Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Infovet 127, Februari 2005 - MAHADUKA ACEH MAHADUKA KITA SEMUA

RUANG REDAKSI

2005

[Edisi 127 Februari] MAHADUKA ACEH MAHADUKA KITA SEMUA
[Edisi 128 Maret] DOKTOR-DOKTOR PUN BERMUNCULAN
[Edisi 129 April] KASIH INFOVET CINTA KITA
[Edisi 130 Mei] 13 TAHUN BERSAMA KITA MELANGKAH SEMAKIN MAJU
[Edisi 131 Juni] BETAPA KAMI BERSAMA ANDA
[Edisi 132 Juli] Infovet Hidangan Lezat Penawar Rindu
[Edisi 133 Agustus] TABIAT MULIA INI UNTUK ANDA
[Edisi 134 September] MAKNA BAHAGIA DALAM KARYA
[Edisi 135 Oktober] LANGKAH PERCAYA PADA WAKTU YANG SANGAT BERHARGA
[Edisi 136 November] MATA BATIN BERNAMA INFOVET

2006

[Edisi 138 Januari] PEMBAHARUAN KITA
[Edisi 139 Februari] KETERGANTUNGAN KITA
[Edisi 140 Maret] DARI SOLUSI KE SOLUSI
[Edisi 141 April] KEBERHASILAN KITA BERSAMA
[Edisi 142 Mei] SELAMAT DATANG PERUBAHAN
[Edisi 143 Juni] PRIORITAS DALAM KESEIMBANGAN
[Edisi 144 Juli] FREE DAN FAIR BISNIS-BISNIS KITA
[Edisi 145 Agustus] CARA SAKTI UNTUK SUKSES
[Edisi 146 September]LABIRIN KEBIJAKSANAAN
[Edisi 147 Oktober] SELAMAT! AGAR KITA BAIK-BAIK SAJA
[Edisi 148 November] PENENTU PERADABAN BISNIS
[Edisi 149 Desember] PINTU DUA MASA

2007

[Edisi 150 Januari] KERJA KERAS. DOA KERAS
[Edisi 151 Februari] UNTUK PARA PEMENANG
[Edisi 152 Maret] JALAN TERANG YANG KITA PILIH
[Edisi 153 April] INDAH PENUH BUNGA WARNA-WARNI
[Edisi 154 Mei]KETIKA KITA MEMILIH
[Edisi 155 Juni] BERBAHAGIALAH KARENA TERNAK
[Edisi 156 Juli] BERBAGI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH
[Edisi 157 Agustus] MERDEKA DENGAN KOMUNIKASI
[Edisi 158 September] HARI KEBANGKITAN KITA
[Edisi 159 Oktober] Giliran Pencerahan Bidang Kita?
[Edisi 160 Nopember] BUKAN SEMATA UNTUK KEPENTINGAN MANUSIA
[Edisi 161 Desember] HOMO ECONOMICUS

2008

[Edisi 162 Januari] PROFESIONAL DAN MORAL PETERNAKAN/KESWAN
[Edisi 163 Februari] TEMU TAHUNAN KARYAWAN LIBATKAN KELUARGA
[Edisi 164 Maret] Kunjungan Bersama
[Edisi 165 April] OBYEK YANG BERCERITA
[Edisi 166 Mei] PONDASI 16 TAHUN INFOVET
[Edisi 167 Juni] SUATU BUKTI KEUNGGULAN
[Edisi 168 Juli] KETIKA KITA MENGGUNTING PITA
[Edisi 169 Agustus] Merdeka Vs Lupa
[Edisi 170 September] LANGKAH PUN SANGATLAH BERMANFAAT
[Edisi 171 Oktober] TERKAIT MISI DAN VISI KITA
[Edisi 172 Nopember] PINTU MASUK YANG SANGAT KUAT
[Edisi 173 Desember] ESENSI KUADRAT

2009

[Edisi 174 Januari] MENERUSKAN CITA-CITA

MATERI EDISI CETAK

MATERI EDISI AKTUAL

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)

SWOLLEN HEAD SYNDROME (SHS)
SALAH SATU PENYAKIT IMMUNOSUPRESI
PEMICU TIMBULNYA GANGGUAN PERNAFASAN KOMPLEKS
PADA AYAM


Kejadian penyakit pernafasan, baik bersifat ringan atau cukup berat hampir selalu terjadi pada setiap periode pemeliharaan ayam. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, dan dari banyak faktor yang ada tersebut, kebanyakan disebabkan oleh masih lemahnya paraktek manajemen dan upaya pengamanan biologis ditingkat peternak. Daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, menjadi salah satu faktor pendukung mudahnya ayam terinfeksi agen penyakit pernafasan tertentu yang bersifat immunosupresi, dimana penyakit pernafasan yang bersifat immunosupresi tersebut dapat memicu timbulnya infeksi penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan pada ayam yang terinfeksi cenderung menjadi lebih kompleks.
Salah satu penyakit dengan gejala kebengkaan pada kepala ayam, yang sering diistilahkan dengan “Swollen Head syndrome”, merupakan salah satu penyakit pernafasan yang disebabkan oleh virus jenis “Avian pneumovirus”. Pada dasarnya infeksi dari virus itu sendiri tidak menimbulkan adanya gejala kebengkaan pada daerah kepala dari ayam yang terinfeksi, akan tetapi adanya kebengkaan pada daerah kepala ayam yang terinfeksi, disebabkan oleh adanya infeksi sekunder dari kuman lain, seperti; Pasteurella, E.coli, Mycoplasma atau Haemophillus. Penyakit SHS sendiri digolongkan kedalam salah satu penyakit penyebab immunosupresi (lokal immunosupresi).
Pola kejadian penyakit SHS di lapangan kebanyakan bersifat musiman dan selalu muncul pada lokasi peternakan ayam dengan kondisi manajemen dan sistem pemeliharaanya yang kurang memadai. Belakangan ini kejadian penyakit SHS di lapangan, baik pada peternakan komersial broiler maupun layer serta pada beberapa breeding farm, mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Data mengenai kecenderungan meningkatnya kejadian SHS belakangan ini di lapangan, dapat penulis peroleh dari banyaknya laporan para “technical service” (TS), disamping juga pengamatan langsung di lapangan, serta didukung dengan data hasil pemeriksaan serologis terhadap SHS pada kelompok ayam dari lokasi peternakan yang tidak pernah divaksinasi terhadap SHS sebelumnya. Dimana hampir pada sebagian besar peternakan ayam yang diperiksakan titer antibodinya, sering mengeluhkan adanya gangguan penyakit pernafasan dan adanya sejumlah kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang sudah diberikan pada ayamnya (pada layer maupun beberapa pada breeder).
Meningkatnya kejadian SHS di lapangan, tidak terlepas dari masih lemahnya praktek manajemen, pengamanan biologis yang dijalankan peternak dan pola pemeliharaan ayam dengan banyak variasi umur dalam satu lokasi peternakan, serta kebanyakan peternak belum merasa perlu untuk melakukan vaksinasi terhadap SHS pada ayam yang dipeliharanya. Berkaitan dengan tidak diprogramkannya vaksinasi SHS oleh sebagian besar peternak, disebabkan masih adanya anggapan dari sebagian besar peternak, bahwa penyakit SHS tersebut merupakan penyakit yang bersifat musiman, tidak terlalu ganas dan tidak menimbulkan kematian yang tinggi, serta kurangnya pemahaman peternak, bahwa penyakit SHS dapat menjadi pemicu infeksi agen penyakit pernafasan lainnya.

Gejala klinis dan lesi-lesi dari ayam yang terserang SHS

Pada ayam broiler penyakit ini umumnya menyerang dan sering ditemukan pada umur antara 2 – 6 minggu. Faktor yang dapat menjadi pemicu terjadinya SHS lebih banyak disebabkan oleh daya dukung lingkungan peternakan yang kurang memadai, seperti sirkulasi udara yang kurang baik, kepadatan ayam cukup tinggi dan kandang yang pengap, serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Gejala awal dari ayam yang terserang penyakit pernafasan secara umum hampir sama, yakni mulai dari adanya kelesuan, menurunnya tingkat konsumsi pakan, serta adanya gejala bersin-bersin dan mata berair. Namun ada gejala yang bersifat khas untuk ayam yang terserang SHS yakni adanya kebengkaan kelenjar air mata dan bila disertai adanya infeksi sekunder oleh kuman E.coli atau kuman lainnya dapat menyebabkan terjadinya “oedema subcutan” pada daerah kepala bagian atas sampai pada daerah 1/3 leher bagian atas. Kebengkakan biasanya mulai dari daerah sekitar kelopak mata bagian atas, kepala bagian atas, kemudian berlanjut ke jaringan “intermandibular” dan pial. Mata dari ayam yang menunjukkan kebengkaan di daerah fascialnya hampir tertutup, dengan pupil nampak mengalami dilatasi, sehingga nampak seperti melotot. Terkadang disertai adanya leleran pada mata dan hidung, bila diikuti oleh infeksi sekunder dari kuman penyebab penyakit Coryza atau CRD.
Pada ayam yang kepalanya bengkak tersebut, sering nampak lesu dengan meletakan kepalanya di lantai kandang, sehingga akan memperparah keadaanya. Pada ayam broiler, bila murni terinfeksi virus penyebab SHS kematiannya tergolong rendah berkisar antara 1 - 5%, kematian yang lebih tinggi dapat terjadi bila diikuti infeksi sekunder oleh kuman seperti E. coli atau Mycoplasma serta kuman atau virus yang bersifat ganas lainnya.
Pada ayam broiler yang terserang SHS, dapat menyebabkan terjadinya stagnasi dari penambahan bobot badannya. Bahkan pada kondisi yang sangat parah dapat menyebabkan terjadinya penyusutan bobot badan dibandingkan dengan berat badan sebelum terjadinya serangan. Pada ayam petelur, kebanyakan menyerang pada ayam pullet menjelang produksi atau ayam masa puncak produksi. Kematian dari ayam yang terserang SHS pada ayam tipe petelur sangat rendah, berkisar 0,1% - 0,5%, namun kerugian ekonomis yang cukup tinggi disebabkan oleh adanya gangguan produksi telur antara 5 – 30%, tergantung ada atau tidaknya infeksi sekunder serta daya dukung lingkungan peternakan.
Sesuai dengan target infeksi dari virus penyebab SHS, sangat terbatas jaringan atau organ tubuh ayam yang dapat diamati mengalami perubahan atau lesi-lesi. Bagian yang mengalami lesi sebagian terbesar ditemukan pada sistem pernafasan bagian atas dan daerah sekitar kepala bagian atas. Pada daerah kepala yang mengalami kebengkaan, ditemukan adanya “oedema” dan peradangan pada jaringan “subcutan” serta adanya timbunan eksudat mukus sampai mukopurulen, tergantung jenis kuman yang menjadi agen infeksi sekundernya. Pada bawah kulit kepala bagian belakang atau disekitar “kranium”, sering ditemukan adanya peradangan dan timbunan eksudat mukopurulen.

SHS salah satu pemicu timbulnya gangguan penyakit pernafasan

Swollen Head Syndrome sebagai salah satu penyakit pernafasan yang bersifat infeksius, dapat memicu timbulnya infeksi sekunder dari agen penyakit pernafasan lain, sehingga gangguan pernafasan yang timbul pada ayam yang terinfeksi SHS tersebut menjadi lebih kompleks. Hal ini dapat terjadi didasarkan atas sifat immunosupresi dan stress yang ditimbulkan oleh infeksi virus penyebab SHS tersebut. Penyakit SHS dinyatakan bersifat immunosupresi, karena infeksi yang ditimbulkan pada saluran pernafasan bagian atas, menyebabkan juga terjadinya kerusakan pada sistem dan kelenjar pertahanan lokal yang ada dalam saluran pernafasan bagian atas tersebut. Sehingga dengan adanya kelainan pada sistem pertahanan lokalnya tersebut, pada saat yang bersamaan akan memicu kuman lain yang ada dalam tubuh ayam mudah menjadi ganas dan menimbulkan infeksi serta kerusakan jaringan yang lebih luas dan parah. Dengan adanya infeksi sekunder pada ayam yang terinfeksi virus penyebab SHS tersebut dapat terlihat adanya gejala gangguan pernafasan yang lebih kompleks serta seringkali dibarengi dengan adanya gejala kebengkaan pada kepalanya.
Kelompok ayam yang sebelumnya tidak pernah diberikan vaksinasi terhadap SHS, dimana dari hasil pemeriksaan secara serologis terdeteksi adanya titer antibodi terhadap SHS serta didukung dengan adanya gejala klinis yang dapat diamati, seringkali pada kelompok ayam yang terinfeksi virus SHS tersebut, diikuti oleh adanya infeksi penyakit pernafasan lain, seperti CRD, Kolibasilosis atau Coryza.
Adanya infeksi sekunder menyebabkan ayam mengalami gangguan pernafasan yang lebih kompleks. Sehingga seringkali upaya pengobatan yang dilakukan di lapangan tidak membuahkan hasil memuaskan. Sebagai contoh yang sering dialami oleh peternak, bila ayamnya terserang SHS dimana terkomplikasi dengan Kolibasilosis, setelah dilakukan pengobatan ayam tersebut nampak sembuh, namun selang beberapa lama gejala yang sama kambuh kembali. Hal ini dapat terjadi, karena obat atau antibiotika yang diberikan sebagai pengobatannya, hanya menyembuhkan terhadap infeksi kuman penyebab Kolibasilosisnya saja, bukan terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus penyebab SHS-nya. Sehinga seringkali kesan yang timbul pada para peternak, menyatakan obat yang digunakan untuk pengobatan terhadap SHS kualitasnya kurang baik.
Dari ayam yang terinfeksi virus SHS, problem gangguan pernafasannya menjadi lebih kompleks dan cenderung jadi lebih parah serta sulit diatasi, bila pada saat bersamaan kondisi lingkungan peternakannya kurang mendukung, seperti kepadatan ayam dalam kandang cukup tinggi, kandang yang lembab dan pengap, atau sangat berdebu, sirkulasi udara yang kurang baik serta tingginya kadar ammonia dalam kandang.
Pada beberapa lokasi sentra peternakan ayam petelur, cukup banyak peternak melaporkan dan mengeluhkan terjadinya kebocoran vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukannya. Dimana kebanyakan dari mereka menduga vaksin Coryza yang diberikan pada ayamnya sudah tidak protektif lagi. Sehingga kebanyakan dari mereka mencoba beralih menggunakan vaksin Coryza merk lain dari yang biasanya mereka sering pakai, bahkan mereka juga mencoba menggunakan vaksin Coryza dengan kandungan antigen-nya lebih lengkap, yakni mengandung 3 jenis antigen (serotipe A, B dan C), namun kenyataan yang dialaminya masih saja ditemukan adanya kebocoran terhadap Coryza dari vaksinasi yang telah dilakukannya tersebut.
Kasus SHS yang terjadi pada peternakan ayam petelur tersebut disinyalir sebagai pemicu terjadinya kegagalan vaksinasi terhadap Coryza yang telah dilakukan oleh peternak. Hal ini didukung dengan data hasil pemeriksaan kasus di lapangan dan hasil pemeriksaan serologis terhadap kelompok ayam yang mengalami kebocoran dari vaksinasi terhadap Coryza. Dimana kelompok ayam yang mengalami kegagalan vaksinasi terhadap Coryza tersebut, sebelumnya tidak pernah dilakukan vaksinasi terhadap SHS, akan tetapi dari hasil pemeriksaan serologisnya terkandung titer antibodi terhadap SHS pada serum darahnya.

Penanggulangan SHS di Lapangan.

Untuk menghindari ancaman atau gangguan terhadap penyakit apapun, pertahanan yang paling utama adalah dengan menjalankan praktek manajemen yang baik dibarengi dengan upaya sanitasi dan desinfeksi serta pengamanan biologis lainnya secara ketat, disamping juga memberikan program kesehatan dan vaksinasi secara memadai pada ayam yang dipelihara, tentunya disesuaikan dengan tingkat tantangan kuman atau virus penyakit yang ada dimasing-masing lokasi peternakan. Sanitasi dan desinfeksi dengan GLUTAMAS atau BIODES-100 sangat penting untuk dilakukan dan sedapat mungkin dilakukan secara lebih ketat guna mengurangi atau menekan tingkat keganasan agen penyakit yang ada di lapangan.
Untuk ayam broiler yang dipelihara pada daerah resiko tinggi dan sering terjadi infeksi virus SHS perlu dipertimbangkan untuk diprogramkan vaksinasinya. Pada ayam broiler umumnya diberikan vaksin aktif dengan vaksin HIPRAVIAR-SHS pada umur antara 4 – 14 hari, tergantung situasi dan kondisi lingkungan di masing-masing peternakan. Vaksinasi pada ayam petelur dengan HIPRAVIAR-SHS diberikan pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi pada umur 17 - 18 minggu. Untuk ayam breeder, vaksinasi dengan HIPRAVIAR-SHS pada umur 8 – 12 minggu dan diulangi dengan pemberian vaksin HIPRAVIAR-TRT4 pada umur 16 – 18 minggu atau 4 minggu sebelum periode awal produksi.
Pengobatan terhadap SHS pada ayam yang terinfeksi, lebih ditujukan untuk mencegah dan sekaligus mengobati terjadinya infeksi bakterial seperti oleh E. coli, Pasteurell, Haemophilus atau Mycoplasma. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-ENRO S atau HIPRALONA-NOR S. Suportive therapy dengan pemberian multivitamin + asam amino konsentrasi tinggi seperti HIPRACHOCK-AMINO, lebih ditujukan untuk mempercepat proses kesembuhannya.
Untuk mencegah infeksi sekunder yang lebih parah oleh kuman E. coli yang sering mengikuti infeksi virus penyebab SHS, disamping pemberian antibiotika seperti HIPRALONA-FLU S atau HIPRALONA-ENRO S sebagai pengobatan saat ayam terserang SHS, faktor kualitas air juga sangat perlu untuk diperhatikan. Air merupakan media yang sangat baik untuk berkembangbiak dan sekaligus penularan kuman E. coli, oleh karena itu sangat perlu untuk diperhatikan dan dilakukan sterilisasi, salah satunya dengan cara klorinasi untuk membunuh kuman E. coli maupun agen penyakit lainnya yang ada dalam air tersebut.



Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA – Spain
wayan@hipra.com

PENYEBAB DAN DAMPAK IMUNOSUPRESI PADA AYAM

PENYEBAB DAN DAMPAK IMUNOSUPRESI PADA AYAM

Ayam yang sehat akan menghasilkan performan produksi yang baik dan hal ini dapat dicapai apabila beberapa faktor seperti : tatalaksana peternakan, nutrisi dan program vaksinasi dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketiga faktor tersebut akan mendukung perkembangan optimal sistem kekebalan ayam. Dengan sistem kekebalan yang berkembang optimal maka kesehatan ayam akan lebih terjaga.
Secara garis besar terdapat empat hal yang dapat mempengaruhi perkembangan sistem kekebalan tubuh ayam, yaitu (1) Rusaknya organ limfoid primer ataupun sekunder karena infeksi virus dan mikotoksin dan (2) Rusaknya organ limfoid sekunder karena infeksi bakterial, (3) stress yang mempengaruhi fungsi organ limfoid primer, dan (4) Suboptimalnya nutrisi dan manajemen yang mempengaruhi perkembangan organ limfoid primer maupun sekunder. Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan sistem pertahanan tubuh maka organ limfoid penghasil sistem kekebalan tubuh harus dijaga.
Perkembangan organ limfoid yang subobtimal akan menyebabkan terjadinya imunosupresi. Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dalam tubuh ayam dan terjadilah infeksi. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.
Oleh sebab itu, mengendalikan keberadaan agen penyebab imunosupresi dan memonitor perkembangan sistem kekebalan ayam merupakan usaha yang harus dilakukan agar target performan produksi ayam komersial dapat tercapai.

Mengenali Gejala Imunosupresi
Memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui dan mengenali gejala terjadinya imunosupresi akan sangat bermanfaat. Dengan mengetahui gejala-gejala imunosupresi, maka penanganan kegagalan dalam mencapai target produksi dikarenakan terjadinya imunosupresi akan menjadi efektif karena tepat pada sasaran.
Terdapat beberapa cara untuk mengevaluasi apakah sistem kekebalan ayam telah berfungsi normal. Langkah awal adalah dengan menganalisa situasi peternakan ayam. Situasi yang dimaksud adalah apakah tatalaksana sudah berjalan dengan ideal dan biosekuriti sudah dilaksanakan dengan optimal. Adanya kematian yang sangat tinggi, pencapaian berat badan dan keseragaman pertumbuhan berat badan ayam yang rendah serta konversi pakan yang tinggi merupakan gejala umum terjadinya imunosupresi.
Gejala lain kasus imunosupresi adalah meningkatnya reaksi pernafasan pasca vaksinasi yang berlangsung cukup lama dan terjadinya komplikasi dengan penyakit lain. Hal ini dapat menyebabkan hasil vaksinasi menjadi suboptimal sehingga dapat mengakibatkan terjadi outbreak penyakit pada suatu peternakan.

Organ Pertahanan Tubuh.
Organ tubuh ayam yang memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh ayam adalah bursa fabricius dan thymus. Kedua organ ini merupakan organ primer atau utama dalam sistem kekebalan. Bursa fabricius akan tumbuh cepat dalam 3 minggu pertama umur ayam. Ukuran bursa akan lebih besar dari lien kurang lebih 5 minggu pertama kehidupan ayam dengan rasio ukuran bursa sebanding dengan ukuran berat badan tubuh. Bursa akan mengalami regresi dimulai pada umur 8 minggu.
Gejala Imunosupresi dapat dilihat melalui perubahan patologi anatomi pada bursa fabricius yaitu terjadi atrofi pada bursa fabricius dan rasio perbandingan ukuran antara bursa fabricius dengan limpa. Bila ukuran bursa fabricius sama atau lebih kecil dari limpa pada 5 minggu pertama umur ayam, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi kasus imunosupresi.
Organ lain yang berperan dalam sistem kekebalan adalah limfa, lempeng peyer pada mukosa usus, tonsil sekalis, struktur limfoid sepanjang saluran pernafasan, kelenjar harder dan konjungtiva mata.



Penyakit Penyebab Imunosupresi
Kejadian imunosupresi disebabkan oleh kerusakan dan terjadinya gangguan fungsi organ limfoid. Penyakit yang merusak struktur dan fungsi organ limfoid primer adalah gumboro, mareks, mikotoksikosis, infeksi reovirus, infeksi chicken anemia dan infeksi ALVJ. Sedangkan penyakit yang dapat merusak struktur dan fungsi organ limfoid sekunder adalah Newcastle disease, Avian Influenza, Swollen Head Syndrome, Infeksius bronchitis, Infeksius Laryngotracheitis, pox bentuk basah, aspergillosis, koksidiosis, mikoplasmosis, snot, kolibasilosis, kolera unggas, salmonellosis dan helmintiasis.

Mikotoksikosis, Penyakit Penyebab Imunosupresi
Mikotoksikosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh mikotoksin, dan penyakit tersebut timbul jika unggas mengkonsumsi pakan atau bahan yang mengandung mikotoksin. Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan jamur dan terdapat pada hampir semua jenis komoditi hasil pertanian di seluruh dunia. Saat ini, lebih dari 300 jenis mikotoksin telah teridentifikasi yang berasal lebih dari 100.000 spesies jamur.
Mikotoksin di sintesis dan dikeluarkan selama proses pertumbuhan jamur tertentu. Dan jika jamur mati, maka produksi mikotoksin akan berhenti, tetapi mikotoksin yang sudah terbentuk tidak akan hilang. Hal tersebut karena mikotoksin memiliki struktur kimiawi yang stabil pada berbagai kondisi lingkungan, sehingga tahan terhadap suhu panas yang ekstrim dan tahan lama pada proses penyimpanan bahan baku serta tahan terhadap berbagai proses pengolahan dalam pembuatan pakan ternak. Yang menjadikan mikotoksin menjadi ancaman yang merugikan adalah kemampuannya mengganggu dan merusak organ sistem kekebalan tubuh ayam, meskipun mikotoksin tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (nanogram sampai mikrogram per gram bahan pakan).
Berdasarkan tempat/lokasi proses pertumbuhan, jamur yang memproduksi toksin dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu Field Fungi, yaitu jamur yang tumbuh pada masa tanam di ladang pertanian (contoh : fusarium) dan Storage Fungi ,yaitu jamur yang tumbuh pada masa penyimpanan di gudang (contoh : Aspergillus sp. dan Penicillium sp.). Bila tidak dikendalikan, kandungan mikotoksin pada bahan baku pakan akan semakin meningkat karena mikotoksin dapat dihasilkan jamur sejak dari masa tanam sampai masa penyimpanan dan didukung sifat mikotoksin yang stabil terhadap lingkungan.
Pada masa tanam, produksi mikotoksin didukung oleh berbagai faktor, antara lain : kondisi iklim (temperatur >30°, dan kelembaban relatif sekitar 80% - 85%), adanya manifestasi serangga, kualitas bibit yang bervariasi dan kepadatan tanaman yang tinggi. Proses panen dapat mempengaruhi jumlah pembentukan mikotoksin, yaitu tingkat kematangan tanaman dan kadar air biji tanaman. Kemudian, pada saat penyimpanan, produksi mikotoksin dipengaruhi oleh kandungan air biji tanaman yang disimpan, efektifitas pengendalian serangga, dan efektifitas bahan pengawet yang ditambahkan. Distribusi bahan baku pakan juga berpengaruh terhadap pembentukan mikotoksin, seperti kondisi pada saat pengapalan.
Upaya untuk penanggulangan dan pengendalian mikotoksinpun telah dilakukan berbagai pihak, baik petani jagung maupun peternak. Namun terdapat berbagai hambatan dalam proses penanggulangannya, yaitu kondisi iklim saat ini yang berfluktuatif, penanganan pasca panen yang belum optimal, penyimpanan bahan baku yang belum optimal, adanya impor bahan baku pakan sehingga fungi dan mikotoksin dapat ditransfer dari negara lain, adanya pencemaran toksin yang bersifat ganda, struktur kimia mikotoksin yang sangat stabil dan kurang memadainya fasilitas pengeringan, penyimpanan dan mesin giling. Yang paling mendukung pencemaran mikotoksin adalah mikotoksin dapat ditemukan dan tumbuh secara alami pada bahan baku biji-bijian pakan.
Menurut Hamilton (1984), tidak terdapat batas kandungan yang aman untuk mikotoksin. Asupan mikotoksin sekecil apapun, akan terakumulasi. Efek yang ditimbulkan mikotoksin akan berpengaruh secara bertahap sesuai jumlah asupan mikotoksin. Mikotoksi pertama-tama akan menyebabkan penurunan daya tanggap kekebalan tubuh atau imunosupresi, kemudian gangguan metabolisme, berlanjut menimbulkan gejala klinis dan berakhir dengan kematian.
Mekanisme kerusakan jaringan akibat mikotoksikosis belum diketahui secara pasti, akan tetapi diketahui mengganggu proses sintesa protein sehingga dapat menyebabkan gangguan metabolisme. Gejala klinis mikotoksikosis biasanya tergantung dari jenis dan kadar mikotoksin. Variasi gejala klinis tersebut dapat berupa gangguan pertumbuhan ayam, gangguan produksi telur, gangguan daya tetas telur, gangguan pencernaan, perdarahan pada kulit, kerusakan jaringan pada paruh, rongga mulut dan gangguan akibat efek imunosupresi. Konsekuensi terjadinya penurunan daya tanggap kebal atau imunosupresi akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit, meningkatkan derajat keparahan penyakit, meningkatkan tingkat kesulitan pengobatan, respon imun yang buruk, dan mengaktivasi pembentukan tumor.
Sulit mendeteksi keberadaan mikotoksin pada bahan baku pakan karena sifat mikotoksin yang tidak terlihat, tidak berbau dan tidak berasa. Toxin seperti zearalenone, akan berikatan dengan komponen nutrisi yang berbeda-beda, seperti glycosides, glocuronides, atau fatty acid esters. Bila terjadi ikatan zearalenone-glycoside, akan sulit dideteksi dengan metode konvensional, akibatnya bahan baku atau pakan dianggap tidak terkontaminasi . Kemudian ikatan zearalenone-glycoside akan terurai setelah tercampur dengan empedu pada duodenum. Zearalenone tersebut kemudian akan menjadi toksik kembali. Proses ikatan antara toksin dan komponen nutrisi disebut masked mycotoxins. Contoh masked mycotoxins yang lain adalah deoxynivalenol-glycoside (pada bijian – Sewald 1992), Hydroxylation dan glucosylation dari Ochratoxin (pada gandum – Ruhland 1994) dan fuminosin yang berikatan sebagian dengan protein nutrisi.



Gambar 1. Tingkat kejadian mikotoksin pada Bahan baku pakan – data berasal dari Biomin® Mycotoxin Survey Programme pada tahun 2005 - 2006

Beberapa tindakan pencegahan telah dilakukan petani jagung agar jagung yang dihasilkan berkualitas dan tidak berjamur. Tindakan yang telah dilakukan antara lain dengan memilih biji-bijian yang tahan jamur, mengontrol jumlah serangga, manajemen residu hasil panen dan optimalisasi kepadatan tanaman jagung. Tindakan pencegahan di ladang jagung kemudian diikuti dengan tindakan pencegahan pada proses panen, seperti : memilih waktu yang tepat dan ideal, melakukan prosedur panen yang baik, memilih peralatan yang tepat guna, membuang biji jagung yang rusak dan yang memiliki kandungan air yang tinggi.
Ternyata tindakan pencegahan pada proses tanam dan proses panen tidak cukup untuk menghilangkan tumbuhnya jamur. Proses pencegahanpun berlanjut pada proses penyimpanan, seperti : Penyimpanan tepat waktu, meningkatkan kualitas tempat penyimpanan, kontrol kadar air dan kelembaban, kontrol suhu dan serangga, penggunaan bahan pengawet dan penggunaan bahan anti jamur.
Dengan penggunaan bahan anti jamur pada proses penyimpanan disertai dengan prosedur penyimpanan yang baik ternyata dapat menurunkan kandungan jamur secara signifikan. Biotronic®Cleangrain liquid mengandung asam propionat dan sodium benzoat yang efektif untuk mencegah tumbuhnya jamur pada bahan baku pakan asal biji-bijian pada proses penyimpanan. Penggunaan Biotronic®Cleangrain liquid akan menjaga kadar nutrisi bahan baku pakan dengan cara mencegah tumbuhnya jamur dan meminimalisasi potensi merugikan yang dapat ditimbulkan oleh mikotoksin. Tidak terdapat efek samping dari penggunaan Biotronic®Cleangrain liquid yang biasa digunakan dengan dosis 1.5-7.5 liter per ton bahan baku pakan.
Namun, hal tersebut belum cukup, karena kandungan mikotoksin masih tetap ada, bahkan akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan kontrol pertumbuhan jamur. Tindakan dekontaminasi mikotoksin harus dilakukan untuk menghilangkan pengaruh mikotoksin. Ada dua jenis dekontaminasi, yaitu dengan perlakuan fisik dan perlakuan penambahan zat kimia.
Perlakuan fisik misalnya dengan pencampuran bahan baku terkontaminasi mikotoksin dengan bahan baku yang baik. Sehingga efek yang ditimbulkan diperkirakan akan berkurang. Tindakan lain dengan pencucian, penggilingan ulang, pemisahan (dengan ayakan atau kipas), pemanasan (autoclave, panggang, microwave), dan radiasi sinar UV. Kekurangan perlakuan secara fisik adalah mahal, hasil tidak pasti dan hilangnya kandungan nutrien pakan.
Perlakuan penambahan zat kimia, misalnya dengan penambahan ozon, ammonia, ammonium hydroxide, hydrogen peroxide, calcium hydroxide dan sodium bisulfite. Namun perlakuan secara kimiawi selain mahal dan memerlukan waktu yang lama, dapat merubah palatabilitas dan kandungan nutriennya, sehingga praktek ini tidak dilakukan.

Mycofix® Plus 3.0 Solusi Mikotoksikosis
Masalah mikotoksin yang mencemari pakan harus diatasi secara serius karena sangat merugikan secara ekonomi. Alasan mengapa deaktivasi mikotoksin harus dilakukan dengan suatu sistem yang terpadu adalah adanya keanekaragam struktur dan sifat kimia mikotoksin, serta adanya kerusakan metabolisme maupun jaringan tubuh akibat efek yang ditimbulkan oleh mikotoksin.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung synergistic blend of minerals, berupa bola mikro berpori yang diproses dan diaktivasi untuk adsorpsi selektif mikotoksin. Aflatoksin yang memiliki struktur kimia berpolar akan dideaktivasi karena ikatan spesifik yang kuat dan stabil. Hal ini tidak akan terjadi apabila menggunakan adsorben biasa seperti alumunium silikat, dimana alumunium silikat akan terurai dan mengembang apabila bercampur dengar air. Sedangkan pada penggunaan zeolit, efektifitas sifat adsorbennya akan hilang pada pH 3.
Beberapa mikotoksin tidak dapat terikat kuat oleh adsorben mikotoksin, seperti zearalenone. Namun kendala tersebut dapat diatasi dengan penggunaan Mycofix®Plus 3.0, karena mengandung Biological constituent, yang berfungsi sebagai dekomposisi ensimatik. Proses ensimatik ini, mampu mendegradasikan mikotoksin asal fusarium sp. (zearalenone) dengan menghidrolisis ikatan ester 12,13-epoxy pada kelompok fusarium menjadi non toksik dan menjadi metabolit non toksik.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung BBSH 797, yang merupakan mikroorganisme yang dikembangkan dan dipatenkan oleh Biomin® yang berproliferasi secara cepat di saluran pencernaan. Selama pertumbuhan, mikroorganisme BBSH 797 memproduksi ensim spesifikyang mampu mendeaktivasi mikotoksin asal trichothecenes (DON, T2 toxin, DAS) dengan cara biotransformasi struktur kimia menjadi metabolit non toksik.
Mycofix®Plus 3.0 mengandung phytogenic substances, yang merupakan campuran unik ekstrak tumbuhan untuk mengatasi kondisi akibat mikotoksin, hepatotoksik dan zat penyebab radang. Efek hepato-protektive terjadi karena flavolignan menempati sel reseptor pada hati sehingga menghalangi toksin memasuki membran sel hati.
Mycofix® Plus 3.0 mengandung phycophytic substances, yang dapat memperkuat respon tanggap kebal alami dan mengkompensasi efek imunosupresi dari mikotoksin. Hal ini terjadi karena terpacunya proses sintesa asam nukleat dan katabolisme asam amino yang merupakan factor penting dalam pembelahan sel.
Berdasarkan mekanisme kerja terpadu bahan yang terkandung di dalamnya, maka Mycofix® Plus 3.0 mampu mengatasi dan mendeaktivasi mikotoksin dan mampu memperkuat dan memperbaiki fungsi hati dan meningkatkan daya tahan tubuh. Maka dengan pemberian Mycofix® Plus 3.0 masalah mikotoksin dapat teratasi.
Cara pemberian Mycofix® Plus 3.0 dicampurkan langsung pada pakan ternak pada saat pencampuran. Dosis untuk unggas dan babi 0,5 kg – 1,5 kg per ton pakan, untuk sapi perah 15 – 30 gram per sapi per hari. Variasi dosis tergantung kontaminasi mikotoksin.


Lisovit, Optimalkan Fungsi Kekebalan
Kondisi imunosupresi harus dapat diatasi dengan tuntas, karena dapat mengganggu status kesehatan ayam sehingga mengganggu pencapaian sasaran performan produksi. Selain dengan menghilangkan penyebab utama dan mengurangi faktor pendukung timbulnya kasus imunosupresi, perlu suatu upaya untuk memperkuat status kekebalan ayam, atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam.
Penggunaan berbagai jenis vaksin sebagai pencegahan terhadap penyakit viral yang bersifat imunosupresif yang didukung biosekuriti yang ketat dan pemberian antibiotika untuk penyebab imunosupresi asal bakteri perlu didukung dengan pemakaian Lisovit® untuk memperkuat status kekebalan ayam atau mempercepat status perbaikan kekebalan ayam.
Lisovit® memiliki kandungan ensim muramidase yang memiliki dua efek yaitu efek anti bakterial dan efek anti viral. Efek anti bakterial karena ensim muramidase mampu memecah dinding sel bakteri di saluran pencernaan ayam dan efek anti viral karena ensim muramidase mampu menstimulasi kekebalan tubuh ayam dan mampu memproduksi fragmen peptidoglikan, sehingga meningkatkan aktivitas makrofag dan menstimulasi pembentukan limfosit.
Lisovit® memiliki kandungan ensim peroksidase yang memiliki efek katalisa oksidasi dari donor hidrogen untuk mendukung proses generasi molekul oksigen reaktif yang dapat menginaktivasi substansi asing.
Lisovit® mengandung ekstrak tanaman berkhasiat (Echinaecea) yang berperan menstimulir kekebalan seluler dengan meningkatkan aktifitas phagositik dari makrofag dan kecepatan pembentukan limfosit, serta meningkatkan aktifitas Sel T sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tubuh.
Lisovit® juga mengandung dua macam vitamin, yaitu : vitamin E sebagai antioksidan yang mampu mempengaruhi berbagai sel dari sistem kekebalan seperti limfosit dan makrofag untuk menghasilkan interferon yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Yang kedua, vitamin C yang berperan dalam proses reduksi oksidasi di dalam tubuh yang mentransfer hidrogen dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan berbagai keadaan stress.
Berdasarkan mekanisme kerja yang terdapat di dalamnya, maka Lisovit® mampu mengoptimalkan vaksinasi, meningkatkan daya tahan tubuh ayam terhadap stress dan serangan penyakit, serta tidak kalah penting dapat meningkatkan daya kerja antibiotika golongan betalactam (amoxicillin, ampicillin, dll). Maka dengan pemberian Lisovit®, kasus-kasus imunosupresi dapat segera dipercepat pemulihannya dan dapat menstimulir timbulnya respon kekebalan sehingga konsep pengebalan ayam dan konsep optimalisasi kesehatan ayam dapat berjalan dengan baik.
Cara pemberian Lisovit® pada ayam pedaging, ayam petelur dan ayam bibit diberikan selama 3 hari berturut-turut dengan selang waktu 1 hari, pada saat vaksinasi atau kejadian stress. Dosis untuk ayam pedaging di minggu pertama 30 gram/1000 ekor, minggu kedua 50 gram/1000 ekor dan di minggu ketiga 100 gram/1000 ekor. Dosis untuk ayam petelur dan ayam bibit 100 gram/1000 ekor.



Drh Nurvidia Machdum
Technical Department Manager
PT. ROMINDO PRIMAVETCOM
Jl DR Saharjo No 264
JAKARTA. Telp.021 8300300

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer