tidak ada rasa sakit, dan disertai cairan. Bentuk ini dapat mengakibatkan kematian sampai 20 persen bila terjadi sepsis yang ditandai adanya demam tinggi. Pengobatan dengan antibiotika akan mengurangi kasus kematian.

Bentuk gastrointestinal merupakan bentuk yang jarang terjadi. Biasanya bentuk gastrointestinal terjadi karena memakan daging yang terkontaminasi Anthraks dan tidak dimasak dengan baik.

Gejala yang timbul bervariasi: demam, tonsilitis, muntah, sakit perut, diare berdarah, dan ascites (penimbunan cairan di rongga perut). Sepsis dapat terjadi pada ketiga bentuk infeksi Anthraks pada manusia dan akan berakibat fatal yaitu kematian.

Terapi Penisilin merupakan obat pilihan yang dapat digunakan untuk menanggulangi Anthraks pada manusia. Adanya kemungkinan B anthracis tahan terhadap antibiotika membuat penggunaan antibiotika harus berhati-hati. Beberapa antibiotika yang bisa digunakan berdasarkan hasil riset pada hewan percobaan dan menunjukkan hasil yang baik adalah doxycycline dan ciprofloxacin.

Imunisasi pasif dengan antitoxin Anthraks juga dapat digunakan untuk menanggulangi Anthraks. Vaksin Anthraks di Amerika Serikat telah dikembangkan sejak tahun 1970, namun penggunaannya masih terbatas di kalangan militer yang masih aktif.

Artinya, keberhasilan vaksin Anthraks masih jauh dari harapan. Penanggulangan Anthraks secara besar besaran di berbagai negara di Eropa dengan vaksin spora strain Sterne dimulai pada tahun 1930 an dan berkat pemakaian vaksin tersebut banyak negara dapat mengendalikan penyakit anthraks.

Di Indonesia, pemberantasan anthraks pada hewan juga vaksin spora strain yang sama dan hasilnya juga sangat memuaskan. Akan tetapi, reaksi post vaksinal terutama pada ruminansia kecil sangat berat bahkan sering menimbulkan kematian. Reaksi yang parah tersebut membuat banyak peternak menolak ternaknya divaksin oleh petugas dinas peternakan. Hal ini tentunya sangat menghambat dalam usaha pemberantasan penyakit. Dalam banyak kesempatan, dinas peternakan sering meminta penyediaan vaksin yang lebih aman.

Vaksinasi terhadap ternak rakyat sudah dilakukan selama ini, namun tidak semua peternak bersedia memvaksin ternaknya karena pada kambing yang habis divaksin biasanya terjadi anavila shock(semacam kejang).

Sumber di Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melakukan penelitian untuk mengurangi anavila shock terhadap kambing yang sudah divaksin. Penelitian ini akan menghasilkan vaksin yang bisa mengurangi anavila shock, sehingga ke depan masyarakat tak perlu takut lagi kalau ternaknya divaksin anthraks. Penelitian ini dilakukan Balai Besar Penelitian Veteriner, tempat di mana Dr Drh Soeripto MSV menjadi salah satu peneliti ahli.

Vaksin Anthraks yang berkualitas memang pekerjaan penuh tantangan, sekaligus peluang bagi peneliti Tanah Air Indonesia untuk berbicara di tingkat nasional dan dunia untuk kemahslatan hajat hidup manusia dan kemanusiaan. (YR)

Gonjang ganjing Perususan Nasional (2) Salah Kaprah Pakan Sapi Perah

oleh Ir Tatang E P

Tingginya biaya produksi susu di Indonesia salah satu sebab utamanya karena penggunaan pakan yang tidak tepat. Basis pemberian pakan sapi perah kita masih menggunakan biji-bijian sedangkan hijauan hanya sebagai pelengkap.

Ini sebenarnya kurang tepat mengingat sapi perah mempunyai sistem pencernaan berbasis mikroba yang lebih cocok menggunakan pakan berserat alias hijauan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr Ir Marsetyo, dosen fakultas peternakan Universitas Tadulako, Palu.

Menurut Marsetyo, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, biji-bijian disamping harganya mahal, juga kurang pas diberikan kepada ternak sapi karena manusia juga membutuhkan biji-bijian.

Selain itu juga ternak sapi perah harus bersaing dengan unggas yang pasokan makanannya berbasis biji-bijian. Oleh karena itu penggunaan hijauan merupakan pilihan yang menarik untuk ternak ruminansia di Indonesia, walaupun porsinya bisa diatur.

Memang menurut Ir Mulyoto Pangestu PhD, dalam konsep nutrisi ruminansia : pakan berserat tetap dibutuhkan, namun bila ingin berproduksi tinggi ya harus ada pakan penguat tambahan.

Artinya menurut peneliti dari Monash University ini pengembangan sapi perah di Indonesia tak perlu ngotot untuk memperoleh produksi susu yang tinggi, namun yang menguntungkan.

Sebab iklim tropis membuat ternak memang lebih mungil dari ternak-ternak sapi sub tropis. Namun yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang memadai.

“Mungkin kita perlu melihat munculnya trend baru pada sapi potong dengan LowLine Breed yang tubuhnya mini dan beratnya hanya 200 kg,” tegasnya. Jadi apa salahnya kalau Indonesia mulai mencoba menikmati mungilnya sapi tropis supaya bisa memberikan rejeki sebesar Limousine atau Angus.

Ternak yang kecil bukan berarti akan kecil keuntungannya. Namun dengan ternak yang kemampuannya hidup di daerah tropis maka daya cerna terhadap hijauan akan lebih baik.

Hijauan di Indonesia sebenarnya cukup melimpah dan beragam. Sayangnya ini kurang dipahami oleh para peternak. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penelitian yang intensif mengenai hijauan. Akibatnya peternak hanya tahu untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan mempertinggi pakan yang berasal dari biji-bijian.

Peternak sapi perah lebih kenal dengan jagung, dedak, kedele, tepung daging dan tulang ketimbang rumput kolonjono, cetaria lampung atau bahkan jenis legume yang biasa menjadi penutup tanah di perkebunan.

Padahal penggunaan biji-bijian seperti jagung, dedak dan kedele akan berbenturan dengan industri unggas yang jauh lebih besar kebutuhannya.

Kebanyakan peternak sapi perah kita hanya memberikan rumput gajah atau rumput raja sebagai makanan hiajauan. Kedua rumput tersebut kandungan nutrisi tidak begitu bagus dan lebih banyak serat kasarnya saja.

Namun memang rumput gajah atau rumput raja dari segi ketersediaan memang memadai karena rumput ini besar sehingga mampu mengenyangkan sapi. Tapi sayang kandungan nutrisinya tidak begitu bagus.

Penggunaan hijauan sebagai salah satu alternatif untuk mendapatakan nutrisi yang murah harusnya menjadi prioritas bagi peternak untuk menekan harga susu sehingga memperoleh margin yang lebih tinggi.

Sayangnya pemerintah yang harusnya membantu mencarikan alternatif nutrisi dari hijauan tak banyak membantu. Riset tentang hijauan makanan ternak sangatlah minim. Apalagi berbicara tentang sistem pengawetan hijauan atau pemanfaatkan hijauan kering.

Dengan satuan ternak yang rendah memang peternak tak mungkin menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan atau mempunyai lahan yang memadai untuk makanan hijauan ternaknya.

Namun bukan tidak mungkin bila peternak yang mempunyai kepemilikan sapi perah sedikit dikumpulkan menjadi satu koperasi dan koperasilah yang mensupport untuk menyediakan lahan atau padang penggembalaan dengan hijauan pilihan dan kandungan nutrisi yang baik.

Di Negara-negara maju peternakan sapi baik perah maupun potong mengandalkan makanan hijauan yang diperoleh dari padang penggembalaan. Namun bukan berarti pakan yang berasal dari biji-bijian ditinggalkan hanya saja porsinya lebih kecil.

Penataan padang penggembalaan dengan berbagai macam tanaman baik rumput maupun legume terasa asing ditelinga kita. Padahal padang penggembalaan merupakan salah satu kunci sukses

Negara-negara pengekspor susu dan sapi terbesar di dunia macam Australia dan Selandia Baru. Karena biaya rumput dan legume jelas lebih murah ketimbang biji-bijian.


Kajian Yang Komprehensip

Sapi perah sebagai salah satu potensi besar di Negara ini harusnya pemerintah mampu memfasilitasi sebuah riset yang terpadu dan berkesinambungan.

Menurut Ir Budi Rustomo PhD, pakar sapi perah asal Fapet Unsoed melihat, pendekatan atau teknologi tanpa melihat karakteristik atau sifat-sifat dasar aslinya, akan menghasilkan sesuatu yang tidak optimal.

Pengetahuan tentang habitat asal, sifat asli dan behaviour mutlak diperlukan dalam menentukan pendekatan-pendekatan teknologi. Apalagi teknologi yang dibuat untuk memanipulasi atau menyiasati kinerja makhluk hidup seperti hewan ternak.

Dalam pengembangan teknologi peternakan, tiga pendekatan yang lazim dilakukan oleh pakar-pakar peternakan di negara barat.

1.Mengetahui sifat dasar (karakteristik) ternak. Termasuk mengerti benar “what is the purpose of God creating the creatures/species?”.
2. Mengetahui bagaimana ternak bisa hidup (how do they survive in the original habitat or in the junggle, before being domesticated)
3. Mengetahui how do they reproduce their offspring.

Ketiga pendekatan tersebut di atas yang seharusnya mendasari bagaimana ilmuwan peternakan mengembangkan teknologi. Baik teknologi di bidang pemuliaan, pakan, perkandangan, reproduksi, kesehatan dan banyak lagi faktor lainnya.

Budi yang pernah lama tinggal di Kanada dan Australia ini mencontohkan, Di Kanada, pada saat musim panas suhunya bisa mencapai 40 oC. Tapi, konsumsi pakan dan produksi susu tidak menurun.

Sebab, meskipun panas, kelembaban udaranya masih relatif rendah. Itupun masih dibantu dengan pemasangan blower dikandang-kandang pada saat musim panas.

“Namun Bila pendekatan itu kita tiru, peternak Indonesia dengan modal yang terbatas

akan bangkrut karena bengkaknya biaya listrik,” ujarnya memberi contoh.

Untuk itulah riset yang dilakukan haruslah terpadu dan berujung pada sosial ekonomi artinya peternak sapi perah Indonesia mampu menggunakan teknologi tersebut.


Penulis adalah Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI)

South East Asia Seminar Alltech Soroti Teknologi Pakan Terbaru

Info Iptek Edisi 169 Agustus 2008

South East Asia Seminar Alltech Soroti Teknologi Pakan Terbaru

Para ahli di bidang perunggasan menggarisbawahi perlunya membuka pandangan terhadap berbagai peluang yang ada. Khususnya dalam teknologi pakan ternak dengan menggunakan teknologi-teknologi terbaru dan teknik-teknik inovatif untuk membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi produsen ternak unggas. Salah satu upaya yang bisa dilakukan melalui pengembangan potensi genetik, menggunakan by-product alternatif dan terus meningkatkan profit.
Hal inilah yang melatarbelakangi diselenggarakannya Alltech’s Poultry Seminar berjudul “How to achieve optimum performance naturally”. Seminar ini diselenggarakan di seluruh wilayah Asia Tenggara pada tanggal 23-27 Juli 2008.
Mr. Aziz Sacranie, Technical Poultry Director Alltech memberikan review mengenai aplikasi selenium di dalam industri perunggasan serta Mr. Cemlyn Martin, General Manager Alltech untuk Asia Tenggara, yang membuka seminar tersebut dengan memberikan gambaran mengenai industri perunggasan di wilayah Asia Tenggara.
Sacranie mengatakan, “Kondisi usaha perunggasan saat ini penuh dengan tantangan. Dimana biaya pakan dan produksi kian meningkat, di lain pihak tuntutan untuk terus memaksimalkan performa sekaligus memperoleh profit semakin menambah tekanan. Sehingga diperlukan masukan solusi terbaru untuk menyiasatinya.”
Dr Alison Leary, Key Account Technical Services Manager, Alltech bertanya kepada hadirin, “Apakah mungkin memiliki pakan yang tersedia secara ekonomis sekaligus meningkatkan performa unggas secara optimal?” Solusi yang ia tawarkan adalah menggunakan teknologi enzim kompleks Solid State Fermentation (SSF) untuk meningkatkan kecernaan dan pemanfaatan seluruh bahan baku pakan serta bahan baku mentah dari yang tersedia secara lokal misalnya singkong, dedak, PKM (palm kernel meal) dan DDGs untuk pakan ternak unggas..
Prof Peter Surai dari Scottish Agricultural College, Inggris; menjelaskan tentang bagaimana selenium organik (Sel-Plex®) memainkan peran yang penting dari banyak proses fisiologis pada unggas dan bagaimana selenium dapat membantu meningkatkan performa dan daya imun serta mengurangi stress. Beliau juga menunjukkan ilmu pengetahuan yang baru yaitu Nutrigenomics – memperlihatkan pengaruh yang kuat dari nutrisi terhadap ekspresi gen.
“Mulailah dari awal yang baik”, adalah topik presentasi dari Prof. Peter Spring. Prof. Spring yang berasal dari Swiss College of Agriculture mengilustrasikan pentingnya nutrisi awal yang diberikan kepada anak ayam dan memastikan pakan untuk pre-starter yang optimal. Termasuk didalamnya penggunaan protein yang kaya akan nukleotida (NuPro®) di dalam pakan unggas yang masih muda yang dapat meningkatkan kemampuan GIT, memungkinkan nutrisi dapat diserap lebih baik selama masa pertumbuhan unggas tersebut yang dapat membantu mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan FCR.
Drh Isra Noor, pimpinan PT Alltech Biotechnology Indonesia menjelaskan bahwa tujuan dari seminar ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan adanya teknologi baru dalam ilmu nutrisi ternak yang tersedia yang dapat membantu mewujudkan potensi genetik hewan unggas dan sekaligus meningkatkan keuntungan. (Inf/adv)

Menghapus Stigma Negatif Sulfa

kembali ke Infovet


Info Iptek Edisi 150 Januari 2007

Era sebelum antibiotik ditemukan, keberadaan sulfonamide (sulfa) dalam duniamedis sangat memegang peran penting dalam berbagai terapi infeksi bakterialbahkan disebut sebagai kemoterapeutik utama. Ada lebih 4000 jenis golongan sulfatetapi yang secara klinis dipakai hanya sekitar 30-an.

Setiap sulfonamide dan metabolitnya memiliki jenis parameter yang unik, walaupunpertimbangan secara umum berlaku bagi semua anggotanya. Berdasarkan absorpsi danekskresinya dibagi menjadi 3 golongan utama : sulfa dengan absorpsi dan ekskresicepat, sulfa yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per-oral karena itukerjanya dalam lumen usus dan sulfa yang hanya diberikan secara topikal.

Sulfonamide didistribusikan ke seluruh tubuh dan masuk keberbagai jaringan dancairan tubuh, walaupun penyebarannya secara pasif kedalam cerebrospinal dancairan synovial. Dalam tubuh, sulfa ini mengalami asetilasi dan oksidasiterutama terjadi di dalam hati. Bentuk asetil pada N-4 merupakan metabolitutama. Yang menarik pada poultry N-deasetilasi adalah penting.

Pada domesticpoultry N-asetilasi lebih sedikit daripada mamalia. Senyawa utama metabolit inidiekskresikan via urine. Pengeluaran direnal dan kelarutan hampir semua sulfaadalah sangat pH-dependent. Pada pH rendah dan konsentrasi tinggi akan terjadiadanya kristalisasi yang dapat menyebabkan kerusakan pada tubulus renalis ataukapiler.

Sehubungan dengan farmakokinetik daripada sulfonamide secara umum, dibawah inibeberapa riset yang telah dilakukan untuk menganalisa farmakokinetik Sulfaklozin(sulphachloropyrazine).Struktur formula sulfaklozinMetode Analisis Pendeteksian Sulfaklozin dan N-4 AsetilsulfaklozinStudi farmakokinetik 3 GLP-conforming telah dilakukan di poultry.

Berikut adalahpenjelasan singkat dari metode analisis yang dilakukan. Pada riset inisulfaklozin dan metabolitnya N-4 asetilsulfaklozin, dihitung dengan menggunakanHigh Performance Liquid Chromatography (HPLC) dengan deteksi spektrofotometri.Metode ini sangat sensitif, dengan batas deteksi 0.02 ppm baik untuk sulfaklozindan metabolitnya pada jaringan ayam dan 0.05 ppm pada jaringan kalkun. Metodeyang digunakan pada setiap studi ini divalidasikan.

Pengulangan assay contohdari berbagai jaringan diperiksa kembali nilai yang diperoleh dianalisa secarastatistic. Ketahanan contoh dari setiap jaringan yang diketahui jumlahsulfaklozin dan N-4 asetilsulfaklozin kemungkinan efisiensi recovery dihitung.Analisa residu dihitung berdasarkan kriteria definisi kemampuan tahan uji danreproduksi.

Analisa Sampel Jaringan dan Plasma Ayam

Plasma diencerkan kemudian diekstraksikan dengan acetonitril dan setelahsentrifugasi bagian supernatan diencerkan dan dihitung dengan HPLC. Sejumlahsampel jaringan (circa log), bersama dengan anhydrous sodium sulphate,diekstraksi dua kali dengan ethyl acetate (lemak, kulit), ethyl acetate :methanol (hati), atau dichloro-methane : methanol : acetic acid (otot). Sampelyang diekstrak diuapkan sampai kering dan digantung dalam dichloro methane.

Untuk N-acetilsulfaklozin, seluruh jaringan pertama-tama diekstraksikan dalamethyl acetate dan digantung dalam aceton : chloroform : acetic acid. Ekstrakjaringan dimurnikan dengan melewatkan pertukaran kation, eluting dengan ammoniumacetate : acetonitril, sebelum dimasukkan dalam HPLC.

Larutan elution jugadigunakan sebagai fase aktif pada HPLC. Puncak ODS kolom 5 µ, menggunakanrata-rata aliran 1 ml/ menit dan pendeteksian digunakan pada 272 nm untukmenghitung sulfaklozin dan metabolitnya.

Analisa Jaringan Kalkun

Jaringan kalkun yang sudah hancur diekstraksikan dalam campuran buffer acetate,ethyl acetate dan diethyleter. Setelah sentrifugasi, lapisan organikdipindahkan, diuapkan sampai kering dan dilarutkan dalam fase aktif(acetonitrile : acetate acid, acetate buffer). Digunakan spherisorb 3 ODS kolom2 dan pendeteksian dilakukan pada 266 nm.


Validasi MetodePada setiap assay (uji), validasi (pembuktian) dilakukan dengan penentuanstatistik kurva kalibrasi, dan menentukan kemiringan (B), standar residual eror(Sr), % koefisien variasi (CV) dan standar eror kemiringan (Sb).

Kandungan bahantambahan ditentukan oleh besarnya konsentrasi. Penentuan residu dibuat saatkurva kalibrasi bertemu dengan kriteria yang telah didefinisikan. Hasilpenentuan sulfaklozin pada otot kalkun bisa dilihat pada Tabel 1.Pada ayam persentase kandungan sulfaklozin dari plasma sangat bagus yaitu90-100% dan dari jaringan nilai berada pada kisaran normal 74-92%.

Namun padakalkun kandungan yang ditemukan lebih rendah, berkisar 26.0 ± 5.8% pada jaringanhati, 45.6 ± 12.4% pada ginjal, 49.7 ± 2.8% pada otot, 46.5 ± 3.7% pada kulitdan 76.8 ± 11.7% pada plasma (n=5-12). Susunan/ pola kandungan yang mirip jugateramati dengan metabolit N-4 asetil.

Ketepatan pemeriksaan, dinilai oleh penampakan analisa replika pada sejumlahsampel kalkun dan penentuan CV, berkisar dari 1.75% (plasma) sampai 4.3% padaginjal, tapi nilai CV lebih tinggi pada kulit (lebih dari 17.2%).

Penelitian Farmakokinetik pada Ayam : Dosis Tunggal70 ekor broiler Cobb (unsexed), umur 4 minggu, dibagi menjadi 10 kelompok dandiberikan dosis tunggal 2ml 16.67% (w/v dalam air) Sulfklozin (lot 5693 S) peroral, setara dengan 100 mg sulfaklozin sodium, tiga kali lebih besar dari dosisrekomendasi 50 mg/ kg BB atau 1.5 kali dari level dosis maksimum yangdisarankan.

Pada jam ke-1, 2, 4, 8, 12, 24 dan 48 setelah perlakuan, sampeldarah diambil melalui jantung dari setiap kelompok ayam kemudian ayam dibunuhdan diafkir. Dua kelompok kontrol diambil darahnya sebelum perlakuan dan 48 jamsetelah perlakuan. Sampel plasma dipisahkan dan digabung dengan lima ayam persampling dari 2 kelompok. Jaringan tidak dikoleksi. Konsentrasi sulfaklozin danN-4 asetilsulfaklozin ditentukan dengan HPLC. Data ditunjukkan pada Tabel 2.

Data yang diperoleh menunjukkan Sulfaklozin mampu mencapai kadar maksimum dalamplasma setelah 4-8 jam dengan waktu paruh (half-life) 19 jam, dengan modelkinetik ruangan tunggal. Kurang dari 2% berada dalam bentuk asetilasi padadarah, dan perbandingan sulfaklozin yang terasetilasi tidak bergantung padawaktu pengambilan sampel. Analisa kinetik yang lebih detil tidak dapatditunjukkan karena sampel menjadi satu.

Studi Farmakokinetik pada Ayam: perlakuan selama 5 hariCobb broiler umur 4 minggu diberi perlakuan selama 5 hari berturut-turut denganESB-3 (batch 5693) dengan dosis 2 g/lt via air minum. Berdasarkan berat badandan konsumsi air kira-kira mengandung 200 mg/ kg sulfaklozin perhari, dua kalilebih besar dari dosis rekomendasi. Kadar sulfaklozin dalam plasma dan jaringanditentukan dengan HPLC. Dalam tiap-tiap group dimasukkan 5 atau 6 ayam.

Kadar sulfaklozin dalam plasma mencapai188 ppm 72 jamsetelah perlakuan dan turun dengan cepat menjadi 5.8 ppm 24 jam setelahperlakuan tidak dilanjutkan.

Pada masa akhir pemberian konsentrasi sulfaklozindalam jaringan sangat tinggi (12.4 ppm pada kulit/ lemak, 22.3 ppm pada otot,34.1 ppm pada hati), tetapi satu hari setelah akhir pemberian, konsentrasimenurun drastis menjadi (2.5, 0.8 dan 2.0). Kemudian kadar konsentrasisulfaklozin dalam jaringan turun secara perlahan, dan beberapa aktivitasresidunya dapat terdeteksi 10 hari setelah pemberian akhir melalui air minum.

Jelas bahwa pemberian sulfaklozin via air minum akan lebih cepat diabsorpsi. Dansulfaklozin juga tidak terakumulasi, hal ini dapat dilihat konsentrasinya dalamplasma tidak mengalami peningkatan selama masa perlakuan. Sulfaklozin jugadieliminasi dengan cepat, dapat dilihat dengan turunnya konsentrasi dalam plasmadan jaringan secara drastis dalam 24 jam setelah akhir pemberian.

Studi Farmakokinetik pada Spesies lain

Seperti yang dilaporkan oleh Jabert, farmakokinetik sulfaklozin juga ditelitipada hewan domestik lain. Pada anjing dengan dosis terapeutik sulfaklozin,kadarnya dalam plasma meningkat cepat untuk mencapai puncaknya dalam 1 sampai 3jam. Pada ternak dengan pemberian oral, kadar puncak dicapai dalam 1 sampai 6jam dan kemudian turun dengan cepat, dalam 18 jam setelah perlakuan sulfaklozintidak dapat terdeteksi.

Pada babi, dengan diberikan intramuskuler, konsentrasimaksimum sulfaklozin dalam darah tercapai dalam 30 menit, dan tetap stabilselama 3 jam, konsentrasi menurun dan tidak terdeteksi setelah 12 jam.Metabolisme pada hewan ini sama, dan metabolit utamanya adalah derivat N-asetil,namun pada kelinci glucoro-konjugat adalah metabolit utamanya.

Konklusi dari Studi Farmakokinetik

Ketika diberikan secara oral, baik dengan alat atau melalui air minum ataudengan jalan lain, sulfaklozin dengan cepat diabsorpsi pada unggas dan hewanlainnya dan konsentrasi plasma yang stabil dapat dicapai. Sulfaklozin tidakterakumulasi selama perlakuan namun lebih cepat diekskresikan. Hanya sebagiankecil (<2%)>

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer