Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini PROBLEMATIKA PETERNAKAN LAYER DI INDONESIA | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

PROBLEMATIKA PETERNAKAN LAYER DI INDONESIA

Ternak ayam petelur. (Foto: Istimewa)

Peternakan layer atau ayam petelur yang tersebar hampir di semua pulau di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan peternakan rakyat. Ternak layer merupakan bagian dari industri perunggasan bersama breeder, broiler, bebek dan puyuh. Karenanya peternakan layer pun tak lepas dari imbas problematika industri perunggasan di Indonesia.

Hal itu disampaikan oleh Konsultan Marketing PT Cheil Jedang Super Feed, Ir Adi Widyatmoko, yang membawakan tema “Himpitan Peternakan (Layer) Rakyat Di Antara Problematik Industri Perunggasan Indonesia”, pada webinar Selayang Pandang Industri Perunggasan di Indonesia yang diselenggarakan Fakultas Peternakan UGM pada September lalu. Adi membahas satu-per-satu permasalahan peternakan layer di Indonesia.

Populasi Menurun, Impor Jagung vs Impor Gandum
Data estimasi populasi layer pada 2016 sekitar 150 juta, kemudian turun pada 2018 menjadi sekitar 135 juta. Penurunan tersebut karena berbagai faktor, diantaranya akibat kerugian sepanjang 2012-2015 karena harga telur anjlok.

Faktor lain yaitu pada Oktober 2015 pemerintah mendadak menghentikan impor jagung sehingga harganya di 2016 melambung dari Rp 3.300 menjadi Rp 6.500 bahkan mencapai Rp 7.000. Ditambah lagi pada Oktober tidak ada (sedikit) panen jagung. Akibatnya banyak peternak bangkrut, sehingga otomatis populasi menurun.

Saat itu pemerintah mengharapkan swasembada jagung, padahal tidak mungkin karena lahannya tidak bertambah. Jika dipaksakan swasembada jagung bisa menyebabkan tidak bisa swasembada beras, karena lahan padi digunakan untuk menanam jagung.

Pola produksi jagung di Indonesia 65% diproduksi pada Februari-Maret, 25% pada Juni-Juli dan 10% pada September-November. Jadi jika di bulan Oktober impor dihentikan, berakibat jagung tidak ada di pasaran. Penghentian impor jagung sendiri ternyata diikuti terjadinya lonjakan impor gandum pada 2016. Impor tersebut digunakan sebagai pakan.

Pemerintah sebetulnya melarang penggunaan gandum untuk pakan. Sehingga ketika terpepet, timbul permintaan izin untuk membeli gandum yang dibeli dari industri makanan. Harga gandum lebih mahal, waktu itu jagung impor harganya sekitar Rp 2.900 dan gandum sekitar Rp 3.400, namun karena dibeli dari industri makanan harganya jadi mendekati Rp 5.000. Tentunya itu menyebabkan harga pakan menjadi tinggi dan lagi-lagi yang menanggung adalah peternak.

Ketika panen raya jagung juga sering terjadi jatuh harganya, karena banyak pabrikan yang mengimpor jagung sebelum panen raya yang memang bertujuan untuk menekan harga jagung. Pemerintah semestinya memahami hal ini dan melarang impor jagung ketika menjelang panen.

Meski banyak peternak yang bangkrut, namun tumbuh lagi peternak-peternak baru yang umumnya adalah peternak kecil. Adi mengatakan, ”Untuk 2020 saya belum melakukan survei, tapi estimasi saya populasi akan menjadi 143 juta,” ungkapnya.

Harga Telur Naik-Turun
Harga telur biasanya pada Februari-Maret akan turun. Lalu akan naik pada Mei-Juli karena ada momen yang memicu kenaikan harga seperti lebaran dan libur sekolah. Tetapi setelah masuk bulan Muharam dan Safar biasanya harga akan jatuh dan akan naik lagi di November dan Desember.

Awal Mei 2020 ini harga telur sempat jatuh sampai Rp 15.000 bahkan di beberapa tempat mencapai Rp 13.000. Hal ini disebabkan jatuhnya harga ayam sehingga terjadi penjualan hatching egg oleh breeding. Telur tetas yang seharusnya tidak boleh dijual, ternyata dijual di pasar dengan harga Rp 8.000-9.000, sehingga menyeret harga telur lokal. Sedangkan seharusnya sesuai pola dalam kondisi normal harga telur mestinya naik di bulan Mei.

Februari-Maret 2020 harga telur cukup tinggi. Hal ini karena banyak kasus penyakit seperti Avian Influenza (AI) dan Newcastle Disease (ND). AI ada bermacam jenis diantaranya ada yang menyebabkan kematian dan ada yang menyebabkan penurunan produksi. Penyusutan produksi ini mencapai 20-30% dan tidak bisa kembali normal, maksimal hanya kembali 60-70% produksi. Akibatnya suplai telur berkurang dan harga naik cukup tinggi.

Rice Bran, Culling Bird dan DOC
Rice bran (bekatul) mencapai harga termurahnya pada April-Agustus. Jadi dalam setahun selama lima bulan peternak mendapatkan harga yang murah, namun bulan-bulan lainnya harga menjadi cukup tinggi. Saat harga tinggi ini biasanya banyak terjadi pemalsuan (pencampuran) rice bran yang merugikan peternak.

Dalam struktur keuntungan farm layer penjualan culling bird (ayam afkir) cukup membantu. Bahkan jika ayam afkir tidak bisa terjual dengan harga yang bagus, maka keuntungan peternak akan sangat tipis. Secara bisnis memang keuntungan layer tipis, peternak akan mendapatkan untung yang lumayan ketika harga afkir cukup tinggi. Harga ayam afkir tinggi biasanya saat Juli-Agustus karena momen puasa, lebaran dan libur sekolah. Lalu harga kembali turun mulai Oktober dan titik terendahnya terjadi di Februari.

Sementara itu harga DOC layer dalam tiga tahun terakhir ini mengalami kenaikan yang cukup fantastis dan sangat memberatkan peternak. Ditambah lagi untuk mendapatkan DOC sulit sekali, karena beberapa pabrikan memelihara DOC sendiri dan baru dijual dalam bentuk pullet. Hal itu juga menyebabkan DOC yang ada dijual dengan harga tinggi.

Profitability di 2020
Profitability peternak untuk tahun ini cukup bagus jika pemeliharaannya normal. Namun realitanya banyak kasus penyakit dan dua tahun terakhir mortalitas cukup tinggi, sehingga memberatkan peternak dan menurunkan keuntungan yang seharusnya didapatkan.

Setelah mengalami kerugian yang cukup panjang sejak 2012-2017, dalam tiga tahun terakhir ini mulai pulih dan mendapatkan keuntungan meskipun keuntungan itu belum layak.

Terpukul Policy Pemerintah
Yang paling memukul peternak adalah policy pemerintah seperti pemberhentian impor jagung dan pelarangan AGP (Antibiotic Growth Promoter). Entah karena efek AGP atau iklim belum bisa disimpulkan. Namun sejak dilarangnya AGP, mortalitas menjadi tinggi sekitar 20-30%.

Performa turun dan terjadi Necrotic Enteritis (NE), Dysbacteriosis (penyakit yang disebabkan oleh bakteri), wet litter dan biaya produksi naik. Untuk mengganti AGP membutuhkan biaya mahal. “Saya pernah menghitung, kalau itu di dalam konsentrat bisa menambah cost sekitar Rp 200/kilogram complete feed,” kata Adi.

Satu cage yang biasanya berisi 3-4 ekor ayam, peternak mengubahnya menjadi hanya 1-2 ekor untuk menekan kematian. Namun sekarang ini meski satu cage hanya diisi satu ekor ayam, angka kematian yang terjadi masih cukup besar.

Kemudian pemerintah mengizinkan company untuk budi daya layer komersial meski masih dibatasi maksimal 2%. Selama ini layer adalah peternakan rakyat, pemberian ruang pada perusahaan dikhawatirkan akan menjadi awal habisnya peternakan rakyat. Sebagaimana ayam broiler dimana peternakan rakyatnya sekarang sudah hampir punah.

NPP dan SNI
Dua tahun terakhir ini NPP (Nomor Pendaftaran Pakan) menyulitkan industri feedmill. Registrasi pakan normalnya memakan waktu tiga bulan, tapi kenyataannya bisa butuh waktu sampai lima bulan baru selesai.

Selain itu, SNI (Standar Nasional Indonesia) juga menyulitkan karena inovasi pakan juga menjadi sulit. Misalnya pembuatan pakan yang menyesuaikan kondisi peternak. Contoh pembuatan pakan konsentrat ditambah katul, sehingga peternak hanya menambah jagung saja. Atau konsentrat ditambah jagung sehingga peternak tinggal menambah katul saja.

Contoh lain adalah jika di suatu daerah banyak limestone makan pakan yang dibuat, dibuang kandungan limestone-nya agar peternak bisa menambahkan sendiri. Ketika betul-betul tidak ada jagung maka dibuat corn homolog, terbuat dari bahan-bahan baku yang ada tetapi nutrisinya mendekati jagung.

Tetapi sekarang dengan adanya peraturan pemerintah, pembuatan pakan seperti itu sudah tidak bisa dilakukan karena tidak ada SNI-nya. Yang dibuat SNI adalah konsentrat, bukan complete feed, sedangkan konsentrat adalah bahan pelengkap maka semestinya harus lebih luwes.

Adi menceritakan, “Waktu di Payakumbuh mengambil pakannya dari Medan, saya lihat transportasinya mahal sekali kalau tidak salah Rp 700. Sehingga konsentrat yang ada saya lepas limestone-nya. Tapi sekarang ini jadi tidak bisa karena ketika didaftarkan menurut SNI tidak masuk karena tidak ada limestone-nya. Padahal limestone nanti kita tambahkan dari lokasi setempat.”

Corn homolog pun tidak ada SNI-nya, dia tidak termasuk konsentrat karena sumber energi, jadi belum ada ketentuannya.“Hal-hal seperti inilah yang membuat kita kesulitan membantu peternak sehingga cost menjadi mahal,” sambung Adi.

Potential Loss Akibat Kualitas Telur
Permasalahan juga dijumpai terkait kualitas telur seperti telur yang pecah, berkulit putih, telur yang jatuh ke bawah kandang dan lain sebagainya.


Perubahan Strategi Supplier
Kebijakan yang diambil supplier juga mempengaruhi peternak. Misalnya jika terjadi perubahan di raw material yang setiap saat bisa terjadi, feedmill akan berusaha memformulasikan dan efeknya biasanya pada farm.

Premix consultant yang memberikan masukan pada feedmill juga mempunyai pengaruh. “Saya melihat ada premix yang dipakai oleh banyak feedmill, ketika efeknya keliru, ini ke peternak dengan performa yang tidak bagus,” ungkap Adi.

Peternak biasanya memakai beberapa pakan dan suka membandingkan antara satu dengan yang lain. “Ketika dibandingkan ternyata performanya tidak bagus semua, mereka bisa berpikir kesalahan ada di pemeliharaan. Padahal itu bisa jadi karena feedmill mendapat advice yang tidak bagus,” ucapnya.

Peternak Layer Perlu Dilindungi
Jadi seolah-olah selama ini peternak layer dihimpit masalah dari segala arah. Mulai dari obat, DOC, pakan, hingga harga jual. Diantara supply chain industri layer adalah peternak yang paling tidak diuntungkan.

Maka peternak layer perlu dilindungi dan butuh regulasi dari pemerintah. Karena kalau tidak ada perlindungan, perusahaan bisa dengan mudahnya membuat kebijakan-kebijakan yang tentunya menguntungkan mereka.

Namun bagaimanapun ada perbaikan signifikan yang mendukung investasi bisnis layer dalam lima tahun mendatang, yaitu stabilitas ekonomi yang terkontrol, kondisi politik yang cukup kondusif, inflasi yang cukup terjaga dan pertumbuhan populasi manusia di Indonesia. (NDV)

Related Posts

0 Comments:

Posting Komentar

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer