(( Myasis tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka. ))
Organisasi setengah kamar yang mewadahi praktisi dokter hewan di Kabupaten Bantul Yogyakarta ternyata tidak hanya mampu mewadahi anggautanya akan tetapi juga mampu memberikan inovasi aspek praktis veteriner di lapangan.
Organisasi itu secara resmi bernama Forum Komunikasi Praktisi Dokter Hewan se Kabupaten Bantul yang sering disingkat dan lazim diucapkan Forkom saja itu. Dan tentunya, tetap menginduk ke Perhimpunan Doker Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Yogyakarta.
Memang belum genap 10 tahun organisasi itu berkiprah, namun harus diakui peran dan kontribusi terhadap peningkatan ketrampilan dan kecakapan anggotanya sangat signifikan. Hal ini terjadi oleh karena dalam setiap pertemuannya antar anggota terjadi interaksi yang intensif. Baik itu dilakukan secara formal dalam sebuah dialog ataupun secara informal ketika pertemuan sedang berlansung.
Komunikasi yang terjalin harus diakui mampu merangsang anggotanya untuk secara aktif menggali informasi yang belum diketahui dan sebaliknya juga berusaha menularkan sesuatu yang diketahuinya atas dasar pengalaman praktis lapangan, terutama ke sesama sejawat anggota Forkom.
Salah satu inovasi dan hasil improvisasi lapangan praktisi dokter hewan yang cukup menarik untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah cara menanggulangi belatung pada luka ternak.
Jika mendengarnya, memang kasus itu sepele, namun dengan realita lapangan sistem peternakan hewan besar (Sapi, Kerbau, Kuda dan Kambing) maka kasus gangguan kesehatan itu menempati urutan tinggi dengan tingkat frekuensi kejadian/prevalensi yang terbilang sangat sering. Hampir 7 dari 10 ternak yang ada pernah mengalaminya, dengan tingkat berulangnya kasus itu bisa mencapai 40%.
Kasus gangguan kesehatan itu biasa disebut sebagai myasis. Sebuah kondisi berupa gangguan kesehatan yang sebenarnya tidak terlalu mengkawatirkan namun secara ekonomis sangat mengganggu produktifitas dan kenyamanan ternak.
Myasis yang tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka yang meski tidak secara langsung mengancam kesehatan ternak, secara tidak langsung menyebabkan ternak menjadi terganggu aktifitasnya.
Bahkan, pada kasus myasis yang berat dan kronis ternak menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit lainnya. Tidak jarang karena nafsu makan yang terganggu, ternak akhirnya mengalami malnutrisi pada derajad yang ringan hingga sedang.
Sistem Budidaya
Tingginya kasus myasis pada ternak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem budidaya peternakan rakyat, jenis ternak besar atau sedang jenis ruminansia dan non ruminansia yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan lingkungan.
Sangat umum dijumpai bahwa kotoran ternak ditimbun di samping ternak dan tidak dikelola dengan baik. Akibatnya tumpukan kotoran itu menjadi media subur bagi tumbuh dan berkembangnya aneka mikroorganisme dan serangga lalat.
Kondisi ini diperparah dengan model kandang yang sangat mendukung terjadinya luka permukaan tubuh akibat kena paku ataupun fungsi ternak sebagai ternak kerja yang juga sering menderita trauma pada permukaan tubuh.
Menembus Kulit dan Otot
Investasi belatung atau larva lalat yang mampu menembus kulit, bawah kulit/sub kutan bahkan sampai ke otot menyebabkan ternak sangat terganggu kenyamanan dan bahkan kesehatannya. Bila larva itu bermukim di kulit atau hanya di bawah kulit, masih sangat mudah untuk dilakukan tindak medis yang sederhana.
Namun jika sudah menembus di dalam otot dengan bentuk luka yang dalam dan melengkung seolah membentuk celah bak bentuk ‘gua’ maka akan menjadi rumit dalam penanganannya.
Langkah yang ditempuh oleh para praktisi dokter hewan lapangan selama ini biasanya dengan cara manual, yaitu mengeluarkan belatung sebersih mungkin dari dalam tubuh ternak dan kemudian memberikan semprotan yang mengandung antiseptik plus insektisida.
Meski pola penanganan seperti itu tidak membuahkan hasil yang optimal, akan tetapi ternyata tetap diaplikasikan oleh praktisi dokter hewan bertahun-tahun, tanpa ada modifikasi yang signifikan yang mampu menghasilkan penanganan medis memuaskan. Seolah pola itu sudah baku dan tidak mngkin dikembangkan lagi dalam mengatasi kasus itu.
Ivermectin
Sebuah terobosan yang cukup revolusioner dan mencapai tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan, terutama di peternakan rakyat, telah ditemukan. Temuan itu diperkenalkan pertama kali oleh Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta.
Wasis yang di samping menjalankan profesinya sebagai dokter hewan juga terjun menjadi peternak sapi. Sebelumnya, ia adalah peternak ayam petelur komersial yang akhirnya memilih jalan hidup praktek dokter hewan.
Jalinan komunikasi yang begitu intensif antara Wasis dengan Forkom Praktisi Dokter Hewan Bantul itu akhirnya menjadikan temuannya sangat cepat diikuti oleh praktisi Dokter hewan se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan menembus ke Propinsi Jawa Tengah.
Adapun cara baru yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Selama ini pemanfaatan preparat itu mash sangat terbatas dan sangat jarang digunakan, bahkan bisa dikatakan tidak pernah untuk menangani kasus myasis. Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu.
Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya. Sehingga kini sangat sering praktisi menggunakan preparat itu untuk berbagai kasus parasit internal dan eksternal.
Hasil improvisasi dan inovasi Wasis memang patut dihargai dan terus dicermati, terutama aspek keamanan dan resistensinya pada ternak. Namun menurut Drh Agus Priyo Handoko, Sekretaris Forkom bahwa temuan itu sungguh membanggakan dan melegakan para praktisi dokter hewan.
Lebih lanjut ditambahkan oleh Agus bahwa temuan Wasis itu kini hampir telah diterapkan oleh para praktisi dokter hewan lapangan di Bantul dan sekitarnya. Masalah kekhawatiran akan munculnya resistensi pada pemakaian ivermectin, menurutnya sangat berlebihan.
“Jika ada pendapat akan hal itu, maka sebetulnya justru pemakaian preparat antibiotik lah yang harus dikhawatirkan, bukan pemakaian ivermectin,” ujar Agus
Keberadaan Forkom itu sendiri menurut Agus memang salah satunya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecakapan kepada anggotanya, oleh karena adanya pertemuan rutin yang digelar organisasi itu.
Sementara menurut Drh Leonardo Bisana, yang juga telah mengaplikasikan temuan Wasis itu, pola medikasi itu tidak hanya meringankan pekerjaan praktisi Dokter Hewan di lapangan saja. Akan tetapi, secara ekonomis sangat membantu para peternak di pedesaan yang nota bene secara ekonomi masih perlu dibantu.
Selain itu, akan menekan tingkat kerugian yang diderita oleh para peternak. Sebab sementara ini jika ternak milik peternak mengalami gangguan kesehatan myasis pada derajad yang berat, maka jalan pintas akan ditempuh dengan menjual ternak tersebut ke pedagang. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Kini setidaknya, dengan pola medikasi itu, lanjut Bisana akan menolong banyak para peternak.
Sedangkan menurut Drh Untung Satriyo, Ketua Forkom mengharapkan agar temuan ini dapat semakin banyak diterapkan oleh para dokter hewan di seluruh Nusantara, agar kasus yang ringan itu tidak menggerogoti kantong peternak. Semestinya ada apresiasi dari instansi pemerintah cq Departemen Pertanian atau Dinas yang berkompeten atas jerih payah Wasis.
“Yang jelas, kini para praktisi tidak terlalu repot dalam menangani kasus myasis dan hasilnya pun cukup memuaskan bahkan 10 kali lipat hasil terbaik dari model pengobatan yang lama,” ujar Agus yang diamini Untung. (iyo)
Organisasi setengah kamar yang mewadahi praktisi dokter hewan di Kabupaten Bantul Yogyakarta ternyata tidak hanya mampu mewadahi anggautanya akan tetapi juga mampu memberikan inovasi aspek praktis veteriner di lapangan.
Organisasi itu secara resmi bernama Forum Komunikasi Praktisi Dokter Hewan se Kabupaten Bantul yang sering disingkat dan lazim diucapkan Forkom saja itu. Dan tentunya, tetap menginduk ke Perhimpunan Doker Hewan Indonesia (PDHI) Cabang Yogyakarta.
Memang belum genap 10 tahun organisasi itu berkiprah, namun harus diakui peran dan kontribusi terhadap peningkatan ketrampilan dan kecakapan anggotanya sangat signifikan. Hal ini terjadi oleh karena dalam setiap pertemuannya antar anggota terjadi interaksi yang intensif. Baik itu dilakukan secara formal dalam sebuah dialog ataupun secara informal ketika pertemuan sedang berlansung.
Komunikasi yang terjalin harus diakui mampu merangsang anggotanya untuk secara aktif menggali informasi yang belum diketahui dan sebaliknya juga berusaha menularkan sesuatu yang diketahuinya atas dasar pengalaman praktis lapangan, terutama ke sesama sejawat anggota Forkom.
Salah satu inovasi dan hasil improvisasi lapangan praktisi dokter hewan yang cukup menarik untuk disampaikan dalam tulisan ini adalah cara menanggulangi belatung pada luka ternak.
Jika mendengarnya, memang kasus itu sepele, namun dengan realita lapangan sistem peternakan hewan besar (Sapi, Kerbau, Kuda dan Kambing) maka kasus gangguan kesehatan itu menempati urutan tinggi dengan tingkat frekuensi kejadian/prevalensi yang terbilang sangat sering. Hampir 7 dari 10 ternak yang ada pernah mengalaminya, dengan tingkat berulangnya kasus itu bisa mencapai 40%.
Kasus gangguan kesehatan itu biasa disebut sebagai myasis. Sebuah kondisi berupa gangguan kesehatan yang sebenarnya tidak terlalu mengkawatirkan namun secara ekonomis sangat mengganggu produktifitas dan kenyamanan ternak.
Myasis yang tidak lain adalah manifestasi bersarangnya larva lalat pada luka yang meski tidak secara langsung mengancam kesehatan ternak, secara tidak langsung menyebabkan ternak menjadi terganggu aktifitasnya.
Bahkan, pada kasus myasis yang berat dan kronis ternak menjadi lebih rentan terhadap berbagai serangan penyakit lainnya. Tidak jarang karena nafsu makan yang terganggu, ternak akhirnya mengalami malnutrisi pada derajad yang ringan hingga sedang.
Sistem Budidaya
Tingginya kasus myasis pada ternak di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sistem budidaya peternakan rakyat, jenis ternak besar atau sedang jenis ruminansia dan non ruminansia yang kurang memperhatikan kebersihan kandang dan lingkungan.
Sangat umum dijumpai bahwa kotoran ternak ditimbun di samping ternak dan tidak dikelola dengan baik. Akibatnya tumpukan kotoran itu menjadi media subur bagi tumbuh dan berkembangnya aneka mikroorganisme dan serangga lalat.
Kondisi ini diperparah dengan model kandang yang sangat mendukung terjadinya luka permukaan tubuh akibat kena paku ataupun fungsi ternak sebagai ternak kerja yang juga sering menderita trauma pada permukaan tubuh.
Menembus Kulit dan Otot
Investasi belatung atau larva lalat yang mampu menembus kulit, bawah kulit/sub kutan bahkan sampai ke otot menyebabkan ternak sangat terganggu kenyamanan dan bahkan kesehatannya. Bila larva itu bermukim di kulit atau hanya di bawah kulit, masih sangat mudah untuk dilakukan tindak medis yang sederhana.
Namun jika sudah menembus di dalam otot dengan bentuk luka yang dalam dan melengkung seolah membentuk celah bak bentuk ‘gua’ maka akan menjadi rumit dalam penanganannya.
Langkah yang ditempuh oleh para praktisi dokter hewan lapangan selama ini biasanya dengan cara manual, yaitu mengeluarkan belatung sebersih mungkin dari dalam tubuh ternak dan kemudian memberikan semprotan yang mengandung antiseptik plus insektisida.
Meski pola penanganan seperti itu tidak membuahkan hasil yang optimal, akan tetapi ternyata tetap diaplikasikan oleh praktisi dokter hewan bertahun-tahun, tanpa ada modifikasi yang signifikan yang mampu menghasilkan penanganan medis memuaskan. Seolah pola itu sudah baku dan tidak mngkin dikembangkan lagi dalam mengatasi kasus itu.
Ivermectin
Sebuah terobosan yang cukup revolusioner dan mencapai tingkat keberhasilan yang cukup memuaskan, terutama di peternakan rakyat, telah ditemukan. Temuan itu diperkenalkan pertama kali oleh Drh Wasis Setyadi, seorang praktisi dokter hewan mandiri di Kulon Progo Yogyakarta.
Wasis yang di samping menjalankan profesinya sebagai dokter hewan juga terjun menjadi peternak sapi. Sebelumnya, ia adalah peternak ayam petelur komersial yang akhirnya memilih jalan hidup praktek dokter hewan.
Jalinan komunikasi yang begitu intensif antara Wasis dengan Forkom Praktisi Dokter Hewan Bantul itu akhirnya menjadikan temuannya sangat cepat diikuti oleh praktisi Dokter hewan se propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bahkan menembus ke Propinsi Jawa Tengah.
Adapun cara baru yang sangat effektif dan membuahkan hasil yang sangat memuaskan itu dengan penerapan preparat ivermectin 1%.
Dengan dosis seperti yang direkomendasikan dan aplikasi sub kutan/ bawah kulit mampu menuntaskan kasus myasis pada ternak. Ivermectin adalah sebuah preparat yang mampu bekerja mengatasi infestasi parasit di dalam tubuh dan di luar tubuh ternak.
Selama ini pemanfaatan preparat itu mash sangat terbatas dan sangat jarang digunakan, bahkan bisa dikatakan tidak pernah untuk menangani kasus myasis. Sangat jarangnya preparat itu digunakan di peternakan rakyat oleh karena harganya yang tergolong tidak murah pada saat itu.
Kini preparat itu sangat mudah diperoleh dan bahkan relatif murah harganya. Sehingga kini sangat sering praktisi menggunakan preparat itu untuk berbagai kasus parasit internal dan eksternal.
Hasil improvisasi dan inovasi Wasis memang patut dihargai dan terus dicermati, terutama aspek keamanan dan resistensinya pada ternak. Namun menurut Drh Agus Priyo Handoko, Sekretaris Forkom bahwa temuan itu sungguh membanggakan dan melegakan para praktisi dokter hewan.
Lebih lanjut ditambahkan oleh Agus bahwa temuan Wasis itu kini hampir telah diterapkan oleh para praktisi dokter hewan lapangan di Bantul dan sekitarnya. Masalah kekhawatiran akan munculnya resistensi pada pemakaian ivermectin, menurutnya sangat berlebihan.
“Jika ada pendapat akan hal itu, maka sebetulnya justru pemakaian preparat antibiotik lah yang harus dikhawatirkan, bukan pemakaian ivermectin,” ujar Agus
Keberadaan Forkom itu sendiri menurut Agus memang salah satunya mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecakapan kepada anggotanya, oleh karena adanya pertemuan rutin yang digelar organisasi itu.
Sementara menurut Drh Leonardo Bisana, yang juga telah mengaplikasikan temuan Wasis itu, pola medikasi itu tidak hanya meringankan pekerjaan praktisi Dokter Hewan di lapangan saja. Akan tetapi, secara ekonomis sangat membantu para peternak di pedesaan yang nota bene secara ekonomi masih perlu dibantu.
Selain itu, akan menekan tingkat kerugian yang diderita oleh para peternak. Sebab sementara ini jika ternak milik peternak mengalami gangguan kesehatan myasis pada derajad yang berat, maka jalan pintas akan ditempuh dengan menjual ternak tersebut ke pedagang. Tentunya dengan harga yang sangat murah. Kini setidaknya, dengan pola medikasi itu, lanjut Bisana akan menolong banyak para peternak.
Sedangkan menurut Drh Untung Satriyo, Ketua Forkom mengharapkan agar temuan ini dapat semakin banyak diterapkan oleh para dokter hewan di seluruh Nusantara, agar kasus yang ringan itu tidak menggerogoti kantong peternak. Semestinya ada apresiasi dari instansi pemerintah cq Departemen Pertanian atau Dinas yang berkompeten atas jerih payah Wasis.
“Yang jelas, kini para praktisi tidak terlalu repot dalam menangani kasus myasis dan hasilnya pun cukup memuaskan bahkan 10 kali lipat hasil terbaik dari model pengobatan yang lama,” ujar Agus yang diamini Untung. (iyo)