Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Info Iptek | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Kasus Penyakit Surra Terkini.

Peta kejadian Surra di Banten
Sekitar Maret 2014, di Provinsi Banten ditemukan kasus penyakit Surra yang mengakibatkan kematian puluhan kerbau lokal maupun kerbau bantuan pemerintah. Hasil analisis PCR terhadap vektor lalat penghisap darah (haematophagous flies), menunjukkan hasil positif yang mengindikasikan ancaman penyebaran wabah Surra. 

Menteri Pertanian kembali menetapkan Surra sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/04/2013.  

Kejadian Surra di wilayah Banten terdeteksi pertama kali pada bulan Mei 2013, yakni di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang. Surra juga merebak di Desa Calung Bungur, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Pada September 2013, terjadi di Desa Bojong Leles, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak.

November 2013, kasus Surra di Kabupaten Pandeglang menyebar semakin merambah ke beberapa desa diantaranya Jiput, Pagelaran, Menes, dan Cimanuk. Di Kota Serang, Surra menuju Desa Curug Manis, Kecamatan Curug, kemudian Desa Terondol, Kecamatan Serang, dan Desa Pageragung, Kecamatan Walantaka. Sementara pada Maret-April 2014, kasus Surra terjadi di Desa Pagelaran, Desa Abuan, Mones, Kabupaten Pandeglang.

Drh Putut Eko Wibowo selaku Kepala Seksi Informasi Veteriner, Balai Veteriner Subang mengemukakan Provinsi Banten sebagai salah satu lumbung ternak kerbau nasional  masih memiliki masalah dengan kasus penyebaran  Trypanosoma sp. Putut yang dijumpai  keberadaan Taman Nasional Ujung Kulon di Propinsi Banten harus terus dilindungi dari bahaya infestasi penyakit Trypanosoma pada badak bercula satu yang ada didalamnya.

Keberadaan obat-obatan seperti Tryponil dan Trypamedium untuk penanggulangan Surra harus terus diamati efikasinya terhadap penanggulangan Trypanosoma. Insektisida yang aman dan ramah lingkungan sangat diperlukan dalam menanggulangi vektor yang ada. Pengaturan lalu lintas ternak antar kabupaten harus terus terpantau melalui peningkatan peran dokter hewan, terutama dalam merekomendasikan SKKH untuk ternak yang akan ditransportasikan.

Penyakit Surra terkait erat dengan lalu-lintas ternak, baik nasional maupun internasional. Kejadian Surra di Pulau Sumba pada tahun 2010 disebabkan masuknya ternak yang terinfeksi T.Evansi ke wilayah tersebut. Dalam waktu relatif cepat, ribuan ternak mati sampai diumumkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Pulau Sumba memiliki sumber daya genetik asli (plasma nutfah) yaitu Sapi Sumba Ongola (SO) dan Kuda Sandel Wood. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan semua pihak  untuk menyelamatkan dan melestarikan ternak tersebut.

Drh Manuel Agustinus Kitu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur mengatakan mahalnya obat Surra dan patogenitas yang tinggi, serta banyak hewan menjadi reservoir, ditambah sulitnya pembentasan vektor menjadi  hal utama yang dikeluhan peternak. Secara nilai ekonomi, kerugian yang diakibatkan Surra pun mencapai ratusan miliar rupiah.

“Stok obat harus selalu ada, jangan sampai tersendat. Kalau kita kekurangan obat, Surra bisa semakin merajalela,” tanda Manuel kepada Infovet, Kamis (17/4) di Jakarta. Manuel menambahkan setiap tahunnya Direktorat Kesehatan Hewan memasok 6000 bungkus/dosis obat Surra baik itu Tryponil maupun Trypamedium.

Mengingat penyakit Surra bersifat immunosupresif, maka dlakukan pola pengobatan massal. “Pemberian Trypamedium setiap tiga atau empat sekali setahun, agar dapat menstimulasi munculnya respon antibody terhadap vaksinasi penyakit lainnya. Kami lanjutkan dengan pengobatan Tryponil pada ternak yang menunjukkan gejala klinis dan hasil diagnosa laboratorium, positif Surra,” jelas Manuel.

Pengendalian penyakit Surra, tidak semata-mata hanya untuk mencegah kerugian ekonomi, dampak negatif pada aspek sosial ekonomi rakyat, tetapi juga untuk mencegah kepunahan sumberd aya genetik ternak unggul nasional, termasuk satwa liar yang dilindungi.

Surra mungkin belum mampu diberantas seluruhnya. Operasionalisasi dalam pengendalian penyakit Surra di lapangan masih terhambat oleh beberapa hal seperti koordinasi, pengawasan lalulintas ternak, keterbatasan anggaran, kapasitas laboratorium veteriner, partisipasi masyarakat. Pengendalian Surra yang efektif, disamping dukungan hasil-hasil penelitian juga perlu dilakukan koordinasi dan sinergi lintas sektoral. (nunung)

Serangkaian Hasil Penelitian Penyakit Surra

Produk nano partikel zero valen dalam ethanol
Surra atau trypanosomiasis disebabkan oleh parasit darah Trypanasoma evansi yang patogen, seringnya menyerang ternak domestik seperti kuda, kerbau, dan sapi. Parasit ini hdup darah induk semang dan memperoleh asupan glukosa sehingga menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stres, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dapat menjadi faktor pemicu kejadian penyakit ini.

Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah, seperti Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Chrysops, dan Hematobia maupun jenis arthropoda lain seperti kutu dan pinjal. Gejala klinis akibat infeksi T. evansi yang dapat diamati antara lain demam, lesu, anemia, kurus, bulu rontok, keluar getah radang dari hidung dan mata, selaput lendir tampak menguning, jalan sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) dikarenakan parasit berada dalam cairan Serebrospinal sehingga terjadi ganggaun syaraf. 

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.34/Permentan/OT.140/3/2013 merupakan laboratorium rujukan nasional di bidang veteriner dan kesehatan masyarakat veteriner. Demikian halnya dengan yang disampaikan oleh Dr drh Hardiman MM, selaku Kepala BB Livet pada acara Diskusi Panel Penyakit Surra, Kamis (17/4) di Auditorium Balitbangtan.

Dalam acara diskusi tersebut, Balitbangtan menyatakan komitmennya untuk terus melakukan serangkaian kegiatan penelitian Surra. Menurut April Hari Wardhana SKH MSi PhD, salah satu peneliti Balitbangtan mengatakan saat ini institusinya memiliki isolat lokal T. evansi  sebanyak 381 isolat  yang dikoleksi dari kepulauan Indonesia dan disimpan di dalam nitrogen cair (cryopreservation).

Balitbangtan merupakan salah satu “bank T. evansi” di dunia, selain dimiliki negara Kenya dan Inggris. Koleksi isolat lokal tersebut diperkirakan bertambah dengan semakin merebaknya kasus Surra di lapangan. Laporan terkini hingga 16 April 2014 diperoleh 4 isolat  T. evansi baru di  Kalang Kampeng Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang (12 ekor sampel yang dikoleksi, 4 diantaranya positif) sehingga menjadi 385 isolat.

Tahun 2010, Balitbangtan mampu mengidentifikasi perbedaan derajat patogenitas pada beberapa isolat yang dimiliki, sehingga dikelompokkan menjadi 3 galur antara lain galur patogenitas tinggi, rendah, dan moderat (campuran antara patogenitas tinggi dan rendah). Karakterisasi galur patogenitas tersebut tidak hanya sebatas secara parasitologi, namun dikembangkan dengan melihat profil protein, profil sitokin, gambaran hispatologis hingga pencarian marka molekuler untuk mendeteksi tingkat patogenitas suatu isolate T. evansi.

Uji Obat Surra
Beberapa metode sederhana juga dikembangkan untuk membantu petugas lapangan dalam penegakan diagnosa Surra, termasuk melakukan uji coba obat Surra sebelum obat diperdagangkan. Hasil-hasil penelitian ini sangat membantu dalam strategi pengendalian surra di lapangan. “Hasil uji coba nano teknologi dengan menggunakan logam yang terserap tubuh dengan melibatkan pihak perguruan tinggi (IPB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat ini masih berlangsung kegiatan penelitian secara in vivo sebagai tindak lanjut dari hasil uji in vitro,” ungkap April.

Selain melakukan uji coba berbasis bahan kimia, Balitbangtan juga melakukan uji-uji obat berbasis herbal Hasil uji obat herbal untuk atasi Surra. April menerangkan hasil uji obat herbal untuk Surra secara in vitro dengan memanfaatkan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau yang mampu membunuh T. evansi  dalam waktu kurang dari 1 jam. “Pengobatan dengan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi  (isolat patogen tinggi) menunjukkan hasil yang hanya mampu menghambat pembelahan parasit tersebut di dalam darah, tetapi tidak dapat membersihkannya,” terang April. Lanjut dia, penujian menggunakan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi  (isolat patogen tinggi) mampu memperpanjang daya tahan hidup, 2 hari lebih lama dibandingkan dengan mencit kontrol yang diinfeksi T. evansi tanpa pengobatan.

Surra Apakah Zoonosis?
Kendati Surra tidak dikategorikan sebagai penyakit zoonosis, kasus Surra pada manusia dilaporkan terjadi di Sri Lanka pada tahun 1999 dan India tahun 2004. Laporan terbaru Surra menyerang peternak unta di Mesir tahun 2011.Mengapa Surra juga berpotensi sebagai penyakit zoonosis? Pertama, karena parasit telah mengalami mutasi, sehingga resisten terhadap faktor trypanolictic yang terdapat di dalam darah manusia. Kedua, penderita Surra memiliki kelainan faktor trypanolictic di dalam darahnya.

Terkait dengan potensi timbulnya Surra sebagai zoonosis, Balitbangtan melakukan uji coba serologis terhadap beberapa peternak di beberapa kawasan yang terinfeksi wabah Surra. Dari 24 sampel yang diuji, diperoleh 4 sampel positif terhadap antigen Surra. Hasil tersebut setidaknya mengindikasikan adanya kontak vektor Surra kepada peternak, yang kemungkinan dapat menjadi pintu awal adanya evolusi parasit terhadap manusia/ Nung

Selanjutnya simak di Majalah Infovet edisi cetak Mei 2014.

Musim pancaroba dan Potensi Munculnya Birahi Tenang

pakan sbgai antisipasi berahi tenang
Birahi tenang adalah suatu kondisi dimana seekor sapi betina meski sudah memasuki masa birahi, namun sama sekali tidak memperlihatkan gejala dan tanda tanda khusus bahwa sapi itu birahi sebagaimana seharusnya. Faktor penyebab gangguan fisiologis reproduksi itu memanglah multifaktorial.

Namun demikian, pada umumnya mendekati angka 85%, sapi betina umumnya akan selalu memperlihatkan tanda-tanda birahi. Sebagaimana dari berbagai hasil penelitian telah diperoleh data dan informasi bahwa potensi untuk terjadinya birahi tenang, umumnya akan sangat relatif merugikan terhadap sebuah usaha budidaya ternak sapi. Khususnya pada sapi perah. Mengapa begitu merugikan sekali, hal itu terkait erat dengan membengkaknya ongkos produksi dan juga produksi susu dan reprodukstifitas yang rendah.

Salah satu faktor yang begitu mempunyai pengaruh kuat terjadinya gangguan fisiologis reproduksi itu adalah kondisi musim. Terutama sekali sapi perah yang berada di daerah tropis seperti di Indonesia. Adapun kondisi musim yang dimaksud adalah pada musim peralihan atau pancaroba. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Drh Yusuf Arrofik, seorang praktisi sapi perah berpengalaman yang hampir lebih dari 15 tahun. Bergelut dengan usaha peternakan sapi perah. Kini, ayah 2 orang anak itu mengabdikan diri sebagai abdi negara pada Dinas Peternakan Klaten Jawa Tengah.

Seperti diketahui, bahwa fungsi reproduksi pada sapi betina dipengaruhi dan dikontrol  oleh sebuah mekanisme hormonal. Dan mekanisme hormonal itu erat terkait dengan fungsi organ tubuh secara integratif. Artinya, status kesehatan ternak sapi inheren dengan status fisiologis reproduksinya. Jika kondisinya sedang dalam pengaruh situasi pergantian musim, sudah pasti akan menyebabkan fungsi reproduksinya terganggu. Meski sebenarnya, jelas Yusuf, bahwa keseimbangan fungsi itu akan berjalan secara otomatis dan penyesuaian itu berlangsung sesuai dengan “tantangan” lingkungan. Namun untuk Negara beriklim panas, seperti di Indonesia, oleh karena gradasi peralihan musim relatif kurang smooth, akhirnya selalu menyebabkan adanya gangguan fisiologis reproduksi.

Yusuf menjelaskan, bahwa neraca keseimbangan fisiologis tubuh sapi perah di Indonesia sangat berbeda sekali dengan sapi perah di negara-negara sub tropis. Meskipun sudah ada proses adaptasi dan aklimatisasi sapi perah di Indoensia, namun tetap saja potensi terganggunya fungsi reproduksi itu masih besar.

Birahi tenang (silent heat) atau birahi yang tak termanifestasi secara visual yang ditemukan pada sapi perah sebenarnya merupakan persoalan yang cukup serius. Bukan saja menyebabkan produktifitas susu dan reproduktifitasnya rendah, namun juga membawa dampak lain berupa semakin cepatnya untuk terjadi proses pengafkiran atas ternak itu. Padahal antisipasi dan terapi untuk mengatasi hal itu masih sangat terbuka untuk ditempuh/ iyo

Artikel lebih lengkap bisa baca di edisi MEI 2014.

SALAH PAHAM PEMAKAIAN OBAT HEWAN OLEH PRAKTISI KESEHATAN MANUSIA

Menarik sekali penjelasan oleh Drh Abadi Sutisna M.Si bahwa kesalahan terbesar tentang asumsi dan paradigma peranan Dokter Hewan pada aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia. Sehingga akhirnya melahirkan mainstream atau pengarusutamaan pembangunan pertanian dalam hal ini kesehatan hewan di Indonesia.

Hal itu diungkapkan oleh Dewan Pakar ASOHI ini saat tampil dalam sebuah Workshop Nasional ”Relevansi Pembelajaran dan Kompetensi Dokter Hewan di Bidang Farmakoepidemiologi dalam Dunia Obat dan Pengobatan Hewan di Indonesia”. 

Acara yang diselenggarakan oleh Bagian Farmakologi FKH UGM Yogyakarta ini, menurut Ketua Panitia drh R Gagak D Satria MP MPd sebagai upaya untuk memberikan pemahaman bersama akan arti penting pengobatan pada hewan yang efektif dan efisien dengan konsep risk benefit ratio. Konsep ini sangat berbeda sekali dengan pengobatan pada manusia yang sama sekali tak mempertimbangkan aspek benefitnya.

Sedangkan Abadi dalam paparannya menjelaskan tentang asumsi dan paradigma masayarakat awam dan bahkan dari kalangan elit ilmiah bahwa peranan dan eksistensi  kedokteran hewan (Dokter Hewan) sebagai penunjang kesehatan dan kesejahteraan manusia. Padahal seharusnya dan memang pada kenyataannya bahwa kesehatan manusia sangat ditentukan oleh kecerdasan Dokter Hewan. 

Sebab jelas, Abadi, bahwa sebanyak 60% makanan manusia berasal dari hewan. Oleh karena itu menurutnya farmakologi veteriner sangat dan harus di dominasi oleh Dokter Hewan yang mengerti obat hewan. 

Jika selama ini ada suara miring tentang “Makan di gerai siap saji ayam goreng, adalah makan obat tetapi mendapat bonus daging atau telur ayam,” adalah tidak benar dan sangat menyesatkan. Menjadi lebih memprihatinkan sekali menurut Abadi, oleh karena  hal itu terlalu sering diungkapkan oleh para praktisi kesehatan manusia. 

Meski mereka yang bicara miring itu adalah para pakar kesehatan manusia, namun sesungguhnya mereka BUKAN pakar kesehatan hewan. Mereka sama sekali tidak mengerti ada aturan baku yang harus ditaati dan dijunjung tinggi oleh para Dokter Hewan, yaitu withdrawal time. Sangat berbeda sekali dengan dunia pengobatan pada manusia yang tak dikenal aturan itu, sehingga akhrinya mereka melemparkan pernyataan yang sungguh menyesatkan. 

Seperti yang diungkapkan oleh ahli peracik obat manusia yang juga Ketua Dewan Pakar Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI) Prof dr Iwan Dwi Prahasto, M Med Sc PhD saat tampil sesi pertama.
Beruntung peserta seminar mendapatkan pencerahan dan koreksi yang begitu apik dan menarik dari Dewan Pakar ASOHI Drh Abadi Sutisna MSi. Dalam kesempatan itu dukungan dan penjelasan dari ketua Panitia Gagak D. Satria serta Drh Suhardi dari Kalbe Farma, sehingga setidaknya mengurangi rasa was-was dari peserta workshop yang hadir. 

Selanjutnya Abadi menguraikan bahwa Obat Hewan adalah obat yang digunakan pada hewan. Jika berpengaruh baik terhadap sel dalam tubuh hewan, maka itu artinya memang sebagai obat hewan. Akan tetapi jika zat itu diberikan memberikan efek buruk terhadap tubuh hewan, maka itu bernama Racun. Oleh karena itu dalam prinsip obat hewan, haruslah dikenal kaidah aman terhadap hewan itu sendiri dan juga aman untuk manusia. Selain itu, haruslah aman juga bagi lingkungan. 

“Itu kaidah baku dan harus ditaati oleh para produsen obat hewan. Sehingga dari kaidah itu, sudah jelas sekali bahwa obat hewan itu tak hanya aman untuk hewan saat posisinya sebagai zat penyembuh. Namun mutlak harus aman juga bagi manusia, bahkan lebih jauh lagi harus tidak mencemari dan merusak lingkungan. Dari hal ini, aspek mana lagi yang membuka ruang adanya pernyataan miring akan kandungan residu obat dalam daging dan telur ayam?” jelas Abadi sekaligus bertanya kepada hadirin.

Dalam tataran ideal, sudah dibuat aturan level yang tertinggi berupa UU No. 18/2009 juga Peraturan Menteri dan bahkan aturan teknis Pelaksanaan dari Organisasi yang berupa CPOHB. Menjadi lain masalahnya, jika dalam tataran implementasinya di lapangan ada pelanggaran dan penyelewengan. Maka sudah pasti pelanggaran itu akan berhadapan dengan sanksi dan hukum yang jelas.

Abadi juga menceritakan adanya tuduhan “ngawur” bahwa resistensi bakteri terhadap antibiotika pada manusia itu berasal dari dunia kedokteran hewan. Padahal, menurut Abadi, antibiotika yang digunakan pada hewan sangat berbeda dengan yang digunakan pada manusia. Juga tentang informasi keliru  penggunaan hormon pemacu pertumbuhan pada ternak, padahal harga hormon itu amatlah mahal dan secara ekonomis jelas akan merugikan peternak. Sehingga informasi itu jela salah dan pantas untuk diluruskan kembali.

Akhirnya Abadi mengaharapkan adanya saling tukar informasi dalam sebuah forum Workshop seperti ini akan membawa banyak manfaat dan tidak saling merugikan. (iyo)

* Infovet edisi November 2013

HEAT STRESS SAPI PERAH DAN CARA MENGATASINYA

Oleh: Drh. Joko Susilo

Heat stress pada sapi terjadi ketika  beban panas tubuh melebihi kemampuan sapi untuk mengeliminasi panas tersebut. Indikasi pertama terjadinya heat stress, meningkatnya frekuensi nafas secara signifikan melebihi 80 kali/ menit. Akibat dari heat stress adalah meningkatnya frekuensi nafas, naiknya suhu tubuh,  keluar air keringat,  dan nafsu untuk air minum meningkat. Heat stress menyebabkan penurunan aliran darah ke seluruh tubuh, turunnya nafsu makan (feed intake), produksi susu turun, aktivitas sapi berkurang, dan perfoma reproduksi menurun. Parameter yang bisa digunakan untuk melihat kejadian heat stress; frekuensi nafas melebihi 80 kali/ menit, suhu tubuh meningkat diatas 39,2 °C, menurunnya produksi susu sampai dengan 10%, dan menurunya asupan bahan kering (dry matter intake). 

Heat loss merupakan  mekanisme keluarnya panas dari dalam tubuh , dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan suhu tubuh sapi yang disebabkan aktifitas semua organ dalam tubuh.  Ada 3 cara pelepasan panas  yaitu produksi panas karena metabolisme tubuh, keluarnya panas secara wajar (sensible) dan keluarnya panas secara latent. Produksi panas akan meningkat jika kapasitas produksi/metabolisme meningkat. Pada kondisi lingkungan panas, sapi akan mengurangi  produksi panas dari metabolisme dengan pakan rendah serat. Sensible heat loss terjadi jika panas tubuh lebih tinggi dari suhu lingkungan, panas tubuh akan keluar dengan cara radiasi, konveksi dan konduksi. Hal ini tergantung pada suhu lingkungan, luas permukaan tubuh sapi, jaringan tubuh dan resistensi terhadap udara. Latent heat loss, terjadi keluarnya keringat dari kulit atau menguapnya (evaporasi) panas dari hidung. 

Beberapa prinsip untuk mengurangi  heat stress, secara genetik sapi Friesen Holstein lebih cocok di daerah dingin, dan kurang bisa optimal produksi susu di daerah panas. Ketersediaan air  cukup ditempat yang sesuai, dingin dan bersih. Jarak kandang ke tempat pemerahan yang tidak terlalu jauh (mengurangi  jarak tempuh). Memberikan atap atau naungan pada kandang atau ditengah kandang seperti  (housing area dan holding pen). Di tempat pemerahan  (Milking center), diharapkan sapi tidak mengantri untuk diperah terlalu lama, tersedia ventilasi yang cukup, tersedia pendingin di holding pen dan pada jalan keluarnya sapi. Untuk kandang freestall harus disediakan ventilasi cukup dan pendingin. 

Ada beberapa metode untuk meng­hindari heat stress dan lingkungan kandangnya:
1.    Menyiasati pakan, feed additif, dan obat
2.    Mengusahakan atap agar tetap dingin
3.    Pembuatan saluran ventilasi
4.    Melalui pipa bawah tanah (under ground pipe)
5.    Menyediakan kolam untuk berendam
6.    Exit lane sprinklers
7.    Kandang dengan ventilasi yang baik
8.    Cooling fan
9.    Sprinkler kombinasi dengan fan cooling

Selengkapnya mengenai pembahasan diatas, silahkan baca majalah Infovet edisi 232 - November 2013

  

Gangguan Metabolik Dominasi Masalah Kesehatan pada Sapi

Semakin bersemangatnya para peternak sapi skala rakyat de­ngan menambah populasi, tidak terlepas dari membaiknya kondisi harga jual sapi potong di pasar pada awal tahun 2013 ini. Hal itu secara langsung telah semakin menggairahkan dunia peternakan Indonesia. Dinamika pembanguan peternakan  rakyat, memang begitu terasa sekali tergambar di masyarakat akar rumput.

Ketika pasokan daging impor berlebih dan masuknya sapi bakalan dari luar negeri, maka secara langsung telah membuat peternak skala rakyat frustasi. Begitu keluar kebijakan untuk menutup atau mengurangi kran impor daging serta sapi bakalan, maka bagi peternak skala rakyat, seolah dunia semakin ceria dan cerah.  Seperti yang terjadi saat ini

Kali ini, seolah angin, memang sedang bertiup me­ngarah ke rakyat. Gairah dan animo peternak untuk memelihara dalam jumlah yang lebih dari biasanya. Meskipun sebenarnya, pada saat ini harga bibit sapi bakalan sudah termasuk sangat tinggi, namun justru pasar ternak sapi begitu bergairah dan ramai. Semoga saja, dalam waktu dekat atau setidaknya kurun waktu 5 tahun ke depan, pemerintah tetap konsisten untuk mengontrol de­ngan ketat volume impor daging sapi  dan sapi bakalan. Sebab jika ada perubahana kebijakan dan kemudian impor daging dibuka secara berlebih maka tentu saja akan membuat peternak sapi skala rakyat akan kembali terlukai dan mungkin patah arang untuk beternak lagi.
 
Konsekuensi dari semangat besar para peternak skala rakyat, maka nampak jelas dengan kebutuhan akan konsentrat dan bekatul di warung sapronak. Permintaan yang meningkat dari pakan jenis itu erat terkait dengan asumsi para peternak, bahwa untuk menggenjot pertumbuhan sapi  dan cepat panen, konsentrat dan bekatul adalah kuncinya.
 
Itulah hasil pengamatan Drh Yusuf Arrofik seorang praktisi Kesehatan Hewan Ternak dan Suradi seorang peternak sapi.
 
Meskipun asumsi itu tidak benar secara keseluruhan, namun juga tidak salah. Hanya kurang tepat memaknai­nya. Menurut Yusuf, akibat dari asumsi itu telah membawa dampak yang kurang baik di dalam aplikasi di lapangan. Orientasi peternak yang menggebu untuk menghasilkan sapi cepat gede dan kurang mendapatkan informasi yang benar secara keilmuan, akhirnya kemudian banyak dijumpai muncul gangguan kesehatan yang justru bukan dengan penyebab agen infeksius (virus, bakteri, jamur dan parasit) akan tetapi justru karena malnutrisi.
 
Malnutrisi alias salah ransum sehingga berakibat buruk terhadap ternaknya, bukan saja oleh karena aspek kekurangan pakan saja, namun  kini justru pengertian malnutris bergeser kearah salah memberikan ransum yang benar. Dalam konteks ini volume pakan justru tersedia berlebih hanya salah dalam memberikan proporsinya.
 
Suradi pun mengakui, bahwa akibat salah menerima informasi, para peternak kemudian lebih mengutamakan pemberian konsentrat dan menihilkan pemberian jerami apalagi hijauan. Namun dirinya sudah melalui fase itu, dan sudah tidak lagi bernafsu dengan jalan yang keliru. Beberapa tahun yang lalu, memang ia juga melakukan hal yang sama yaitu memberikan secara berlebih konsentrat ataupun bekatul. Namun terbukti justru telah membuatnya menanggung kerugian besar. Sapinya bukan menjadi cepat gede, namun sapi ambruk oleh karena susah defekasi bahkan ada sapinya yang kolik sehingga berujung dengan kematian.
 
Aplikasi informasi yang salah itu, kini kembali terjadi ketika para peternak begitu bergairah sekali untuk segera secara cepat mendapatkan keuntungan. Terutama dari selisih harga beli dan harga jual dalam tempo yang semakin singkat.
 
Menurut Yusuf pola pikir itu sudah benar. Bahwa sebaiknya waktu memelihara sesingkat mungkin, dengan hasil sapi cepat gede. Dan menurut  pemahaman  peternak cara tempuh agar sapi cepat gede adalah diberikan ransum konsentrat saja. Sebab metoda itu dianggap  yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah.
 
Pola pikir peternak yang sudah benar itu dan hanya caranya yang keliru, akhrinya justru berbuah sapinya mengalami gangguan kesehatan yang berupa gangguan metabolis yang bersifat akut. Untuk mengatasi masalah itu bukanlah perkara yang mudah, oleh karena wajar jika kemudian selalu berakhir dengan kematian yang didahului dengan sapi ambruk.
 
Suradi juga mengakui kasus kematian pada sapi miliknya saat mengaplikasikan pemberian pakan yang keliru, kala itu. umumnya selalu didahului dengan kesulitan defekasi, sapi gelisah yang sangat tanpa mau makan, hanya minum terus menerus, sampai akhirnya perutnya membuncit, kembung dan ambruk . Dan akhirnya mati secara cepat.
 
Setelah mendapatkan informasi akan penyebab kematian dari seorang Dokter Hewan akhirnya Suradi tidak lagi melakukan langkah keliru ransum. Menurutnya, sapi itu menu dasarnya rumput, maka tidak bisa dihilangkan begitu saja, menu rumputnya. Sedang­kan menurut Yusuf, bisa saja sapi tidak diberikan menu rumput, namun harus dengan latihan yang lama dan pakan penggantinya haruslah juga berupa daun daunan. “Hijauan rumput atau jerami dapat ditiadakan namun harus ada pakan substitusi, dan selain itu sebaiknya memang konsentrat untuk penguat dan pemacu pertumbuhan.”
 
Problema gangguan metabolis pada sapi, ternyata menurut Yusuf juga mendominasi gangguan kesehatan pada sapi perah. Hal ini terkait dengan menu pakan sapi perah yang mana peternak juga cenderung memberikan porsi berlebih pada konsentrat dan mengurangi hijauan rumputnya.
 
Selanjutnya menurut Yusuf, dalam mengatasi masalah gangguan metabolis yang selalu bersifat  akut itu, ada beberapa upaya dan langkah. Pertama yang paling utama adalah merombak ransum menu yang keliru. Kedua, mengatur jadwal pemberian konsentrat secara benar dengan pemberian hijauan rumput atau jeraminya. Terutama proporsi antar hijauan rumput dan jerami dengan konsentrat. Ketiga, adalah melakukan tindakan injeksi preparat yang membantu memacu secara cepat proses metabolis di dalam lambung/rumen sapi. Keempat, membantu proses defekasi melalui pemberian suppositoria di dalam rectum dan anus. Kelima, oleh karena gangguannya bersifat akut, maak injeksi preparat penguat tubuh menajdi suatu keharusan agar sapi tidak lemas dan berakhir dengan kematian. (iyo)

Potensi Pemanfaatan Obat Herbal untuk Hewan di Indonesia

Diasuh oleh : Drh. Abadi Soetisna MSi.

Di dunia terdapat 40 ribu spesies tanaman, dan sekitar 30 ribu spesies berada di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 9.600 di antaranya terbukti memiliki khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 400 spesies dimanfaatkan sebagai obat tradisional.

Data WHO tahun 2005 menyebutkan, sebanyak 75-80 persen penduduk dunia pernah menggunakan herbal. Di Indonesia, penggunaan herbal untuk pengobatan dan obat tradisional sudah dilakukan sejak lama. Ini diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi dan juga tertulis pada daun lontar dan kepustakaan keraton.

Minat masyarakat dalam menggunakan herbal terus meningkat berdasarkan konsep back to nature (kembali ke alam). Ini dibuktikan dengan meningkatnya pasar obat alami Indonesia. Pada 2003 pasar obat herbal sekitar Rp 2,5 triliun, pada 2005 sebesar Rp 4 triliun, dan pada 2010 diperkirakan mencapai Rp 8 triliun.

Dari pengertiannya obat herbal adalah obat yang zat aktifnya dari tanaman (daun, batang, akar, kayu, buah, ataupun kulit kayu). Obat herbal terkadang juga sering disebut sebagai jamu. Bagaimana dengan pemanfaatan obat herbal di industri kesehatan hewan Indonesia.

Peluang ini sangat terbuka lebar karena diketahui 60% bahan baku obat hewan Indonesia semua dipenuhi dari impor. Pertanyaannya kenapa tidak diambil dari alam Indonesia saja yang melimpah? Karena asumsi pemanfaatan obat herbal dari sektor perunggasan Indonesia tahun 2013 saja sudah sangat besar. Contohnya populasi ayam breeder yang diperkirakan mencapai 20,8 juta ekor, broiler 2,2 milyar ekor, layer 114,7 juta ekor, dan layer jantan yang mencapai 80,3 juta ekor.

Dari Tabel diatas diketahui jika penggunaan obat herbal sudah mencapai ± 5% saja, maka sedikitinya terdapat potensi pasar penggunaan herbal sebesar (5% x Rp. 3.293.395.250.000) = Rp. 164.669.762.500.
Kemudian untuk pemanfaatan bahan herbal ini kita juga harus tahu faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan untuk penggunaan dan pemasaran obat herbal untuk hewan. Seperti misalnya Penggelompokan Obat Hewan golongan Farmasetika, Biologik, Premix, atau Obat Alami. Serta tujuan penggunaan obat apakah untuk pencegahan penyakit, pengobatan penyakit, pemacu pertumbuhan, atau kosmetika.

Dari sisi regulasi Kementerian Pertanian telah mengatur pembuatan – penyediaan – peredaran obat untuk hewan? Dan tentu saja ini juga berlaku untuk obat herbal yang diperuntukkan untuk hewan yaitu harus aman bagi hewan, manusia dan lingkungan. Kemudian obat tersebut harus memiliki khasiat/efikasi sesuai tujuan pengobatan dan berkualitas dengan standar mutu yang sesuai dengan persyaratan Pemerintah     lolos uji di Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH).

Peraturan lain juga harus mengatur bahwa berapa jenis herbal/tanaman yang boleh digunakan dalam satu sediaan obat herbal. Misalnya, paling banyak 10 jenis tanaman. Alasannya, dikarenakan proses pengujiannya susah, lama, tidak mudah, dan tidak murah.

Perlu ditelaah pula bagaimana kemungkinan terjadinya “Drug Interaction” dari setiap jenis tanaman obat. Apakah sinergis, adisi, potensiasi, atau antagonis. Kemudian standarisasi ukuran/dosis yang digunakan. Misalnya, ukuran “segenggam” harus distandarkan dengan disebutkan satuan-satuannya, misal (berat = gram, volume = ml). Dan terakhir standarisasi dosis untuk berapa banyak, berapa lama, berapa kali penggunaan dalam sehari.

Sehingga muncul pertanyaan apakah obat herbal (alami) boleh dicampur dengan obat kimia (farmasetik)? Jawabannya tidak boleh, jangan sampai “membingungkan” khasiat penggunaannya, apakah obat hewan itu yang berkhasiat obat herbalnya atau obat kimianya.

Karena regulasi belum ada dari PDHI (Perhimpunan Dokter Hewan Indoensia) tentang penggunaan obat herbal untuk diresepkan oleh Drh? Jangan sampai Drh. yang membuat resep herbal dituduh melakukan malpraktik. Oleh karenanya diperlukan pendidikan dan pelatihan yang menyeluruh tentang penggunaan obat herbal bagi Drh.

Sehingga tak salah jika masih ada pihak-pihak yang meragukan khasiat penggunaan obat herbal. Sebagai contoh adalah proses pengumpulan ekstrak, yakni tanaman segar dijemur di bawah matahari, pengolahan, dan penyimpanan yang menyebabkan potensi dan keamanan berbeda. Atau, karena tidak ada standar khusus untuk peresepan obat herbal, serta sulit untuk memastikan dosis yang sesuai.

Selain itu belum banyak informasi khasiat dan keamanan yang melalui uji klinis, belum ada kompetensi pada dokter hewan, kurangnya perlindungan masyarakat terhadap efek plasebo iklan obat hewan berbahan alam, belum terhimpunnya data mengenai obat bahan alam Indonesia berdasarkan pada evidence based, kurangnya koordinasi antarinstitusi dalam penelitian obat bahan alam Indonesia, serta belum ada organisasi profesi kedokteran hewan yang khusus mendalami herbal Indonesia.

Selama ini penggunaan obat herbal untuk hewan hanya berdasarkan pengalaman empiris. Seharusnya sudah dapat diketahui dengan pasti, misalnya setelah penelitian secara menyeluruh mengenai suatu jenis tanaman yang dapat dipakai sebagai antidiare. Contoh : Daun Jambu – karena mengandung tanin, Kunyit – karena mengandung curcumin, Cengkeh – karena mengandung eugenol. Kedepan diperlukan proses standarisasi dari obat herbal tersebut.   

Faktor sosialisasi, selain faktor ilmiah yang sudah disebutkan tadi, perlu juga disosialisasikan ke masyarakat mengenai “kehebatan” dari obat herbal tersebut. Namun juga patut ditelaah secara berimbang betulkah obat herbal lebih aman daripada obat kimia? Yang penting jangan memberi informasi yang berlebihan kepada konsumen.

Faktor pemerintah, sejauh mana dukungan pemerintah terhadap obat herbal. Sampai saat ini obat herbal yang sudah didaftarkan di Kementerian Pertanian – lebih banyak daripada produksi obat herbal di Indonesia. Pemerintah perlu menyiasati agar obat herbal di Indonesia tidak terkalahkan oleh obat hewan impor.

Yang tidak kalah penting adalah “berapa banyak” keuntungan yang didapat bila kita unggul obat herbal untuk obat hewan. Misalnya seberapa besar keuntungan bagi para pengusaha pabrik obat; seberapa besar keuntungan bagi para peternak; seberapa besar pendapatan devisa negara; seberapa besar keuntungan bagi para tenaga kerja. Jangan lupa faktor harga, obat alami harus lebih murah dari obat kimia.

Setelah semua faktor disebutkan, dan secara signifikan obat herbal itu lebih baik dan lebih aman daripada obat kimia (farmasetik), maka kegiatan ini harus di sosialisasikan kepada masyarakat. “Jangan sampai ada dusta diantara kita” dan “Jangan Galau, karena masa depan obat herbal Kemilau”.  ***

Seberapa Pentingkah Vaksinasi Pada Ikan?

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus adalah penyebab penyakit yang paling merugikan bagi para petani ikan. Oleh sebab itu, pengendalian penyakit bakterial dan virus merupakan usaha yang harus dilakukan. Vaksinasi merupakan satu langkah penting untuk diambil.
 
Menurut Dr Ir Murwantoko, MSi, staf pengajar Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan UGM, dalam prakteknya vaksinasi ikan memang masih dianggap hal yang baru. “Penyebaran informasi mengenai vaksinasi belum merata,” ungkapnya. “Pada beberapa kelompok petani, mereka aktif menggali pengetahuan tentang vaksin dan di mana bisa memperolehnya. Selain itu, terdapat kelompok pembenih ikan yang siap menghasilkan benih ikan tervaksin,” urai pria kelahiran Sleman ini.
 
Keuntungan yang dirasakan dengan memanfaatkan vaksinasi diantaranya aman, ramah lingkungan, dan memberi perlindungan lama. Aman, karena bahan vaksin merupakan racun yang membahayakan ikan. “Jika terjadi kesalahan dalam pemberian dosis misalnya terlalu banyak, juga tidak menyebabkan gangguan fisiologis pada ikan,” katanya.
 
Bahan vaksin juga ramah terhadap lingkungan dan manusia serta tidak meninggalkan residu berbahaya. Vaksinasi juga menjanjikan waktu perlindungan yang lebih lama, sekitar 2 hingga 3 bulan.
 
Metode pemberian vaksin yang umum dilakukan yaitu melalui suntikan, rendaman, lewat oral, maupun pakan. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan jka ditinjau dari efektivitas vaksin serta teknik pemberiannya. Cara suntikan memberikan efektifitas vaksinasi yang paling baik, tetapi untuk melakukan cara ini diperlukan keterampilan dan jumlah tenaga kerja yang banyak. Sedangkan, metode secara oral mudah dilakukan, namun tingkat efektifitasnya kecil.
 
“Vaksin itu ada yang berupa sel utuh, komponen sel, atau protein. Seberapa jumlah vaksin yang dibutuhkan untuk tiap ekor ikannya sangat tergantung dari jenis vaksin, cara pemberian, dan ukuran ikan.” Dr Murwantoko juga menjelaskan penentuan banyaknya vaksin yang diperlukan ini didasarkan pada hasil penelitian. Umumnya untuk dilakukan secara suntikan sebanyak 107 sel per ikan. Sementara untuk rendaman dilakukan pada konsentrasi 108 sel/ml. Untuk protein sub unit dilakukan pada dosis 25 μg per ikan.
 
Sosialisasi vaksinasi pada ikan harus menjadi sebuah kebijakan, bukan hanya di pemerintah pusat tapi juga dinas yang ada di daerah. Dinas-dinas di daerah perlu menyampaikan informasi pentingnya vaksinasi kepada para penyuluh atau kelompok petani.
 
Sementara secara teknis, bisa meminta kepada para pakar penyakit ikan baik yang ada di perguruan tinggi maupun di UPT Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selanjutnya yang harus dipersiapakan adalah infrastruktur berupa vaksinator. Keberhasilan vaksinasi sangat ditentukan oleh tenaga yang melakukan vaksinasi. Para tenaga vaksinator ini nantinya diharapkan bisa melayani serta mendampingi petani ikan saat melakukan vaksinasi.
 
Hasil pengujian yang dilakukan Dr Murwantoko bersama rekannya menunjukkan vaksinasi mmberikan perlindungan yang nyata. Ikan yang telah divaksin kemudian diinfeksi dengan penyakit memberikan tingkat kehidupan ikan yang lebih tinggi. Uji di lapangan juga memperlihatkan ikan yang divaksin sanggup bertahan terhadap infeksi alami yang terjadi di lingkungan budidaya. Secara umum pemberian vaksinasi dapat memberi kelulushidupan sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin.
 
Vaksin-vaksin yang sudah ada selama ini baru sebatas produk uji coba yang sebagian besar diproduksi oleh laboratorium. Idealnya, ke depan vaksin akan diproduksi secara industri dan ada ketentuan harga yang pasti. Jadi, harga produk vaksin saat ini belum bisa dijadikan dasar perhitungan riil biaya yang dibutuhkan petani.
 
Masalah teknis vaksinasi juga berpengaruh pada komponen harga. “Seperti sudah saya sampaikan sebelumnya bahwa cara vaksinasi berpengaruh kepada efektivitas vaksin. Semakin efektif teknisnya, semakin sedikit jumlah vaksin yang diperlukan dan otomatis semakin kecil biaya komponen vaksin,” ujar doktor lulusan Nara Institute of Science and Technology, Jepang itu kepada Infovet dalam wawancara tertulisanya.
 
Produsen vaksin masih menemui kendala dalam mengembangkan vaksin di Indonesia. Pertama, terkait dengan pengembangan dan desain vaksin. Dalam hal ini, yang diperlukan adalah penelitian-peneltian untuk mencari sumber vaksin baru, peningkatan efektivitas vaksin, dan lain-lain. Untuk segmen ini bisa dilakukan oleh perguruan tinggi maupun institusi penelitian.
 
Produksi vaksin dalam hal ini  lebih banyak untuk uji coba dan prototype produksi. Setelah dari segmen tersebut idealnya vaksin diproduksi secara industri untuk produksi dalam skala missal. Supaya bisa diproduksi dan dipasarkan, perlu memperoleh ijin sebagai obat. Pengajuan ijin produksi obat harus dilakukan oleh produsen. Hal tersebut adalah prosedur yang lazim di manapun. Sehingga bukan hambatan, yang lebih tepat adalah bagaimana kerjasama dan sinergisitas antara para kelompok peneliti dengan industri harus lebih ditingkatkan. (nung)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer