Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Tony Unandar | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SIASAT PAMUNGKAS PASCA NON-AGP (BAG. I: GUT INTEGRITY)

Pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam. (Sumber: Istimewa)

Oleh:
Tony Unandar (Konsultan Perunggasan & Anggota Dewan Pakar ASOHI)

“Semua penyakit dimulai dari usus” demikian postulat cemerlang yang dicanangkan oleh Hippocrates, bapa kedokteran universal dalam kurun waktu 400 tahun sebelum Masehi.  Mencermati gegap gembita situasi lapangan pasca non-AGP dan tingginya tuntutan pada proses pencernaan pakan yang cepat serta efisien dalam saluran cerna ayam modern, tampaknya kolega praktisi lapangan mesti melakukan refleksi mendalam atas postulat tersebut. Tulisan ini juga merupakan “oleh-oleh” dari IHSIG Symposium 6 di Roma awal April silam dan dilengkapi dengan beberapa data terkait hasil penelusuran jurnal ilmiah. Semoga membawa secercah pencerahan ataupun harapan buat kolega lapangan bagaimana membentuk dan merawat kesehatan saluran cerna suatu flok ayam modern, agar fungsi fisiologisnya prima dan ekspresi fenotifnya signifikan.

Kesehatan Saluran Cerna (Usus)
Pasca non AGP (antibiotic growth promoter), para ahli perunggasan global tidak bisa secara utuh memberikan definisi yang komprehensif dengan apa yang dimaksud “kesehatan saluran cerna”, khususnya usus. Terminologi “sehat” tidak selalu dimaknai dengan absennya penyakit, baik yang disebabkan oleh agen infeksius ataupun non infeksius, tetapi lebih merupakan suatu interaksi yang kompleks dan terintegral antara kondisi saluran cerna dengan mileu yang sangat dinamis dari isi lumen saluran cerna itu sendiri sehingga terjadi kondisi homeostasis yang dapat memberikan dampak produktivitas yang optimal sesuai dengan potensi genetik ayam yang ada. Disamping sebagai tempat proses pencernaan pakan, saluran cerna juga bertanggungjawab untuk penyerapan unsur-unsur nutrisi serta menjadi barrier selektif bagi patogen ataupun toksin yang mungkin dapat masuk ke dalam jaringan tubuh induk semang via usus (Dibner JJ et al., 2004).

Terkait kesehatan saluran cerna, keberadaan mikroba dalam saluran cerna ayam (microbiome) juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Selain lingkungan hidup ayam umumnya “kaya” dengan mikroba (litter, udara, air minum bahkan pakan), juga karakter ayam yang “doyan” mengkonsumsi kotoran alias fesesnya sendiri (coprophagic animals) menjadi penyebab kenapa kandungan mikroba saluran cerna ayam sangat tinggi dan dinamis (Apajalahti J et al., 2004). Perubahan kondisi fisiologis ayam akibat adanya faktor stres internal ataupun eksternal, selain mempengaruhi kondisi umum (sistem imunitas) ayam juga akan mengubah pola interaksi antara ayam dan mikroba (microbiome) yang ada dalam lumen usus (Oakley B dan Kogut MH, 2014). Tegasnya, dalam konteks diskusi kesehatan saluran cerna berarti meliputi sejumlah dinamika proses fisiologis, mikrobiologis dan fisik yang secara bersama-sama menjaga homeostasis saluran cerna secara berkesinambungan agar proses pencernaan dan penyerapan unsur nutrisi dapat berlangsung optimal (Dibner JJ et al., 2004; Polansky O et al., 2016). Cermati gambar 1 dan 2.


Oleh sebab itu, kondisi homeostasis alias optimal tidaknya fungsi saluran cerna (gut health = kesehatan saluran cerna) ditentukan oleh tiga komponen penting yang saling tergantung satu sama lainnya (inter-dependent), yaitu: (1) sistem imunitas lokal saluran cerna, khususnya pada tataran lapisan lendir dan sel-sel epitelium; (2) kondisi mikrobiota (microbiome) dalam lumen saluran cerna, khususnya usus; dan (3) asupan nutrisi (nutrient intake), yang selanjutnya akan mempengaruhi fisiologi dan metabolisme induk semang (ayam) secara keseluruhan. Mengingat keterbatasan halaman yang tersedia, maka tulisan pertama ini hanya akan membahas sekitar poin (1) saja, sedangkan poin (2) dan (3) akan dibahas pada tulisan berikutnya.


Sistem Imunitas Lokal Saluran Cerna
Terdiri dari dua buah komponen yang saling ada ketergantungan, yaitu lapisan lendir (mukus) dan sel-sel epitelium.

Suatu lapisan lendir (mucin; tepatnya mucin-2 atau MUC2) yang dihasilkan oleh sel-sel mangkok (Goblet cells) merupakan lapisan terdepan dari sistem imunitas lokal saluran cerna (first line of defence). Tujuannya adalah melindungi sel-sel epitelium usus dari material isi lumen yang tidak diharapkan seperti bahan-bahan yang bersifat iritan atau toksik, perlekatan (attachment) dan atau invasi suatu patogen yang merugikan induk semang (Kim J dan Khan W, 2013). Selain lendir, sel-sel mangkok juga menghasilkan senyawa terlarut protein sinyal (signaling protein) berupa Trefoil Factor (TFF) dan Resistin-Like Molecule-β (RELM-β) yang mempunyai peran penting dalam innate immune response (Sharma et al., 2010).

Sebenarnya, menurut Johansson dkk. (2011) komponen lendir pada permukaan saluran cerna, khususnya usus, terdiri atas dua buah lapisan, yaitu: (lihat juga gambar 3 dan 4)


(a) Lapisan lendir luar (outer mucous layer) dimana terdapat kolonisasi probiont (bakteri baik/good bacteria), Imunoglobulin-A (IgA), ion-ion tertentu seperti Cu+2, dan antimicrobial peptides (AMPs) yaitu sejenis peptida terlarut yang dihasilkan oleh sel-sel Paneth, sel-sel enterosit (enterocytes) dan beberapa jenis probiont (bakteri baik). Pada tingkat lumen usus, beberapa AMPs bersama dengan ion-ion tertentu (Cu+2) dapat membatasi replikasi patogen (patobiont) dalam lapisan lendir (bacteriocin effect), sehingga peluang sel-sel epitelium usus terserang patogen jauh lebih kecil dan reaksi radang pun sangat minim (Kim J dan Khan W, 2013).

(b) Lapisan lendir dalam (inner mucous layer) merupakan lapisan yang menempel langsung pada bagian apikal sel-sel epitelium dan selain lebih steril dibandingkan dengan lapisan lendir luar, juga lebih “kaya” akan AMPs, signaling proteins dan IgA. Pada kondisi tertentu, misalnya stres yang subkronis sampai kronis dimana sekresi lendir oleh sel mangkok sangat menurun, maka keberadaan mucus-associated microbiota (probiont) menjadi tumpuan untuk melindungi sel-sel epitelium agar terjaga integritasnya (Johansson MEV et al., 2008).


Selain lapisan lendir, sistem imunitas lokal saluran cerna juga ditentukan oleh adanya lapisan deretan sel-sel epitelium yang tebalnya kurang lebih 20 μm. Lapisan epitelium inilah yang menjadi barrier atau pembatas penting yang sifatnya masif tapi selektif antara isi lumen usus dengan jaringan tubuh induk semang dibawahnya yaitu jaringan ikat sub-epitelium (Ismail dan Hooper, 2005). Umumnya, sel-sel epitelium saluran cerna (usus) mempunyai dua kutub utama yaitu bagian apikal yang biasanya mempunyai mikrovilli dan berhadapan langsung dengan isi lumen usus serta bagian basolateral yang bersinggungan dengan sel tetangganya dan jaringan lain dibawahnya yaitu lamina propria dimana terdapat jaringan ikat, pembuluh darah dan sel-sel imunitas (kembali cermati gambar 3 dan 4).

Karena perannya sebagai barrier kompleks yang selektif, maka lapisan epitelium saluran cerna tidak hanya terdiri dari sel-sel epitelium usus (enterocytes), tetapi juga ada beberapa sel lain yang mempunyai tanggung jawab khusus misalnya sel-sel mangkok (Goblet cells) seperti yang sudah diterangkan diatas, sel-sel Paneth serta sel-sel M (Flier LG dan Clevers H, 2009).

Sel-sel Paneth umumnya banyak ditemukan pada usus halus dan bentuknya mirip seperti sebuah piramida. Dalam kripta usus halus, sel-sel Paneth merupakan bagian dari sistem pertahanan sel (innate immune system). Di dalam sitoplasma selnya banyak ditemukan granul-granul yang kaya akan enzim lisosim, alfa-defensin, dan “antimicrobial peptides” (AMPs). Senyawa AMPs inilah sangat penting dalam mempertahankan homeostasis sepanjang usus yakni untuk mengurangi reaksi peradangan akibat induksi pelbagai molekul ataupun mikroba yang ada dalam lumen usus. Disamping itu, sel-sel Paneth juga mampu menghasilkan beberapa sitokin (signaling proteins) yang sangat penting dalam komunikasi antara lapisan epitelium dan perangkat sistem imunitas yang ada di bawahnya, yaitu innate immune system yang selanjutnya dapat juga menggertak adaptive immune system (Porter EM et al., 2002).

Selain sel Paneth, juga sel-sel M bisa ditemukan diantara sel-sel epitelium usus (enterocytes), baik pada lapisan epitelium usus halus maupun usus besar. Keberadaannya biasanya tepat di atas dari jaringan GALT (gut-associated lymphoid tissues), terutama Peyer’s Patches. Secara histomorfologis, sel-sel M sebenarnya bagian dari GALT.  Bentuknya seperti kantung kecil yang kaya akan sel-sel limfosit di dalamnya.  Beberapa literatur menyebut sel M sebagai “intra-epitelial lymphocytes”. Material yang bersifat antigenik (misalnya: MAMPs = microbe-associated molecular patterns) yang ada di dalam lumen usus difasilitasi oleh sel M menuju sel-sel imunitas seperti makrofag dan atau sel dendritik yang berlokasi dalam jaringan sub-epitelial usus yang selanjutnya akan menginduksi sel limfosit-B untuk memproduksi IgA. Itulah sebabnya fungsi sel M sangat krusial bagi komunikasi antara keadaan dalam lumen usus dengan sistem imunitas lokal di tingkat jaringan usus (Kindt TJ et al., 2007; Miller H et al., 2007). Dalam satu dekade terakhir, penelitian produk-produk yang bersifat imunomodulator, selain melibatkan sel makrofag atau sel dendritik, juga mulai “dilirik” peran sel M dalam konteks “innate immune response” usus.

Selanjutnya, karena lapisan epitelium usus disamping fungsinya sebagai barrier yang selektif tetapi juga berperanan dalam absorpsi bahan-bahan nutrisi, maka peranan lapisan epitelium usus selain ditentukan oleh kualitas sel-sel epitelium itu sendiri, juga sangat ditentukan oleh adanya protein hubungan khusus yang kompleks (selanjutnya disebut junctional complex atau JC) antar sel epitelium yang bersebelahan dalam rupa tight junction, adherens junction, desmosome dan gap junction (gambar 5). Jadi tegasnya, sel epitelium beserta kinerja kombinasi protein-protein hubungan khusus yang kompleks (junctional complex) tersebut, khususnya yang terpenting adalah “tight junction” inilah yang menentukan peran lapisan sel-sel epitelium sebagai barrier sekaligus juga peran absorpsi bagi unsur-unsur gizi dari dalam lumen usus (Dabrowski S et al.,2015).


Jika hubungan khusus yang kompleks ini terganggu, maka fungsi terutamanya sebagai barrier yang selektif pun mengalami kemunduran alias terjadi kebocoran (leakage). Kondisi inilah yang disebut gangguan integritas usus (gut integrity problem). Jika terjadi kebocoran, maka semua material dalam bentuk molekul terlarut ataupun cairan yang ada dalam lumen usus (patogen/patobiont, toksin ataupun iritan) dapat bebas masuk ke dalam jaringan dinding usus yang selanjutnya dapat terjadi secara sistemik via sistem sirkulasi darah.  Sebaliknya, dalam kondisi bocor semua komponen penting yang ada dalam jaringan dinding usus (cairan tubuh, bahan nutrisi, ion-ion tertentu) bisa keluar kembali ke dalam lumen usus (Tellez G Jr et al., 2017).

Karena keberadaan lendir sangat krusial dalam melindungi sel-sel epitelium dan keberadaan lapisan sel-sel epitelium itu sendiri selain sebagai barrier selektif juga peran absorpsi nutrisi pada permukaan saluran usus, maka ada beberapa tindakan lapangan yang bisa dilakukan agar secara imuno-fisiologis saluran cerna ayam tetap optimal, yaitu: 

1) Yang utama dan pertama adalah pastikan pertumbuhan awal yaitu pertumbuhan hiperplasia sel-sel dari sistem pencernaan ayam optimal (khususnya sampai dengan minggu kedua), karena sangat menentukan pertumbuhan anatomis saluran cerna, termasuk jumlah dan kualitas sel-sel epitelium maupun sel-sel mangkok, sel Paneth serta sel M sepanjang saluran cerna. Disamping itu, banyak penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa pemberian preparat probiotika tertentu (Abudabos AM et al., 2015; Salehimanesh A et al., 2015) ataupun prebiotika tertentu (Benites V et al., 2008; Shao et al., 2013) sejak awal DOC dapat meningkatkan pertumbuhan awal saluran cerna, baik itu dari aspek kuantitas (jumlah sel) maupun dari aspek kualitas (ukuran sel).

2) Yakinkan ayam selalu mendapatkan asupan nutrisi yang cukup, tidak hanya makronutrisi (sebagai sumber energi), tetapi juga mikronutrisi untuk menjaga integritas permukaan saluran cerna ayam agar tetap prima seperti vitamin tertentu (terutama vitamin A dan E) serta beberapa trace element tertentu misalnya Zn, Cu, Mn, Se dan Fe untuk mengurangi dampak stres oksidatif akibat proses pencernaan yang cepat dan “hidden heat-stress“ (Surai P et al., 2012; Panda AK dan Cherian G, 2014).

3) Minimkan faktor-faktor stres eksternal akibat lingkungan ayam yang tidak nyaman ataupun perlakuan yang tidak “lege artis”. Pada kondisi stres akut, maka sekresi lendir oleh sel mangkok akan berlebihan, sehingga pertumbuhan “mucolytic bacteria” seperti Clostridium perfringens akan meningkat tajam dan kasus NE (necrotic enteritis) pun mudah merebak. Sebaliknya pada kondisi stres subkronis sampai kronis, maka sekresi lendir oleh sel-sel mangkok akan menurun, dampaknya adalah kesehatan saluran cerna (gut integrity) akan terancam (Atuma C et el., 2001; Johansson MEV et al., 2008).

4) Karena protein tight junction sangat berperanan dalam menentukan permeabilitas lapisan epitelium usus, maka kualitas dan kinerjanya harus tetap prima. Secara in-vitro, kualitas dan kinerja protein tight junction dapat uji dengan “trans-epithelial electrical resistance”. Di lapangan, beberapa produk suplementasi seperti probiotika, asam lemah (acidifier), essential oils tertentu atau bahkan mineral dan trace elements (Ca+2, P dan Zn+2) dapat menjaga atau merawat kualitas serta kinerja tight junction (Menningen R et al., 2009; Amar J et al., 2011; Shen L et al., 2011; Su Li et al., 2011).

Kesimpulan
Keberadaan sel-sel epitelium permukaan saluran cerna beserta sel-sel pelengkap lainnya (sel Goblet, sel Paneth dan sel M), baik dari sudut kuantitas maupun kualitas, sangatlah menentukan kesehatan saluran cerna (usus) alias integritasnya prima. Jika integritas saluran cerna prima, maka perannya disamping sebagai barrier yang masif tapi selektif dan perannya dalam absorpsi unsur-unsur gizi akan berlangsung secara optimal. Lapisan lendir dan asesorinya serta tanggap kebal sistem imunitas lokal saluran cerna sangat ditentukan oleh kinerja dan produk yang dihasilkan sel-sel pada lapisan epitelium tersebut.

Pada faktanya, tergantung kondisi teknis yang ada di lapangan serta “kerelaan” peternak dalam merogoh kocek, pasca non-AGP banyak pilihan produk suplementasi yang dapat digunakan untuk membantu pertumbuhan ataupun merawat integritas saluran cerna ayam modern agar performans akhir tetap “tokcer”. (toe)

GELIAT SENYAP BETA-GLUCAN


Oleh:
Tony Unandar (Anggota Dewan Pakar ASOHI)

Pada era pasca non-AGP (antibiotic growth promoter), disamping konsistensi implementasi konsep-konsep biosekuritas di lapangan, juga optimalisasi sistem imunitas ayam menjadi pilihan penting yang sangat favorit. Penelitian yang paling anyar di tingkat imunologi molekuler tampaknya sukses memenuhi harapan peternak dalam situasi yang sedang gonjang-ganjing tersebut. Penggunaan senyawa beta-glucan (BG) sebagai imunomodulator misalnya, adalah salah satu topik kunci yang didiskusikan dalam Intestinal Health Scientific Interested Group (IHSIG) Symposium ke-6 pada awal April silam di Roma. Penulis mencoba merangkai hasil-hasil penelitian terakhir terkait BG dari forum “bergengsi” tersebut.

Sistem Kekebalan Unggas
Disamping punya beberapa kesamaan, ternyata model-model dalam sistem imunitas mamalia tidaklah sepenuhnya dapat diekstrapolasikan dengan model-model sistem imunitas pada unggas. Ada perbedaan dalam hal gen dan molekul yang terlibat, sel dan organ yang terlibat serta mekanisme fungsionalnya. Pada ayam misalnya, ada perbedaan dalam seleksi Toll-like receptors (TLRs) pada permukaan sel fagosit, defensin, khemokin, antibodi dan beberapa molekul imunitas lainnya. Bangsa unggas tidak mempunyai eosinofil, namun fungsinya secara ekivalen diambil alih oleh heterofil yang serupa netrofil pada mamalia. Bangsa unggas juga tidak mempunyai limfonodus (kelenjar getah bening) seperti pada mamalia, tapi mempunyai Bursa Fabricius. Bursa Fabricius inilah yang mempunyai peranan penting dalam perkembangan dan pendewasaan reseptor sel limfosit-B (B-cell receptor). Tak hanya itu jaringan limfonodus di mesentrium pada mamalia, pada unggas berupa GALT (gut-associated lymphoid tissue) dalam bentuk Meckel’s Diverticulum, Peyer Patches dan Ceca Tonsil dalam jaringan submukosa dinding usus. Perlu diketahui, mekanisme imunitas akibat perbedaan reseptor inilah selanjutnya tentu menimbulkan perbedaan secara mendasar dari respon imunologis dalam tataran molekuler.

Hampir sama seperti pada mamalia, sistem imunitas unggas terdiri dari dua komponen dasar yang saling berinteraksi satu sama lain, yaitu sistem pertahanan sel (innate immune system) dan sistem kekebalan (adaptive immune system). Sistem pertahanan sel ini secara mendasar merupakan gugus pertahanan terdepan (first line of defense) dalam sistem imunitas yang bertujuan untuk melawan pelbagai bentuk patogen (baik virus, bakteri, jamur atau parasit lainnya) dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencetuskan reaksi spesifik pada sistem kekebalan (adaptive immune system). Cermati gambar 1.



Di dalam sistem pertahanan sel (innate immune system) termasuk juga barrier fisik dan kimiawi yang berfungsi untuk mencegah invasi patogen ke dalam jaringan tubuh induk semang. Barrier ini berupa sel-sel epidermis (kulit) atau mukosa (selaput lendir), sekreta dari sel-sel epidermis atau mukosa dan asam lambung (gastric juices).

Komponen innate immune system lainnya adalah sel-sel darah, khususnya dari sub-populasi butir darah putih (white blood cells) yang dapat bertindak menghancurkan struktur fisiko-kimiawi partikel/sel patogen. Sel-sel darah putih yang mempunyai kemampuan untuk memangsa dan menghancurkan patogen tersebut sering kali disebut juga sel-sel fagosit (phagocytic cells), misalnya makrofag (termasuk dendritic cells), heterofil (setara dengan netrofil pada mamalia), trombosit dan natural killer cells.

Umumnya, sel-sel fagosit yang beragam bentuknya ini diaktivasi oleh komponen penciri dari sel atau partikel patogen yang disebut Microbe-Associated Molecular Patterns (MAMPs) atau kadangkala disebut juga Pathogen-Associated Molecular Patterns (PAMPs) yang dapat dikenali oleh Toll-like Receptors (TLRs) yang berada pada permukaan sel-sel fagosit tersebut. Contoh dari suatu MAMP adalah lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada dinding sel bakteri Gram negatif dan asam lipoteikhoat (lipoteichoic acid) pada dinding sel kuman Gram positif.

Sistem kekebalan (adaptive immunity) jauh lebih kompleks dari sistem pertahanan sel (innate immunity), dibagi dalam dua bentuk yaitu kekebalan humoral atau kekebalan dengan perantaraan antibodi (humoral immunity) dan kekebalan dengan perantaraan sel (cell-mediated immunity). Kekebalan humoral melibatkan sel limfosit-B yang menghasilkan antibodi, sementara itu kekebalan dengan perantaraan sel melibatkan cytotoxic lymphocytes atau killer lymphocytes dan helper-T lymphocyte yang bertugas menyerang langsung patogen yang ada.

Sel Makrofag
Makrofag adalah sel fagosit yang besar dan memegang peranan yang krusial baik dalam innate immunity maupun adaptive immunity terhadap patogen yang menyerang induk semang (Qureshi, 2003). Makrofag sejatinya berasal dari sel-sel puncah (stem cells) dari sumsum tulang. Begitu matang dan bermigrasi ke dalam sistem peredaran darah, sel puncah tadi dikenal sebagai sel-sel monosit (monocytes) dan merupakan komponen populasi mayoritas dari sel-sel fagosit bagi unggas. Selanjutnya, monosit dapat berkembang menjadi makrofag dalam berbagai jaringan tubuh. Pada beberapa jaringan tubuh, makrofag pada unggas di kenal sebagai parabronchial macrophages (paru-paru), osteoblast (tulang), microglia cells (otak), kupffer cells (hati) dan hystiocytes (jaringan ikat). Dendritic cells merupakan tampilan lain dari makrofag yang umumnya ditemukan pada lapisan sub-mukosa dari jaringan-jaringan viseral, termasuk sepanjang saluran gastro-intestinal unggas.

Dalam suatu tipikal respon imunitas, sel makrofag mengenali komponen penciri spesifik (specific markers) pada permukaan sel ataupun partikel patogen yang dikenal sebagai MAMPs atau PAMPs seperti yang telah dijelaskan diatas. MAMPs atau PAMPs ini berikatan secara spesifik dengan reseptor tertentu pada permukaan sel fagosit (misalnya makrofag) yang dikenal sebagai Toll-like Receptors atau TLRs (Medzhitov et al, 1997). Bangsa unggas mempunyai 10 jenis TLRs dan 5 jenis diantaranya sama dengan pada mamalia (Temperley et al, 2008). Kunci TLRs pada ayam sebenarnya terletak pada TLR-2 yang dapat mengenali komponen peptidoglikan dari patogen, TLR-4 mengikat LPS yang umum pada bakteri Gram negatif, TLR-5 mengenali flagellin yang umum pada bakteria berflagella serta TLR-21 yang mengenali “unmethylated CpG DNA” yang umum ditemui pada bakteria (Keestra et al, 2010).

Bagian tertentu bakteria (yaitu MAMPs) yang berikatan dengan komponen tertentu (TLRs) yang terdapat pada permukaan sel makrofag, lalu ditelan (internalisasi) kedalam sitoplasma dan membentuk fagosom (phagosome). Sebuah makrofag dapat melakukan internalisasi satu atau beberapa bakteria sekaligus. Selanjutnya fagosom berdifusi (bersatu) dengan lisosom (lysosome) membentuk fago-lisosom (phago-lysosome). Di dalam fago-lisosom inilah struktur kimiawi bakteri yang telah diinternalisasi mengalami degradasi akibat kinerja enzim lisosim yang terdapat dalam lisosom. Tahap selanjutnya, makrofag mempresentasikan komponen peptida dari bakteria atau determinan antigenik lainnya pada permukaan selnya untuk menginduksi sel limfosit B atau T bagi adaptive immune response. Lihat gambar 2.



Makrofag pada ayam juga menghasilkan beberapa jenis sitokin (cytokines). Sitokin adalah protein terlarut yang memberikan sinyal-sinyal tertentu (signaling proteins) dalam proses pengaturan respon imunitas. Selain oleh makrofag, sebenarnya sitokin dapat diproduksi juga oleh beberapa tipe sel yang terlibat dalam proses respon imunitas. Namun, tetap saja makrofag yang sudah mengalami aktivasi oleh adanya MAMPs atau PAMPs dan menghasilkan sitokin tertentu merupakan tahapan inisiasi krusial baik untuk humoral immunity maupun cell-mediated immunity.

Sebagai contoh Interleukin (IL)-12 yang diproduksi oleh makrofag yang sudah lebih dulu diaktivasi pasti akan menstimulasi Helper T-lymphocytes tipe 1 (Th1). Selanjutnya, kondisi ini akan menginduksi produksi tambahan sitokin lainnya yang memegang peranan penting dalam cell-mediated immunity, yaitu  IL-1β, interferon (IFN)γ, IL-2 dan tumor necrosis factor (TNF)α.

Jika akibat aktivasi oleh MAMPs atau PAMPs makrofag memproduksi IL-4, maka protein sinyal ini akan menginduksi Helper T-lymphocytes tipe 2 (Th2) yang selanjutnya akan menghasilkan tambahan sitokin dalam bentuk IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13 yang terlibat dalam humoral immune response.



Konsep Imunomodulasi
Menurut kamus umum imunologi, ada beberapa penjelasan terkait dengan imunomodulasi, yaitu:
a) “Adjusting the immune response to a desired level”: menyesuaikan atau memodulasi respon imunitas suatu flok ayam ke level imunitas flok seperti yang diharapkan, yaitu dalam dimensi antibodi dengan titer yang tinggi, seragam dan berkesinambungan (persistensi).
b) “Priming the immune system”: tindakan memberikan gertakan atau stimulasi awal terhadap sistem imunitas suatu flok ayam supaya imunitas flok cepat terbentuk dan dengan titer antibodi yang protektif, seragam serta persisten.
c) “Switching the immune system to stand-by mode at reasonable energy cost”: memberikan gertakan dini (aktivasi awal) pada sistem imunitas sehingga beberapa sel yang bertanggungjawab pada sistem imunitas itu selalu dalam keadaan siaga untuk memberikan respon lanjut yang cepat dan dengan penggunaan nutrisi ataupun energi yang tidak boros (terkait biaya).

Di lapangan, untuk area yang tantangan patogennya cukup tinggi, dampak dari adanya imunomodulasi (positif) atau imunostimulan terhadap imunitas flok adalah pencapaian titer protektif yang relatif lebih cepat dan seragam serta dengan persistensi titer yang lebih stabil. Dilain pihak, dalam keadaan normal (tidak ada tantangan patogen), efek imunomodulasi dapat membuat komponen sel-sel innate immunity khususnya makrofag selalu dalam keadaan “siaga”, namun dengan penggunaan energi seminimal mungkin.

Mengenal Beta-Glucan
Beta-glucan adalah suatu prebiotik yang mempunyai rantai polimer dari molekul glukosa, mirip dengan pati (starch) dan selulosa. Dapat diproduksi oleh yeast, jamur tertentu (mushroom dan shitake), biji-bijian tertentu (oat atau barley), bakteria dan alga (atau ganggang). Beta-glucan juga ditemukan pada dinding sel mikroorganisme yang mempunyai potensi sebagai patogen (patobionts), misalnya bakteria dan yeast.



Pada penelitian imunologi molekuler, ternyata senyawa Beta-glucan dapat menginduksi innate immunity pada hewan ataupun manusia jika diberikan secara oral, kontak langsung via kulit dan atau diberikan via per-injeksi. Karena fakta inilah maka senyawa Beta-glucan termasuk dalam senyawa-senyawa aktif yang secara fisio-imunologis tergolong Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs).

Ditinjau dari sumber dan struktur kimiawinya, maka senyawa Beta-glucan ada beberapa jenis yaitu:
a) Alga (terutama mikro-alga) dan bakteria terutama menghasilkan senyawa linier beta-1,3-glucan (β-1,3-glucan) yang homogen.
b) Yeast (terutama pada dinding selnya) memproduksi suatu senyawa linier beta-1,3-glucan dengan cabang-cabang yang panjang beta-1,6-glucan pada sisinya.
c) Jamur khususnya mushroom dan shitake memproduksi suatu senyawa linier beta-1,3-glucan dengan cabang-cabang yang pendek beta-1,6-glucan pada sisinya (sebagai skeleton). 
d) Biji-bijian khususnya oat atau barley mampu menghasilkan senyawa rantai linier beta-1,3-glucan dan beta-1,4-glucan secara bergantian.



Reseptor dari sel-sel imunitas seperti sel makrofag, sel dendritik dan helper-T cells (khususnya Dectin-1 pada permukaan selnya dan yang tergolong dalam kelompok Toll-like Receptors/TLRs) dapat mengikat secara spesifik segmen-segmen rantai beta-1,3-glucan, sedangkan beta-glucan dari biji-bijian walaupun tidak bisa mempengaruhi sistem imunitas namun dapat digunakan untuk kontrol kadar gula darah dan kolesterol. Oleh sebab itu, segmen-segmen rantai beta-1,3-glucan yang dihasilkan dari alga, yeast serta jamur tertentu dapat digunakan sebagai imunostimulan atau imunomodulator yang aman, karena berasal dari organisme hidup, bukan sintetik.



Pada alga dan jamur senyawa beta-glucan sebagai cadangan makanannya (energy deposit), sedangkan pada yeast merupakan komponen dinding selnya. 

Namun perlu dicatat, potensi beta-glucan sebagai suatu imunomodulator sangat tergantung dari sumbernya (asalnya), struktur kimiawinya, kemurniannya, dan proses pembuatan sediaan yang ada (Chen et al., 2009). Tegasnya, tidak semua sediaan beta-glucan mempunyai potensi yang sama sebagai imunomodulator.

Disamping itu, penggunaan beta-glucan sejak DOC juga memberikan beberapa dampak positif yaitu: perkembangan villi usus yang lebih banyak dan panjang, serta tingginya jumlah sel mangkok (Goblet cells) pada lapisan epitelium dinding usus (Shao et al., 2013). Beta-glucan juga meningkatkan efek dalam kemampuan sel fagosit untuk memangsa patogen (phagocytic activity dan phagocytic capability) yang lebih banyak (Guo et al., 2003).  

Demikian juga halnya jika beta-glucan diberikan sejak DOC, maka prevalensi kasus-kasus Salmonellosis yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis pada ayam broiler sangat menurun secara signifikan (Lowry et at., 2005).

Penulis mendapatkan kesan bahwa secara “senyap” senyawa beta-glucan via mekanismenya sebagai suatu imunomodulator adalah pendekatan sisi lain yang menjanjikan dalam menghadang laju gerakan patogen di lapangan pasca non-AGP untuk mengkontaminasi produk akhir atau bahkan “merogoh” kocek para peternak. (toe)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer