Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Abstract Edisi 169 Agustus 2008

Abstract Edisi 169 Agustus 2008

5 Years of AI in Indonesia

The cases of AI (Avian Influenza) which was firstly reported in Indonesia since August 2003, and after that the disease quickly spread throughout and the provinces in Java and then most part of Indonesia.
After five years against this exotic disease, by vaccination program, sanitation as well as hygienic measures poultry farmers adapted to this kind of condition. Poultry industry is really prospective, since the product are needed by the people and the demand is continuously increasing.
To face the challenging situation to enable for survival, poultry farmers should be smart, creative, innovative and properly implementing technology development. We should be caution to AI and maximizing preventive measures, but we should not consider the disease as the constraint for developing poultry industry in Indonesia.
Some of farmers are aware that the prospect of poultry farming is still favourable, but they desperate with increasing production cost as the price of farming input specially feed is continuously increasing, higher than the increase of poultry product price.

Role of Poultry Market in the Spread of AI

Based on the WHO (World Health Organization) report up to may 2008, total cases up AI (Avian Influenza) in the world are 383 cases with totality 241 people. The cases of AI in Indonesia is the highest, as total cases reach 135 cases cause human victim, the death of 110 people.
Referring to the workshop on live bird market / traditional market, sponsored by FBPI (National Committee on Avian Influenza), USDA (United States Department of Agriculture) and CIVAS (Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies), There are four critical points in poultry distribution chain, namely poultry farming, poultry collecting places, poultry slaughter houses as well as products and live birds market.
The whole market in Asian countries is centre for social and economic activity, but the markets are also able as source of zoonotic disease spreading. The first cases of AI in Hong Kong on 1997 happened in poultry farming and poultry traditional market, it is the first reported H5N1 cases, the fatality of 6 people in 18 cases.
The condition which is found in live birds market:
- No routine animal health inspection to live birds and their products
- Poor bio security
- No program for cleaning and disinfection on transportation vehicles, equipment baskets and buildings.
- No clear border between collective places, slaughtering and selling of poultry and their product with other comodities.
- Source, origin and animal health status of poultry and their products is not clear.
- Poultry transportation vehicles (motor cycles) are not fit with animal welfare standard.
- No special door for entrance and exit of live bird.
- Collecting places and poultry slaughter houses are not fulfill hygienic standard.
- Selling of multi species of bird (native chicken, duck, commercial, chicken, etc)
- Selling of live bird, brought by consumers
- No regulation for arrangement of live bird and their product in market
- Poor personal hygiene
- Not adequate awareness of sellers and consumer to the healthy products.
If AI eradication is still to be priority, poultry market should be properly arranged to fulfill the standard through establish the models of poultry market

Chicken Egg Price

Increase of production cost, caused by higher price of feed raw materials will directly influence cost of good produced.The components to form cost of egg produced, namely: feed, operational cost, pullet depreciation, infrastructure and investment depreciation, marketing cost, medicaments and others. The problem is how poultry farmers will be able to make lower cost of egg produced in order reaching competitiveness in layer farming and to get profit.
Ideal farming in the perspective of layer farming management is “low cost – high performance”, the enterprise usually having slender organization, good team work with order job description and no interval conflict.
To reach efficiency, the ratio should be well management, namely:
- Population Ratio, comparison between productive layer and total workers, the ration should be less than 2.000 head of productive layer for each worker.
- Operational Cost Ratio, to minimize fixed cost and maximizing variable cost
- Feed Conversion Ratio, to save feed consumption without sacrificing productivity
- Layer Productivity Ratio, referring to proper and complete recording, egg production should be able to reach 20 kg/head in 76-80 weeks of age

To Minimize Meat Importation

The dependency on imported meat is a big problem in Indonesia, since local products are only able to supply 72% of the demand. According to Dr Tjeppy D Soedjana, Director General of Livestock Services (DGLS) in official opening of “Socialization on Acceleration of Meat Self Supporting Achievement” in Bandung, the desired condition in 2010 is supply of imported meat should less than 10%. The Government had allocated the fund to construct biogas, meat kiosk, integration of mixed farming, conservation of livestock farming area, conservation of river flow area, field training as well as irrigation of surface soil.
This program will be implemented in 16 districts and 2 cities in West Java province. The constraint of this program is lack of technical human resources and infrastructure in the field.

Kekuatan Kata-kata

Kekuatan Kata-kata
Bambang Suharno

Salah satu motivator yang menurut saya sangat pintar mengolah kata-kata adalah Mario Teguh. Saya mengamatinya sejak 5 tahun lalu ketika ia menjadi narasumber talkshow di Radio Bisnis PassFM, kemudian ke Radio Ramako Jakarta dan kemudian ke bebarapa radio lain, dan berikutnya tampil di acara business art di saluran televisi O-Channel. Kalimat di bawah ini saya kutip dari salah satu artikelnya mengenai anger management (pengelolaan amarah). Perhatian baik-baik olahan kata per kata. Kita akan menikmati indahnya Mario Teguh mengolah kata menjadi sebuah kesadaran dalam diri kita.

Seseorang yang tidak bisa merasa marah tidak bisa disebut penyabar; karena dia hanya tidak bisa marah. Sedang seorang lagi yang sebetulnya merasa marah, tetapi mengelola kemarahannya untuk tetap berlaku baik dan adil adalah seorang yang berhasil menjadikan dirinya bersabar.

Kata-kata yang sejatinya tak lebih dari rangkaian huruf, yang kemudian diolah menjadi kalimat, dapat merubah banyak hal dalam diri banyak orang. Kata-kata menjadi sedemikian tajam di tangan seorang yang pandai mengasahnya.

Orang-orang yang pandai berkomunikasi bukanlah orang yang pintar mengumbar kata-kata. Mereka adalah orang yang tekun menyimak, membaca dan mengolah menjadi kata-kata yang dapat diterima lawan bicara (istilah lawan bicara kelihatannya kurang pas, apakah lebih tepat istilah teman bicara?)

Makanya anggapan bahwa seorang penjual yang sukses harus pandai berbicara banyak, adalah sangat keliru.

Para negosiator hebat adalah mereka yang pintar memilih kata-kata yang baik. Begitupun dengan para pemimpin-pemimpin dunia. Untuk memilih kata-kata yang matang, diperlukan kepandaian mendengar dan merasakan apa yang ada di benak lawan bicara. Dr.Drh.Soehadji, mantan Dirjen Peternakan pernah memperkenalkan istilah ”ukuran keempat” untuk menggambarkan ukuran yang dimensinya berbeda dengan jenis ukuran lainnya. Ukuran pertama adalah panjang atau lebar (satu dimensi dengan ukuran meter), ukuran kedua adalah luas (dua dimensi, menggunakan meter persegi), ukuran ketiga adalah isi (3 dimensi, dengan meter kubik) dan ukuran keempat adalah perasaan (dimensi kompleks). Mereka yang hebat dalam penjualan, negosiasi ataupun dalam memimpin pandai menggunakan ukuran yang abstrak ini. Kita mengenal istilah empati, yakni bagaimana memposisikan perasaan kita pada posisi lawan bicara. Itulah ukuran keempat.

Dari sebuah artikel Erwin Arianto di sebuah mailing list, saya menemukan cerita yang menarik mengenai seorang petani terkemuka di Finlandia yang sangat pandai memilih kata-kata dalam berkomunikasi. Waktu itu garis batas antara Finlandia dan Rusia sedang ditentukan, dan petani itu harus memutuskan apakah dia ingin menjadi warga Finlandia atau Rusia. Setelah memikirkan cukup lama, dia memutuskan untuk berada di Finlandia, tetapi dia tidak ingin melukai perasaan pejabat Rusia. Pejabat Rusia itu datang kepadanya dan bertanya mengapa dia ingin berada di Finlandia.

Petani itu menjawab,"Sudah merupakan kerinduanku sejak dulu untuk tinggal ditanah tumpah darahku Rusia, tetapi pada usiaku yang sudah lanjut seperti ini, aku tidak dapat bertahan menghadapi musim dingin di Rusia."

Dengan kalimat seperti ini pejabat Rusia mendukung keinginan petani untuk bermukim di Finlandia dan tetap bersahabat dengan pejabat Rusia. Tidak terbayangkan jika petani itu mengatakan,” maaf Bapak pejabat, saya punya hak penuh untuk memilih tempat tinggal. Ini bukan urusan Anda”.

Kisah lain yang sejalan dengan topik ini adalah seorang guru yang berusaha untuk menjelaskan kepada sekelompok orang mengenai betapa besarnya reaksi orang terhadap kata-kata, menelan kata-kata, hidup dalam kata-kata.

Salah seorang dari kelompok itu berdiri dan mengajukan protes. Dia berkata, "Saya tidak setuju dengan pendapat Anda bahwa kata-kata mempunyai efek yang begitu besar terhadap diri kita."

Guru itu berkata," Duduklah, anak haram!"

Muka orang itu menjadi pucat karena marah dan berkata,"Anda menyebut diri Anda sebagai orang yang sudah mengalami pencerahan, seorang guru, seorang yang bijaksana, tetapi kenyataannya Anda sangat tidak sopan. Seharusnya Anda malu dengan diri Anda sendiri."

Kemudian Guru itu berkata, "Maafkan saya, saya terbawa perasaan. Saya benar-benar mohon maaf, itu benar-benar di luar kesadaran saya, saya mohon maaf." Orang itu akhirnya menjadi tenang.

Kemudian Guru berkata lagi,"hanya diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan kemarahan dalam diri anda; dan hanya diperlukan beberapa kata untuk menenangkan
diri anda, benar bukan?"***

Email: bambangsuharno@telkom.net
Informasi Training Pengembangan SDM hubungi Gita Organizer: 021.78841279

Drh Sugeng Pujiono, Hidup Itu Harus Bekerja Keras, Cerdas dan Ikhlas

Drh Sugeng Pujiono, Hidup Itu Harus Bekerja Keras, Cerdas dan Ikhlas

Mengangkat profil seseorang selalu mengundang ketertarikan tersendiri bagi Infovet. Untuk itu pada kesempatan kali ini Infovet mengangkat profil seorang yang sukses di bisnis obat hewan. Ia mulai meniti karirnya dari bawah hingga kini menduduki posisi salah satu top manajemen di perusahaannya.
Adalah Drh Sugeng Pujiono pria kelahiran Gresik, 20 November 1963 yang kini menjabat sebagai Marketing Manager PT Sanbe Farma. Sugeng sendiri kaget kenapa harus profil dirinya yang diangkat. Namun kami (red. Infovet) berusaha memberikan penjelasan bahwa Sugeng dinilai sebagai salah satu tokoh bidang peternakan yang karirnya cukup sukses mulai dari bawah hingga posisinya saat ini.
Dibawah tangan dinginnnya, Sanbe Divisi Animal Health berhasil menjadi perusahaan nomor satu di bisnis obat hewan Indonesia dan bahkan berhasil menanamkan fondasi yang kuat di segmen pasar akuakultur.
Namun Sugeng malah menjawab, “Seharusnya yang diangkat adalah keberhasilan pimpinan saya, Drs. Jahja Santosa, Apt. yang telah berhasil membawa Sanbe hingga seperti sekarang ini. Atau juga seluruh anggota tim Sanbe yang menurut saya keberhasilan karir saya tak lepas dari kerja kolektif teman-teman di tim Sanbe,” ujar Sugeng dengan rendah hati.

Mulai Karir Dari Bawah
Dari awal karirnya Sugeng selalu menanamkan prinsip bahwa bekerja itu adalah ibadah. Jadi kalau dipercaya untuk memimpin itu sudah seperti menjalankan amanah. “Dalam hidup motto saya adalah Do the best what can we do, jadi prinsipnya ya melakukan yang terbaik apa bisa kita lakukan,” ujar pria dengan 7 putri dan 1 putra ini.
Dengan guyonannya yang santai Sugeng menuturkan bahwa dia adalah orang yang paling tidak laku di jual diperusahaan, oleh karena itu ia menjadi karyawan yang paling awet di Sanbe.
Semenjak lulus dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga di tahun 1988 ia langsung menjejakkan kakinya di blantika bisnis obat hewan melalui PT Sanbe Farma. Dengan predikat Veterinary Representative ia “membuka hutan” (red. pasar obat hewan) di wilayah Medan mencari titik dimana lokasi peternakan berada yang kelak menjadi pelanggan setia Sanbe. Setelah dua tahun di Medan, tepatnya tahun 1990, Sugeng kembali diminta merambah hutan bisnis obat hewan oleh Sanbe, kali ini di Banjarmasin. Hingga petualangannya, sebagai Vet Rep Sanbe berlanjut ke Samarinda, Kalimantan Timur di tahun 1992.
Berikutnya di tahun 1993, baru ia dipindahtugaskan ke Jawa Timur. Disinilah karirnya mulai menanjak cepat mulai dari Vet Rep, Wakil Supervisor, Supervisor, Regional Manager, Sales Manager dan posisi terakhir sekarang Marketing Manager Sanbe (mulai tahun 2004) dan Marketing Manager PT Caprifarmindo Labs (mulai tahun 2007).
Keberhasilan karir Sugeng tak lepas dari filosofi hidupnya yang selalu dicamkannya yaitu dalam bekerja itu harus kerja keras, cerdas dan ikhlas. Selain belajar dari pengalaman, ia juga rajin mengikuti berbagai pelatihan teknik marketing dan kepemimpinan. Tak hanya menjadi peserta pelatihan ia pun juga kerap didaulat menjadi pengisi seminar dan instruktur pelatihan bidang peternakan dan kesehatan hewan. Salah satunya adalah menjadi instruktur Training “Menjadi Marketer Handal di Industri Kesehatan Hewan” yang diadakan ASOHI, April 2008 lalu di Jakarta.

Jiwa Marketing Ditempa Sejak Kuliah
Ia menyelesaikan pendidikan dokter hewannya selama 7 tahun, namun tak sekadar kuliah ia juga membangun bisnis sampingan yang kini juga telah berbuah sukses. Sembari kuliah ia membuka bimbingan belajar bagi siswa SMA. Sugeng bertugas sebagai koordinator dan pengajar, bersama teman-temannya ia mengajar lebih dari 400 murid setiap tahunnya. Berangkat dari situ ia mulai belajar ilmu marketing tentang bagaimana cara mendapatkan peserta bimbel yang banyak dan mempertahankan loyalitas mereka.
Pengalaman marketingnya juga ditempa sewaktu menjalankan ko-ass sebagai medical representative sebuah perusahaan farmasi selama satu tahun (1987-1988). Di perusahaan itu, Sanbe Farma justru menjadi pesaing utama bagi perusahaan yang Sugeng enggan menyebutkan namanya itu. Sebagai kompetitor, justru Sugeng mengagumi cara kerja Sanbe dan bagaimana citra perusahaan itu dibentuk dan dikenal baik oleh pelanggannya. Oleh karena itu, selepas keluar dari perusahaan lamanya, Sugeng langsung bergabung dengan Sanbe Farma sebagai Vet Rep.

Catatan Sugeng tentang Perunggasan
Dari pengalaman Sugeng diperunggasan selama lebih dari 20 tahun, ia mencatat yang hal yang fenomenal adalah perubahan kualitas genetik ayam ras. Selain itu wawasan peternak pun kini telah cukup baik dalam mengikuti perkembangan khususnya dari segi pemeliharaan kesehatan hewan dan manajemen pemeliharaan.
Untuk broiler kalau dulu diera tahun 80-an untuk mencapai berat badan 1 kilo selama 30 hari pemeliharaan itu sangat sulit sekali dicapai. Namun kini ayam broiler umur 30 hari dengan manajemen yang baik mampu mencapai bobot 1,6 kg.
Lebih lanjut, kalau dulu peternak agak ‘ndableg’ bila diberi masukan mengenai manajemen pemeliharaan atau pengetahuan terbaru. Mereka selalu bilang, “Ah, pakai cara yang lama saja Mas, wong gak pake begitu-begitu juga masih jalan kok.”
Sugeng melanjutkan, “Tapi kondisi itu sudah terbalik sekarang. Kini peternak lebih terbuka terhadap perkembangan iptek. Kalau saja masih ada peternak yang kolot seperti itu, saya jamin tidak lama pasti bakal tutup farmnya.”
Perubahan fenomenal lainnya adalah berubahnya skala kepemilikan peternak. Kalau dulu peternak yang memelihara 500-1000 ekor ayam itu sangat banyak sekali dan menyebar, contohnya dulu seperti peternakan di daerah Jatim, Jateng, Jabar, dan Kalimantan.
“Namun kini kondisinya telah berubah, banyak peternak memilih beternak ayam dengan skala menengah ke atas, mungkin melihat dari sisi ekonomis dan efisiensinya. Sehingga bisa dikatakan jumlah pemainnya tidak banyak,” kata Sugeng.
Hanya dari sisi volume total produksi DOC, Sugeng menilai dibandingkan 20 tahun yang lalu kenaikannya masih stagnan atau tidak mengalami kenaikan yang signifikan.

Peran Sanbe Memajukan Perunggasan
“Sanbe ada karena peternak ada, jadi kalau peternak itu tumbuh maka Sanbe juga akan tumbuh bersama peternak. Bagaimana caranya supaya sama-sama tumbuh, yaitu saling memberdayakan. Dalam hal ini peternak tidak dibiarkan jalan sendiri tapi juga dibimbing dengan bantuan dan konseling,” jelas Sugeng.
Selanjutnya, Sugeng menjelaskan, Sanbe membantu dengan dua aspek yaitu bantuan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dukungan dana. Untuk meningkatkan kualitas SDM peternak, Sanbe biasanya melakukannya secara personal maupun massal. Secara personal dapat dilakukan dengan konsultasi teknis dengan tenaga lapangan Sanbe langsung di farm. Sementara secara massal dilakukan dengan rutin mengumpulkan peternak untuk dilakukan penyuluhan. Dan setiap tenaga lapangan Sanbe memang diwajibkan dan dituntut mampu melakukan hal ini.
Selain itu Sanbe juga rutin melakukan pelatihan yang bisa dilakukan di kantor pusat Sanbe di Bandung atau dilokasi tempat peternak berada. Pelatihan ditempat biasanya dilakukan bila lokasi farm di luar pulau jawa karena pertimbangan efisiensi waktu dan biaya.
Selanjutnya guna memberdayakan peternak Sanbe juga menyediakan fasilitas bantuan dana yang dikhususkan bagi pengembangan skala usaha peternakannya. Dengan begitu akan terjalin kerjasama yang saling sinergis dan menguntungkan. Bantuan dana ini dalam bentuk pinjaman tanpa bunga dan telah dimulai sejak era krisis moneter tahun 2007. Hal-hal tersebut itulah yang menjadi bagian pelayanan prima PT Sanbe Farma. Banyak peternak yang merasakan manfaat dari segala pelayanan prima Sanbe ini namun belum banyak terekspos.
Intinya Sanbe memberikan pencerahan dan pemberdayaan ke peternak, karena Sanbe ada karena peternak ada. Sesuai dengan visi Sanbe yaitu tumbuh dan berkembang bersama peternak. Sedangkan Sanbe mengemban misi untuk menyediakan sarana kesehatan hewan yang dibutuhkan peternak berupa obat-obatan dan vaksin yang bermutu.
“Untuk itu kini Sanbe telah memiliki pabrik vaksin termutakhir PT Caprifarmindo Labs. yang dilengkapi dengan laboratorium berstandar BSL3. PT Caprifarmindo memproduksi hampir seluruh vaksin untuk ternak mulai dari unggas, sapi, babi, kerbau, hewan kesayangan, hingga vaksin untuk udang dan ikan,” pungkas Sugeng.

HPP TELUR AYAM RAS, SEKARANG BERAPA?

Ekbis Infovet Edisi 169 Agustus 2008

HPP TELUR AYAM RAS, SEKARANG BERAPA?
Drh Djarot Winarno

Kenaikan harga bahan bakar minyak, tentu sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga bahan baku pakan ayam. Terutama bahan baku yang berasal dari luar negeri atau impor. Lebih-lebih dengan naiknya permintaan pasar internasional dan pemakaian sebagian bahan baku pakan untuk memproduksi energi, maka harganya pun menjadi semakin mahal. Pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak terhadap biaya transport juga sangat terasa sekali, semakin mahal. Selanjutnya, akan sangat berpengaruh terhadap harga pokok produksi telur.
Harga pokok produksi (HPP) merupakan puncak dari berbagai variabel kegiatan manajemen peternakan ayam petelur. Komponen-komponen pembentuk harga pokok produksi telur : (1) pakan, (2) biaya operasional (upah, bahan bakar minyak, listrik, telepon, material-material, perawatan), (3) penyusutan pullet (ayam dara sampai dengan umur 19 minggu), (4) penyusutan investasi infrastruktur (kandang, gudang pakan dan telur, mess, kantor, listrik, jalan dll), (5) biaya penjualan (6) obat, vaksin, vitamin dan kimia, dan (7) biaya lain-lain.

Komponen Pembentuk Harga Pokok Produksi Telur
1. Pakan
Harga pakan jadi/komplit buatan pabrik di Jawa Timur yang berlaku saat tulisan ini dibuat, per 1 Juli 2008, rata-rata Rp 3.700,-/kg. Ditambah biaya kirim ke kandang dengan jarak 100 km dan upah menurunkan, lebih kurang Rp 75,-/kg. Jadi, harga pakan, sampai dimakan ayam, menjadi Rp 3.775,-/kg. Dikalikan FCR (feed conversion ratio) total populasi ayam petelur yang berproduksi, umur 20 s/d 80 minggu, rata-rata 2.35, maka biaya pakan, Rp 8.871,-/kg.
2. Biaya Operasional
Yang termasuk biaya operasional adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan peternakan ayam petelur untuk berproduksi. Meliputi listrik, telepon, air, upah/gaji tenaga kerja, perawatan, material-material, sosial, kesehatan, pengamanan dan lain-lain. Antara satu peternakan dengan peternakan yang lain tentu saja berbeda. Tergantung dari sistem kandang yang digunakan, alat dan cara pemberian pakan dan minum, apakah manual, semi-otomatis atau otomatis. Menurut pengalaman peternak di Jawa Timur, dengan cara pemberian pakan dan minum secara manual, biaya operasionalnya lebih kurang Rp 700,-/kg. Bila semi-otomatis atau otomatis, biayanya bisa lebih murah Rp 100 – 200,-/kg.
3. Penyusutan Pullet
Yang dianggap pullet di sini adalah ayam dara sampai dengan umur 133 hari (umur 19 minggu, hari ke-7). Sedangkan yang dimaksud layer adalah ayam petelur umur 134 hari (umur 20 minggu, hari ke-1) s/d 80 minggu. Dengan harga anak ayam, pakan, biaya operasional, vaksin, vitamin, kimia dan lain-lain yang berlaku saat ini, per 1 Juli 2008, harga pullet sampai dengan umur 133 hari, lebih kurang Rp 50.000,-/ekor.
Saat layer tua diafkir pada umur 80 minggu, harga di Jawa Timur rata-rata hanya Rp 10.000,-/kg. Bobot badan rata-rata 1,9 kg/ekor = Rp 19.000,-/ekor. Sedangkan sisa hidup saat diafkir pada umur 80 minggu, rata-rata 17,5%. Jadi, pendapatan dari ayam afkir Rp 19.000,- x 82,5%=Rp16.625,-/ekor. Nilai penyusutan pullet adalah harga awal masa produksi, dikurangi pendapatan afkir, sisa Rp 33.375,-/ekor, dibagi pendapatan telur dalam 1 (satu) periode s/d umur 80 minggu, rata-rata 19 kg telur/ekor = Rp 1.756,-/kg.
4. Biaya Penyusutan Investasi Kandang dan Infrastruktur
Beban biaya penyusutan investasi kandang dan infra-struktur penunjang, tidak termasuk nilai lahan. Karena lahan nilainya tidak menyusut, malah akan naik terus dari waktu ke waktu.
Kandang dan infra-struktur penunjang yang sudah ada saat ini, pada umumnya dibuat 3 – 10 tahun yang lalu dimana nilainya saat itu rata-rata Rp 40.000,-/ekor. Hampir tidak ada investasi kandang baru dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Dengan perhitungan masa pakai bisa 10 tahun (= 7 periode), maka nilai penyusutan investasi awal sama dengan Rp 40.000 : 7 periode : 19 kg telur per periode, Rp 300,-/kg.
Bagi Anda yang sering memundurkan jadwal afkir, 6 – 10 minggu tiap periode, maka pemakaian kandang tidak bisa 7 (tujuh) periode dalam 10 (sepuluh) tahun, hanya 6 (enam) periode saja. Nilai penyusutan investasinya menjadi Rp 40.000 : 6 periode : 21 kg (karena umur afkirnya dimundurkan, tapi produktifitasnya sudah jelek) = Rp 317,-/kg. Malah jadi lebih mahal.
Belum lagi tingginya rasio upah tenaga kerja akibat rendahnya produktifitas layer yang sudah tua, yang sebenarnya sudah tidak layak “pakai”. Kualitas telur jadi menurun, resikonya banyak keluhan dari pelanggan telur. Persentase telur retak dan pecah meningkat. FCR ayam tua juga sangat jelek, lebih dari 2,5. Akibatnya, pemanfaat investasi kandang dan infrastruktur menjadi kurang ekonomis. Ini sebagai bahan renungan bagi Anda, para peternak petelur.
5. Biaya Penjualan
Setelah telur diproduksi, masih ada biaya yang harus dikeluarkan untuk menjualnya walaupun dijual di tempat (loco) di kandang atau gudang telur. Biaya-biaya itu meliputi telepon, listrik, susut bobot, retak, pecah, upah tenaga kerja, kemasan (peti kayu, egg trey, tali, label dan lain-lain). Rata-rata biaya penjualan Rp 200,-/kg.
6. Obat-obatan, Vaksin dan Kimia (O.V.K.)
Perusahaan peternakan ayam petelur, karena mengelola makhluk hidup, maka memerlukan obat-obatan (antibiotik, anti cacing), vaksin (vaksin mati dan vaksin hidup) dan kimia (desinfektan, insektisida, vitamin) supaya ayam tetap sehat dan berproduksi secara optimal. Vaksinasi terhadap beberapa penyakit harus diulang berkala, obat cacing perlu diulang berkala, pemberantasan hama lalat dan kutu, biosekuriti dan vitamin juga harus diberikan secara berkala. Total biaya OVK bila dirata-rata tidak kurang dari Rp 250,-/kg.
7. Biaya Lain-lain
Dalam perjalanan suatu perusahaan, tidak terlepas dari hal-hal yang terjadi di luar perkiraan atau tak terduga. Biasanya menyangkut biaya sosial, kesehatan karyawan, keamanan, kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja. Maka, perlu dicadangkan biaya tak terduga, diperkirakan rata-ratanya perlu anggaran sebesar Rp 50,-/kg.

Catatan : dalam pembahasan ini diasumsikan semua biaya investasi dari “kantong” sendiri. Dianggap tidak pakai uang bank. Maka, tidak ada biaya bunga dan angsuran hutang ke bank. Istilahnya, pakai “uang dingin”, bukan “uang panas”.

Rangkuman biaya-biaya :
1. Pakan ………… Rp 8.871,- (74.15%)
2. B.O. ………….. Rp 700,- ( 5.77%)
3. Pullet ………… Rp 1.756,- (14.48%)
4. Investasi ….. Rp 300,- ( 2.47%)
5. Penjualan ... Rp 200,- ( 1.65%)
6. O.V.K ………… Rp 250,- ( 2.06%)
7. Lain-lain …… Rp 50,- ( 0.41%)
Total Rp 12.127,-(100 %)

Berikutnya, supaya gampang menghitung secara cepat, rasio harga pokok produksi (= R.H.P.P.), yaitu harga pokok produksi telur Rp 12.127 : harga pakan Rp 3.775,-/kg = 3,2.

RUMUS
HPP TELUR = HARGA PAKAN X 3.2

Kalau toh ada selisih hitungan secara akunting, bisa dipastikan tidak akan banyak, Rp 100 – 200,-/kg. Persoalannya, bagaimana caranya peternak petelur bisa menekan HPP supaya kompetitif (punya daya saing tinggi, tidak tergantung dari tingginya harga jual) dan bisa bertahan dikancah peternakan ayam petelur serta masih bisa mendapat untung.

Evaluasi Manajemen Peternakan
Sebelumnya, mari kita mawas diri dulu, apakah manajemen peternakan ayam petelur yang Anda kelola sudah berada di jalur yang baik dan benar, baik efisiensi mau pun performance-nya :
1. Ke-1 : High Cost – High Performance
2. Ke-2 : Low Cost – Low Performance
3. Ke-3 : High Cost – Low Performance
4. Ke-4 : Low Cost – High Performance
Sekarang coba Anda tinjau dan atau evaluasi, apakah biaya-biaya untuk menghasilkan telur di perusahaan Anda sudah efisien. Terutama biaya pakan, biaya operasional dan biaya penyusutan pullet. Karena ketiga biaya tersebut menempati porsi yang paling banyak dan menentukan, yaitu 94.5%. Dan, Anda evaluasi apakah performance-nya sudah baik dan benar.
Bila Anda berada di jalur ke-1, mungkin masih bisa untung. Karena, dengan HC-HP, ada kemungkinan bisa tercapai FCR 2.1 – 2.2 dan gambaran grafik produksinya tidak turun secara curam tetapi bisa landai.
Bila Anda berada di jalur ke-2, LC-LP, umumnya masih bisa bertahan. Asal efisiensi biaya operasional dan pakan harus cukup nyata. Biaya operasional harus bisa lebih rendah Rp 200,-/kg telur dibanding peternak layer yang lain dan harga pakan harus bisa lebih murah Rp 200 – 300,-/kg dibanding peternak layer lain. Walaupun produktifitasnya lebih rendah, tetap ada selisih lebih antara harga jual telur dengan harga pokok produksi. Saran saya, cari upaya supaya ada sedikit peningkatan produktifitas.
Bila Anda berada di jalur ke-3, HC-LP, hampir bisa dipastikan rugi. Bila Anda masih ingin mempertahankan peternakan yang sudah di jalur ini, Anda harus melakukan “reformasi” manajemen, terutama di level pimpinan.
Pada umumnya, perusahaan yang berjalan di jalur ke-3 ini, struktur organisasinya “gembung” seperti buah apel. Jadi, salah satu programnya harus dilakukan perampingan struktur organisasinya menjadi “segitiga sama kaki”, kokoh.
Kenyataan di lapangan, semakin banyak karyawan, bisa dipastikan semakin banyak masalah. Belum tentu karyawan yang direkrut mampu menyelesaikan masalah.
Cari karyawan yang memang mampu, profesional (jujur, disiplin, punya integritas pribadi yang utuh) dan berdedikasi tinggi. Ingat prinsip dasar dalam menyusun struktur organisasi, the rigth man on the right place (orang yang tepat didudukkan di posisi yang tepat). Bila sudah tidak mampu dan atau tidak mau mempertahankan lagi, saran saya, dijual saja atau di-“likuidasi”. Untuk apa “capek-capek” bekerja tetapi malah rugi.
Jalur ke-4, LC-HP, merupakan idaman semua peternak layer. Perusahaan yang berjalan di jalur ini, biasanya, struktur organisasinya ramping, masa kerja karyawannya relatif lama (rata-rata bisa >5 tahun), terbentuk teamwork yang harmonis dimana masing-masing orang jelas job description-nya dan hampir-hampir tidak ada konflik internal.

Capai Efisiensi
Supaya bisa efisien, perlu dibenahi rasio-rasionya, sebagai berikut :
1. Rasio Populasi
Yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah total populasi layer atau ayam petelur yang berproduksi, yaitu mulai umur 20 – 80 minggu, dibagi semua karyawan yang terlibat mengelola suatu peternakan. Mulai Manajer, Kepala Bagian, Mandor, Staf, Satpam, karyawan kandang, karyawan gudang pakan, gudang telur, perawatan, umum dan lain-lain. Untuk peternakan dengan sistem kandang terbuka dan pemberian pakan dan minumnya manual, seyogyanya, rasionya tidak kurang dari 2.000 ekor per orang. Bila rasionya kurang dari 2.000 ekor per orang, biaya upah tenaga kerjanya menjadi relatif mahal. Upah tenaga kerja memakai patokan Upah Minimum Kabupaten (UMP) setempat.
Bila pemberian air minumnya pakai neaple, rasionya bisa 2.500 ekor per orang. Bila pemberian air minum dan pakan pakai sistem semi otomatis tanpa energi listrik (hopper dorong), rasionya bisa lebih dari 3.000 ekor per orang.
Bila sistem kandang, tata letak dan tata kelolanya dirancang sejak awal, rasionya bisa >3.000 ekor per orang. Biaya upah tenaga kerja tentu saja menjadi relatif lebih murah walau pun Anda memberi upah 125 - 150 % di atas Upah Minimum Kabupaten setempat. Keuntungannya, karyawan lebih mudah diatur karena orangnya sedikit tapi dengan take home pay tinggi, produktifitasnya menjadi lebih tinggi dan “betah” bekerja di tempat Anda. Tidak terjadi “gonta-ganti” karyawan terlalu sering.
2. Rasio Biaya Operasional
Biaya operasional ada yang bersifat tetap (fixed cost), ada yang bersifat tidak tetap (vaiable cost). Logikanya, sebaiknya Anda harus bisa menekan biaya tetap. Misalnya, menggunakan karyawan tetap sedikit saja, yaitu sebatas tenaga inti atau tenaga terampil. Selebihnya, yang tidak memerlukan keterampilan tinggi, cukup menggunakan karyawan harian dan atau borongan. Di peternakan ayam pedaging, semua karyawan kandang sistem upahnya borongan.
3. Rasio Konversi Pakan (Feed Conversion Ratio = FCR)
Porsi terbesar komponen pembentuk harga pokok produksi telur adalah pakan yaitu lebih kurang 75%. Maka dari itu segala daya upaya harus diusahakan bisa menghasilkan penghematan pemakaian pakan tetapi tanpa mengorbankan sisi produktifitas. Semua strain layer yang beredar di Indonesia mengaku bahwa, FCR strainnya bisa 2.1–2.2. Kenapa tidak bisa? Pengalaman banyak peternak layer di Jatim, FCR tersebut bisa dicapai dan dipertahankan selama bertahun-tahun, sejak 1995 sampai sekarang. Pemberian pakannya secara manual, tetapi pemberian air minum pada umumnya sudah pakai nipple.
Coba Anda hitung berapa rupiah yang menguap (potential loss) bila FCR 2.35 dibanding FCR 2.20. Berarti ada penghematan pemakaian pakan sebesar 0.150 kg pakan/kg telur x harga pakan Rp 3.775 = Rp 566,-/kg telur.
Anda yang punya layer 100.000 ekor, nilai penghematannya : produksi rata-rata 5.000 kg x Rp 566,- = Rp 2.830.000,-/hari x 30 hari = Rp 84.900.000,-/bulan x 12 bulan = Rp1.018.800.000,-/tahun. Sungguh fantastis.
Padahal ini hitungan dari jumlah layer 100.000 ekor saja. Bagi Anda yang punya layer banyak, >200.000 ekor, tidak akan rugi bila mengkaryakan tenaga ahli dengan gaji di atas Rp 10.000.000,-/bulan, dengan catatan performance dan efisiensi, yaitu egg mass >50 kg/1.000 ekor dan FCR maksimum 2.20.
Pemberian air minum ayam pakai nipple, jauh lebih hemat biaya listrik dan air serta hampir-hampir tidak ada limbah. Pemakaian pakannya juga bisa hemat 2 – 3 gram/ekor/hari dibanding pemberian air minum pakai talang.
Pemberian pakan ayam pakai corong (hopper) yang didorong tenaga manusia sangat menghemat pakan, bisa mencapai 2 – 3 gram/ekor/hari dibanding pemberian pakan secara manual pakai tenaga manusia. Karena pakan yang tercecer hampir tidak ada. Bila Anda mau, konstruksi kandang yang sudah ada bisa dimodifikasi supaya bisa pakai nipple dan hopper.
Kombinasi keduanya, pemberian air minum pakai nipple dan pemberian pakan pakai hopper, bisa menghemat pemakaian pakan lebih kurang 5 (lima) gram/ekor/hari. Tanpa perlu membatasi jatah pakan ayam. Pemberian pakan bisa tetap ad libitum. Artinya, biarkan ayam yang mengatur seberapa jumlah nutrisi yang dibutuh sesuai umurnya. Karena layer sangat jujur, dikasih makan sedikit, produksi telurnya sedikit dan kecil. Dikasih makan banyak, produksi telurnya banyak dan besar. Ingat, harga pakan sangatlah mahal. Tiap gram yang bisa dihemat, akan sangat bermanfaat.
4. Rasio Produktifitas Layer
Peternak layer wajib punya catatan (recording) produksi bukan yang harian (Hen Day) saja, tetapi harus lengkap sampai recording per periode (Hen House). Produktifitas layer, umur 20 – 80 minggu, usahakan bisa mencapai rata-rata minimum 50 kg telur/1.000 ekor. Sedangkan sebagai bahan evaluasi per periode hen house, produksi telur seharusnya bisa mencapai 20 kg telur/ ekor pada umur 76–80 minggu. Standard tersebut bisa dicapai bila produktifitas telur harian tinggi, >50 kg telur/1.000 ekor dan diimbangi dengan susut jumlah ayam rendah, seperiode tidak lebih dari 10% (=0.6% per bulan).
Demikian sekilas ringkas hitungan harga pokok produksi telur saat ini, dengan dasar harga pakan dan anak ayam yang berlaku per 01 Juli 2008. Bila, pada kemudian hari harga pakan, anak ayam, upah tenaga kerja, bahan bakar minyak naik lagi, berapa pun naiknya, maka cara menghitungnya mudah sekali. Demikian juga bila terjadi sebaliknya, harga-harga turun. HPP telur = harga pakan x 3,2.
Semoga bermanfaat.

South East Asia Seminar Alltech Soroti Teknologi Pakan Terbaru

Info Iptek Edisi 169 Agustus 2008

South East Asia Seminar Alltech Soroti Teknologi Pakan Terbaru

Para ahli di bidang perunggasan menggarisbawahi perlunya membuka pandangan terhadap berbagai peluang yang ada. Khususnya dalam teknologi pakan ternak dengan menggunakan teknologi-teknologi terbaru dan teknik-teknik inovatif untuk membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi produsen ternak unggas. Salah satu upaya yang bisa dilakukan melalui pengembangan potensi genetik, menggunakan by-product alternatif dan terus meningkatkan profit.
Hal inilah yang melatarbelakangi diselenggarakannya Alltech’s Poultry Seminar berjudul “How to achieve optimum performance naturally”. Seminar ini diselenggarakan di seluruh wilayah Asia Tenggara pada tanggal 23-27 Juli 2008.
Mr. Aziz Sacranie, Technical Poultry Director Alltech memberikan review mengenai aplikasi selenium di dalam industri perunggasan serta Mr. Cemlyn Martin, General Manager Alltech untuk Asia Tenggara, yang membuka seminar tersebut dengan memberikan gambaran mengenai industri perunggasan di wilayah Asia Tenggara.
Sacranie mengatakan, “Kondisi usaha perunggasan saat ini penuh dengan tantangan. Dimana biaya pakan dan produksi kian meningkat, di lain pihak tuntutan untuk terus memaksimalkan performa sekaligus memperoleh profit semakin menambah tekanan. Sehingga diperlukan masukan solusi terbaru untuk menyiasatinya.”
Dr Alison Leary, Key Account Technical Services Manager, Alltech bertanya kepada hadirin, “Apakah mungkin memiliki pakan yang tersedia secara ekonomis sekaligus meningkatkan performa unggas secara optimal?” Solusi yang ia tawarkan adalah menggunakan teknologi enzim kompleks Solid State Fermentation (SSF) untuk meningkatkan kecernaan dan pemanfaatan seluruh bahan baku pakan serta bahan baku mentah dari yang tersedia secara lokal misalnya singkong, dedak, PKM (palm kernel meal) dan DDGs untuk pakan ternak unggas..
Prof Peter Surai dari Scottish Agricultural College, Inggris; menjelaskan tentang bagaimana selenium organik (Sel-Plex®) memainkan peran yang penting dari banyak proses fisiologis pada unggas dan bagaimana selenium dapat membantu meningkatkan performa dan daya imun serta mengurangi stress. Beliau juga menunjukkan ilmu pengetahuan yang baru yaitu Nutrigenomics – memperlihatkan pengaruh yang kuat dari nutrisi terhadap ekspresi gen.
“Mulailah dari awal yang baik”, adalah topik presentasi dari Prof. Peter Spring. Prof. Spring yang berasal dari Swiss College of Agriculture mengilustrasikan pentingnya nutrisi awal yang diberikan kepada anak ayam dan memastikan pakan untuk pre-starter yang optimal. Termasuk didalamnya penggunaan protein yang kaya akan nukleotida (NuPro®) di dalam pakan unggas yang masih muda yang dapat meningkatkan kemampuan GIT, memungkinkan nutrisi dapat diserap lebih baik selama masa pertumbuhan unggas tersebut yang dapat membantu mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan FCR.
Drh Isra Noor, pimpinan PT Alltech Biotechnology Indonesia menjelaskan bahwa tujuan dari seminar ini adalah untuk meningkatkan kesadaran akan adanya teknologi baru dalam ilmu nutrisi ternak yang tersedia yang dapat membantu mewujudkan potensi genetik hewan unggas dan sekaligus meningkatkan keuntungan. (Inf/adv)

Indonesia Targetkan Tekan Impor Daging

Indonesia Targetkan Tekan Impor Daging

Indonesia hanya mampu memenuhi 72% kebutuhan daging sapi. Ketergantungan kepada pasokan impor masih cukup tinggi, yaitu sekitar 28%. Jika kondisi itu dibiarkan, diperkirakan tingkat ketergantungan akan meningkat hingga 37% pada tahun 2010.
Dirjen Peternakan dari Departemen Pertanian, Dr. Ir. Tjeppy D. Soedjana mengatakan itu dalam pembukaan “Sosialisasi Program Percepatan Pencapaian Swasembada Daging Sapi (P2SDS) di Aula Bapeda Jabar, Jln. Ir. H. Djuanda, Kota Bandung. “Kondisi yang diinginkan pada tahun 2010, penyediaan daging dari impor maksimal 10%. Semuanya diupayakan dipenuhi oleh dalam negeri,” ucapnya.
Untuk melaksanakan program tersebut di Jabar, pemerintah pusat mengalokasikan dana senilai Rp 7,7 miliar dari APBN tahun 2008. Dana tersebut akan digunakan di antaranya untuk kegiatan pembuatan biogas, kios daging, integrasi pertanian-ternak, konservasi lahan kawasan peternakan, konservasi daerah aliran sungai (DAS), sekolah lapang, dan irigasi tanah permukaan.
Program P2SDS akan diterapkan di 16 kabupaten dan 2 kota di Jabar. Namun, hingga saat ini Jabar masih menghadapi banyak kendala. Dari sisi sumber daya manusia, Disnak kekurangan 106 tenaga inseminator berikut 138 kendaraan roda dua untuk petugas insemintor. Selain itu, masih terdapat kabupaten yang belum memiliki pos Inseminasi Buatan (IB), yaitu Kab. Karawang, Kab. Bandung, Kota Tasikmalaya, dan Kota Banjar. (inf/pr)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer