-->

KEPASTIAN KEMENANGAN PERUNGGASAN 2007 VS PENYAKITNYA

Berdasarkan komunikasi dengan berbagai narasumber, bacaan kepustakaan, dan situasi penyakit unggas di Indonesia, Asia, maupun internasional, maka menurut pakar penyakit unggas Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD dari FKH UGM, pada tahun 2007, tidak akan terjadi wabah penyakit unggas yang baru.
Harusnya, kata Prof Charles, “Dengan pengalaman sejak tahun 2003 sampai 2006 dalam menanggulangi AI, para peternak/pengusaha perunggasan telah lebih memahami dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pentingnya manajemen peternakan yang optimal pada berbagai aspek, khususnya praktek biosecurity yang ketat.”
Hal ini, tambah Charles, tentu saja tidak hanya untuk menanggulangi AI, tetapi juga berlaku untuk penyakit-penyakit lainnya. Yang paling penting adalah bagaimana peternak dapat lebih efisien dan dapat meningkatkan kualitas produk. Sehingga harga produk yang dihasilkan bersifat lebih kompetitif.
Jika biaya produksi terus meningkat karena berbagai faktor yang tidak terhindarkan, sementara harga produk perunggasan sangat berfluktuatif, Charles berpendapat para peternak cenderung akan melakukan modifikasi manajemen yang kerapkali berdampak merugikan pada penanggulangan berbagai penyakit.
Untuk review, Prof Charles menuturkan, penyakit-penyakit yang dominan pada broiler maupun layer selama tahun 2006 adalah Gumboro, Newcastle disease (ND), kolibasilosis, dan kelompok penyakit pernapasan (khususnya CRD, infectious coryza).
Pada broiler juga sering ditemukan gangguan pertumbuhan dan mikotoksikosis pada periode tertentu.
Sedangkan pada layer, sering muncul gangguan produksi telur, khususnya berhubungan dengan infectious bronchitis (IB) dan kadang EDS-76.
Selanjutnya, juga perlu mendapat perhatian khusus terhadap kejadian Marek’s disease (MD) yang cenderung meningkat pada layer selama tahun 2006,.
Menurut Prof Charles, penyakit-penyakit tersebut sulit diberantas karena faktor pendukungnya kompleks dan sulit diatasi, khususnya menyangkut berbagai aspek manajemen (DOC, pakan, perkandangan, kualitas air minum, biosecurity, program kesehatan) yang suboptimal.
Beberapa penyakit, khususnya ND, CRD, kolibasilosis, infectious coryza juga erat hubungannya dengan efek imunosupresif penyakit lain dan kondisi iklim yang sangat berfluktuatif.
“Program vaksinasi dan jenis vaksin yang kurang sesuai juga mempunyai andil pada kejadian beberapa penyakit, khususnya Gumboro, IB, dan MD,” kata Doktor alumnus Amerika ini.
Penyakit-penyakit tersebut (misalnya Gumboro, ND, IB) mempunyai dampak ekonomik yang besar pada peternakan ayam sehingga jika tidak ditanggulangi secara benar dapat berakibat fatal bagi suatu usaha peternakan.
Untungnya, kata Prof Charles, para peternak telah mempunyai berbagai upaya untuk menanggulanginya walaupun hasilnya belum maksimal. Inilah yang merupakan tantangan bagi para ilmuan dan praktisi perunggasan di Indonesia.
Menurutnya, peranan pemerintah dalam menangani berbagai penyakit unggas lebih terfokus pada sektor-4 (kelompok unggas skala kecil). Sedangkan pada sektor-1, -2, dan -3 pemerintah lebih banyak berperan sebagai pemegang kebijakan sehingga sangat tergantung pada kondisi manajemen dan komitmen suatu usaha perunggasan.
Selama tahun 2006, ujarnya, sebetulnya kejadian avian influenza (AI) pada peternakan ayam komersial di sektor-1, -2, dan -3 hampir tidak pernah ditemukan, sedangkan pada sektor -4 banyak sekali diagnosis AI yang dikelirukan dengan penyakit lain, khususnya ND.
“Perluasan kasus ke beberapa propinsi selama tahun 2006, sebetulnya hanya berdasarkan temuan kasus baru yang segera dapat dihentikan penyebarannya dengan cara stamping out dan bukan berbentuk letupan pada suatu peternakan atau wilayah yang luas,” tambahnya.
Bahkan, banyak propinsi yang sebelumnya dinyatakan tertular AI, telah “bersih” dari penyakit tersebut (tidak ada laporan kasus baru) dalam waktu yang lama.

Butuh Komitmen yang Tinggi
Beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian khusus dalam penanganan penyakit pada unggas, menurut Prof Charles Rangga Tabbu adalah harus adanya komitmen yang tinggi dari pengusaha perunggasan atau bidang yang terkait sesuai dengan peranannya masing-masing sejak dari hulu sampai hilir.
Hal ini untuk menjaga kualitas dan kontinuitas produk yang dihasilkan, misalnya DOC, pakan/bahan baku pakan, dan sarana kesehatan (vaksin, obat, vitamin, bahan imbuhan pakan, desinfektan).
Demikian juga, tambahnya, di bidang budidaya perunggasan, para pengusaha atau peternak haruslah menjalankan manajemen yang optimal dan sistem pemasaran produk/produk ikutan yang selalu mengacu pada prinsip biosecurity ketat yang dilandasi oleh tanggung jawab moral terhadap masyarakat perunggasan dan masyarakat umum.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan (“juri”) hendaklah selalu menyediakan dan menjaga agar semua peraturan/kebijakan dijalankan secara disiplin dan penuh tanggung jawab.
“Mungkin secara bertahap perlu restrukturisasi sistem peternakan unggas dan sistem pemasaran produknya (termasuk kotoran) agar kontrol lalulintas unggas/produknya dan pelaksanaan biosecurity lebih terkendali,” anjur Prof Charles.
Adapun peranan dari Karantina Hewan, khususnya pada entry dan exit point dan Pos Pemeriksaan Ternak hendaknya lebih ditingkatkan.
“Tindakan-tindakan tersebut diharapkan dapat menekan penyebaran penyakit seminimal mungkin,” tegas Dekan FKH UGM ini.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya Charles berkata, adalah restrukturisasi organisasi Otoritas Veteriner dari tingkat pusat sampai kedaerah. Tujuannya, agar diperoleh kesamaan pandangan dan analisis terhadap berbagai kebijakan dan kondisi di lapangan yang berhubungan dengan kesehatan unggas, khususnya yang menyangkut penyakit-penyakit stratejik, misalnya AI, ND, Gumboro.
Adapun jika dihubungkan dengan aset industri perunggasan di Indonesia yang cukup tinggi dan peranannya dalam aspek perekonomian pada sejumlah besar rakyat Indonesia, konsultan perunggasan ini mengungkapkan harusnya para peternak/pengusaha perunggasan dan pemerintah tidak begitu saja menyerah pada berbagai gejolak yang datang silih berganti.
Sebagai contoh, katanya, ”Peranan industri perunggasan sebagai penyedia sekitar 55% kebutuhan daging nasional, penyedia lapangan kerja langsung pada sekitar 2,5 juta peternak, dan sebagai pendorong pertumbuhan bidang pertanian lain dan perikanan, industri, serta usaha rumah makan.”
Untuk menyelamatkan semuanya, Ketua Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan ini menyatakan, tentu saja diperlukan suatu kerjasama dan koordinasi antara pemerintah, pelaku perunggasan, praktisi, para pakar di bidang perunggasan/bidang yang terkait, dan semua komponen masyarakat untuk secara bersama-sama membangun, memelihara, dan mendukung keberlangsungan industri perunggasan di tanah air tercinta ini.
Misalnya, dengan selalu membudayakan untuk makan daging dan telur di lingkungan keluarga, membeli produk perunggasan (telur, daging, bahan olahan) dalam negeri, dan ikut memberikan informasi yang benar tentang kegunaan dan tingkat keamanan daging dan telur.
Jika semua pihak yang terlibat dalam mata rantai indutsri perunggasan di Indonesia dapat memainkan peranannya secara baik, maka pakar ini memastikan, industri perunggasan di negeri tercinta ini masih memiliki potensi yang amat besar dan masih tetap menjanjikan. (Ardi Winangun)

Krisis Pakan Diramalkan Hanya Sesaat

Sepanjang tahun 2006 lalu masih ternyata banyak permasalahan menggelayuti bisnis perunggasan Indonesia. Mulai dari penyakit pernapasan dan pencernaan unggas yang datang silih berganti, hingga kasus Avian Influenza (AI) yang belum juga tertangani dengan baik. Akankah pelaku bisnis ini tetap menatap optimis datangnya tahun 2007?
Menurut Drh Heri Setiawan dari PT Wonokoyo Joyo Corporindo, dirinya optimis bahwa bisnis perunggasan di tahun 2007 akan lebih prospektif. Pihaknya sebagai bagian dari pelaku industri peternakan skala besar tetap berpandangan optimis. Karena penyakit AI memang masih ada di lapangan, namun suara gaungnya sudah tidak semenyeramkan beberapa tahun yang lalu. Hal ini disebabkan upaya-upaya sosialisasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Masyarakat sendiri kini juga telah menyadari sepenuhnya tidak perlu takut yang berlebihan.
Lebih lanjut, kata Heri, perekonomian Indonesia secara nasional telah menuju kearah perbaikan yang mendorong meningkatnya daya beli masyarakat, sehingga bisa dipastikan bisnis peternakan tahun 2007 masih prospektif.
Sementara itu menyikapi masalah impor jagung yang diramalkan bakal langka dikarenakan pasokan jagung dunia akan dialihkan untuk produksi bioetanol, Heri berpendapat efek bagi Indonesia akibat langkanya jagung ini hanya akan berlangsung sesaat, tetapi diyakininya pasti ada jalan keluar. Jadi meskipun tidak bisa disubstitusi 100% tetapi pasti ada langkah-langkah mengganti porsi jagung yang sedemikian besar, yaitu bisa dengan alternatif bahan baku pakan yang lain atau mungkin dengan pemanfaatan teknologi yang lain. Kalau akan naik harga pakan tidak akan drastis walaupun sampai sekarang sudah mulai terjadi penyesuaian harga secara bertahap.
“Saat ini semua orang istilahnya masih wait and see menyikapi masalah jagung dunia ini, namun disisi lain setiap orang juga telah menyiapkan antisipasi apa yang harus dilakukan. Bisa dengan memanipulasi formulasi atau pemanfaatan teknologi yang lain,” kata Heri.
Hingga kini Indonesia masih menggantungkan bahan baku untuk produksi pakan ternak asal jagung sebesar 70% dari impor. Lebih jauh, untuk basis penguatan produksi jagung lokal, yang pada awal tahun 2006 Pemerintah telah mencanangkan tahun 2007 bakal swasembada jagung. Namun nyatanya target tersebut tidak tercapai. Pemerintah berkilah ini karena faktor musim tanam yang tidak bisa ditebak akibat musim kemarau yang berkepanjangan. Dan lagi pemerintah tidak bisa memaksakan petani harus menanam jagung daripada beras.
Heri menyikapi kondisi ini, diharapkan dengan isu kelangkaan jagung ini, Pemerintah jadi lebih terpacu untuk konsisten pada pernyataannya seperti yang pernah disampaikan. Dengan adanya isu ini menjadi mereka jadi lebih concern terhadap program peningkatan produksinya.
Dari pantauan Infovet, sentra-sentra produksi jagung itu sendiri tidak berdekatan dengan industri penyerap hasil panennya. Sehingga terkadang menimbulkan biaya tinggi untuk proses angkutnya.
Heri menilai, memang harus ada gerakan integral dari pihak produsen dalam hal ini petani dengan pengguna hasil panennya yaitu pabrikan pakan. Sementara para pabrikan pakan juga berusaha menambah sarana transportasi untuk pengangkut atau membuat depo-depo penampungan sementara. Sehingga pelan-pelan kedua pelaku usaha ini bisa saling mendekat. (wan)

Kilas Balik Perunggasan 2006 dan Prakiraan Situasi 2007

Dari sudut pandang penyakit ternak khususnya unggas, kejadian penyakit ayam pada tahun 2006 masih didominasi oleh kekhawatiran peternak akan merebaknya kembali kasus Avian Influenza (AI), walaupun secara umum penyakit Avian Influenza boleh dikatakan sudah lebih terkontrol. Problem yang cukup dominan terjadi pada peternakan ayam di tahun 2006, berupa gangguan produksi baik pada layer komersial maupun breeder. Dari beberapa kasus gangguan produksi pada ayam layer komersial, salah satu penyebabnya diduga karena penyakit Avian Influenza yang bersifat subklinis, disamping juga oleh karena masih lemahnya praktek manajemen dan perhatian peternak terhadap beberapa aspek penting dalam manajemen pemeliharaan ayamnya.
Masalah penting lain yang dihadapi oleh industri peternakan di Indonesia pada tahun 2006 adalah harga pakan yang cenderung tinggi sehubungan dengan meningkatnya harga bahan baku pakan asal import dan juga harga dedak/katul serta jagung yang juga relatif lebih mahal dibandingkan tahun 2005. Harga bahan baku/pakan yang tinggi, mempengaruhi berbagai aspek manajemen peternakan. Dimana menghadapi kondisi tersebut, peternak sering kali melakukan penghematan biaya vaksinasi dan program kesehatan, sehingga manajemen pengendalian penyakit menjadi suboptimal dan yang terjadi malah semakin meningkatnya kejadian infeksi penyakit dilapangan..
Disamping meningkatnya biaya produksi, tahun 2006 juga diwarnai adanya sedikit penurunan suplai DOC broiler, dimana harga DOCnya sempat dirasakan cukup memberatkan, hanya saja peternak masih cukup terbantu oleh harga pronak yang relatif baik sampai bulan Oktober 2006, walaupun harganya sempat cukup jatuh terutama diakhir tahun 2006, diduga karena faktor iklan waspada flu burung pada manusia dan juga karena menurunnya daya beli masyarakat, sebagai dampak kekeringan yang cukup panjang dan adanya gagal panen pada sejumlah daerah sentra penghasil padi.
Dari segi pelaksanaan biosekuriti pada peternakan ayam di tahun 2006, karena dirasakan oleh peternak bahwa penyakit AI sudah lebih terkontrol, biosekuritinya mulai melemah, kembali pada pola sebelum adanya wabah AI, terutama pada peternakan ayam komersial layer maupun broiler. Sehingga kejadian beberapa penyakit infeksius mengalami peningkatan, seperti ND, kebocoran vaksinasi Gumboro, Swollen Head Syndrome serta Coryza.

Penyakit dominan tahun 2006

Tidak berbeda jauh dengan pola dan kejadian penyakit pada tahun-tahun sebelumnya, penyakit yang masih cukup dominan dan selalu menjadi masalah di peternakan ayam pada tahun 2006, diantaranya ; CRD, Kolibasilosis, Coryza, Kholera, Koksidiosis, Gumboro, ND dan SHS dan gangguan produksi pada ayam petelur, yang disinyalir terkait dengan kualitas pakan dan beberapa dilaporkan adanya dugaan AI subklinis.
Dari pengamatan di lapangan, kejadian penyakit yang cukup dominan dan selalu menjadi masalah dipertanakan tersebut, sangat erat hubungannya dengan berbagai faktor manajemen, diantaranya :
1. Sistem perkandangan, seperti ; tingkat kepadatan ayam, kelembaban litter kandang dan kurang baiknya sirkulasi udara dalam kandang.

2. Kondisi iklim, dimana temperatur dan kelembaban yang cenderung berfluktuatif. Cuaca panas yang berkepanjangan, merupakan faktor pendukung timbulnya penyakit yang erat kaitannya dengan stres, seperti Coryza dan SHS serta penyakit pernafasan lainnya.

3. Umur ayam sangat bervariasi dalam satu lokasi, merupakan faktor pendukung tingginya tantangan agen penyakit. Seperti pada pemeliharaan ayam pedaging, dengan sistem banyak umur dalam satu lokasi peternakan,sangat mendukung pada meningkatnya tantangan virus Gumboro lapangan, sehingga dapat memicu terjadinya kasus kebocoran vaksinasi terhadap Gumboro.

4. Kualitas pakan yang bervariasi. Meningkatnya harga bahan baku pakan, dan sulitnya peternak mendapatkaan tepung ikan dan tepung daging yang berkualitas, membuat peternak menggunakan bahan baku lain, seperti bungkil kedele sebagai sumber protein alternatif, sehingga mempengaruhi kualitas nutrisi yang mampu dicerna dan diperoleh ayam, sehingga sedikit menyebabkan adanya gangguan produksi, terutama pada ayam layer komersial.

5. Kualitas air yang dibawah standar, terutama karena cemaran kuman pathogen yang cukup tinggi, merupakan sumber pendukung kejadian berbagai penyakit pencernaan, seperti kasus Kolibasilosis, baik pada broiler maupun layer komersial.

6. Kepadatan peternakan ayam yang cenderung tinggi pada satu kawasan, menyebabkaan resiko penularan penyakit dari satu lokasi ke lokasi lainnya, sulit lagi bisa dihindarkan.

7. Sistem pemasaran pronak (ayam dan telur), seperti pada sistem pemasaran ayam pedaging atau ayam afkir, dimana kendaraan dan keranjang pengangkut dari pedagang ayam yang langsung masuk ke lokasi peternakan tanpa perlakuan khusus (sanitasi dan disinfeksi), sangat beresiko pada terjadinya penularan penyakit dari satu lokasi ke lokasi peternakan lainnya.

8. Pencemaran mikotoksin pada bahan baku pakan, terutama jagung, cenderung masih cukup tinggi, akibat kurang baiknya penanganan pasca panen. Kandungan mikotoksin dalam pakan pada level yang cukup tinggi, salah satunya dapat menyebabkan kelainan fungsi sistem kekebalan, sehingga ayam menjadi lebih sensitif terhadap infeksi penyakit.

Prakiraan situasi perunggasan tahun 2007

Pada tahun 2007, usaha di bidang perunggasan akan semakin kompetitif dan kompleks, dengan tingkat pertumbuhan diperkirakan mencapai 9 - 10%, walaupun masih diwarnai oleh adanya issue flu burung pada manusia yang sudah mengglobal dan masih tingginya harga beberapa bahan baku pakan utama, sehingga masih diperkirakan dapat mempengaruhi harga pronak.
Kejadian penyakit diperkirakan akan banyak dipengaruhi oleh kejadian penyakit ayam pada tahun 2006, didukung juga oleh kondisi iklim, praktek manajemen peternakan, dan harga sarana produksi peternakan, seperti masih cukup tingginya harga pakan dan berfluktuasinya harga pronak selama tahun 2007.
Kasus penyakit bakterial seperti ; Kolibasilosis, CRD dan CRD Kompleks, Coryza dan Kholera, diperkirakan masih cukup dominan terjadi di lapangan. Kejadian mikotoksikosis cenderung tinggi pada saat musim hujan. Infeksi klostridium, terutama dalam bentuk enteritis nekrotikan (NE) cenderung tetap tinggi kejadiannya selama tahun 2007.
Penyakit viral yang masih cukup dominan dapat terjadi di lapangan, terutama pada ayam pedaging maupun layer, diantaranya ; Gumboro, ND dan SHS. Untuk Avian Influenza sendiri, diperkirakan masih menjadi ancaman tetap, hal ini dikarenakan beragamnya kualitas vaksin AI yang dipergunakan peternak serta beragamnya kualitas praktek manajemen dan biosekuriti yang diterapkan di lapangan.
Kejadian gangguan pertumbuhan, berupa kekerdilan dan lambat tumbuh masih ditemukan pada ayam pedaging maupun petelur, dengan frekuensi dan derajat keparahannya lebih tinggi terjadi pada ayam pedaging. Gangguan pertumbuhan tersebut masih sulit untuk ditanggulangi secara tuntas oleh karena penyebabnya bersifat kompleks dan multifaktorial, seperti dapat disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri, intoksikasi oleh mikotoksin (cemaran mikotoksin pada pakan), serta faktor manajemen pada tingkat breeding farm maupun peternakan komersial.
Pada tahun 2007, gangguan produksi pada ayam petelur, selain karena adanya infeksi penyakit, baik penyakit yang secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan kelainan pada organ reproduksi, juga gangguan oleh penyebab yang sulit untuk ditentukan secara pasti dan cenderung bersifat multifaktorial.

Mencegah kerugian karena wabah penyakit dan gangguan produksi

Masalah ancaman penyakit dan gangguan produksi karena penyebab yang bersifat komplek, dapat diantisipasi dan dicegah resiko kerugian yang dapat ditimbulkannya, dengan menerapkan praktek manajemen secara optimal pada semua aspek manajemen pemeliharaan ayam dan dibarengi dengan biosekuriti serta penerapan program kesehatan dan vaksinasi secara terpadu dan komprehensif. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dan dilakukan:

1. Membatasi dan mengontrol secara ketat lalu lintas orang yang keluar masuk farm atau kandang ayam, agar tidak menularkan penyakit dari satu lokasi peternakan/kandang ke lokasi peternakan/kandang yang lainnya.

2. Membatasi dan mengontrol dengan baik lalu lintas ternak dan sarana peternakan lainnya, serta kendaraan pengangkut hasil ternak/limbah tanpa perlakuan, sanitasi dan disinfeksi yang ketat diijinkan masuk dan keluar lokasi peternakan.

3. Mengupayakan senantiasa agar daya dukung lingkungan dalam kandang nyaman untuk ayam dan pekerja kandang, dengan secara rutin mengeluarkan kotoran ayam dari dalam kandang (untuk kandang battery), atau secara rutin mengganti litter kandang (untuk kandang postal). Karena pencemaran ammonia dan gas beracun lain yang bersumber dari kotoran ayam, berpotensial dapat memicu dan sekaligus menyebabkan gangguan pertumbuhan dan produksi pada ayam serta mengganggu kinerja dari pekerja kandang.

4. Melakukan biosekuriti, terutama praktek sanitasi yang baik dan disinfeksi secara ketat dengan jenis disinfektan yang punya efektifitas tinggi untuk membunuh agen penyakit, sangat membantu upaya kontrol tingkat keganasan berbagai agen penyakit di lapangan.

5. Menerapkan program kesehatan dan vaksinasi secara terpadu juga merupakan salah satu cara untuk mencegah timbulnya wabah penyakit yang disebabkan oleh agen infeksius pada ayam. Vaksinasi terhadap sebagian besar penyakit yang dapat disebabkan oleh infeksi viral, merupakan salah satu upaya kontrol yang cukup efektif dapat dilakukan. Seperti vaksinasi terhadap Gumboro yang bersifat infeksius, dan mempunyai dampak ekonomik tinggi, sangat penting untuk dilakukan. Pemilihan vaksin untuk Gumboro, disamping harus baik secara kualitas dan aman untuk ayam, juga akan sangat baik bila menggunakan vaksin Gumboro dengan kandungan strain virus yang secara antigenik sama dengan virus Gumboro asal lapang. Dengan demikian, dapat dihasilkan kekebalan yang lebih spesifik dan mempunyai kemampuan netralisasi tinggi terhadap paparan virus Gumboro asal lapang.

6. Menjaga dan mengupayakan secara konsisten pemberian air serta pakan yang berkualitas. Pakan yang diberikan pada ayam, disamping mengandung nutrisi yang lengkap dan seimbang sesuai dengan kebutuhannya, juga harus dapat dicerna dengan baik oleh ayam serta harus diberikan dengan cara yang benar.


Drh. Wayan Wiryawan
HIPRA Laboratorios, S.A. – Spain
wayan@hipra.com

STATUS PALING MUTAKHIR PENYAKIT PERNAFASAN AVIAN INFLUENZA

Perkembangan penyakit pernafasan Avian Influenza sejak 2003 sampai 2007, sejauh ini menampakkan gejala yang mencengangkan. Penyakit seperti tidak ada hentinya terus membuat kalangan peternakan dan masyarakat umum, Indonesia dan dunia, terus berusaha keras menghadapinya dengan gagah berani.
Seminar internasional vaksinasi flu burung (avian influenza/AI) pun diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian bekerja sama dengan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), Senin hingga Selasa (11-12) Juni di Jakarta.
Ditambah dengan beberapa komentar oleh beberapa tokoh di luar seminar internasional itu, pembaca mendapatkan gambaran paling mutakhir tentang status penyakit pernafan paling mutakhir ini. Tentu sangat bermanfaat untuk menghadapinya dengan penuh keberhasilan.

Dr Ir Anton Apriyantono MS
Menteri Pertanian
“Wabah HPAI yang merebak di Indonesia mulai pertengahan tahun 2003 telah menyebar cepat ke berbagai daerah di Indonesia. Awal tahun 2004 Indonesia pemerintah memutuskan untuk memilih vaksinasi massal terutama pada sektor 4 (backyard) sebagai salah satu upaya pengendalian penyakit.
Pertimbangannya, Pulau Jawa merupakan lokasi sentra perunggasan (60%) dan wabah penyakit AI pada awal tahun 2004 telah menyebar ke seluruh propinsi di Pulau Jawa sehingga tidak mungkin dilakukan tindakan pemusnahan secara total terhadap seluruh unggas atau ‘stamping out’. Vaksin yang digunakan pada saat itu adalah vaksin produksi dalam negeri dengan menggunakan biang/bibit vaksin (seed) berasal dari isolat virus lokal subtipe H5N1.
Tujuan utama dilakukannya vaksinasi adalah untuk memberikan kekebalan pada unggas, melindungi unggas dari gejala klinis AI, mencegah dan menekan kematian unggas dan menekan pengeluaran virus (virus shedding) di lingkungan.
Meskipun demikian vaksinasi massal bukan satu-satunya cara pengendalian AI, karena harus disertai dengan tindakan peningkatan biosekuriti, depopulasi terbatas, surveilans, pengawasan lalulintas unggas dan produk serta bahan-bahan lainnya.
Sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh FAO dan OIE vahwa vaksinasi terhadap HPAI dilakukan dengan menggunakan seed vaksin yang berasal dari low pathogenic avian influenza (LPAI) virus.
Berdasarkan rekomendasi tersebut dan didukung oleh penelitian-penelitian terbatas yang dilakukan oleh beberapa ahli maka pemerintah Indonesia mengubah kebijakan vaksinasinya dengan menggunakan vaksin yang berasal dari LPAI virus.
Meskipun demikian pemerintah Indonesia akan terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penggunaan vaksin tersebut.
Pada awalnya OIE tidak merekomendasikan vaksinasi sebagai salah satu upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit Ainamun dalam perkembangannya OIE/FAI/WHO akhirnya merekomendasikan vaksinasi sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan atau memberantas HPAI dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Bahkan Konferensi Internasional tentang Vaksinasi AI di Verona, Italia pada Maret 2007 merekomendasikan bahwa vaksinasi unggas yang dikombinasikan dengan upaya pengendalian lainnya merupakan tindakan penting untuk memerangi virus H5N1.
Konferensi juga merekomendasikan bahwa di negara-negara endemik di mana tindakan pengendalian lainnya tidak dapat dilakukan dengan optimum. Maka vaksinasi pada unggas merupakan upaya pengendalian yang tepat terhadap AI dengan syarat menggunakan vaksin berkualitas sesuai standar OIE dan tersedianya infrastruktur yang baik untuk menjamin pengiriman vaksin secara cepat dan aman.
Dalam pelaksanaan vaksinasi di Indonesia, vaksinasi massal pada unggas sektor 4 tidak berjalan sesuai yang diharapkan karena adanya kendala keterbatasan jumlah vaksin, peralatan dan fasilitas, tenaga vaksinator dan dana operasional.
Oleh karena itu sejak tahun 2006 vaksinasi ditargetkan (targeted vaccination) hanya dilaksanakan di daerah yang berisiko tinggi di 11 propinsi (seluruh propinsi di P. Jawa, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan).”

Ir Mathur Riady MA
Direktur Jenderal Peternakan
“Sejak akhir tahun 2003 wabah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) melanda beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia. Wabah ini disebabkan oleh virus influenza tipe A subtipe H5N1 yang sangat mengancam kesehatan unggas dan manusia diseluruh dunia.
Sejak pertama kali ditemukan, HPAI telah menjadi endemis di seluruh daerah pedesaan di Indonesia. Meskipun upaya eradikasi dan vaksinasi telah dilakukan namun wabah masih terus bermunculan berupa letupan-letupan kasus yang muncul sporadis.
Sedikitnya 300 juta unggas kampung hidup berdampingan dengan dengan 248 juta warga Indonesia di negara yang luasnya seperlima AS.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan populasi penduduk terpadat di dunia dengan beragam kebudayaan mencakup budaya beternak untuk pangan, budidaya, hiburan, dan upacara keagamaan. Kondisi ini memungkinkan banyak manusia terpapar virus AI setiap hari.
Untuk mengontrol penyakit ini, salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah program vaksinasi di wilayah berisiko tinggi (targeted vaccination). Sebelumnya upaya ini mendapat tentangan dari berbagai negara di dunia khususnya negara maju. Namun Indonesia tetap kukuh pada jalan yang diambilnya karena langkah depopulasi massal tidak mungkin dilakukan karena membutuhkan biaya besar.
Kini meskipun program vaksinasi telah menjadi rekomendasi badan dunia urusan penyakit hewan atau lebih dikenal Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), kita semua tahu bahwa upaya vaksinasi tak kan berhasil menghilangkan virus AI dari negara kepulauan Indonesia ini bila tidak didukung dengan tindakan yang lain, seperti penerapan biosekuriti, surveilans dan penataan pemasaran unggas.
Lebih parahnya, bila tindakan vaksinasi ini gagal akan menimbulkan infeksi ulangan yang menjadikan AI menjadi endemis.
Sesuai rekomendasi Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan OIE, Indonesia menggunakan bibit vaksin yang berasal dari low pathogenic avian influenza virus. Pemerintah Indonesia terus memantau dan mengevaluasi penggunaan vaksin itu.
Untuk mencegah terjadi wabah kembali, upaya harus difokuskan pada peningkatan dan penerapan pengetahuan dasar tentang prosedur biosekuriti yang ketat. Pengetatan biosekuriti berguna untuk menunjang program vaksinasi yang telah dilakukan, untuk mendeteksi kasus lebih awal dan mendepopulasi unggas yang terinfeksi dan berisiko tinggi agar kerugian lebih besar dapat diminimalisir.
Program pengendalian AI harus dikoordinasikan dengan Campaign Management Unit (CMU) atau Unit Pengendalian dan Penanggulangan Avian Influenza (UPPAI-Deptan) untuk menentukan wilayah, tata laksana, monitoring, program restocking, dan tindakan sanitasi untuk flok yang terinfeksi.
Program ini harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan informasi serta didukung oleh sistem laboratorium yang terakreditasi.
Seminar Internasional Vaksinasi AI terselenggara berkat kerjasama Departemen Pertanian dengan Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI dan Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA).
Tujuan seminar ini untuk menyamakan pengetahuan dasar tentang pelaksanaan program vaksinasi dan mengevaluasi program yang telah dijalankan sebelumnya. Seminar ini juga menjadi sarana diskusi untuk menemukan strategi pelaksanaan vaksinasi yang terbaik.”

Dr Drh Sofjan Sudardjat MS
Direktur Jenderal Peternakan
Periode 1999-2005
“Satu-satunya jalan untuk menanggulangi penyakit AI adalah dengan vaksinasi dan biosecurity. Pembunuhan atau pemberantasan ayam bukanlah tindakan yang utama, namun merupakan tindakan pelengkap.
Sebagai dokter hewan yang merupakan intelek veteriner, mesti sanggup menggunakan ilmu epidemiologi yang secara intelek menggunakan intelegensi mengaitkan analisa-analisa sebelum mengambil keputusan.
Menurut OIE dan FAO pun, hewan harus dilindungi, musuh utamanya berupa penyakit penyebab kesusahan-lah yang harus diberantas, bukan hewannya. Buat apa ada vaksin dan obat bila sedikit-sedikit ternak dibunuh, diberantas.
Cari dasar epidemiologinya, cari vaksinasi yang paling sesuai dan harus bagus. Antigen virusnya harus lokal, virus lokal, yang sekarang virus lokal adalah H5N1. Apa alasannya kok menggunakan virus lain seperti H5N2?
Ada yang bilang H5N1 kalau mutasi bisa ganas, bukankah bukan hanya H5N1 saja, H5N2 pun kalau mutasi juga bisa ganas. Jadi yang paling tepat untuk vaksinasi, tetap virus lokal yaitu H5N1.
Jangan samakan kondisi Indonesia dengan kondisi luar negeri untuk dengan mudah mengikuti cara mereka dengan penerapan virus strain lain untuk vaksinasi. Di Amerika dan Jepang saja kekebalan silang yang timbul dengan menggunakan virus strain lain cuma rendah (60-70 persen), yang berhasil dengan kekebalan silang pun tidak semua (hanya 80-90 persen).
Ada yang bilang dasar kebijakan antigen heterolog supaya prinsip DIVA bisa dipakai. Namun harus diingat itu kalau kondisi Indonesia ada seperti di luar negeri. Peternakan di luar negeri terisolir, tidak ada ayam buras yang berkeliaran, sedangkan di Indonesia campur baur.
Bagaimana bisa menilai hasil vaksinasi dan kekebalan secara alami? Dibedakannya hasil vaksinasi ini hanya dapat dengan test. Tapi buat apa test dilakukan di peternakan-peternakan Indonesia itu?
Test harganya sangat mahal, yang penting vaksinasi. Untuk itulah gunakan sistem informasi geografis, suatu tindakan penanggulangan penyakit harus disesuaikan dengan kondisi wilayah geografis dan alamnya, serta kondisi manusia dengan lingkungan sosialnya.”

Drh Musny Suatmodjo
Direktur Kesehatan Hewan Ditjennak
“Kematian unggas yang disebabkan oleh AI H5N1 sejak awal terjadi wabah pada tahun 2003 hingga sekarang dilaporkan cenderung menurun setelah upaya vaksinasi dilakukan.
Yang patut menjadi catatan disini adalah perubahan keganasan virus AI yang ada di lapangan. Sebagai contoh kini ditemukan infeksi virus AI pada unggas di peternakan sektor 4 namun tidak ditemukan kematian.
Untuk pengadaan vaksin dalam rangka vaksinasi massal tahun 2006, baru terealisasi bulan November dan Desember tahun lalu dengan jumlah lebih kurang 50 juta dosis. Itu pun baru pertengahan tahun 2007 ini terdisribusi semua.
Sedangkan untuk tahun anggaran tahun 2007 ini baru dimulai pengadaan vaksin sejumlah 60 juta dosis yang kemungkinan realisasinya juga akan mundur dari jadwal yang ditentukan semula.
Jumlah vaksin tersebut memang tidak sebanding dengan kebutuhan populasi unggas yang ada di Pulau Jawa atau untuk 11 propinsi yang dikategorikan high risk. Sehingga strategi vaksinasi yang dilakukan difokuskan untuk daerah yang tertular dan sekitarnya (targeted vaccination) dengan metode ring vaksinasi.
Perlu diketahui bahwa populasi ayam kampung di sektor 4 saja mencapai 285 juta ekor di seluruh Indonesia itu belum termasuk populasi itik/entog yang jumlahnya mencapai 34 juta ekor.
Sedangkan populasi ayam di sektor 1 hingga 4 untuk ayam ras petelur/layer adalah 98 juta ekor dan broiler mencapai 864,2 juta ekor menurut Statistik Peternakan tahun 2005.
Pemerintah saat ini tengah mengalokasikan dana Rp 300 per dosis yang ditanggung oleh pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota. Sementara pemerintah hanya menyediakan bantuan dalam bentuk vaksin.
Total vaksin yang tersedia untuk tahun 2007 sebanyak 60 juta dosis persediaan Deptan ditambah bantuan dari Cina sebanyak 33 juta dosis dan Bank Dunia sebanyak 5 juta dosis vaksin, sehingga total tersedia 98 juta dosis vaksin AI.
Target dari seminar internasional vaksinasi AI ini, menentukan vaksin jenis apa yang akan digunakan untuk upaya eradikasi AI ke depan. Apakah nanti akan menggunakan strain vaksin LPAI atau HPAI. Apakah homolog atau heterolog. Atau apakah dari HPAI yang dilemahkan atau direkayasa dengan teknologi reverse genetik.
Semua tergantung hasil keputusan para pakar dari OIE, FAO, WHO dan dari Indonesia nantinya.
Kita tahu bahwa saat ini Indonesia menggunakan 3 jenis strain vaksin yaitu H5N1, H5N9, dan H5N2. Latar belakang dipilih ketiga jenis vaksin itu karena vaksin H5N9 dan H5N2 telah digunakan untuk sektor 1 hingga 3 untuk mengendalikan AI sejak tahun 2004, sementara sektor 4 menggunakan vaksin H5N1 karena harganya murah, cepat dan mudah didapat.
Penggunaan vaksin H5N1 sendiri akan mulai dihentikan sejak Oktober 2007 nanti sesuai dengan rekomendasi OIE, namun terlepas itu semua kita masih menunggu rekomendasi dari hasil seminar ini nanti.”

Bayu Krishnamurti
Komnas FBPI
“Di Indonesia vaksinasi adalah kebijakan paling realistis untuk menangani AI H5N1 Indonesia. Kebijakan vaksinasi ini dahulu sempat ditentang oleh hampir seluruh negara di dunia, namun keadaannya kini terbalik justru dunia mendukung upaya vaksinasi yang dipilih Indonesia.
Meskipun hasilnya belum optimal namun bila dibandingkan dengan negara yang memilih stamping out menyeluruh sebagai solusi atas wabah AI kini mereka malah terus mengalami wabah kembali seperti yang terjadi di Thailand, Vietnam dan Jepang. Artinya virus AI H5N1 tetap bercokol di negara mereka dan tak mau hilang.
Pada seminar ini berkumpul ahli-ahli terbaik dari seluruh dunia. Dari pertemuan diharapkan dibahas secara objektif apakah masih relevan menjadikan seed virus dari strain LPAI sebagai rekomendasi pelaksanaan vaksinasi.
Sementara di Indonesia hingga saat belum ditemukan virus AI H5N1 yang berpatogenisitas rendah (LPAI). Akibatnya dari rekomendasi itu kita ‘dipaksa’ untuk menggunakan vaksin dari subtipe virus lain (heterolog) seperti H5N9 dan H5N2 yang juga bermanfaat untuk prinsip DIVA (differentiating from vaccinated animals) yaitu membedakan unggas yang terinfeksi virus lapang atau virus vaksin dari titer antibodinya.
Semua ahli pun menyadari bahwa vaksin yang paling optimal adalah vaksin yang berasal dari virus itu sendiri. Namun alasan kuat dipilihnya vaksin dari virus LPAI adalah karena faktor keamanan bagi manusianya itu sendiri, yaitu mulai dari proses produksi vaksin hingga aplikasinya ke ternak unggas.
Dengan digunakannnya vaksin dari strain LPAI terbukti mampu mengurangi risiko manusia maupun unggas untuk tertular virus AI yang berasal dari vaksin karena patogenisitasnya yang rendah. Meskipun kekebalan protektif yang dihasilkan tidak sampai seratus persen bila dibandingkan dengan vaksin yang memiliki homologi sama dengan virus lapang yang ada.
Telah mejadi kenyataan bahwa kesulitan paling besar adalah aplikasi vaksinasi di sektor 4. Petugas harus bersusah payah untuk menangkap unggas sebelum divaksinasi karena tidak dikandangkan.
Sementara untuk kondisi di manusianya diketahui bahwa jumlah kasus baru penularan flu burung ke manusia dilaporkan menurun namun case fatality rate-nya meningkat.
Dua hal ini harus dicermati betul, karena menunjukkan bahwa manusia semakin tahan terhadap virus flu burung, tetapi sekali tertular maka peluang hidupnya semakin kecil.
Hingga saat ini tidak ada bukti lain terserangnya manusia selain akibat infeksi flu burung dari unggas. Memang ada dugaan penularan dari anjing dan kucing namun hal ini tidak pernah terbukti.”
Dr John Weaver
FAO
“Telah terjadi kegagalan vaksinasi yang penyebabnya harus diselidiki lebih lanjut. Kegagalan tersebut kemungkinan bisa disebabkan strain vaksin yang tidak sama dengan strain virus yang ada di lapangan.
Bisa juga terjadi karena kualitas vaksin yang jelek, atau sarana penyimpanan dan cara vaksinasi yang salah. Rendahnya jangkauan vaksinasi (coverage) yang dilakukan juga bisa menjadi pemicu kerap munculnya kembali letupan di beberapa daerah di Indonesia.”

Dr Christianne JM Bruschke
OIE (Office Internationale de Epizootica)
“Sebagai satu-satunya badan dunia yang berwenang mengurusi kesehatan hewan, OIE menerima banyak permintaan dari negara-negara anggotanya untuk memberi masukan dalam menentukan kebijakan penanggulangan AI.
Apakah mereka akan menggunakan metode vaksinasi atau tidak, kalau ya bagaimana program vaksinasinya.
Untuk alasan ini OIE telah bekerjasama dengan FAO, membuat panduan dalam vaksinasi AI. Dalam panduan itu dijelaskan sebelum memilih vaksinasi sebagai upaya eradikasi sebaiknya mempertimbangkan situasi epidemiologis negara tersebut, faktor sosio-ekonomi, dan struktur industri perunggasan yang telah terbentuk.
Latar belakang inilah yang dijadikan dasar pertimbangan program vaksinasi yang akan dipilih, meliputi penentuan strain vaskin, kebutuhan sarana pendukung dan implementasinya di lapangan. Lebih jauh, latar belakang ini menyediakan informasi monitoring untuk memantau sirkulasi virus.
OIE juga telah membuat panduan umum prinsip dalam produksi vaksin dan panduan spesifik untuk produksi vaksin AI yang tercantum dalam OIE Manual of Diagnostic Tests and Vaccines for Terrestrial Animals.
Hambatan dalam pengendalian AI di beberapa negara di dunia dan mungkin terjadi di Indonesia adalah lemahnya pelayanan kesehatan hewan nasional, lemahnya kapasitas dokter hewan dan paramedis di lapangan, terbatasnya kemampuan mengontrol lalulintas ternak.
Kesulitan dalam menerapkan biosekuriti, stamping out dan vaksinasi juga menjadi penghambat, serta rendahnya kemampuan kapasitas dan kapabilitas laboratorium diagnostik juga kesenjangan pemahaman terhadap masalah AI.
Dilaporkan pula dari akhir 2006 hingga Juni 2007 telah terjadi kasus baru dan kasus ulangan. Negara yang dilaporkan kembali terjadi wabah AI adalah Korea, Vietnam, Thailand, Jepang, Hongaria, Turki, Pakistan, Laos, Rusia, Kuwait dan Malaysia. Sementara kasus baru muncul di beberapa negara diantaranya adalah UK, Bangladesh, Ghana, dan Saudi Arabia.”

Dr David E Swayne
Laboratorium Riset AI USDA
“Virus flu burung atau H5N1 bukan virus tunggal, melainkan keluarga yang terdiri atas tiga keturunan dan sejumlah subketurunan. Virus AI beranak pinak dengan jenis berbeda karena mengalami mutasi akibat kekebalan alami unggas serta tekanan vaksin.
Vaksinasi sendiri dipilih karena terbukti mampu menurunkan gejala klinis dan mengurangi kerugian ekonomis yang lebih besar.
Rendahnya titer antibodi vaksinasi dilapangan dibanding dengan titer di laboratoeium disebabkan karena jeleknya kualitas vaksin, tidak baiknya kondisi penyimpanan dan penanganan vaksin, dosis vaksin yang dikurangi, tehnik vaksinasi yang salah, infeksi penyakit imunosupresif yang lain, coverage vaksinasi tidak mencapai 100% dari seluruh populasi, dan tingginya tantangan dari virus lapang.
Infeksi sub klinis (silent infection) bisa terjadi akibat salahnya pelaksanaan vaksinasi yang dilakukan.
Untuk terus menyesuaikan strain genetik vaksin yang digunakan dengan virus AI lapangan, bisa dilakukan dengan penerapan bioteknologi.”

Prof Charles Rangga Tabbu
Dekan FKH UGM
“Dalam pelaksanaan vaksinasi untuk mengatasi AI, vaksinasi terkadang tidak melindungi sepenuhnya dari infeksi. Terlebih virus shedding dari hasil vaksinasi bisa menimbulkan wabah kedua yang tidak terlihat berupa penurunan produktivitas bila tingkat biosekuriti yang diterapkan lemah.
Oleh karena itu, vaksin yang digunakan sebaiknya yang berkualitas tinggi, memiliki homologi antigen yang baik dan diberikan secara benar.
Untuk jenis vaksin yang digunakan bisa bermacam tipe. Ada yang menggunakan vaksin killed/inaktif dengan pengemulsi minyak. Ada pula yang menggunakan vaksin rekombinan seperti di beberapa negara.
Bisa juga menggunakan vaksin reverse genetic yang disebut sebagai “vaksin masa depan untuk AI”. Yang umum menggunakan vaksin yang homolog (sama subtipe HA dan NA-nya) atau heterolog (berbeda subtipe NA-nya) dengan virus lapang.
Dari hasil penelitian FKH UGM pada 560 ekor puyuh menggunakan 4 jenis vaksin yaitu H5N1, H5N9 dan 2 vaksin H5N2 dengan merk yang berbeda. Didapat kesimpulan jenis vaksin yang digunakan menimbulkan respon yang bervariasi seperti tingkat kematian dan produksi telur. Namun vaksinasi diakui mampu mengurangi shedding virus dilapangan.
Namun entah bagaimana, dari hasil penelitian terlihat bahwa vaksin H5N9 memberikan respon yang paling baik dan signifikan. Berupa rendahnya tingkat kematian dan tetap tingginya produksi telur bila dibanding vaksin jenis lainnya.
Hal inilah yang menjadi perdebatan sengit para pakar yang hadir saat itu, karena mereka juga mengaku melakukan studi yang sama namun hasil yang ditunjukan jauh berbeda. Apakah ini karena spesiesnya atau memang karena vaksinnya, semua masih abu-abu.
Terlepas dari itu semua saya merekomendasikan dari hasil penelitian yang didanai Deptan itu vaksinasi AI terhadap puyuh tetap harus dilakukan setidaknya 3 kali. Dimulai saar umur 3 minggu, dan dilanjutkan dengan booster pada umur 6-7 minggu dan 10-12 minggu.”

Dr Drh Wayan Teguh Wibawan
Wakil Dekan FKH IPB
“Sebagian pakar dari Indonesia tak sependapat dengan Dr Swayne yang menyatakan dari penelitiannya bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat.
Sementara penelitian itu hanya menggunakan satu virus untuk menantangnya dan kita tahu di Indonesia terdapat lebih satu famili virus AI H5N1, sehingga hasilnya dirasa kurang representatif disamping berarti upaya vaksinasi yang dilakukan pemerintah selama dinilai gagal dan percuma.”

Gani Haryanto
Ketua Umum ASOHI
“Kami menyambut baik dengan diadakannya seminar ini. Dalam seminar ini menjadi wadah para ahli flu burung menungkan hasil riset dan perkembangan teknologi yang hasilnya nanti bisa menjadi masukan kepada Pemerintah Indonesia dalam menentukan kebijakan vaksinasi AI selanjutnya.
Bagi pelaku bisnis obat hewan, berubahnya kebijakan vaksinasi yang mungkin nanti terjadi tidak ada masalah. Kami tinggal mengikuti apa yang menjadi ketentuan pemerintah. Bahkan kami sangat mendukung seminar ini dengan menghadirkan perwakilan 14 orang anggota ASOHI untuk berpartisipasi.
Harapan kami sebagai Ketua ASOHI, hasil seminar dari pendapat expert bidang teknis AI ini diharapkan dapat menjadi pegangan dalam menyelesaikan masalah AI di Indonesia. Diperoleh kejelasan vaksin jenis apa yang cocok, metode apa yang digunakan.”

Don P Utoyo
Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI)
“Hampir seluruh ayam petelur yang populasinya kini mencapai 80-90 juta ekor telah divaksinasi. Terutama untuk peternakan di sektor 1 hingga 3.
Ada beberapa peternak yang menerapkan vaksinasi pada ayam broiler. Ada yang dengan setengah dosis atau seperempat dosis sekadar untuk booster. Pertanyaannya perlukah broiler divaksinasi?
Hal ini terus menjadi polemik karena umur broiler yang relatif pendek vaksinasi dimungkinkan menjadi hal yang mubazir terkait dengan lamanya waktu untuk titer antibodi untuk naik.
Setidaknya dibutuhkan waktu 40 hari untuk antibodi bisa menimbulkan kekebalan optimal terhadap AI, sementara broiler dipotong rata-rata umur 35 hari.”

Yance
Sido Agung Farm
Krian Sidoarjo
“Peternakan ayam petelur saya tidak pernah terserang penyakit AI. Kuncinya pada kepadatan kandang, jarak peternakan saya sangat jauh dari peternakan lain. Bahkan di wilayah ini, satu-satunya yang beternak ayam ras adalah saya sendiri.
Mungkin virusnya sudah mati dalam perjalanan karena jarak tempuh yang sangat jauh. Sehingga begitu ada pengunjung masuk peternakan tidak berpengaruh apa-apa.
Namun begitu saya tetap melakukan vajksinasi AI, pertama pada saat ayam berumur 8 minggu (2 bulan) dan kedua saat ayam berumur 13-14 minggu. Vaksinasi AI itu masih menggunakan vaksin H5N1, di mana virusnya umum dan merupakan strain lapangan.
Tentang pelaksanaan vaksinasi pada ayam-ayam kampung di sekitar peternakan saya, pernah ada bantuan dari pemerintah pada saat kasus AI mewabah pada tahun 2003.
Namun setelah itu terhenti dan baru pada tahun 2006 dinas peternakan memberi gratis lagi. Selanjutnya pada 2007 awal hingga pertengahan tidak ada lagi.
Tampaknya pemerintah dalam tindakan vaksinasi tergantung dana, proyek dan kebutuhan. Sehingga, soal jenis vaksin pun terkesan simpang siur, bahkan ada yang dengan jenis virus H5N9 meski jarang saya jumpai.”

Dharmawan
Bambu Kuning Farm
“Peternakan kami sangat cocok menggunakan vaksin homolog lokal H5N1 dan tidak setuju dihentikan produksinya oleh pemerintah. Ia mengakui mulai dari akhir tahun 2003 saat wabah pertama muncul, setelah divaksin AI H5N1 tak pernah sekalipun wabah itu muncul di farmnya.
Namun sayang hingga berita ini diturunkan (2 minggu setelah seminar) keputusan berupa rekomendasi kepada pemerintah Indonesia masih belum juga diberikan oleh pihak penyelenggara dengan alasan masih dibutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak.
Sehingga tak hanya kami yang kecewa namun pelaku bisnis peternakan dan obat hewan terpaksa harus menahan napas menunggu keputusan dari pemerintah.”

Askam Sudin
Charoen Pokphand Indonesia
“Bila hasil penelitian Dr Swayne bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat digunakan, digunakan berarti dari 11 vaksin yang ada di Indonesia tidak ada satupun yang mampu memberikan kekebalan optimal terhadap AI artinya vaksinasi yang dilakukan sia-sia.
Dan lagi apakah hasil penelitian ini telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan, karena dari hasil penelitiannya sendiri berkata lain. Hal serupa juga disampaikan.”

Dr Teguh Prayitno
Vice President PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk
“Upaya mengendalikan HPAI sejak Februari 2004 dengan culling dan depopulasi selektif dinilai gagal. Hal ini lebih disebabkan karena lemahnya infrastruktur pelayanan kesehatan hewan, lambatnya pelaporan dan cepatnya mobilitas unggas komersial, eggtray, limbah perunggasan.
Pemerintah melaporkan bahwa legalisasi dan penggunaan vaksin H5 inaktif mampu menurunkan kasus AI tahun 2004. Namun, wabah HPAI musiman di peternakan ayam sektor 1 hingga 4 di musim hujan 2005 dan 2006 masih terus terjadi. Ini menunjukkan bahwa karakter virus AI telah menjadi endemis di lapangan, masih lemahnya penerapan biosekuriti, dan rendahnya kontrol lalulintas unggas.
Selain itu munculnya kembali wabah AI tak lepas dari dugaan rendahnya kekebalan protektif dari vaksin yang digunakan serta kualitas vaksin dan jangkauan luasan vaksinasi.
Klasifikasi sistem produksi yang diberikan oleh FAO yaitu peternakan sektor 1 - 4 tidak bisa digunakan karena beragamnya sistem produksi dan beragamnya tingkat penerapan biosekuriti.
Upaya vaksinasi AI yang baik diperkirakan hanya 80-100% dilakukan peternakan breeding dan layer komersial. Dari pengalaman breeding dan layer komersial, vaksin H5N1 yang memberikan perlindungan suboptimal sejauh masih rendah, namun unggas tetap mengeluarkan shedding virus. Akibatnya infeksi kembali akibat HPAI mungkin sekali terjadi karena virus tetap ada di lingkungan.
Untuk broiler komersial yang mewakili populasi paling besar dan paling “mobile” dari semua unggas di Indonesia, tidak bisa diterapkan upaya vaksinasi karena efektifnya vaksin AI H5 pada tipe ayam berumur pendek. Vaksinasi dadakan yang dilakukan setelah wabah terjadi juga terbukti tidak efektif, karena replikasi dan shedding virus AI tak bisa dihentikan.
Lebih jauh, ada ketidaksesuaian sistem produksi industri perunggasan dengan rantai pasar tradisional unggas hidup yang menyebabkan risiko tetap bertahannya virus AI di lingkungan. Poin kritis itu adalah adanya pengepul ayam dan usaha pemotongan tradisional.
Belajar hidup bersama H5N1 di Indonesia berarti menjaga H5N1 jauh dari rantai makanan. Caranya adalah dengan memusnahkan H5N1 dari unggas yang rentan tertular dengan vaksinasi yang efektif, penguatan biosekurit, depopulasi selektif untuk unggas yang terinfeksi, pengendalian lalulintas unggas, dan merestrukturisasi sistem pemasarannya.”

Dr Dedi Rifuliadi
PT Vaksindo Satwa Nusantara
“Bila hasil penelitian Dr Swayne bahwa 11 vaksin yang digunakan di Indonesia tidak ada yang memberikan kekebalan cukup baik terhadap virus AI asal Jawa Barat digunakan, berarti dari 11 vaksin yang ada di Indonesia tidak ada satupun yang mampu memberikan kekebalan optimal terhadap AI artinya vaksinasi yang dilakukan sia-sia.
Dan lagi apakah hasil penelitian ini telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan, karena dari hasil penelitiannya sendiri berkata lain.
Vaksin yang terbaik sekalipun yang ada di dunia digunakan di Indonesia, kalau coverage-nya hanya 20-30% tetap tidak akan bisa menyelesaikan masalah AI di Indonesia.
Jadi intinya lebih ditekankan pada kondisi riil di lapangan dan berdasarkan pengakuan user dalam hal ini peternak dan pembibit.”

H Nur Asikin SH MH
PT Paeco Agung Surabaya
“Meski tidak menjumpai kasus AI yang terang-terangan kelihatan saat ini, di Blitar, Tulungagung dan Sekitarnya di Jawa Timur, bukan berarti AI tidak ada. Kasus bisa muncul berawal dari penyakit-penyakit lain, lalu AI pun menyerang. Jalan terbaik adalah program vaksinasi yang teratur dan biosecurity.
Waktu pemberian vaksin AI pada masing-masing peternak berbeda-beda. Kalau beberapa peternakan pada ayam umur 36 hari untuk vaksinasi pertama, vaksinasi kedua pada saat ayam umur 112 hari. Biasanya digabung vaksin killed yang lain seperti ND, IB dan EDS, sebab peternak selalu cari vaksinasi killed yang praktis bisa sekali digunakan.” (Wawan Kurniawan, Yonathan Rahardjo)

KEBIJAKAN vs KONDISI LAPANGAN

Sampai detik ini sasaran utama pemerintah dalam penanggulangan Avian Influinza adalah peternakan sektor 4. Kompensasi yang dijanjikan pun mengalir dgn lancar sesuai prosedur yang diharapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 17/Kpts?PD.640/F/02.04 tentang pedoman pelaksanaan pemberian kompensasi akibat wabah avian influenza.
Seiring dengan berjalannya waktu pada bulan Maret terbit peraturan baru yaitu Peraturan Direktur Jenderal Peternakan No. 31/PD.610/F/03/2007dimana kompensasi yang diberikan dari pemerintah pusat untuk pemusnahan unggas dibatasi maksimal 500 ekor, dengan demikian jelas sasaran kompensasi adalah peternakan sektor 4. Apa yang terjadi?
Muncul tren baru di kalangan masyarakat peternak. Sebagian besar peternak yang ada adalah sektor 3,5 dengan rata-rata populasi 500-5000 ekor. Sudah sewajarnya petugas akan menganjurkan pemusnahan terhadap unggas yang sekandang jika ada kematian unggas dan positif Flu Burung.
Kalau sudah demikian biasanya peternak akan menanyakan kompensasi yang akan diperoleh jika dilakukan pemusnahan. ketika peternak tahu bahwa mulai sekarang jumlah kompensasi yang diterima maksimal 500 ekor, maka mereka akan berpikir 2 kali untuk melakukan pemusnahan.
Yang terjadi di lapangan adalah pemusnahan tetap dilaksanakan tetapi ya hanya sejumlah 500 ekor saja untuk sisanya diafkir, apa yang dapat kita perbuat? Hal ini saya sebut pemusnahan basa-basi dan inilah tren baru tersebut. Mengapa harus dilakukan pemusnahan dan pemberian kompensasi jika apa yang terjadi jauh dari yang kita harapkan.
Sama saja ada pemusnahan atau tidak Spread of the virus tetap saja terjadi. Tujuan utama kita adalah membersihkan wilayah kita dari virus Flu Burung, tetapi bila kondisi ini masih terus berlanjut mungkin perlu pemikiran lain untuk mengatasinya, mungkin pemusnahan bukan jalan keluar.
Masalah kita ada pada kebiasaan masyarakat yang kurang sehat. Kita perlu mengubah budaya masyarakat kita, misalnya dari memelihara ayam yang semula diliarkan/diumbar menjadi dikandangkan, membuang bangkai sembarangan menjadi menggunakan tatacara yang benar, dari semula sembrono terhadap kebersihan menjadi peka dan menjaga kebersihan dan lain-lain.
Mungkin memang susah membangun kesadaran masyarakat, butuh waktu cukup lama 5-10 tahun dan butuh ketelatenan petugas yang mendampingi.
Akan lebih baik jika dana untuk kompensasi ini diperuntukkan sebagai kredit atau pinjaman lunak bagi peternak-peternak yang terkena wabah atau untuk kegiatan masal pengandangan unggas umbaran. Bukankah tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah, jadi jangan dibiasakan peternak kita selalu menjadi tangan dibawah.

Drh. Ely Susanti
Pos Keswan Karangnongko, Klaten

RESIKO MANAJEMEN PEMELIHARAAN JELEK

Kuman Tidak Kemana-mana Tetapi Dapat Terbawa Kemana Saja


Tidak mudah memang membebaskan sebuah farm atau kawasan peternakan unggas dari serbuan berbagai macam bibit penyakit. Namun tidak juga begitu sulit asalkan upaya pencegahan menjadi komitmen dari semua pihak yang terlilit dengan urusan farm. Pencegahan lebih baik ketimbang pengobatan, makanya mulai dari pekerja kandang sampai dengan pemilik perusahaan harus mengedepankan biosecurity sebagai upaya preventiv terhadap masuknya berbagai kuman ke lingkungan farm.
Bibit penyakit secara kasat mata normal tidak terlihat. Keberadaannya dapat dirasakan jika sudah menginfeksi ternak. “Sudah tentu ternak jadi sakit jika tubuh tidak mampu lagi memberi perlawanan setimpal terhadap serangan hidup ini,” ujar Hafizal, pemilik Araskoko Farm Sunur, Pariaman pada Infovet. Sudah tentu kita tidak menginginkan ini terjadi kan, makanya faktor yang memungkinkan penyakit ini berkembang biak harus dihambat secara ketat, ulas Hafizal lagi.
Melihat besar tubuhnya dengan ukuran mikron dapat diperkirakan berapa lama waktu tempuh kuman mencapai jarak farm 1 km. Namun dibalik kekurangannya ternyata kuman memiliki mobilitas yang tinggi. Kuman tersebut bergayutan atau menempel sehingga terbawa melalui agen penyakit seperti debu, lalulintas ternak dan peralatannya, ransum, peternak dan lainnya.
“Kuman tersebut bisa jadi tidak bermasalah jika kondisi tubuh ayam baik,” kata Ir. Husmaini, MP dosen bidang unggas Fakultas Peternakan Unand. Tetapi jika kondisi badan ayam jelek maka dapat menginfeksi ayam dan kemungkinan jadi sakit. Apalagi beberapa hari ini hujan sudah mulai datang dan pancaroba, kondisi badan ayam turun sehingga infeksi tersebut dapat mengakibatkan ayam sakit.
Kandidat doktor ini mengatakan efisiensi produksi peternakan ayam diperoleh jika aspek teknis usaha didukung oleh manajemen pengelolaan yang optimal, lingkungan yang kondusif dan bibit yang berkualitas. Usaha ternak ayam dalam skala usaha ekonomis menuntut pengelolaan secara agribisnis, guna memperoleh income yang memadai.
“Berapa sih efisiensi produksi yang baik,” sela Infovet. “Harusnya sekitar 70 – 75 % cukup efisien jika ayam berproduksi sepanjang tahun,” ungkap Ibu Dosen kreatif tanggap.
Menurut Hafizal efisiensi tersebut dapat diperolehnya rata-rata sepanjang tahun. Tetapi itu jelas menghendaki pemberian makanan dan manajemen yang baik dan tepat. Kualitas ayam baik dan mendapat perlakuan serta kandang yang baik pula.
“Pernah saya mengalami kondisi jelek, manajemen pemberian pakan yang sembrono, ransum cukup banyak tumpah sehingga lantai kandang menebar bau dan berlalat sehingga mengakibatkan produksi telur turun. Tetapi melalui perbaikan sanitasi dan biosecurity yang baik maka produksi dapat ditingkatkan. Namun sulit untuk mencapai tingkat optimalnya. Oleh karena itu saya beranggapan perlu totalitas dalam usaha sehingga mendapat balas jasa dari hasil produksi ayam,” ujar Hafizal senang.

Manajemen dan lingkungan ternak merupakan hal dasar yang mesti diperhatikan dalam usaha pemeliharaan ternak ayam. Hal ini dapat sebagai faktor penghambat produksi optimal. Namun jika di kelola dengan baik maka peluang untuk memperbaiki performans ayam berada didepan mata.
Tidak sulit untuk berproduksi yang efisien, manajemen merupakan salah satu kuncinya. Jika terjadi mis-manajemen dalam pengelolaan usaha terutama manajemen perkandangan maka tidak saja masalah bio-lingkungan, tetapi kuman penyakit akan terbawa kemana saja dan menjadi kendala dalam memperoleh provit yang wajar. (Yan Heryandi)

CRD, Kasus Penyakit Pernafasan Yang Tidak Pernah Tuntas

Jika ditanya jenis penyakit apa yang menyerang ayam yang sangat akrab dengan kehidupan peternak sehari-hari, penyakit ngorok mungkin menjadi jawaban yang paling banyak diperoleh. Mengapa harus ngorok?
Berdasarkan data kasus serangan penyakit ayam ditahun 2006, penyakit ngorok atau Chronic Respiratory Disease (CRD) merupakan kasus teratas yang sering diabaikan peternak. Padahal penyakit ini cukup memberikan arti lebih bila dikaitkan dengan faktor ekonomi yakni kegagalan berproduksi pada ayam yang bermuara pada kerugian bagi peternak yang ayamnya terpapar ngorok dimaksud.
Demikian disampaikan drh Sudaryatna Kasubdin Keswan Dinas Peternakan Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Lebih lanjut dikatakannya, ditingkat peternak broiler, kasus CRD merupakan kasus teratas yang sering dijumpai, namun berdasar pada pola pemeliharaan broiler yang terlalu singkat, maka kehadiran ngorok ini kurang diekspos oleh peternak.

CRD Di mata Peternak
Adalah Nursialis, peternak broiler dengan lokasi farm di Lubuk Jambi Kabupaten Kuantan Singingi Riau merupakan figur peternak sukses. Konsep kesuksesan itu sederhana saja yakni dengan selalu menerapkan kebersihan diseluruh areal kandang.
Peternak 6000 ekor broiler ini selalu getol mengintruksikan ke anak kandangnya agar tetap menjaga kebersihan yang dimulai dari kebersihan personal, kebersihan ayam yang dipelihara, kebersihan kandang sampai pada kebersihan lingkungannya.
Tidak berlebihan memang, manakala Nursialis menerapkan prinsip bahwa apapun bentuk agen penyakit tak bisa memasuki arel peternakan bila kondisi peternakan selalu terjaga kebersihannya. Kemudian pengontrolan secara berkala terhadap anak kandang juga perlu diterapkan. Hal ini dilakukan mengingat adakalanya anak kandang yang membandel, yang cuek dengan apa yang diinginkan.
Terkait kasus CRD dan jenis penyakit pernafasan lainnya, Ibu yang sudah berputra ini menegaskan bahwa kehadiran CRD dan penyakit pernafasan sejenis lainnya tetap ada, hal ini bisa saja didukung oleh faktor cuaca seperti pada saat musim hujan dan atau peralihannya, biasanya berbagai kasus-kasus pernafasan sering dijumpai peternak.
Dalam pengendalian CRD, Nursialis biasanya mendapatkan bimbingan langsung dari Dinas Peternakan Kabupaten Kuantan Singingi yang meliputi upaya mempertahankan kesehatan ayam dengan memberikan multivitamin.
Disamping itu, penjagaan kebersihan tetap diutamakan agar udara disekitar lokasi kandang tetap bersih dan segar. Selain itu, kepadatan kandang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak terjadi penumpukkan DOC yang dipelihara yang bermuara pada meningkatnya angka kematian.

Penyakit Menular Menahun
Chronic Respiratory Disease (CRD) merupakan penyakit menular menahun pada ayam yang disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum. Penyakit ini ditandai dengan pertumbuhan terhambat, mutu karkas jelek, produksi telur menurun, keseragaman bobot badan yang tidak tercapai dan banyaknya ayam yang harus diafkir. “Inilah yang menimbulkan kerugian ekonomi bagi peternak,” jelas alumnus FKH UGM ini.
Dikatakannya lagi, penyakit ngorok atau Chronic Respiratory Disease (CRD) merupakan penyakit yang menyerang saluran pernapasan yang bersifat kronis. Artinya penyakit ini berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama, dengan gejala awal ayam yang terpapar akan memperdengarkan suara mencicit seperti ngorok, sehingga sebagian besar peternak sering menyebut kasus ini sebagai penyakit ngorok.
Sementara itu, drh Muhammad Firdaus Kasubdin Kesehatan Hewan dan Kepala Rumah Potong Hewan Dinas Pertanian dan Peternakan kota Pekanbaru, menyatakan, terhambatnya pertumbuhan pada ayam dengan infeksi Mycoplasma gallisepticum lebih disebabkan karena terjadinya penurunan nafsu makan. Hal ini dapat diketahui dengan rendahnya angka konversi ransum yang ditunjukkan oleh ayam dalam satu flok pemeliharaan.

Mengenal Lebih Dekat Agen CRD
Mycoplasma gallisepticum berukuran 0,25-0,50 mikron berbentuk pleomorfik, kokoid dan tidak mempunyai dinding sel sejati. Agen ini bersifat gram negatif, dapat dibiakan dalam telur fertil, biakan sel, dan media buatan yang dilengkapi dengan 10-15% serum babi atau serum kuda yang dinon-aktifkan. Media buatan dapat berupa padat, cair, atau zona antara cair dan padat.
Pertumbuhan optimal pada media padat diperoleh pada pH 7,8, suhu 37ºC-38ºC dengan penambahan CO2. Koloninya amat kecil dengan garis tengah 0,20-0,3 mm, halus, bulat jernih dengan daerah yang menebal dan menonjol di tengahnya. Mycoplasma gallisepticum memfermentasi glukosa dan maltosa menjadi asam tanpa pembentukan gas.
Kemudian agen ini mereduksi 2,3,5-triphenyl-tetrazolium chloride serta menghidrolisa eritrosit kuda. Selain itu, Mycoplasma gallisepticum dapat mengaglutinasi eritrosit marmot, ayam dan kalkun, sehingga memudahkannya menginfeksi hewan dari jenis unggas tersebut.

Hindari CRD Komplek
CRD komplek merupakan gabungan penyakit dengan dua komponen yaitu kolaborasi Mycoplasma gallisepticum dengan bakteri Escherichia coli. Kembali ke drh Sudaryatna Kasubdin Keswan Dinas Peternakan Kabupaten Kuantan Singingi menyatakan, sebagai faktor predisposisi CRD komplek adalah sistem pemeliharaan dengan suhu lingkungan yang tinggi yaitu panas atau dingin, kelembaban tinggi, kurangnya ventilasi, kepadatan ternak terlalu tinggi dan cara pemeliharaan dengan umur yang tidak seragam.
“Hal inilah yang sering dijadikan dasar sebagai pemicu munculnya CRD komplek di area farm yang dimiliki peternak”, jelas mantan TS Comfeed wilayah Bogor ini. Disamping itu, kebersihan kandang juga didaulat sebagai pemicu munculnya kasus CRD komplek ini.
Sementara itu, Hanggono SPt Technical Service PT Medion Cabang Pekanbaru menyatakan, ngorok ayam atau CRD merupakan penyakit pernafasan yang tidak pernah tuntas kasusnya di lapangan, hal ini disebabkan oleh tatanan manajemen yang diterapkan peternak masih longgar, sehingga memudahkan agen CRD menginfeksi ayam yang bermuara pada munculnya ayam-ayam sakit di areal farm milik peternak. Disamping itu, kebersihan kandang yang sering terabaikan sejak awal pemeliharaan sampai minggu ketiga, disinyalir sebagai faktor pemicu munculnya kasus-kasus pernafasan pada ayam.
“CRD biasanya muncul di farm saat pemeliharaan menginjak minggu ketiga, hal ini terkait dengan penurunan kualitas litter dan kurang trampilnya anak kandang dalam proses open and close tirai kandang,” papar alumnus Fakultas Peternakan Brawijaya ini.

Waspadai Litter Yang Lembab
Alas kandang atau litter sudah sejak lama dianggap sebagai pemicu munculnya berbagai kasus penyakit pernafasan pada ayam. Penggunaan litter pada peternakan broiler dimulai sejak pemeliharaan DOC sampai minggu ketiga pemeliharaan. Litter difungsikan sebagai penghangat bagi pitik (red, anak ayam).
Dalam menjalankan budidaya broiler agar mendapatkan hasil yang baik harus memerlukan seni tersendiri. Masalah pakan, strain yang baik dan manajemen sangat perlu diperhatikan diantaranya manajemen litter. Dalam kondisi apapun dengan bentuk kandang yang bagaimanapun, peternak harus menjaga agar litter selalu kering.
Anggapan yang sering keliru adalah litter sebaiknya selalu berada dalam keadaa basah, hal ini bertujuan agar tidak susah untuk menguangkan (red, menjual) litter tersebut yang difungsikan untuk pupuk nantinya, jadi sebagian besar peternak menginginkan kondisi litter yang lembab atau basah. Padahal ini merupakan tindakan yang salah karena litter yang basah atau lembab dapat mengundang berbagai agen penyakit untuk hadir di lokasi peternakan ayam.
Menurut Hj Ir Elfawati MSi dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, litter basah atau lembab tidak baik untuk DOC karena dapat meningkatkan kadar amoniak yang tinggi akibatnya performance ayam menjadi menurun. Disamping itu, kondisi litter yang basah dan lembab dapat pula menyebabkan ayam terpapar berbagai macam agen penyakit khususnya penyakit pernafasan seperti CRD, Coryza atau Snot dan penyakit sejenis lainnya.
Adapun jenis bahan yang sering digunakan sebagai alas kandang (litter) untuk budidaya broiler adalah (1) sekam padi, material ini tidak terlalu menyerap air dan dapat dicampur dengan bahan lain, (2) jerami yang telah dipotong kecil, (3) serbuk gergaji, biasanya berdebu tidak terlalu disarankan, (4) pasir, ini biasanya untuk daerah kering dan (5) serutan kayu atau wood shavings.
Litter atau alas kandang sebaiknya sudah dipersiapkan sebelum anak ayam masuk agar semua kebutuhan anak ayam bisa terpenuhi. Prosedur pemasukan sekam ke dalam kandang yang biasa dilakukan peternak adalah sebagai berikut:
(1) kandang dicuci dan didesinfeksi, (2) sekam yang sudah didesinfeksi dimasukan ke dalam kandang, (3) sekam disebar merata dengan ketebalan 5-10 cm, (4) sekam didesinfeksi lagi dan (5) tutup kandang beberapa hari dan kemudian calon DOC siap di masukan ke dalam kandang. Biasanya untuk 1,000 ekor ayam membutuhkan sekam sebanyak 40–50 karung sekam.
“Tidaklah susah menjaga kondisi litter di dalam kandang agar tetap kering dan tidak menggumpal bila saja faktor pencetus di atas dapat dihindari,” jelas Ketua Program Studi Pertanian Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau ini.
Terlepas dari itu semua peran anak kandang atau care taker sangat menentukan, terutama dalam hal ketelitiannya mengontrol permasalahan di dalam kandang. Anak kandang yang cukat trengginas akan mengganti litter yang menggumpal dengan yang baru agar kesegaran udara yang ada di dalam kandang tetap terjaga. Atau bila sudah lembab usaha yang dapat dilakukan adalah menaburi litter dengan kapur agar cepat kering, setelah itu baru ditambahkan sekam yang baru.

Pemerintah Harus Memperhatikan
Adanya keterlibatan pemerintah dalam memberikan masukan berupa bimbingan untuk berusaha ternak yang lebih baik diperlukan untuk meningkatkan kualitas peternak. Demikian dikatakan Ir Lizdarti Rosa Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Kuantan Singingi saat pembukaan Pekan Daerah Kontak Tani Nelayan Andalan Provinsi Riau di Desa Makmur Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan baru-baru ini.
Menurutnya, untuk percepatan pengentasan kemiskinan dimasyarakat, yang diperlukan bukanlah bermacam-macam program namun cukup satu program tapi memberikan nilai tambah bagi kelangsungan hidup masyarakat.
Dikatakannya lagi, yang diperlukan saat ini adalah alih teknologi, dalam hal ini adalah bagaimana usaha pemerintah mencerdaskan peternak agar peternak tidak lagi sebagai obyek namun mampu bertindak sebagai subyek di lokasi peternakannya.
Hal inilah yang mendasari alumnus Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ini memberikan berbagai jenis pelatihan pada daerah binaannya. Kemudian untuk sinergisme kerja, kunjungan rutin petugasnya di lapangan pada lokasi-lokasi kantong ternak diintensifkan. Materi kunjungan diset up sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan peternak.
Untuk membekali petugas lapangannya mahasiswa pasca sarjana di Universitas Riau ini mempercayakan up date ilmu pengetahuan dan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan melalui majlah Infovet yang dimulai sejak akhir tahun 2006 lalu.
Tak ayal bila kinerja yang dimilikinya telah mengantarkan subsektor peternakan sebagai penyumbang Pendapatan Asli Daerah sejajar dengan subsektor lain yang dihasilkan oleh Kabupaten Kuantan Singingi.
Demikian juga dengan daerah-daerah lain bukan? (Daman Suska).

PENCEGAHAN DAN IDENTIFIKASI PENYAKIT PERNAFASAN PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR

Seperti kita ketahui bahwa penyakit pada ayam umumnya mempunyai daya serang spesifik. Misalkan jenis penyakit yang menyerang saluran pencernaan, saluran pernafasan, sistem kekebalan dan saluran reproduksi.
Namun juga tidak jarang kita temui jenis penyakit yang menghantam lebih dari 1 sistem, misal : ND, AI, dan Kolera. Di lapangan, usaha yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyakit adalah :

I. PENCEGAHAN PENYAKIT
Pencegahan terhadap penyakit adalah usaha yang lebih utama ketimbang mengobati. Sudah barang tentu semua bentuk usaha untuk mencapai ayam tidak sakit adalah rentetan kegiatan yang panjang dan saling mengkait. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam pencegahan penyakit adalah :

A. Mengenali Besarnya Ancaman.
Untuk mengenali besarnya ancaman penyakit terhadap usaha peternakan yang dikelola maka kita harus :
1. Memiliki catatan kasus penyakit yang pernah terjadi di farm maupun di lokasi sekitar farm ( radius 1 km ). Catatan ini sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya rebound penyakit. Catatan penyakit dibuat secara sistematis lengkap dan sederhana, sehingga siapapun yang membaca dapat memahami seberapa besarnya ancaman penyakit yang mungkin timbul. Catatan penyakit ini dibuat selama 12 ( dua belas ) bulan bisa dimulai dari bulan Januari berakhir di Desember atau bisa dari awal bulan musim penghujan sampai akhir bulan musim kemarau . Isi catatan penyakit meliputi :
a. Umur ayam diserang
b. Tingkat penyebarannya (morbiditas)
c. Angka Deplesi (mortalitas & culling)
d. Lamanya outbreak atau terjadinya penyakit (tgl....... bulan………s/d
Tgl………..bulan…………….)
e. Kerugian yang ditimbulkan ( misalkan : telur , ayam, pakan )
f. Total kerugian ( dalam rupiah )
g. Diagnosa penyakit

2. Memiliki buku pintar
Buku pintar ini sangat membantu untuk petugas lapangan dalam mengenali penyakit lebih dini. Korelasin sangat erat dalam pengambilan tindakan antara cukup dicegah (karantina) atau dimedikasi.Dalam penyusunan buku pintar mungkin perlu bantuan dokter Hewan yang sudah punya pengalaman cukup dalam identifikasi dan diagnosa penyakit pada ayam. Isi buku pintar meliputi
a. Nama penyakit
b. Penyebab penyakit
c. Umur ayam yang diserang ( kerentanan )
d. Gejala penyakit yang spesifik ( 3 atau 4 gejala ), pada ante mortem dan post mortem
e. Tingat penyebarannya (morbiditas)
f. Virulensinya (keganasan yang mengakibatkan ayam mati dan culling)
g. Biasa muncul pada bulan,musim, cuaca
h. Cara pencegahan
i. Cara pengobatan

Dengan adanya dua macam catatan tersebut diatas akan memudahkan kita dalam mengenali ancaman penyakit yang bisa muncul tanpa izin.

B. Mengenali Route Penyakit.
Masuknya agen penyakit yang patogen maupun nonpatogen kedalam lokasi farm adalah kerugian. Sayangnya kerugian ini tidak tampak jelas dan kongkrit. Sehingga perlu kajian khusus untuk mengenali route penyakit yang misterius ini. Hal - hal yang bisa dikendalikan adalah :
a. Desain Kandang , Perkantoran dan Gudang.
Pada prinsipnya model kandang slate yang jarak cages dengan tanah lebih tinggi/jauh lebih baik. Perkantoran yang terpisah tidak sambung menyambung dengan gudang akan lebih banyak untungnya. Gudang berpintu dua artinya pintu masuknya barang dari luar ke gudang berbeda dengan pintu keluarnya barang dari gudang ke kandang akan memudahkan dalam pemotongan route masuknya agen penyakit ke dalam lokasi farm.
b. Burung Liar.
Jenis burung yang ada di farm biasanya burung gereja dan terkukur. Hal ini bisa diatasi dengan selalu menjaga kebersihan halaman gudang pakan dan tidak ada lubang pada gudang pakan yang bisa diterobos burung.
Burung Dali/Sriti/Walet, jenis burung ini bisa diantisipasi dengan memasang jaring pada jalur-jalur burung terbang dan meminimalkan adanya jaringan listrik (kabel) yang menggantung bebas baik didalam maupun di luar kandang.
Burung Ocehan (Ciblek. Kutilang, Prenjak, Trocok dll) bisa dibuat tidak kerasan dengan meminimalkan tanaman keras yang ada di lokasi farm dan tanaman yang mengahasilkan nektar dan biji-bijian
c. Tikus dan Curut
Kedua binatang ini tergolong sulit di basmi, yang penting senantiasa di kontrol populasinya jangan sampai berkembang. Karena kandang ayam ya ….kandang
Ayam bukan supermaket yang bersih dan wangi.
d. Lalat, Semut, Kutu, Coro, dan Cacing Tanah.
Cuaca adalah penyebab berkembangnya binatang binatang tersebut diatas, akan tetapi bisa kita siasati secara maksimal dengan menggunakan obat yang bisa menekan perkembangan larvanya. Misalkan penyemprotan Dichlorvos di atas kotoran ayam atau penggunaan Cyromazine lewat pakan
Dengan peternak mau menjadi detektif maka mereka akan tahu dari mana pintu masuk agen penyakit. Sehinnga sudah siap senapan untuk membidiknya satu persatu. alhasil ayam tetap hidup nyaman dan telur tiap hari masuk gudang dan jadi uang yang halal.

II. IDENTIFIKASI PENYAKIT
Identifikasi penyakit pernafasan pada ayam petelur adalah sesuatu yang jauh lebih mudah dikerjakan ketimbang tindakan pencegahan dan mengetahui rute penyakit. Rating kejadian penyakit pernafasan pada ayam petelur yaitu :
A. Chronic Respiratori Disease ( CRD )
Penyakit pernafasan yang sangat klasik, disebabkan oleh Golongan Mycoplasma, gejalanya ayam ngorok kering, kepala selalu bergerak (tolah-toleh) terus terusan, telur putih dan telur retak jumlahnya akan meningkat sesuai berat ringannya penyakit .pengobatan bisa menggunakan Tylosin atau preparat Quinolon selama 5 (lima) hari berturut turut.
B. CRD Complex
Penyakit pernafasan yang sering terjdi di layer usia 40 minggu keatas. Akibat dari kontaminasi E.Coli dalam air minum dan Mycoplasma. Gejala klinisnya ayam ngorok, morbiditas diatas 25 % jadi kalau dikontrol pada malam hari suara ngorok sangat ramai. Diikuti dengan kenaikan jumlah telur putih dan telur retak.Angka kematian naik Pengobatan bisa dilakukan seperti kasus CRD
C. Coryza
Penyakit bakterial yang sering menyerang pada awal produksi atau saat produksi puncak. Karakter penyakit ini nyebelin, karena penyelesaiannya tidak sesuai dengan teori yang ada. Gejala penyakit adanya leleran yang keluar dari sinus hidung biasanya berbau sangat amis.
Jumlah telur putih dan kasar meningkat, telur retak juga naik, pada kejadian yang ekstrem diikuti kebengkaan didaerah sinus hidung sampai kelopak mata sehingga mengakibatkan kebutaan unilateral dan bilateral. Pengobatan bisa menggunakan preparat Tetracyclines
D. ILT Penyakit Viral yang sering muncul di usia 8 – 10 minggu. Penyakit tidak
akan menjadi serius apabila dalam pemeliharaan Pullet sudah diprogram vaksin ILT. Yang perlu diperhatikan adalah reaksi post vaksinasi. Berilah antibiotik selama 5 (lima) hari berturut turut setelah vaksinasi. Biasanya reksi postvaksin akan hilang setelah 10 hari. Antibiotik yang bisa digunakan Doxyciclin atau Oxytetracycline.
E. IB
Penyakit viral yang biasa menyerang ayam pada waktu puncak produksi,atau setelah puncak. Gejala klinisnya peningkatan jumlah telur yang bentuknya aneh aneh, penurunan gr/btr, produksi( % HD) turun.
Penyakit ini menjadi sangat sangat fatal apabila terjadi komplikasi dengan ND. %HD bisa habis (tinggal 2 – 5 %) dan kematian ayam bisa 100 % (ini tidak teori betul betul terjadi sehingga kontrol terus titer IB). Dalam mendiagnosa jangan keliru dengan IB varian yang sekarang baru ngetren.

F. AI
Penyakit viral yang terhitung sudah aman terkendali. Dengan gejala penyakit terjadinya pendarahan di mana mana dari bawah kulit, daging , dan organ dalam. Antemortem tubuh ayam sangat panas pial biru dan mati dengan cepat. Jaga biosecurity dan program vaksin dijalankan insyaalloh beres.
Dengan memahami tulisan yang sangat sederhana ini mudah–mudahan para peternak khususnya layer akan lebih waspada terhadap intaian penyakit pernafasan di indonesia. Karena dinegeri ini kaya debu dan hampir semua penularan penyakit pernafasan lewat udara maka solusinya buatlah filter alami untuk membuat kualitas udara yang ada di farm dan sekitarnya menjadi bersih.

Drh Agus Wahyudi Bawono
Praktisi Layer komersil dan Broiler komersil

KOLI TAK KENAL MUSIM

Technical Service Medion cabang Riau Drh Hanggono menyatakan bahwa untuk penyakit pencernaan saat ini datangnya bukan lagi berpatokan pada musim. Beberapa penyakit pencernaan tersebut muncul di farm broiler lebih banyak disebabkan faktor manajemen pemeliharaan yang ditetapkan peternak.
Artinya, manajemen pemeliharaan yang jelek dapat sebagai faktor predisposisi berjangkitnya penyakit-penyakit pencernaan tersebut. Di antara penyakit pencernaan yang tidak mengenal musim tersebut seperti Kolibasilosis yang disebabkan oleh sejumlah serotipe Escherichia coli yang bersifat patogen.
Penyakit ini disinyalir dapat menyerang ayam dari semua kelompok umur. Manifestasi Escherichia coli ini pada ayam dapat berbentuk kematian embrio pada telur tetas, infeksi yolk sac, omfalitis (radang pusar), koliseptisemia, air sacculitis (radang kantong udara), enteritis, ooforitis, salpingitis, koligranuloma, arthritis, panoptalmitis (radang mata) dan radang bursa sternalis.
Kondisi ini berdampak ekonomi yang sangat penting pada industri perunggasan berupa gangguan pertumbuhan, penurunan produksi, peningkatan jumlah ayam yang diafkir, penurunan kualitas karkas dan telur, penurunan daya tetas telur dan kualitas anak ayam serta mendukung munculnya penyakit-penyakit kompleks pada saluran pernafasan, pencernaan dan reproduksi yang sulit ditanggulangi peternak.
Kolibasilosis merupakan penyakit umum, artinya tidak ada peternak yang tidak mengenal penyakit tersebut. Penyakit ini dicirikan dengan pada breeding farm sering ditemukan embrio mati sebelum telur menetas, hal ini biasanya terjadi pada periode akhir pengeraman.
Kemudian, kematian anak-anak ayam dapat terjadi sampai umur 3 minggu dengan gejala omfalitis, oedema, jaringan sekitar pusar menjadi lembek berkesan seperti bubur (mushy). Pada ayam pedaging periode starter kolibasilosis menyebabkan gangguan pernafasan disertai bersin, anemia dan kekurusan atau kadangkala broiler tersebut ditemukan sudah mati.
Menyikapi kasus kejadian kolibasilosis yang didaulat sebagai penyakit pencernaan yang umum menyerang ayam ini, drh Syakban Mahmud Feed Coordinator PT Charoen Pokphan home base Pekanbaru menegaskan bahwa peternak jangan sekali-kali menyalahkan pembibit.
Artinya bibit Day Old Chick (DOC) yang diterima peternak adalah bibit yang sudah lulus sensor atau bibit yang sudah disertifikasi. “Mustahil pembibit memberikan DOC jelek pada peternak”, ulang alumni FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darussalam ini dengan mantap.
Kejadian penyakit apakah itu penyakit pencernaan, penyakit pernafasan, dan berbagai jenis penyakit ayam lainnya tetap berawal dari manajemen pemeliharaan.
Bila sistem pemeliharaan yang diterapkan peternak baik maka hasil yang didapat dari usaha peternakan sudah jelas baik dan sebaliknya bila sistem manajemen pemeliharaannya jelek maka peternak bukannya untung malahan usaha yang dilakukan sia-sia dan hasilnya adalah kerugian bahkan bisa sampai gulung tikar (red: kehabisan modal).
Namun menurut Syakban pembibit jangan pula memanfaatkan kondisi yang ada, membiarkan peternak larut dalam keterpurukkan, bukankah usaha yang dilakukan peternak adalah usaha amal, menyangkut hayat hidup orang banyak?
“Yang terpenting adalah koordinasi dan informasi tetap terjalin dan jangan sampai terputus sama sekali dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan peternak,” imbau Syakban.
Di lain sisi, kejadian kolibasilosis di usaha peternakan sudah dianggap lumrah oleh peternak. Kadang-kadang peternak tidak lagi mengacuhkan penyakit ini. Hal ini beralasan bahwa infeksi Escherichia coli susah ditebak datangnya dan susah pula ditentukan perginya dari farm peternakan. Inilah yang membuat peternak acuh dan cuek pada serangan Escherichia coli di usaha peternakannya.
“Saya tidak mempedulikan penyakit tersebut (red: kolibasilosis), bagi saya apapun jenis bibit penyakit dapat dipangkas habis dari lokasi usaha peternakan saya bila kandang dan lingkungan kandang terjaga kebersihannya,” tutur narasumber Infovet pada kru Infovet Riau.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penjagaan kebersihan adalah mutlak diterapkan di lokasi peternakan broiler, karena tindakan ini memberikan dampak nyata bila diabaikan.
“Saya yakin bahwa nawaitu (red; niat) peternak pasti berusaha untuk meraih keuntungan, sama dengan keinginan saya. Untuk itu jangan lalai dan jangan sampai terlewatkan penjagaan kebersihan di usaha peternakan yang kita miliki”, imbau peternak yang pernah diundang ke Istana Negara Republik Indonesia ini. (Daman Suska)

DIARE PADA SAPI AKIBAT INFEKSI VIRUS DAN PROTOZOA

Setelah diare pada sapi akibat infeksi bakteri dipaparkan oleh Prof Drh wasito MSc PhD pada Infovet Mei 2007, kini giliran diare pada sapi akibat infeksi virus dan protozoa diangkat pada fokus bertopik penyakit pencernaan pada ternak, baik ternak unggas maupun ruminansia.

Mekanisme Serangan Virus

Bagaimana virus menyerang tubuh ternak sehingga ternak mengalami diare?
Virus menyerang lapisan sel usus kecil yang mengganggu proses penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan bahan sel tersebut untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus-virus baru untuk menyerang sel lain lebih banyak.
Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan pedet menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lain. Rotavirus dan Coronavirus memiliki cara kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama pada kasus diare pada pedet. Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada sapi dewasa dan paparan pada sapi sapi muda menjadi sangat umum.
Gejala yang ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan sering mengejan.
Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10 hari pertama. Seringkali terdapat kompilikasi serangan lain dari bakteri seperti E. coli. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu melawan infeksi bakterinya.
Rotavirus - Dapat mengakibatkan diare pada pedet dalam 24 jam setelah dilahirkan. Dapat menulari ternak berusia 30 hari atau lebih. Pengeluaran saliva, dan diare hebat. Kotoran dapat berwarna kuning sampai hijau. Kehilangan nafsu makan dan tingkat kematian dapat mencapai 50 persen, tergantung pada kehadiran infeksi lanjutan dari jenis bakteri lain.
Coronavirus - Terjadi pada pedet usia 5 hari atau lebih. Dapat menulari pedet yang berusia 6 minggu atau lebih. Tingkat depresi tidak setinggi infeksi oleh rotavirus. Pada awalnya, feses ternak akan menunjukkan bentuk dan warna yang sama dengan infeksi rotavirus. Setelah beberapa jam, feses dapat mengandung lendir bening yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama beberapa hari. Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25 persen. Tanda luka seringkali tidak jelas. Biasanya usus penuh oleh feses cair. Apabila tanda luka terlihat di dalam usus, itu biasanya diakibatkan oleh infeksi bakteri lanjutan.

Diagnosa Akurat

Diagnosis yang akurat hanya dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium.
Vaksinasi yang spesifik untuk rota dan coronavirus sudah tersedia. Dapat diberikan dengan dua cara, oral segera setelah pedet dilahirkan, atau vaksinasi terhadap induk sapi hamil.
Program vaksinasi pada induk sapi ini biasanya dilakukan beberapa kali. Pada tahun pertama program, vaksin pertama diberikan pada 6 - 12 minggu sebelum kelahiran, dan yang kedua sedekat mungkin dengan waktu kelahiran. Kemudian pada tahun selanjutnya, si induk diberikan booster vaksin sebelum melahirkan. Apabila periode melahirkan terlambat lebih dari 6 - 8 minggu, induk yang belum melahirkan di akhir minggu ke-enam diberikan booster vaksin kedua. Dengan mengikuti prosedur ini, dapat dipastikan bahwa pedet yang dilahirkan mendapat antibodi rota dan coronavirus yang tinggi dalam kolostrum.
Lebih lanjut, Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga merupakan agen virus yang dapat menyebabkan diare. Meskipun secara umum jarang dijumpai pada pedet muda atau baru lahir. Antibodi yang berasal dari kolostrum induk yang divaksin BVF sangat membantu melindungi pedet. Pedet yang baru dilahirkan dan terkena infeksi BVD ini dapat mengalami demam tinggi, nafas yang tersengal sengal dan diare parah. BVD seringkali ditemukan bersama agen infeksius yang lain. BVD dapat dikendalikan dengan melakukan vaksinasi terhadap sapi sapi dara (heifer) 1 atau 2 bulan sebelum di kawinkan.

Diare Akibat Infeksi Protozoa

Di Amerika Serikat, Coccidia & Cryptosporidia banyak ditemukan di hampir semua kumpulan populasi sapi. Organisme ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi dormant (suri) di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun. Ketika sampai di dalam usus, telur (oocyst) dari protozoa ini menetas dan berkembang biak. Menempel dan masuk ke dalam jaringan sel pada lapisan usus, menghambat pencernaan dan penyerapan makanan.
Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita dan mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap makan.
Coccidia memiliki siklus hidup 21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah itu (18 - 19 hari) jarang yang terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada pedet usia 7 - 21 hari. Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus dan E. coli.
Ada jenis protozoa lain yaitu Giardia yang baru sejak beberapa tahun lalu cukup banyak ditemukan infeksinya.Infeksi banyak ditemukan terutama pada pedet usia 3 sampai 5 minggu.
Setelah mengenali macam-macam diare yang sering menyerang sapi muda dan dewasa, tentu kita bisa lebih mudah menyusun program pencegahannya. Atau bila sudah terlanjur terserang Infovet berusaha menyajikan solusinya yang bisa ditemukan dalam artikel berjudul “Mencegah dan Menanggulangi Diare pada Ternak Sapi”. (wan)

Waspada Kolera Merajarela

Tahun ini, nampaknya tidak seperti tahun-tahun kemarin. Bulan Mei yang seharusnya sudah masuk musim kemarau, ternyata tahun ini masih turun hujan dengan cukup deras. Keadaan ini tentu harus di waspadai. Penyakit apa saja yang muncul? Ditemui disela kesibukannya, Drh Hadi Wibowo melaporkan saat ini masalah klasik E Coli kembali muncul. Disisi lain, dibeberapa peternakan ditemukan kasus Kolera .
Menurut Hadi, E Coli merupakan masalah klasik yang disebabkan oleh kondisi lingkungan dan manajemen yang buruk. “Bila ingin terbebas dari E Coli jagalah kebersihan (Biosekuriti dan sanitasi) dan tingkatkan kualitas manajemen,” katanya. Sedangkan untuk Kolera , Hadi menekankan, bahwa penyakit ini menyebabkan kerusakan permanen khususnya pada indung telur. “Persoalan ini tentu akan sangat merugikan khususnya bagi peternak ayam petelur,” tegasnya.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe A carter atau tipe O grup 5 Namioka atau tipe 2 dan 4 Rober yang bersifat ganas dan kronis. Gejala klinis: diare berair berwarna kuning coklat kehijauan, ayam sukar bernapas, jengger kebiruan dan leher sering dimasukkan ke badan. Angka kesakitan penularan sampai 50% dan kematian sampai 20%. Penurunan produksi telur sampai 30%
Gejala yang lain, biasanya menyerang ayam umur 4 bulan keatas, bisa berlangsung secara perakut/menahun, ayam sering mati mendadak tanpa gejala yang jelas. Pada bentuk akut terjadi peradangan selaput lendir mata disertai keluarnya kotoran. Tinja sangat encer, berwarna kekuningan, pial dan tulang membesar, sendi kaki meradang dan seringkali lumpuh serta tortikolis
Gejala khusus, umumnya terdapat perdarahan titik-titik atau bercak darah pada jantung, dibawah selaput serosa, pada selaput lendir empedal atau pada lemak perut. Hati membengkak dan berwarna gelap karena bendung darah. Kantung empedu membesar
Penularan bisa terjadi melalui pencemaran pakan atau air oleh lendir hidung dari ayam yang sakit. Kandang yang penuh sesak, kedinginan, kepayahan dan sanitasi lingkungan yang jelek dapat menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi spesifik kolera.

Pencegahan Dan Pengobatan
Kolera unggas diperkirakan telah lama ada di Indonesia. Kejadian pertama dilaporkan oleh Bubberman pada tahun 1912. Pernah dilaporkan adanya letupan penyakit ini di Bogor-Jawa Barat, pada ayam petelur dan itik. Oleh karenanya, diperlukan vaksinasi apa bila ditemukan dengan jelas kolera-nya. (konsultasikan dengan dokter hewan anda untuk meneguhkan diagnosa). Vaksinasi kolera unggas yang dianjurkan adalah umur 6 – 8 minggu dan di ulang umur 8 – 10 minggu.
Bila terjadi kasus, biasanya dokter hewan akan merekomendasikan antibiotika antara lain streptomycine, chloramphenicol, terramicyne, dan preparat-sulfa melalui air minum atau pakan

Diagnosa banding
Bila terjadi penurunan produksi telur, maka penyakit-penyakit yang harus diwaspadai adalah, penyakit infeksius yang disebabkan virus : ND, IB, AI, EDS, penyakit infeksius-bakteri: Snot, Coli, CRD Kolera,Pasteurella dan Pseudomonas. penyakit infeksius parasit: Leucocytozoonosis dan cacing serta jamur.
Pada gangguan non infeksius, disebabkan kondisi pullet yang tidak optimal, pakan kualitas rendah, air tidak memenuhi syarat dan kondisi lingkungan yang kotor. Dan suhu lingkungan yang tidak nyaman bagi ayam. (Sapto)


DIARE PADA SAPI AKIBAT INFEKSI VIRUS DAN PROTOZOA

Setelah diare pada sapi akibat infeksi bakteri dipaparkan oleh Prof Drh wasito MSc PhD pada Infovet Mei 2007, kini giliran diare pada sapi akibat infeksi virus dan protozoa diangkat pada fokus bertopik penyakit pencernaan pada ternak, baik ternak unggas maupun ruminansia.

Mekanisme Serangan Virus

Bagaimana virus menyerang tubuh ternak sehingga ternak mengalami diare?
Virus menyerang lapisan sel usus kecil yang mengganggu proses penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan bahan sel tersebut untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang biak penuh oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus-virus baru untuk menyerang sel lain lebih banyak.
Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan pedet menjadi lebih rentan terhadap serangan infeksi bakteri lain. Rotavirus dan Coronavirus memiliki cara kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama pada kasus diare pada pedet. Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada sapi dewasa dan paparan pada sapi sapi muda menjadi sangat umum.
Gejala yang ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam, depresi dan dehidrasi hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan sering mengejan.
Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10 hari pertama. Seringkali terdapat kompilikasi serangan lain dari bakteri seperti E. coli. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu melawan infeksi bakterinya.
Rotavirus - Dapat mengakibatkan diare pada pedet dalam 24 jam setelah dilahirkan. Dapat menulari ternak berusia 30 hari atau lebih. Pengeluaran saliva, dan diare hebat. Kotoran dapat berwarna kuning sampai hijau. Kehilangan nafsu makan dan tingkat kematian dapat mencapai 50 persen, tergantung pada kehadiran infeksi lanjutan dari jenis bakteri lain.
Coronavirus - Terjadi pada pedet usia 5 hari atau lebih. Dapat menulari pedet yang berusia 6 minggu atau lebih. Tingkat depresi tidak setinggi infeksi oleh rotavirus. Pada awalnya, feses ternak akan menunjukkan bentuk dan warna yang sama dengan infeksi rotavirus. Setelah beberapa jam, feses dapat mengandung lendir bening yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama beberapa hari. Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25 persen. Tanda luka seringkali tidak jelas. Biasanya usus penuh oleh feses cair. Apabila tanda luka terlihat di dalam usus, itu biasanya diakibatkan oleh infeksi bakteri lanjutan.

Diagnosa Akurat

Diagnosis yang akurat hanya dapat ditentukan melalui pemeriksaan laboratorium.
Vaksinasi yang spesifik untuk rota dan coronavirus sudah tersedia. Dapat diberikan dengan dua cara, oral segera setelah pedet dilahirkan, atau vaksinasi terhadap induk sapi hamil.
Program vaksinasi pada induk sapi ini biasanya dilakukan beberapa kali. Pada tahun pertama program, vaksin pertama diberikan pada 6 - 12 minggu sebelum kelahiran, dan yang kedua sedekat mungkin dengan waktu kelahiran. Kemudian pada tahun selanjutnya, si induk diberikan booster vaksin sebelum melahirkan. Apabila periode melahirkan terlambat lebih dari 6 - 8 minggu, induk yang belum melahirkan di akhir minggu ke-enam diberikan booster vaksin kedua. Dengan mengikuti prosedur ini, dapat dipastikan bahwa pedet yang dilahirkan mendapat antibodi rota dan coronavirus yang tinggi dalam kolostrum.
Lebih lanjut, Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga merupakan agen virus yang dapat menyebabkan diare. Meskipun secara umum jarang dijumpai pada pedet muda atau baru lahir. Antibodi yang berasal dari kolostrum induk yang divaksin BVF sangat membantu melindungi pedet. Pedet yang baru dilahirkan dan terkena infeksi BVD ini dapat mengalami demam tinggi, nafas yang tersengal sengal dan diare parah. BVD seringkali ditemukan bersama agen infeksius yang lain. BVD dapat dikendalikan dengan melakukan vaksinasi terhadap sapi sapi dara (heifer) 1 atau 2 bulan sebelum di kawinkan.

Diare Akibat Infeksi Protozoa

Di Amerika Serikat, Coccidia & Cryptosporidia banyak ditemukan di hampir semua kumpulan populasi sapi. Organisme ini masuk kedalam tubuh melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi dormant (suri) di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun. Ketika sampai di dalam usus, telur (oocyst) dari protozoa ini menetas dan berkembang biak. Menempel dan masuk ke dalam jaringan sel pada lapisan usus, menghambat pencernaan dan penyerapan makanan.
Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu jelas, biasanya ternak menderita dan mengurangi konsumsi pakan sehingga pertumbuhan terhambat. Infeksi akut menyebabkan diare (terkadang disertai darah), depresi, kehilangan berat badan dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap makan.
Coccidia memiliki siklus hidup 21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah itu (18 - 19 hari) jarang yang terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada pedet usia 7 - 21 hari. Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus dan E. coli.
Ada jenis protozoa lain yaitu Giardia yang baru sejak beberapa tahun lalu cukup banyak ditemukan infeksinya.Infeksi banyak ditemukan terutama pada pedet usia 3 sampai 5 minggu.
Setelah mengenali macam-macam diare yang sering menyerang sapi muda dan dewasa, tentu kita bisa lebih mudah menyusun program pencegahannya. Atau bila sudah terlanjur terserang Infovet berusaha menyajikan solusinya yang bisa ditemukan dalam artikel berjudul “Mencegah dan Menanggulangi Diare pada Ternak Sapi”. (wan)

JANGAN REMEHKAN KOKSI

Disamping kolibasilosis, penyakit pencernaan yang tidak kalah pentingnya adalah koksidiosis. Penyakit ini disebabkan oleh parasit dari golongan protozoa. Pada unggas dapat ditemukan sejumlah penyakit yang disebabkan oleh protozoa yang bersifat parasitik dan menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang cukup tinggi.
Menurut Drh Hanggono dari PT Medion Riau, kasus koksidiosis di Riau tetap ada, sama halnya dengan lokasi peternakan lain di bumi pertiwi ini. Untuk Riau, kasus ini sering dijumpai pada lokasi-lokasi yang kurang ketat penjagaan kebersihan kandang dan lingkungannya. Hal ini dibuktikannya saat melakukan kunjungan rutin ke farm-farm yang tersebar seantero kabupaten dan kota di Riau.
“Pada umumnya temuan kasus koksidiosis selalu pada lokasi pemeliharaan ayam yang tidak terjaga kebersihannya baik di luar kandang ataupun di dalam kandang”, tutur alumni FKH UGM Yogyakarta ini.
Berdasarkan ini, penerapan sanitasi di lokasi kandang secara umum dapat menghambat berkembangnya penyebab penyakit berak darah tersebut. Terkait penyakit ini, peternak sebenarnya tidak boleh lengah, karena efek yang ditimbulkan cukup parah bila ayam dapat bebas kembali dari terkaman Eimeria.
Maksudnya adalah ayam yang terbebas dari koksi setelah menderita sakit dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi gumboro, karena sifat penyakit ini adalah immunosupresif, yang dapat menekan kekebalan hasil vaksinasi gumboro tersebut. Kasus ini biasanya terjadi pada ayam petelur, pungkasnya.
Menurut Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD, penyakit asal parasit kerapkali berbeda dengan penyakit viral ataupun bakterial dalam beberapa aspek, yaitu siklus hidup yang kompleks, metode penyebaran yang beragam, sangat minim atau tidak ada uji serologik yang dapat dipakai sebagai metode diagnosis dan kadang-kadang dapat ditanggulangi dengan cara sanitasi atau desinfeksi dan isolasi yang ketat.
Koksidiosis pada ayam disebabkan oleh Eimeria yang dicirikan dengan diare dan radang usus. Protozoa yang tergolong genus Eimeria memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan (apparatus digestivus) dan meyebabkan kerusakan pada jaringan.
Manifestasinya adalah gangguan pada proses digesti dan absorbsi zat-zat gizi, dehidrasi, kehilangan darah akibat terikutnya darah bersama feses dan meningkatnya kepekaan ayam terhadap jenis penyakit lain.
(Daman Suska)

KOLI TAK KENAL MUSIM

Technical Service Medion cabang Riau Drh Hanggono menyatakan bahwa untuk penyakit pencernaan saat ini datangnya bukan lagi berpatokan pada musim. Beberapa penyakit pencernaan tersebut muncul di farm broiler lebih banyak disebabkan faktor manajemen pemeliharaan yang ditetapkan peternak.
Artinya, manajemen pemeliharaan yang jelek dapat sebagai faktor predisposisi berjangkitnya penyakit-penyakit pencernaan tersebut. Di antara penyakit pencernaan yang tidak mengenal musim tersebut seperti Kolibasilosis yang disebabkan oleh sejumlah serotipe Escherichia coli yang bersifat patogen.
Penyakit ini disinyalir dapat menyerang ayam dari semua kelompok umur. Manifestasi Escherichia coli ini pada ayam dapat berbentuk kematian embrio pada telur tetas, infeksi yolk sac, omfalitis (radang pusar), koliseptisemia, air sacculitis (radang kantong udara), enteritis, ooforitis, salpingitis, koligranuloma, arthritis, panoptalmitis (radang mata) dan radang bursa sternalis.
Kondisi ini berdampak ekonomi yang sangat penting pada industri perunggasan berupa gangguan pertumbuhan, penurunan produksi, peningkatan jumlah ayam yang diafkir, penurunan kualitas karkas dan telur, penurunan daya tetas telur dan kualitas anak ayam serta mendukung munculnya penyakit-penyakit kompleks pada saluran pernafasan, pencernaan dan reproduksi yang sulit ditanggulangi peternak.
Kolibasilosis merupakan penyakit umum, artinya tidak ada peternak yang tidak mengenal penyakit tersebut. Penyakit ini dicirikan dengan pada breeding farm sering ditemukan embrio mati sebelum telur menetas, hal ini biasanya terjadi pada periode akhir pengeraman.
Kemudian, kematian anak-anak ayam dapat terjadi sampai umur 3 minggu dengan gejala omfalitis, oedema, jaringan sekitar pusar menjadi lembek berkesan seperti bubur (mushy). Pada ayam pedaging periode starter kolibasilosis menyebabkan gangguan pernafasan disertai bersin, anemia dan kekurusan atau kadangkala broiler tersebut ditemukan sudah mati.
Menyikapi kasus kejadian kolibasilosis yang didaulat sebagai penyakit pencernaan yang umum menyerang ayam ini, drh Syakban Mahmud Feed Coordinator PT Charoen Pokphan home base Pekanbaru menegaskan bahwa peternak jangan sekali-kali menyalahkan pembibit.
Artinya bibit Day Old Chick (DOC) yang diterima peternak adalah bibit yang sudah lulus sensor atau bibit yang sudah disertifikasi. “Mustahil pembibit memberikan DOC jelek pada peternak”, ulang alumni FKH Unsyiah Nangroe Aceh Darussalam ini dengan mantap.
Kejadian penyakit apakah itu penyakit pencernaan, penyakit pernafasan, dan berbagai jenis penyakit ayam lainnya tetap berawal dari manajemen pemeliharaan.
Bila sistem pemeliharaan yang diterapkan peternak baik maka hasil yang didapat dari usaha peternakan sudah jelas baik dan sebaliknya bila sistem manajemen pemeliharaannya jelek maka peternak bukannya untung malahan usaha yang dilakukan sia-sia dan hasilnya adalah kerugian bahkan bisa sampai gulung tikar (red: kehabisan modal).
Namun menurut Syakban pembibit jangan pula memanfaatkan kondisi yang ada, membiarkan peternak larut dalam keterpurukkan, bukankah usaha yang dilakukan peternak adalah usaha amal, menyangkut hayat hidup orang banyak?
“Yang terpenting adalah koordinasi dan informasi tetap terjalin dan jangan sampai terputus sama sekali dengan pihak-pihak yang berkompeten dengan peternak,” imbau Syakban.
Di lain sisi, kejadian kolibasilosis di usaha peternakan sudah dianggap lumrah oleh peternak. Kadang-kadang peternak tidak lagi mengacuhkan penyakit ini. Hal ini beralasan bahwa infeksi Escherichia coli susah ditebak datangnya dan susah pula ditentukan perginya dari farm peternakan. Inilah yang membuat peternak acuh dan cuek pada serangan Escherichia coli di usaha peternakannya.
“Saya tidak mempedulikan penyakit tersebut (red: kolibasilosis), bagi saya apapun jenis bibit penyakit dapat dipangkas habis dari lokasi usaha peternakan saya bila kandang dan lingkungan kandang terjaga kebersihannya,” tutur narasumber Infovet pada kru Infovet Riau.
Lebih lanjut dikatakannya bahwa penjagaan kebersihan adalah mutlak diterapkan di lokasi peternakan broiler, karena tindakan ini memberikan dampak nyata bila diabaikan.
“Saya yakin bahwa nawaitu (red; niat) peternak pasti berusaha untuk meraih keuntungan, sama dengan keinginan saya. Untuk itu jangan lalai dan jangan sampai terlewatkan penjagaan kebersihan di usaha peternakan yang kita miliki”, imbau peternak yang pernah diundang ke Istana Negara Republik Indonesia ini. (Daman Suska)

ARTIKEL POPULER MINGGU INI

ARTIKEL POPULER BULAN INI

ARTIKEL POPULER TAHUN INI

Translate


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer