Tekanan terhadap Indonesia untuk membuka keran impor produk pertanian
dan peternakan tampaknya kian kuat. Setelah
Brazil menang di WTO atas gugatan terhadap kebijakan impor daging
ayam Indonesia, belum lama ini Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menyatakan akan menggugat Indonesia
senilai USD 350 juta atau sekitar Rp
5 triliun di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan ini karena
Indonesia dianggap mengabaikan keputusan sidang
banding WTO pada November 2017 lalu.
Terhadap gugatan AS ini, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, kepada media mengatakan,
pemerintah akan mengirim
tim untuk melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat. Tim ini akan mengkaji masalah ketidaksepakatan AS terhadap kebijakan Indonesia dalam perdagangan.
“Kalau sudah begini yang paling betul adalah tidak sekadar dengan surat. Kita harus kirim tim untuk mengetahui dimana persisnya mereka sepakat,”
ujar Darmin.
Pemerintah, kata dia, akan meneliti satu-per-satu keberatan
AS, sehingga tidak hanya menguntungkan bagi Negara “Paman Sam”
tersebut. “Nanti kita lihat,
masuk akal apa enggak. Kalau memang masuk akal ya kita ubah. Wong ini peraturan menteri doang,” ucapnya.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan (Dirjen PKH), Dr Drh I Ketut Diarmita, kepada Infovet
mengaku, tidak terlalu khawatir dengan ancaman Pemerintah AS. Ia mengatakan,
Indonesia adalah mitra
yang baik di mata AS. “Jadi saya yakin AS
nantinya akan luwes dalam menghadapi
Indonesia,” ujar Dirjen PKH.
Sementara itu, Ketua Umum PB ISPI, Prof Ali Agus, berpandangan, ketika
Indonesia sudah menandatangani pakta WTO tentu sudah mempertimbangkan konsekuensinya, yang salah satunya adalah membuka lebih bebas perdagangan antar bangsa.
Yang harus diperkuat adalah lobby-lobby diplomasi agar
perdagangan antar
bangsa seimbang.
Terkait lobby diplomasi ini, beberapa pihak memandang kemampuan diplomasi Indonesia masih perlu ditingkatkan. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta W. Kamdani, mengatakan, Indonesia belum memiliki orang
yang memang benar-benar andal untuk menangani hukum perdagangan internasional.
Jadi sering kali kita pasrah saja
(dengan hasilnya), toh aturan di
dalam negeri juga cukup sulit direvisi.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan, Pradnyawati, juga menilai
kekalahan Indonesia saat bersidang atau mengajukan
banding di panel Dispute Settlement Body
(DSB),
disebabkan oleh kurangnya kapasitas dan kapabilitas RI dalam menangani sengketa dagang di WTO.
Hal senada dikatakan
Prof Ade Maman, pakar hukum internasional dari Universitas Jenderal Soedirman
(Unsoed) Purwokerto. Ia mengatakan, AS punya ratusan lawyer,
negosiator serta saksi ahli diberbagai bidang,
sementara Pemerintah
Indonesia tentu sulit untuk membiayai
lawyer Internasional yang tarifnya selangit.
Berdasarkan catatan Bisnis Indonesia, selama 2014-2018 terdapat
delapan sengketa dagang melibatkan
Indonesia yang berakhir di meja WTO melalui panel DSB. Dari delapan kasus itu, lima diantaranya telah diputuskan dan
hanya satu kasus yang dimenangkan oleh Indonesia.
Melihat fakta ini, kita semua perlu lebih cermat lagi di
sidang WTO. Jika tidak,
kita akan
kembali menelan pil pahit, kekalahan
di sidang internasional tersebut.
Padahal, dampak kekalahan sidang WTO akan berakibat buruk bagi pelaku usaha dalam negeri. Contoh paling baru adalah gugatan
AS Rp 5 triliun terhadap
Indonesia atas kebijakan Indonesia yang dinilai menghambat masuknya produk pertanian
dan peternakan dari Negeri Paman
Sam. Masalahnya bukan hanya soal membayar Rp 5 triliun saja,
melainkan bagaimana kelak stabilitas usaha perunggasan yang perputarannya diperkirakan lebih Rp 200
triliun. Jika misalkan dengan kemampuan lobby-nya AS
bisa “memaksa” Indonesia untuk menerima paha ayam (chicken
leg quarter), hal ini diperkirakan akan membuat usaha perunggasan nasional sangat terganggu.
Untunglah dengan kemampuan negoasiasi pemerintah, hal itu tidak terjadi. Negosiasi dengan Brazil juga berhasil dilakukan Indonesia dengan memperbolehkan masuknya daging sapi dari Brazil, tapi melarang masuknya daging
ayam. Ini adalah jalan tengah
yang masih bisa diterima pelaku perunggasan.
Semua negara hakekatnya perlu melindungi usaha pertaniannya, karena usaha pertanian bukan hanya sekadar untuk menghidupi petani/peternak,
melainkan untuk menjamin ketersediaan pangan. Dalam perdagangan internasional, impor bukanlah kegiatan buruk, namun memperbolehkan impor yang berpotensi menggangu keberlanjutan usaha pertanian haruslah dihindari. Negara manapun selalu berupaya keras untuk mempertahankan
serta memajukan usaha pertanian
dan peternakannya. Impor dilakukan hanya untuk memajukan usaha pertanian dan peternakan.
Dalam hal ini semua pemangku kepentingan peternakan perlu mengkaji
dan member masukkan kepada pemerintah bagaimana sebaiknya bentuk perlindungan kepada usaha peternakan di tengah era keterbukaan dan
globalisasi. Hal ini sangat diperlukan, agar dengan pertumbuhan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan jumlah penduduk,
usaha peternakan semakin berkembang, ikut menikmati pertumbuhan ekonomi dan juga ikut berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Adapun
terhadap
gugatan
Rp 5 triliun
dari AS dan juga
mungkin
nantinya
ada
gugatan
dari
negara lain, Indonesia perlu memperkuat
tim lobby dan negosiator agar bisa meyakinkan negara
lain perihal kebijakan yang diambil pemerintah. ***
Editorial Majalah Infovet Edisi September 2018
0 Comments:
Posting Komentar