Antimicrobial Resistance (AMR) atau resistensi
antimikroba muncul oleh karena penggunaan zat antibiotik yang tidak bijak.
Isunya menjadi hangat dibicarakan di Indonesia selama 2017 karena mengancam kesehatan
manusia, hewan dan ketahanan pangan, apalagi di awal 2018 mendatang Indonesia
telah resmi membatasi penggunaan antibiotik. Hal ini yang menjadi perhatian
pemerintah untuk terus aktif meningkatkan kepedulian masyarakat lewat “Pekan
Kesadaran Antibiotik Dunia”
AMR Ancaman Bagi Keamanan dan Ketahanan Pangan
Meningkatkan kesadaran dan
kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba, terus diupayakan
oleh Pemerintah lewat Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
(Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), dengan mengadakan “Pekan
Kesadaran Antibiotik Dunia”, yang diselenggarakan setiap 13-19 November 2017.
“Kegiatan ini merupakan
kampanye global peduli penggunaan antibiotik sebagai salah satu wadah untuk
meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat mengenai ancaman resistensi
antimikroba/AMR,” ujar Dirjen PKH, Drh I Ketut Diarmita saat acara Media Briefing, Rabu, (8/11), di Kantor Kementan.
Menurutnya, antimikroba
merupakan salah satu temuan penting bagi dunia, mengingat manfaatnya, terutama
untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan kesejahteraan hewan. Kendati
begitu, kata dia, antibiotik juga menjadi “pisau bermata dua”, jika digunakan secara
tidak bijak dan tidak rasional, justru menjadi pemicu kemunculan bakteri yang
kebal terhadap antibiotik (AMR).
Saat ini AMR sendiri telah
menjadi ancaman yang tak mengenal batas geografis dan memberikan dampak yang
merugikan. “Untuk itu, harus kita sadari bahwa ancaman resistensi antimikroba
merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan ketahanan pangan, khususnya bagi
pembangunan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,” katanya.
Berdasarkan laporan di berbagai
negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade
terakhir, namun di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik
berjalan lambat. “Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat tidak
melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi, maka AMR diprediksi akan
menjadi pembunuh nomor satu didunia pada tahun 2050 mendatang, dengan tingkat
kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun, dan kematian tertinggi terjadi di
kawasan Asia,” ucapnya.
Ia berpendapat, bahaya
resistensi antimikroba erat kaitannya dengan perilaku pencegahan dan
pengobatan, serta sistem keamanan produksi pangan dan lingkungan. Karena itu,
diperlukan pendekatan “One Health”
yang melibatkan berbagai sektor. Pihaknya pun telah bekerjasama dengan
Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kelautan dan
Perikanan, serta Kementerian Pertahanan, dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional
penanggulangan AMR. “Ini bagian dari upaya pemerintah untuk mengatasi
kompleksitas dalam mengendalikan masalah resistensi antimikroba dengan
pendekatan One Health,” terang dia. (CR/RBS)
Selengkapnya baca di Majalah Infovet
Edisi 281 Desember 2017.