Penyakit Avian Influenza (AI) pada unggas dan dikenal
pada manusia dengan sebutan Flu Burung (Bird Flu) ini telah menjadi perhatian
dunia, karena sejak mewabahnya salah satu subtype virus AI/H5N1 tahun 2003
telah meluas dengan cepat ke banyak negara di semua benua.
![]() |
Direktur Kesehatan Hewan, drh. I Ketut Diarmita MP didampingi James McGrane, Team Leader FAO ECTAD Indonesia saat media briefing tentang perkembangan AI terkini di Kementan, Senin (16/5). |
Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia mengalami wabah
AI pertama, pada pertengahan tahun 2003 dilaporkan serentak kejadiannya di
beberapa kota di pulau jawa, namun karena perlu waktu cukup lama untuk
mengkonfirmasi diagnosa penyakit baru tersebut melalui bantuan beberapa lab
internasional, maka barulah di awal 2014 pemerintah menetapkan sebagai penyakit
AI, subtype H5N1, kelompok gen (Clade 2.1.3.2), yang menurut analisis genetik
serupa dengan virus yang di Guangdong China.
Melihat perkembangan di lapangan, dan mengingat
Indonesia masih tercatat sebagai salah satu hotspot atau titik rawan untuk
penyebaran virus Avian Influenza (AI), Kementerian Pertanian terus mengupayakan
langkah-langkah strategis untuk mencegah penularan dan mengurangi resiko
kematian akibat infeksi virus AI. Selain itu, pemerintah juga terus mengajak
masyarakat untuk lebih cerdas terhadap ancaman virus AI.
![]() |
Pemusnahan itik peking komersial yang terinfeksi AI di Kab. Bekasi Januari 2016 |
Kasus AI kembali dilaporkan dari kematian unggas di
Indonesia sejak Februari 2016. Dimulai dari kematian 224 ekor itik di Kabupaten
Bekasi yang diikuti dengan kematian puluhan bahkan ribuan ekor ayam kampung,
entog, itik pedaging, burung puyuh, ayam broiler dan ayam layer (peternak) di
Cilandak, beberapa kabupaten di provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Sulawesi Selatan seakan menjadi sebuah pengingat bahwa ancaman penyakit flu
burung belum pergi meninggalkan kita.
Untuk itu, Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan setiap awal tahun menerbitkan Surat Edaran peningkatan kewaspadaan
dan pengendalian penyakit AI. Surat
Edaran terbaru tentang Peningkatan kewaspadaan dan pengendalian AI yang
dijabarkan melalui 8 (delapan) tindakan kewaspadaan yang perlu dilakukan
masyarakat.
"Delapan tindakan kewaspadaan tersebut adalah
meningkatkan penyuluhan dan himbauan untuk segera melapor jika menemukan unggas
mati, melakukan tindakan 3-Cepat (deteksi, lapor dan respon), menerapkan
biosekuriti efektif (biosekuriti 3-zona), melaksanakan vaksinasi dengan pola
vaksinasi 3-Tepat, menerapkan sanitasi di sepanjang rantai pemasaran unggas,
membiasakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), meningkatkan surveilans dan
investigasi, serta pengadaan DOC (day old chick/anak ayam yang berumur satu hari)
dari peternakan yang telah mempunyai sertifikat kompartemen bebas AI,"
jelas Direktur Kesehatan Hewan, drh. I Ketut Diarmita, MP dalam acara briefing
dengan media di Kantor Kementrian Pertanian, Senin (16/5).
![]() |
Untuk mematikan sebaran virus AI, bangkai dibakar sebelum dikubur. |
Ketut Diarmita juga menyampaikan bahwa dengan
bantuan kecepatan laporan via I-SIKHNAS dan SMS Gateway dan tindakan Tim Respon
Cepat Terpadu (URC Kab/Kota, Prov, Pusat, BBV/BV, Dinas Kesehatan/ Puskesmas)
Pengendalian AI pada unggas dapat dilakukan cukup efektif, berdampak positif terhadap
meminimalisir risiko penyebaran virus AI pada unggas maupun Flu Burung pada
manusia.
Kasusnya Selalu Meningkat
Dimusim Hujan
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan
salah satu negara yang masih melaporkan kasus HPAI subtipe H5N1 pada unggas
sejak tahun 2003, dimana kasus HPAI H5N1 pada manusia dilaporkan pertama kali
pada tahun 2005.
Walaupun kasus H5N1 pada manusia di Indonesia telah
menurun drastis sejak tahun 2010, menurut data WHO sampai dengan tahun 2015
tercatat sudah 199 kasus dengan 167 kematian, menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan jumlah kasus H5N1 tertinggi pada manusia dengan Case Fatality Rate
(CFR) 84%. Data Kementerian Pertanian sendiri mencatat penurunan kasus AI pada
unggas setiap tahunnya, dan terdapat pola musiman peningkatan kasus setiap
musim hujan.
![]() |
Grafik 1. Kejadian AI pada Unggas Nasional per tahun 2007 hingga 30 April 2016 |
Hasil pemeriksaan di Balai Besar Veteriner (BBVet)
Wates, Yogyakarta, menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kematian unggas sejak
akhir 2015 sampai Maret 2016 disebabkan oleh infeksi virus Highly Pathogenic
Avian Influenza (HPAI) H5N1 Clade 2.3.2.1. dan ada kemungkinan bahwa
peningkatan kasus flu burung akhir-akhir ini disebabkan unggas-unggas tersebut tidak memiliki kekebalan yang
optimum terhadap infeksi H5N1 Clade 2.3.2.1. Menurunnya daya tahan unggas ini
disebabkan antara lain oleh perubahan cuaca yang sangat ekstrem–suhu panas lalu
berganti hujan lebat.
Selain itu, kewaspadaan masyarakat tentang ancaman
AI juga menurun, sebagai akibat dari berkurangnya kasus AI pada manusia setiap
tahun. Pada peternakan umbaran, kesadaran cara pemeliharaan dengan pengandangan
masih belum optimal. Sementara itu, pada peternakan komersial, penerapan
biosekuriti dan vaksinasi yang efektif masih terhitung lemah.
Untuk memantau jenis atau strain virus AI yang
terdapat pada unggas di Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan mengerahkan Tim Jejaring Pemantau Virus AI/Influenza Virus Monitoring
(IVM) Network, yang merupakan jaringan laboratorium diagnostik veteriner di
Indonesia.
Hasil pemantauan IVM Network akan digunakan antara
lain sebagai rekomendasi penetapan kebijakan vaksinasi dan strategi vaksinasi
pemerintah. Vaksinasi yang digunakan
harus diproduksi secara nasional, terdaftar pada Kementerian Pertanian dan
mengandung bibit vaksin lokal sehingga terdapat daya perlindungan yang tinggi.
Perlu dicatat adalah IVM Network adalah satu-satunya
jaringan pemantau virus AI skala nasional yang ada di dunia, dan telah menjadi
model yang akan diadopsi oleh negara lain seperti Bangladesh dan China.
Langkah lainnya yang dilakukan adalah surveilans
pasar unggas hidup (live bird market / LBM), yaitu kegiatan pengamatan virus AI
di pasar unggas hidup di beberapa kota besar Indonesia (Jabodetabek, Surabaya
dan Medan) yang dilakukan terus menerus sepanjang tahun guna memantau adanya
virus AI di lingkungan pasar unggas yang terbawa dari peternakan unggas di luar
kota. Sampel lingkungan diambil dari
pasar yang menjual unggas hidup dan atau memotong unggasnya di pasar
tersebut.
![]() |
Grafik 2. Jenis & Jumlah Unggas mati akibat AI periode Januari - April 2016 (77.211 ekor) |
“Surveillans LBM penting dilakukan untuk memantau
dinamika virus AI dan sekaligus sebagai indikator keberhasilan program
pemberantasan HPAI di peternakan unggas.
Hasil pengamatan LBM selama ini menunjukkan bahwa virus AI cukup tinggi
ditemukan di pasar yang diambil sampelnya (sekitar 40%). Surveillans juga
sangat penting karena mampu mendeteksi
adanya dugaan virus AI lain selain subtipe H5N1,” menurut James McGrane, Team
Leader FAO ECTAD Indonesia.
Meningkatnya kasus penyakit AI dan zoonosis lainnya
saat ini telah membuktikan bahwa sangat pentingnya peran, tugas fungsi
pelayanan kesehatan hewan dari para petugas kesehatan hewan di semua tingkatan
baik di lapangan, kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Dampak meningkatnya
penyakit zoonosis telah menyebabkan kerugian ekonomis masyarakat/peternak serta
keresahan masyarakat terhadap ancaman tertularnya pada manusia.
Oleh karena itu sudah seharusnya pelayanan kesehatan
hewan menjadi urusan wajib pemerintah dan pemerintah daerah. Selain itu
kepedulian dan kesadaran masyarakat terhadap pencegahan penyakit flu burung
juga sangat tidak kalah penting. (wan)