Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini SISI INTERNAL SISKESWANAS DAN PERDAGANGAN BEBAS | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

SISI INTERNAL SISKESWANAS DAN PERDAGANGAN BEBAS

SISI INTERNAL SISKESWANAS DAN PERDAGANGAN BEBAS

(( Semua kekuatan mestinya dimulai dari sisi internal. Bila sisi internal kuat, sisi eksternal akan dapat disikapi atau menyikapi. ))

Berbagai situasi peternakan dan dunia kehewanan tanah air terkait pro-kontra impor daging sapi Brazil rawan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), merebaknya penyakit Rabies pada anjing dan menyerang manusia di Bali dan beberapa daerah lain merupakan rantai panjang dari potret pengelolaan SISKESWANAS (Sistem Kesehatan Hewan Nasional).
Siskeswanas ini pula yang sangat berpengaruh pada penyiapan komoditi peternakan menuju era bebas ASEAN-China 2010. Artinya, dalam perdagangan bebas komoditi peternakan ini, telah dikenal bukan semata-mata pada produknya, tapi merupakan ketahanan nasional Indonesia yang memerlukan pengendalian penyakit khususnya penyakit yang terkait dengan higienes pangan.
Masalah kesehatan hewan merupakan masalah penting pada lalu lintas perdagangan dan transportasi antar negara selain berbagai problematika baik dari segi dagang, aturan perpajakan. Satu-satunya pengawasan kesehatan hewan yang dapat dikendalikan adalah ketentuan SANITARY-PHYTOSANITARY yang memberikan kewenangan kepada suatu negara demi keamanan hayati untuk melindungi wilayahnya dari ancaman penularan penyakit dari luar baik dari hewan dan masyarakat manusia.
Rupanya hal inilah yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah sehingga wacana daging Brazil yang rawan PMK dan Pengakit Sapi Gila (BSE) dikemukakan bahkan sudah direncanakan. Padahal resiko dari penyakit ini dan akibatnya sudah dirasakan sebelum Indonesia sanggup membebaskan diri dari PMK pada 1990an setelah upaya keras dan menghabiskan energi dan dana selama 100 tahun. Sama halnya dengan tercemarnya Bali dengan Penyakit Rabies padahal sebelumnya berstatus pulau bebas Rabies!
Kita untuk kesekian kali selalu diingatkan bahwa kebijakan dalam kesehatan hewan ini harus benar-benar dapat mengawal dan melindungi potensi sumber daya hayati dalam negeri maupun keamanan di masyarakat dan mampu mencipta kondisi untuk bisa bersaing pada produk peternakan yang akan diekspor. Landasan hukumnya sudah jelas: UU No 6/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dasar hukum untuk kesehatan masyarakat terkait hewan dan produk asal hewan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Kaitannya dengan KELEMBAGAAN saat ini, terjadi suatu kesimpang siuran dalam penentu kebijakan berkenaan dengan produksi terhadap asal hewan yang berkaitan dengan penyakit. Saat terjadinya wabah Penyakit Sapi Gila di benua lain, beberapa institusi di Indonesia seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag), serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), masing-masing mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri yang saling tumpang tindah, padahal masalahnya sama, menjaga keamanan hayati di tanah air dari resiko masuknya kasus BSE ini.
Bahkan antara Dirjen di Departemen Pertanian sendiri, pada saat itu Dirjen Peternakan dengan Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian pun punya kebijakan yang berbeda. Padahal kalau mengacu pada permasalahan mendasarnya, hal ini terkait dengan siapa yang punya otoritas tentang penyakit hewan, yang berarti tentang OTORITAS VETERINER.
Mestinya kita punya wadah yang punya fungsi otoritas veteriner, punya lingkup ketahanan yang tidak di bawah departemen tertentu. Lembaga di dalam pemerintah yang memiliki otoritas di seluruh wilayah negara itu untuk melaksanakan tindakan sanitari dan proses sertifikasi veteriner internasional yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) serta melakukan supervisi atau audit penerapannya. Dalam kelembagaan selama ini ini kita punya kelemahan dalam menghadapi penyakit dari luar (Exotic Disease) karena belum adanya lembaga nasional yang merupakan laboratorium rujukan ini.
Perlu ke depannya menunjuk laboratorium tertentu yang berkompeten untuk penyidikan veteriner. Kaitannya dengan sumber daya manusia, perlu program yang berkaitan dengan profesi veteriner, baik di lapangan, kelembagaan laboratorium, maupun karantina.
Bagaimanapun instansi veteriner dan peternakan merupakan institusi yang butuh sentuhan manajemen yang profesional. Upaya untuk meningkatkan standar manajemen kelembagaan adalah upaya yang patut dilakukan oleh setiap institusi peternakan/kesehatan hewan untuk menjadikan peternakan lebih produktif dan efisien.
Kelembagaan penelitian, Indonesia mempunyai banyak lembaga penelitian yang layak menjadi rujukan regional dan internasional, setidaknya di kawasan Asia Pasifik. Sebutlah BBPMSOH (Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan), dan Balai Besar Penelitian Veteriner (BBalitvet) Bogor yang menjadi rujukan penelitian veteriner nasional.
Untuk meningkatkan, mempertahankan, atau bahkan (kalau misalnya diintrospeksi ternyata belum menjapai standar yang dimaksud) mengembalikan kualifikasi itu; setiap lembaga yang ada di Fakultas, Balai Besar Pengujian dan Penyidikan Veteriner (BBPPV), bahkan perusahaan swasta pun patut memikul tanggungjawab itu.
Perdagangan bebas menuntut adanya produk peternakan yang berkualitas dan berdaya saing. KARANTINA yang menjadi tanggungjawab dokter hewan meliputi hewan itu sendiri maupun produk asal hewan, serta sarana produksi peternakan seperti pakan, obat-obatan, dan peralatan.
Pengalaman dunia peternakan Indonesia yang sangat menyedihkan di dunia karantina, selain masuknya Rabies di Bali adalah masuknya Avian Influenza (AI) alias Flu Burung yang tak lepas dari kegagalan karantina melakukan fungsinya secara ketat. Frekuensi arus lalu lintas barang dan orang dalam konteks perdagangan antar negara tidak mengenal batas-batas antar negara.
Fungsi dan peranan karantina menjadi sangat strategis dan penting dalam melakukan upaya-upaya perlindungan dan penyelamatan serta pengamanan sumberdaya alam hayati ke dalam suatu kesisteman menyangkut hal-hal untuk memajukan, mengawasi, melindungi dan mempertahankan usaha-usaha agribisnis khususnya produk-produk hewan ternak yang menjamin keamanan, mutu, kesehatan dan keutuhan mulai dari hulu sampai ke hilir, bahkan sampai ke pemasaran tingkat nasional/domestik dan internasional.
Mudah mengatakan, ingat untuk penerapannya diurai hal rinci soal surat kelengkapan dan prosedur tindakan karantina di tempat-tempat tertentu, yang kita sering kedodoran karena berbagai alasan. Faktor internal dan eksternal Karantina sangat berperan di sini. Secara filosofis, semua kekuatan mestinya dimulai dari sisi internal. Di sini jelas, internal karantina, dan secara skala nasional: sisi internal Siskeswanas kita sendiri!
Dalam sisi internal ini, kita tidak boleh melupakan STANDARISASI produk-produk peternakan yang diperdagangkan, baik dengan pemberlakuan wajib terap SNI misalnya persyaratan mutu yang merupakan konsekuensi logis akan tuntutan pasar bebas.
Target akhir yang ingin dicapai di balik pemberlakuan Wajib SNI adalah adanya keinginan yang kuat untuk mendapatkan bahan baku yang memiliki kualitas setara atau minimal mendekati dengan kualitas internasional yang diijinkan atau direkomendasikan dapat diterima dalam bahan makanan asal hewan, berdasar Codex Alimentarius Commision.
Keberhasilan beberapa produsen obat hewan Indonesia menembus pasar ekspor di luar negeri termasuk sampai ke China, negara-negara Asia Tenggara, Uni Emirat Arab dan Sri Lanka merupakan bukti standarisasi yang ketat adalah senjata kuat untuk menjawab perdagangan bebas. Bisa terjadi karena produksi obat hewan telah diterapkan sesuai dengan perundangan yang teruji secara nasional dan internasional, sehingga mutu obat yang dibuat senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai tujuan penggunaannya.
CPOHB (Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik) disusun sehingga keseluruhan aspek produksi dan pengendalian mutu yang dimulai dari perencanaan, rancangan, bahan baku, proses produksi, sarana produksi, sumberdaya manusia, pengawasan mutu dan dokumentasinya dapat dikendalikan sesuai dengan ketentuan sehingga mutu produk yang dihasilkan dapat selalu terjamin.
Di sisi internal terkait era perdagangan bebas kita patut menambahkan: INOVASI produk yang merupakan salah satu keunggulan di jaman yang selalu mengikuti selera lebih tinggi di mana selera global saling berpengaruh di berbagai belahan bumi. Apapun bentuknya di bidang peternakan maupun produksi peternakan. Bahkan untuk produk yang kelihatannya sederhana, tapi sangat bergengsi, seperti jelly egg.
Keunggulan dan keuletan produsen produk-produk peternakanlah yang membuat produk diterima di pasar berbagai negara di luar negeri, seperti produk susu asal Indonesia berupa susu full cream, susu rendah lemak dan susu tanpa lemak merek tertentu. Peran Hongkong yang lebih menjadi pembeli produk asal hewan, misal daging putih/daging ayam dari negara produsen sekitarnya lalu dijual lagi ke negara-negara lain, mengisyarakatkan bahwa perdagangan peternakan ASEAN-China tak kan lepas dari negara-negara maju lain yang juga menerapkan kesejahteraan hewan ini.
Indonesia pun mengadopsi berbagai konsep internasional dalam cakupan terbatas, misalnya memperhatikan kesejahteraan hewan di RPH dan atau RPA dan karantina di mana pada tahun-tahun mendatang akan menjadi isu menarik.
Secara filosofis, sekali lagi, semua kekuatan mestinya dimulai dari sisi internal. Bila sisi internal kuat, sisi eksternal akan dapat disikapi atau menyikapi. (Yonathan Rahardjo)

Related Posts

2 Comments:

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer