Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini rabies | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

BANGKAI ANJING TERINDIKASI RABIES DIBUANG KE LAUT, WARGA ENGGAN MAKAN IKAN


Anjing yang diduga terinfeksi virus rabies dimusnahkan oleh masyarakat dan bangkainya dibuang di laut sekitar Dompu, NTB. Sebagian warga yang mengetahui itu enggan mengkonsumsi ikan laut karena menganggap ikan tak lagi steril.

Pembuangan bangkai anjing ke laut itu dilakukan di pesisir laut Desa Soro, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, NTB, pada Kamis (14/2/2019). Tiga ekor anjing dimusnahkan oleh warga dan bangkainya dibuang begitu saja ke laut.

"Kami tahunya itu lewat media sosial, ada anjing yang dibuang di laut, tepatnya di Soro. Sejak mengetahui itu, saya enggan makan ikan," ungkap warga Dompu, Andiman, kepada detik.com, Jumat (15/2/2019).

(Ilustrasi gambar : derryjournal.com)

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dompu, Zainal Arifin, membenarkan kejadian itu. Namun dia memastikan bangkai anjing itu tidak sempat dimakan oleh ikan karena cepat dievakuasi oleh tim pengendali penyakit rabies.

"Kita langsung cek info itu dan tim langsung turun tangan. Sebenarnya itu tidak dibuang ke laut, melainkan dibuang di selokan oleh warga yang terbawa oleh arus banjir hingga ke laut. Saat itu juga dievakuasi dan dikubur oleh warga," ungkap Zainal terpisah.

Sementara itu, Kepala Dinas kelautan dan Perikanan Dompu, Wahidin, menepis soal adanya ikan yang terjangkit virus rabies karena sudah memakan bangkai anjing sehingga warga Dompu enggan mengkonsumsi ikan.

Dia menyebut memang daerah tempat ditemukan bangkai anjing di laut merupakan salah satu daerah penghasil ikan terbesar di Dompu. Namun hal itu tidak masuk akal jika bangkai anjing dimakan oleh ikan sehingga ikan bisa langsung terjangkit rabies, sementara jenis virus rabies ini menyerang hewan atau binatang berliur, seperti, anjing, kucing, dan hewan berkaki lainnya."Ikan yang ditangkap oleh para nelayan itu sangat jauh, sementara bangkai yang ditemukan di pinggir sungai berdekatan dengan laut," tutur Wahidin. (sumber : Detik.com)

KLB RABIES, 264 EKOR ANJING DI SUMBAWA DIMUSNAHKAN

Warga di 9 kecamatan di Kabupaten Sumbawa melaporkan adanya korban yang digigit anjing. Pemerintah Kabupaten Sumbawa tengah berkoordinasi untuk membentuk tim penanggulangan rabies dan upaya eliminasi terhadap anjing liar.

"Ada 9 kecamatan yang melaporkan adanya kasus gigitan hewan penular rabies," ucap Kabag Humas Setda Sumbawa Tajuddin saat dimintai konfirmasi, Senin (18/2/2019). Sembilan kecamatan yang disebut Tajuddin adalah Tarano, Sumbawa, Labangka, Lenangguar, Utan, Plampang, Labuan Badas, Empang dan Rhee.


Rabies, zoonosis yang masih menjadi momok di Indonesia (ilustrasi : medicaltoday.com)

Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumbawa menyebut hingga Sabtu (16/2) tidak kurang dari 18 orang yang dilaporkan digigit anjing dan 4 orang dinyatakan positif terjangkit rabies. Pemkab juga telah menyatakan kejadian luar biasa (KLB) atas kasus rabies tersebut sejak 8 Februari lalu dan diumumkan satu minggu setelahnya.

Salah satu upaya untuk memutus mata rantai persebaran virus rabies, Pemkab Sumbawa telah mengeliminasi sekitar 264 ekor anjing di Kecamatan Tarano dan Empang. Eliminasi anjing-anjing liar itu dilakukan dengan cara diracun. "Eliminasi anjing liar yang selama ini dilakukan dengan racun," ungkap Tajuddin.

Koordinasi Pemkab Sumbawa sementara menyatakan eliminasi berikutnya akan dilakukan juga dengan melibatkan Perbakin. "Ada keinginan untuk melibatkan Perbakin Sumbawa untuk membantu eliminasi," ujarnya.

Penanggulangan hewan pembawa rabies (HPR) juga dilakukan dengan upaya vaksinasi hewan peliharaan. Setidaknya ada 3200 vial stok vaksin bantuan yang diterima Disnakeswan. Pemkab Sumbawa juga telah membentuk tim reaksi cepat untuk penanggulangan rabies. (Sumber : Detik.com)

PDHI Siapkan Program Metode Baru Berantas Rabies

Pemberian vaksin untuk anjing peliharaan wajib dilakukan (Foto: balitribune)


Dalam upaya membebaskan penyakit Rabies di Bali, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) akan mengadakan aksi dan program ‘Metode Baru Pemberantasan Rabies di Pulau Bali’. Dalam kegiatan ini, Ketua Umum PB PDHI Drh M Munawaroh MM bersama timnya akan melakukan identifikasi dan pendataan pemilik anjing di Bali.

“Selain itu, diadakan juga pemberian vaksinasi rabies kepada minimal 70 persen dari anjing yang ada di kawasan Bali,” tutur Munawaroh.  

Munawaroh menyebutkan kondisi penyakit Rabies di Bali saat ini masih banyak ditemukan dan sebaran kasus meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Tahun 2017 kasus Rabies ditemukan di 9 desa, tahun 2018  ditemukan di 17 desa. Data ini saya ambil dari surat kabar Bali Post tahun kemarin,” ungkap Munawaroh pada keterangan tertulis yang diterima Infovet, Rabu (2/1/2019).  

Menurut Munawaroh faktor meningkatnya Rabies diantaranya keberadaan anjing liar atau tidak berpemilik yang sulit dikendalikan, kemudian anjing liar yang tidak pernah divaksin, dan kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara anjing secara benar.   

PDHI juga mengeluarkan panduan berisi  anjuran mengenai mengelola anjing yang berpemilik. Antara lain, pemilik wajib memberikan vaksinasi Rabies secara berkala, memasang microchip pada anjing sebagai identitas.

Anjuran lain yaitu memasukkan data pemilik dan anjingnya melalui data online, kemudian anjing dirumahkan atau tidak dibebasliarkan.

Sementara anjing yang tak berpemilik atau yang berkeliaran tidak boleh ditangkap dengan menggunakan senapan bius. Setiap anjing liar yang ditemukan dibawa ke shelter atau klinik hewan untuk sterilisasi/Kastrasi maupun OH, lalu divaksinasi.

Kegiatan ini diadakan PDHI bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Pemerintah Provinsi Bali. PDHI juga menggandeng Fakultas Kedokteran Hewan Udayana, LSM dan Pemangku Adat.

Rencananya Kamis, 3 Januari 2018 bertempat di Ruang Rapat Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, digelar rapat koordinasi terkait program pemberantasan Rabies. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Drh I Ketut Diarmita MP dipastikan menghadiri rapat ini. (NDV)         


TEKNOLOGI BIOREAKTOR UNTUK PRODUKSI VAKSIN LEBIH EFISIEN

Pemanfaatan teknologi bioreaktor mulai banyak diterapkan oleh produsen vaksin dunia dibanding dengan cara konvensional. Karena metode ini dinilai memberikan manfaat penekanan biaya produksi dan menghasilkan vaksin dalam jumlah lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat.
CelCradleTM System dari VacciXcell

Vaksin merupakan salah satu produk bioteknologi yang terbuat dari sel virus. Vaksin diproduksi pada skala besar dengan mengkultur sel virus di dalam reaktor berpengaduk. Namun, sifat sel yang sensitif membuat sel mudah rusak saat terjadi pengadukan. Maka untuk mengatasi hal ini digunakan reaktor airlift yang menggunakan udara sebagai agitator dan aerator.
Demikian sedikit intisari dari seminar Kultur Sel yang diselenggarakan oleh PT Esco Utama bekerjasama dengan prinsipalnya VacciXcell Singapore. Seminar yang diselenggarakan pada Rabu, 11 Mei 2016 ini bertempat di Hotel Santika TMII dan diikuti oleh puluhan anggota Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) perwakilan perusahaan produsen vaksin hewan. Serta ada pula beberapa ahli dan tenaga laboratorium dari lembaga penelitian dan Fakultas Kedokteran Hewan di Indonesia. Acara dipandu oleh Eka M. Wiyanto, Sales Executive PT Esco Utama.
Seminar mengangkat tema "Kebutuhan Bioreaktor di Negara Berkembang: Pandemik Zoonosis", menghadirkan pembicara pakar Min Kyung Kim (Korea),  Xiang Liang Lin (Singapore) dan Ching Ming Chang (Taiwan). Materi yang disampaikan meliputi konsep dasar bioprocessing, bioreaktor untuk teknologi vaksin hewan (aplikasi bioreaktor pasang surut VacciXcell untuk industri vaksin hewan-flu burung, rabies, JEV, flu babi), serta pengenalan grup perusahaan Esco, VacciXcell, produk dan layanan purna jualnya.

Foto bersama seluruh peserta seminar dengan narasumber dan Tim dari PT Esco Utama. 
Teknologi Bioreaktor
Menurut President VacciXcell Mr. Xiang Liang Lin kebutuhan akan vaksin hewan di dunia belakangan ini meningkat pesat seiring banyak terjadinya wabah penyakit hewan yang meluas (pandemik) dan bersifat zoonosis.
Sementara proses produksi vaksin dengan teknologi konvensional menggunakan telur ayam berembrio (telur SPF/Specific Pathogen Free) memiliki banyak kelemahan di antaranya membutuhkan waktu lama dan menyebabkan beban biaya tinggi sehingga berdampak pada relatif mahalnya harga vaksin hewan yang dihasilkan.
Dalam menghadapi kondisi pandemik penyakit hewan terutama yang bersifat  zoonosis (yang dapat menular dari hewan ke manusia) diperlukan jumlah vaksin yang lebih banyak  dan lebih cepat dalam pembuatannya dan tentu dengan harga yang terjangkau mengingat pandemik penyakit hewan juga banyak terjadi di negara miskin dan negara berkembang.
“Untuk itu, kini teknik dengan  menggunakan perangkat bioreaktor menjadi pilihan dalam memproduksi vaksin hewan. Berbagai produsen vaksin hewan berskala besar pun kini mulai banyak beralih mengaplikasikan teknologi bioreaktor, karena cara ini dinilai bisa menekan biaya produksi dan dapat menghasilkan vaksin dalam jumlah lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat,” jelasnya.
“Produksi vaksin atau anti virus untuk pengendalian/pencegahan penyakit hewan merupakan kegiatan yang rumit karena di dalamnya terjadi suatu proses biologis perbanyakan sel virus. Sementara sifat sel virus sendiri sangat rentan terhadap shear stress (stress adukan) dan kondisi lingkungan di mana dia berada,” jelas Xiang Liang Lin yang juga menjabat sebagai CEO produsen peralatan bidang produksi vaksin asal Singapura ini.
Perangkat bioreaktor yang merupakan sistem tertutup yang sangat mendukung berjalan lancarnya suatu proses bioteknologi sekaligus memberikan lingkungan yang mendukung bagi pertumbuhan atau  perkembangbiakan mikroorganisme termasuk sel virus.
“Kami dari VacciXcell menawarkan CelCradle, perangkat untuk memproduksi vaksin yang sangat mendukung proses perbanyak sel virus. Kami berharap sarana ini bisa meluas digunakan di negara berkembang termasuk Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, XL Lin menjelaskan dengan menggunakan sarana pembiak sel berbentuk botol air mineral dengan pergerakan secara vertikal (ke atas-ke bawah) memungkinkan sel virus mendapatkan nutrisi sekaligus oksigen secara cukup sehingga sel akan tumbuh dan bereproduksi secara optimal. “Perangkat CelCradle sangat praktis dan mudah dioperasikan. Proses pemanenan sel virusnya juga menjadi lebih mudah,” kata XL Lin.

Peserta seminar terlihat antusias mengikuti jalannya seminar hingga usai.
Kelebihan dan Kemudahan
CelCradleTM sangat hemat biaya, siap digunakan, kombinasi yang tepat antara sistem bioreaktor kultur sel densitas tinggi. CelCradleTM dirancang berdasarkan prinsip gerakan pasang surut dimana hembusan kompresi dan dekompresi memungkinkan pemaparan secara berselang antara nutrisi dan udara terhadap sel. Hal ini membuat pergeseran menjadi rendah, aerasi yang tinggi serta lingkungan kultur yang bebas busa.
Sistem bioreaktor CelCradleTM terdiri dari dua komponen yaitu botol steril CelCradleTM sekali pakai dan kompresor penghembus CelCradleTM Stage 3000. Masing-masing botol standar CelCradleTM memuat 5.5g BioNoc™ II , tempat dimana sel-sel menempel dan tumbuh.
Selama bekerja, botol CelCradleTM ditaburkan benih sel dan sebagian lainnya diisi dengan media. Media ini kemudian dinaik-turunkan secara bergantian untuk menenggelamkan dan mengeskpos sel, menciptakan antarmuka yang dinamis antara udara dan media pada permukaan sel untuk memaksimalkan serapan nutrisi dan transfer oksigen.
Karena nutrisi dan transfer oksigen yang efisien, satu botol CelCradleTM dapat memproduksi sel yang sebanding dengan 18 hingga 20 botol roller. Karena permukaan BioNoc™ II diperlakukan secara khusus, sistem CelCradleTM dapat menumbuhkan sel anchorage-dependent dan memungkinkan untuk memanen sel utuh, komponen sel serta sekresi protein dengan mudah.
Sistem CelCradleTM dapat diaplikasikan untuk berbagai kebutuhan diantaranya kultur sel mamalia dan serangga, produksi protein dan virus, produksi antibodi monoklonal, penelitian proteome, penemuan obat, studi Farmakokinetik, serta terapi gen dan sel. Setiap CelCradleTM mampu mengakomodasi hingga empat botol sekali pakai, membuatnya menjadi alat yang ideal untuk proses penyaringan pada pengujian formulasi media atau sel berbeda baris.

Para pembicara seminar Kultur Sel oleh PT Esco Utama dan VacciXcell Singapore. 
Sekali Pakai, Hemat Ruang dan Pekerja
Bioreaktor CelCradleTM merupakan sistem bioreaktor yang mudah digunakan dan sekali pakai, dengan hampir tidak ada waktu pemanasan dan kurva kalibrasi. Produk ini merupakan produk yang diperkecil dengan satu botol yang menyediakan luas permukaan spesifik sebesar 15.000 cm2. Hal ini memungkinkan pertumbuhan lebih dari 1010 sel dalam 4 botol berukuran 8.6” x 11.7” dan inkubator 6 ft3.
Sistem CelCradleTM juga memungkinkan produksi dalam skala milligram menjadi beberapa gram protein, antibody monoklonal, 10 pfu virus, sel utuh atau komponen sel, yang mengeliminasi penggunaan berbagai labu spinner, puluhan botol roller, dan ratusan labu T.
Perbanyak hasil dengan sistem CelCradleTM juga mudah dilakukan dengan mengalikan langsung jumlah botol yang digunakan, sehingga mengeliminasi variasi, ketidakpastian, dan waktu yang dihabiskan selama proses perbanyakan.
Hasil Tinggi, B-H Khusus yang Berfungsi untuk Meningkatkan Ekspresi Protein. Fungsi B-H Khusus adalah membatasi pertumbuhan sel yang berlebihan dan meningkatkan ekspresi protein lebih dari 3 kali lipat. Hal ini juga memungkinkan kosentrasi protein yang lebih tinggi dan menghemat media kultur selama kulturasi.

Tahap Memperkenalkan
Saat ditemui Infovet disela seminar, Theresia Wibisono Direktur PT. Esco Utama (perusahaan distributor perangkat CelCradleTM) mengatakan bahwa penggunaan perangkat bioreaktor merupakan hal baru bagi kalangan industri vaksin hewan di Indonesia. Karena itu pihaknya saat ini masih dalam tahap memperkenalkan dengan harapan nantinya bisa dimanfaatkan secara meluas, mengingat di Indonesia sendiri kebutuhan akan vaksin hewan juga terus meningkat seiring terus berkembangnya kegiatan pemeliharaan ternak untuk menghasilkan bahan pangan sumber protein hewani.
Di berbagai belahan dunia terutama di AS, Jepang dan Cina perangkat bioreaktor sudah bukan barang baru lagi dan sejauh ini teknologi pembuatan vaksin hewan berbasis teknologi bioreaktor terus berkembang mengikuti tuntutan pasar dan kebutuhan dari industri penggunanya.
“Yang pasti karena telah terbukti dapat menghasilkan bakteri atau virus lebih banyak dalam pembuatan vaksin dengan biaya yang lebih efisien maka peralatan bioreaktor kian banyak menjadi pilihan perusahaan penghasil vaksin besar dunia,” tutur Theresia.
Efisiensi dalam pengeluaran biaya produksi dinilainya penting karena peternak juga makin menuntut vaksin bisa didapat dengan harga yang terjangkau. Saat ini harga vaksin hewan dinilai masih relatif tinggi sehingga diperlukan upaya-upaya untuk dapat menekannya hingga menjadi lebih murah.
“Kami rasa salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah menurunkan biaya dalam pembuatannya dan itu bisa dilakukan dengan penggunaan perangkat bioreaktor seperti yang kami telah distribusikan,” ujar Theresia. (adv/wan) 

PEMBERANTASAN RABIES PERLU PERAN SERTA BANYAK PIHAK


"Tuntutan atas kualitas vaksin rabies yang baik menyeruak seiring dengan sulitnya rabies diberantas di daerah endemik."
- Prof. Bambang Sektiari, FKH UNAIR.


Rabies merupakan penyakit paling mematikan yang bersumber dari hewan, maka di Indonesia jika hanya mengandalkan peran dari satu instansi/lembaga Pemerintah, sudah pasti akan sangat sulit untuk me­ngatasinya sampai kapanpun. Apalagi untuk memberantas hingga tuntas, akan memakan waktu yang lama dan panjang. Untuk itu peran serta banyak pihak secara sinergis akan membuahkan hasil yang jauh lebih cepat, lebih konkrit, dan lebih baik.

Peran serta Sanbe Group dalam hal ini PT Caprifarmindo Laboratories, jelas merupakan kontribusi yang sangat besar dan signifikan dalam usaha pemberantasan rabies terutama di negeri ini agar dapat segera mendeklarasikan sebagai negara atau setidaknya daerah yang bebas dari penyakit Rabies.

Demikian cuplikan wawancara singkat dengan Prof. Dr. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA dengan Infovet usai presentasinya di forum Konferensi Ilmiah Veteriner Nasional ke-12 di Hotel Saphir Yogyakarta.
Menurut Prof Bambang, Rabies sebagai penyakit zoonosis sudah lama diketahui ada di muka bumi ini. Korban tewas yang ditimbulkannya sudah terlalu banyak, maka jika tidak ada inisiatif dan peran nyata dari masyarakat dan pihak-pihak swasta, maka kondisi ini akan semakin mengkhawatirkan. 

“Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa dalam setahunnya korban meninggal karena tertular penyakit Rabies mencapai 55.000 orang di seluruh belahan bumi ini. Terbanyak berada di benua Asia dan Afrika,” papar Prof Bambang yang merupakan seorang ayah dari 4 orang anak ini.

Selanjutnya Doktor lulusan Universitas Rene Descartes (Paris V), Perancis 1997, mengungkapkan bahwa benua Asia dan Afrika masih merupakan daerah endemis yang menyeramkan. Di Indonesia sendiri sampai saat ini, hampir sebagian besar provinsinya masih merupakan daerah tertular dan belum bebas dari penyakit itu. Menurut catatan dari Kementerian Pertanian RI, hanya Jawa Tengah dan Jawa Timurlah yang dinyatakan sebagai daerah yang bebas dari penyakit itu.

Di Indonesia problema klasik dalam pemberantasan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis adalah kompleks. Koordinasi antar instansi terkait belum sinergis, dan diperparah dengan kurangnya ketersediaan vaksin yang memadai dan berkualitas. Koordinasi memang gampang diucapkan, namun pada realitas di lapangan merupakan hal yang paling sulit untuk diimplementasikan.

Instansi yang kompeten membuat dan menyediakan vaksin untuk kasus penyakit itu, ternyata belum mampu untuk secara signifikan berkontribusi terhadap permasalahan klasik ini.  Peran serta banyak pihak memang menjadi sebuah keharusan agar penyakit zoonosis itu dapat dienyahkan, atau setidaknya semakin dipersempit kawasan geografis yang menjadi daerah endemis.

Berbicara masalah produk vaksin yang mempunyai peran penting dalam pemberantasan penyakit Rabies di Indonesia ini, menurut Prof Bambang yang juga Koordinator Bidang Akreditasi Pusat Penjaminan Mutu dan Mantan Ketua LPPM Universitas Airlangga Surabaya itu, bahwa ketersediaan terkait jumlah dosis mungkin dapat diatasi, namun terkendala dalam distribusi dan aplikasi di lapangan.

“Selain itu mungkin yang pa­ling memprihatinkan adalah kualitas vaksin yang ada di lapangan. Tuntutan mutu vaksin yang berkualitas agar menghasilkan tingkat proteksi yang optimal dari hewan yang divaksinasi akan semakin meningkat. Bukan saja untuk memberikan perlindungan, namun juga aspek lama proteksi yang didapatkan,” ujar pria yang tahun ini genap berusia 50 tahun ini.

Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia yang selama ini terpublikasi, bahwa kegagalan vaksinasi rabies tidak hanya disebabkan karena level proteksi yang rendah dan program pelaksanaannya yang belum optimal. Namun yang jauh lebih memprihatinkan adalah produk vaksinnya yang belum mampu memberikan proteksi dalam jangka lama.

Ini dibuktikan dengan hasil pemeriksaan titer antribodi pasca vaksinasi yang rendah meskipun dalam jangka waktu yang pendek pasca vaksinasi. Atas kondisi tersebut mendesak munculnya inovasi yang menghasilkan vaksin rabies dengan potensi proteksi yang tinggi dan efek proteksi bertahan lama.

Dengan demikian tutur pria kelahiran Surabaya, 11 Agustus 1962 yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Klinik Veteriner pada Januari 2009 silam, peran serta pihak manapun dalam rangka untuk meredam ancaman penyakit hewan yang zoonosis itu harus diterima dengan tangan terbuka dan didukung penuh oleh semua pihak, khususnya Pemerintah.

PT Caprifarmindo Laboratories, sebagai perusahaan nasional yang berskala internasional, akhirnya mampu menjawab problema kompleks dari pemberantasan penyakit rabies ini. Melalui produk vaksin rabiesnya CAPRIVAC RBS®, vaksin produksi Capri ini telah sesuai dengan harapan Prof. Drh. Bambang Sektiari Lukiswanto, DEA.

Vaksin ini memiliki standar kualitas melebihi kualitas vaksin yang selama ini beredar di pasaran. Apalagi didukung sistem distribusi yang mampu menjangkau wilayah Indonesia yang luas.

Dari hasil pengujian dibuktikan vaksin rabies Caprifarmindo mampu memberikan proteksi yang optimal serta bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama, sehingga aman untuk aplikasi di lapangan.

Presentasi Prof Bambang, menjadi sangat istimewa oleh karena dipaparkan dalam forum yang sangat berkelas bagi para dokter hewan praktisi di Indonesia, yaitu KIVNAS yang berlangsung sejak tanggal 10-13 Oktober 2012 di Yog­yakarta. (iyo/infovet nov 12)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer