Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Abstract Infovet September 2007

To strengthen the control of Avian Influenza (AI) in animals, Ministry of Agriculture had established Campaign Management Unit (CMU) within the Animal Health Directorate. The central management unit is operating through 9 regional operational units based nine Disease Investigation Centers in Provincial Level.

The envolvement of community especially related with animal production and health industry is essential in ensuring achievement of the program. Indonesia Veterinary Drug Association (ASOHI) as an organization comprising veterinary drug companies is directly relating with animal health program since its role in supplying biologicals and disinfectants as well as human resources such as veterinary technical representatives in the field.

The cooperation between ASOHI and CMU is being formulated to cover central and provincial level. In central level various activity will be implemented, namely:

- To prepare coordination on operational cooperation with all stakeholders.
- To formulate AI action plan.
- To monitor and evaluate mutual activity program.
- To coordinate with other institutions in AI control.

In provincial level will be implemented, namely:

- Periodic meeting between provincial CMU/LDCC, PDS/PDR with ASOHI provincial chapter, to coordinate technical services and discussion, relating with development of AI in each area, to formulate action plan on AI control in the community.
- Promoting AI control in the field.
- To send suspected AI samples to government laboratory and accredited private laboratory.
- To encourage capability of AI diagnosis in the field through short training to optimize early detection and early response.
It is hoped that cooperation with other associations related with poultry industry will also be implemented to optimize AI control.


Problem of Immunosuppresive Disease

Infectious Bursal Disease (IBD) or Gumboro, is one of important poultry disease, caused by viral infection, characterized with immunosuppressive, potentially cause high economic loss.

Some of farmers were disappointed that vaccination program is not totally guarantee the protection against this disease. As immunosuppressive disease, the presence of IBD could be easing infection of other diseases.

For broiler farmers IBD is really frightened since it could attack chicken in early period or prior to be harvested. The effective way to protect DOC (day old chick) against IBD is through maternal immunity by maintaining high level of humoral antibody in the parent stock.

There are 3 kind of preventive measure against early infection of the virus, namely:

- To prevent contact between chicken with Gumboro virus.
- To vaccinate parent stock
- To vaccinate DOC in early period with active and non virulent vaccine.


First Human Case of AI in Bali

First human case of AI (Avian Influenza) in Bali was reported on August 12th, 2007. the team of Ministry of Public Health and Consultant investigator of World Health Organization (WHO) had collected blood samples from the victim’s family in Dakin Tukad Aya village, Jembrana District. Further studies should be provided to conclude virus transmission.

Bali Province had been decided by Ministry of Agriculture as the first priority in controlling AI. Total cases of AI on human in Indonesia since the year 2005 had reported 104 persons infected, including 83 mortalities.

Dr Tri Satya Putri, vice chairman of National Commission for AI control appeal to the Government that recent outbreak of AI not be treated as ordinary cases, since the outbreak in poultry cause high mortality. She considered that action taken by Government is still slow.


Technical Sales Representatives

Technical sales representatives (TS) is officer in charge of animal health companies in the field. The presence of TS is very essential in providing information and services to the farmers, related with animal health problem and veterinary drug application.

Coverage of each TS in conducting their duties in certain area is decided by the companies, based on technical as well as economic consideration. In some areas there are independent or “freelance” TS, since they are not recruited by any companies, as they could sell products of various manufactures.

Many cases of conflict of interest between independent TS and certain companies, since they can sell the products in lower price as ability to operate the business in efficient way. The most important condition is they should run their business in line with regulation, in providing services to the farmers only market registered products.

Editorial Infovet Edisi 158 September 2007

Untuk mengatasi kelemahan dalam penanganan penyakit Avian Influenza (AI) khususnya dalam pengendalian dan implementasinya di lapangan, dalam lingkup Departemen Pertanian telah dibentuk Unit Pengendalian Penyakit AI (UPPAI) atau Campaign Management Unit (CMU).

Dalam melakukan tugas pengendalian telah dilaksanakan secara berjenjang melalui tingkat regional, propinsi dan kabupaten/kota, dengan implementasi di lapangan oleh tenaga-tenaga dokter hewan secara intensif melalui penyidikan dan tindakan responsif.

Menyadari bahwa keberhasilan dalam pengendalian penyakit sangat diperlukan dukungan masyarakat, adalah sangat tepat pihak UPPAI telah menjalin kerjasama dengan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia). Sebagai organisasi usaha obat hewan, ASOHI memang berkaitan dengan penanganan penyakit hewan, baik sebagai penyedia sarana kesehatan hewan berupa vaksin dan desinfektan maupun sumber daya manusia, dokter hewan sebagai technical services yang tersebar di lapangan.

Agar dapat efektif maka kerjasama ini akan dilakukan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Diharapkan kerjasama ini akan diperluas dengan melibatkan asosiasi-asosiasi lainnya terkait dalam industri perunggasan sehingga penanganan AI dapat dilakukan lebih optimum.

Gonjang ganjing Perususan Nasional (2) Salah Kaprah Pakan Sapi Perah

oleh Ir Tatang E P

Tingginya biaya produksi susu di Indonesia salah satu sebab utamanya karena penggunaan pakan yang tidak tepat. Basis pemberian pakan sapi perah kita masih menggunakan biji-bijian sedangkan hijauan hanya sebagai pelengkap.

Ini sebenarnya kurang tepat mengingat sapi perah mempunyai sistem pencernaan berbasis mikroba yang lebih cocok menggunakan pakan berserat alias hijauan. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr Ir Marsetyo, dosen fakultas peternakan Universitas Tadulako, Palu.

Menurut Marsetyo, di negara sedang berkembang seperti Indonesia, biji-bijian disamping harganya mahal, juga kurang pas diberikan kepada ternak sapi karena manusia juga membutuhkan biji-bijian.

Selain itu juga ternak sapi perah harus bersaing dengan unggas yang pasokan makanannya berbasis biji-bijian. Oleh karena itu penggunaan hijauan merupakan pilihan yang menarik untuk ternak ruminansia di Indonesia, walaupun porsinya bisa diatur.

Memang menurut Ir Mulyoto Pangestu PhD, dalam konsep nutrisi ruminansia : pakan berserat tetap dibutuhkan, namun bila ingin berproduksi tinggi ya harus ada pakan penguat tambahan.

Artinya menurut peneliti dari Monash University ini pengembangan sapi perah di Indonesia tak perlu ngotot untuk memperoleh produksi susu yang tinggi, namun yang menguntungkan.

Sebab iklim tropis membuat ternak memang lebih mungil dari ternak-ternak sapi sub tropis. Namun yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan keuntungan yang memadai.

“Mungkin kita perlu melihat munculnya trend baru pada sapi potong dengan LowLine Breed yang tubuhnya mini dan beratnya hanya 200 kg,” tegasnya. Jadi apa salahnya kalau Indonesia mulai mencoba menikmati mungilnya sapi tropis supaya bisa memberikan rejeki sebesar Limousine atau Angus.

Ternak yang kecil bukan berarti akan kecil keuntungannya. Namun dengan ternak yang kemampuannya hidup di daerah tropis maka daya cerna terhadap hijauan akan lebih baik.

Hijauan di Indonesia sebenarnya cukup melimpah dan beragam. Sayangnya ini kurang dipahami oleh para peternak. Hal ini diperparah dengan tidak adanya penelitian yang intensif mengenai hijauan. Akibatnya peternak hanya tahu untuk meningkatkan produksi susu adalah dengan mempertinggi pakan yang berasal dari biji-bijian.

Peternak sapi perah lebih kenal dengan jagung, dedak, kedele, tepung daging dan tulang ketimbang rumput kolonjono, cetaria lampung atau bahkan jenis legume yang biasa menjadi penutup tanah di perkebunan.

Padahal penggunaan biji-bijian seperti jagung, dedak dan kedele akan berbenturan dengan industri unggas yang jauh lebih besar kebutuhannya.

Kebanyakan peternak sapi perah kita hanya memberikan rumput gajah atau rumput raja sebagai makanan hiajauan. Kedua rumput tersebut kandungan nutrisi tidak begitu bagus dan lebih banyak serat kasarnya saja.

Namun memang rumput gajah atau rumput raja dari segi ketersediaan memang memadai karena rumput ini besar sehingga mampu mengenyangkan sapi. Tapi sayang kandungan nutrisinya tidak begitu bagus.

Penggunaan hijauan sebagai salah satu alternatif untuk mendapatakan nutrisi yang murah harusnya menjadi prioritas bagi peternak untuk menekan harga susu sehingga memperoleh margin yang lebih tinggi.

Sayangnya pemerintah yang harusnya membantu mencarikan alternatif nutrisi dari hijauan tak banyak membantu. Riset tentang hijauan makanan ternak sangatlah minim. Apalagi berbicara tentang sistem pengawetan hijauan atau pemanfaatkan hijauan kering.

Dengan satuan ternak yang rendah memang peternak tak mungkin menggembalakan ternaknya pada padang penggembalaan atau mempunyai lahan yang memadai untuk makanan hijauan ternaknya.

Namun bukan tidak mungkin bila peternak yang mempunyai kepemilikan sapi perah sedikit dikumpulkan menjadi satu koperasi dan koperasilah yang mensupport untuk menyediakan lahan atau padang penggembalaan dengan hijauan pilihan dan kandungan nutrisi yang baik.

Di Negara-negara maju peternakan sapi baik perah maupun potong mengandalkan makanan hijauan yang diperoleh dari padang penggembalaan. Namun bukan berarti pakan yang berasal dari biji-bijian ditinggalkan hanya saja porsinya lebih kecil.

Penataan padang penggembalaan dengan berbagai macam tanaman baik rumput maupun legume terasa asing ditelinga kita. Padahal padang penggembalaan merupakan salah satu kunci sukses

Negara-negara pengekspor susu dan sapi terbesar di dunia macam Australia dan Selandia Baru. Karena biaya rumput dan legume jelas lebih murah ketimbang biji-bijian.


Kajian Yang Komprehensip

Sapi perah sebagai salah satu potensi besar di Negara ini harusnya pemerintah mampu memfasilitasi sebuah riset yang terpadu dan berkesinambungan.

Menurut Ir Budi Rustomo PhD, pakar sapi perah asal Fapet Unsoed melihat, pendekatan atau teknologi tanpa melihat karakteristik atau sifat-sifat dasar aslinya, akan menghasilkan sesuatu yang tidak optimal.

Pengetahuan tentang habitat asal, sifat asli dan behaviour mutlak diperlukan dalam menentukan pendekatan-pendekatan teknologi. Apalagi teknologi yang dibuat untuk memanipulasi atau menyiasati kinerja makhluk hidup seperti hewan ternak.

Dalam pengembangan teknologi peternakan, tiga pendekatan yang lazim dilakukan oleh pakar-pakar peternakan di negara barat.

1.Mengetahui sifat dasar (karakteristik) ternak. Termasuk mengerti benar “what is the purpose of God creating the creatures/species?”.
2. Mengetahui bagaimana ternak bisa hidup (how do they survive in the original habitat or in the junggle, before being domesticated)
3. Mengetahui how do they reproduce their offspring.

Ketiga pendekatan tersebut di atas yang seharusnya mendasari bagaimana ilmuwan peternakan mengembangkan teknologi. Baik teknologi di bidang pemuliaan, pakan, perkandangan, reproduksi, kesehatan dan banyak lagi faktor lainnya.

Budi yang pernah lama tinggal di Kanada dan Australia ini mencontohkan, Di Kanada, pada saat musim panas suhunya bisa mencapai 40 oC. Tapi, konsumsi pakan dan produksi susu tidak menurun.

Sebab, meskipun panas, kelembaban udaranya masih relatif rendah. Itupun masih dibantu dengan pemasangan blower dikandang-kandang pada saat musim panas.

“Namun Bila pendekatan itu kita tiru, peternak Indonesia dengan modal yang terbatas

akan bangkrut karena bengkaknya biaya listrik,” ujarnya memberi contoh.

Untuk itulah riset yang dilakukan haruslah terpadu dan berujung pada sosial ekonomi artinya peternak sapi perah Indonesia mampu menggunakan teknologi tersebut.


Penulis adalah Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI)

Fenomena Pemasar Obat Hewan Mandiri: ”Ancaman atau Prospek bagi Perusahaan yang Mapan?”

Adalah Drh Nur Fauzi lulusan Fakultas Kedokteran Hewan UGM yang memilih terjun menjadi seorang pemasar obat hewan yang mandiri. Di lapangan lebih sering disebut sebagai TS Freelance.

Seperti juga pada umumnya sarjana yang baru lulus, Fauzi demikian biasa disapa, mempunyai cita-cita dan idealisme tinggi untuk mewujudkan impiannya sejak kuliah dulu. Begitu lulus sebagai dokter hewan yang masih gress alias baru lepas dari kampus ia segera melayangkan surat lamaran ke berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Tidak lain tujuannya kecuali untuk membuktikan kepada masyarakat di kampung halamannya dan juga keluarga besarnya bahwa ia mampu mensejajarkan dengan sarjana yang lainnya yang lebih dahulu bekerja dan sukses berkarier di kota besar.

Termasuk beruntung ia hanya dalam hitungan kurang dari 1 (satu) bulan setelah lepas dari kampus sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan obat hewan yang termasuk mapan, meskipun harus jauh dari keluarga besarnya nun jauh di Pekalongan. Dan kota Medan, Sumatera Utara adalah pertama kali yang ia jejaki sebagai awal meniti karier. Jabatannya memang mentereng seperti yang tertulis di kartu namanya yang selalu ia bagikan ke setiap orang yang ketemu, termasuk ke kerabat dan keluarga besarnya di kampung, yaitu ”Technical Sales Representative”.

Meski sebenarnya bagi banyak kalangan masih awam arti jabatan pekerjaannya itu, namun sudah sangat berati bagi Fauzi dan keluarga besarnya. Setidaknya menurut Fauzi hal itu sudah membuktikan bahwa ia tidak termasuk dalam daftar deretan sarjana penganggur. Apalagi ia bisa mengirimkan kabar dan sedikit uang juga beberapa lembar fotonya dengan berlatar belakang kendaraan roda empat sebagai penunjang kerja/dinasnya. Seolah semakin, menguatkan ”posisi sosial” dirinya dan keluarga besarnya bahwa ia sudah memasuki kelas sosial baru yang patut diperhitungkan. Dan bahkan menjadi bahan perbincangan kawan SD SMP dan SMA nya serta tetangga di kampung halamannya.

Terlebih ketika di sela hari liburnya bisa meluangkan waktu untuk pulang kampung, meski hanya sebentar sudah menjadikan dirinya tampil beda dan disapa banyak orang sejak dari mulut jalan sampai halaman yang menuju rumahnya. Orang tua dan sanak famili serta tetangga se desa seolah sudah mendaftar antri untuk bisa ketemu, ngobrol dan tentunya yang penting adalah mereka nitip pesan agar bisa diajak kerja jika ada lowongan kerja.

Namun, perjalanan hidup dan peruntungan seseorang memang salah satu misteri manusia di dunia, selain hidup dan jodoh. Akhirnya Fauzi, meninggalkan kota Medan dan tidak kembali ke kampung halaman tetapi menuju ibukota Metropolitan Jakarta untuk mengadu nasib kembali. Tidak jelas alasannya, namun yang umum terjadi sebagai orang yang lahir dan besar dengan kultur Jawa, maka memang meninggalkan kampung halaman yang sangat jauh menjadi salah satu beban berat dalam hidupnya.

Masih beruntung Fauzi dapat kembali menjalani profesi yang sama yaitu di perusahaan obat hewan yang di tempatkan di sentra unggas Jawa Timur, Blitar. Di kota ini ia kembali dengan pekerjaan dan jabatan yang sama meski di kartu namanya kini disebut sebagai ”Sales Excecutive Service”. Kembali kartu nama itu di’sebar’ ke kolega dan tentu saja kepada keluarga besarnya di kampung halaman. Muncul bisik-bisik di keluarganya dan sudah pasti juga para tetangga bahwa Fauzi naik jenjang jabatannya alias promosi kedudukannya dalam bekerja karena bisa kembali ke Jawa.

Semakin banyak saja kerabat dan tetangga yang berharap Fauzi bisa dan mau menarik anak-anak desa yang masih menganggur. Fauzi pun mendengar permintaan itu tidak bisa lain kecuali dengan mengangguk meski dengan kepala yang terasa berat. Dan berikutnya ketika secara ekonomi dirasakan sudah mapan, ia memutuskan membina rumah tangga dengan gadis Klaten. Praktis, kini waktunya tidak ada lagi untuk sekedar mudik menengok keluarganya di Pekalongan, tetapi lebih banyak dihabiskan di Blitar dan sehari dalam seminggu di Klaten. Singkat cerita ia ternyata hanya mampu bertahan 3 tahun dalam menggeluti pekerjaan di kota kecil itu yang terpisah dari istri yang dicintai.

Kali ini alasan ia meninggalkan kota itu muncul dari mulutnya, bahwa ia tidak bisa pisah terlalu lama dengan istrinya yang berada di Klaten Jawa Tengah. Sehingga kembali ia mencoba mencari pekerjaan yang secara geografis tidak jauh dari mukim istrinya. Dan masih beruntung lagi Fauzi kembali bekerja di perusahaan obat hewan dengan wilayah kerja di sekitar Klaten, seperti Jogja, Solo, Boyolali dan Magelang.

Tetapi ternyata, justru jauh lebih singkat ia bekerja di dekat mukim istri, hanya bertahan 3 bulan. Keputusan keluar karena waktu untuk bisa ketemu istri hanya malam hari dan itupun sudah sangat capek sekali. Hal ini oleh karena wilayah kerja yang relatif luas dan medan yang berat.

Fenomena seperti ini tidak menjadi monopoli Drh Nur Fauzi, karena ratusan orang dan bahkan ribuan Dokter hewan dan Sarjana Peternakan mengalam perjalanan hidup yang nyaris sama. Benturan antara peradaban sosial manusia Indonesia (Jawa?) versus peradaban global. Kultur Jawa yang lebih menekankan keeratan kekerabatan (sosial) dan kultur modern global yang seolah manusia menjadi mesin ekonomi, akhirnya melahirkan benturan.

Banyak yang tidak mampu melawan kondisi seperti itu, akan tetapi juga tidak sedikit yang sukses dan maju mengikuti irama peradaban global.

Fauzi adalah salah satu ’korban’ yang tergilas peradaban global dan kini menekuni pekerjaan yang sama namun tidak secara langsung dibawah payung sebuah perusahaan. Dengan jabatan dan sebutan yang sebenarnya masih sama yaitu sebagai tenaga pemasar obat hewan. Namun kini, ia kini lebih bebas menentukan ritme kerja dan mengotong beban kerja hariannya.

Meski tidak bisa lepas 100% dari pengaruh perusahaan/produsen, namun ternyata profesi ini kini justru yang banyak diminati para Dokjter Hewan dan Sarjana Peternakan yang baru lulus maupun yang sudah lama malang melintang di lapangan. Setidaknya di Kota-kota di Jawa Tengah profesi tenaga pemasar obat hewan mandiri, tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para produsen/importir sarana peternakan di Indonesia.

Volume penjualan atau omzet para tenaga pemasar mandiri kini, tidak bisa diremehkan dan justru menjadi salah satu mitra penting perusahaan yang pada umumnya banyak berkantor pusat di kota-kota besar.

Beberapa pihak memandang kehadiran tenaga pemasar mandiri sebagai ancaman serius. Argumennya, bahwa kelompok pemasar ini sering secara berani membanting harga, sehingga pasar menjadi kacau. Bahkan terkadang sisipan obat illegal dan juga menenteng obat murni / pure melahirkan masalah di lapangan bagi perusahaan legal. Namun harus diakui dan juga tidak bisa dibantah lagi karena sudah menjadi rahasia umum, bahwa tidak sedikit perusahaan legal/resmi justru memasok obat illegal serta obat pure ke peternak dan para pemasar mandiri.

Jika kesemrawutan peredaran obat yang tidak jelas asal usulnya itu, kesalahan hanya ditimpakan kepada para pemasar mandiri, maka jelas tidak adil dan kurang bijak. Kenyataan lapangan seperti itu, harus dipertimbangkan oleh pihak yang menyalahkan. Oleh karena itu memang lebih bijaksana, jika ada pendapat bahwa para pemasar mandiri ini justru sebagai mitra efisien dan effektif bagi perusahaan/produsen sarana peternakan, terutama setelah mati surinya Poultry Shop dalam 10 tahun terakhir ini.

Pemasar mandiri bisa menjual dengan harga lebih miring dan murah oleh karena beban operasional yang ditanggung memang relatif jauh lebih ringan. Biaya operasional yang relatif kecil itu tidak lepas dari margin keuntungan yang dipatok para pemasar mandiri yang tipis. Bahkan pada umumnya dengan dukungan mobilitas berupa kendaaraan roda dua yang lebih luwes dan mampu menerobos kawasan yang terpencil sekalipun, tentu salah satu sebab efisien.

Fenomena Fauzi dan Pemasar Mandiri atau TS Freelance, memang patut menjadi renungan bagi para praktisi marketing di tingkat atas sebuah perusahaan. Apakah keberadaannya menjadi mitra atau justru sebagai kompetitor, maka sangat tergantung dari kecerdasan para pemegang kendali pemasaran di level perusahaan. Yang pasti ini adalah sebuah realitas lapangan yang harus disikapi dengan bijak. Akan dimusuhi atau dilembagakan sebagai mitra..... ? (iyo)

IMAKAHI Abdikan Diri ke Masyarakat

Sebagai bagian dari Insan pendidikan, terutama dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pengabdian masyarakat, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) bekerjasama dengan BEM FKH Universitas Airlangga (Unair), dan Kelompok Minat Profesi Veteriner (KMPV) Ternak Besar dan KMPV Unggas dan Burung FKH Unair Surabaya, mengadakan Pengabdian Masyarakat Nasional 2007 pada 4-13 Agustus 2007 di Kediri Jawa Timur.

Kegiatan yang diawali dengan acara Pra Munas IMAKAHI XI dan dilanjutkan dengan kegiatan pengabdian masyarakat (pengmasy) ini di sambut baik oleh Dekan FKH Unair, Prof Drh Hj Romziah Sidik PhD.

Dalam sambutannya Prof Romziah mengatakan bahwa sebagai calon generasi profesi dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan harus mampu menjawab segala tantangan yang ada, sehingga dengan adanya kegiatan ini agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh mahasiswa sebagai proses pembelajaran sebelum menempuh kehidupan yang sebenarnya. Bahkan melalui kegiatan pengmasy dapat dijadikan sebagai momentum yang baik untuk memperkenalkan profesi veteriner kepada masyarakat luas.

Menurut ketua pelaksana, Jeremia Sibarani, kegiatan pengmasy ini dilaksanakan di 4 kecamatan dengan 15 desa di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Dimana tiap kecamatan dibimbing oleh satu orang dosen pembimbing dan satu kordinator kecamatan serta satu orang supervisor ditiap desanya. Ditempat yang sama, Iwan Berri Prima selaku Ketua Umum IMAKAHI yang didampingi Dony Bindariyanto selaku ketua BEM FKH Unair dan Novi Susanty selaku Ketua IMAKAHI Cabang FKH Unair, berharap kegiatan ini dapat secara kontinyu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai program kerja rutin dari IMAKAHI.

Ikut hadir dalam kegiatan ini adalah mahasiswa FKH Unair (Surabaya), delegasi mahasiswa FKH Universitas Syiah Kuala (Aceh), FKH Institut Pertanian Bogor (Bogor) dan FKH Universitas Udayana (Bali) dan delegasi mahasiswa FKH luar negeri dari Kanada. (Imakahi)

Lokakarya Stakeholder dan Alumni 2007 Fapet Undip

Guna mengantisipasi perkembangan Industri Peternakan yang demikian pesat, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro (FP UNDIP) melakukan Pengkajian dan Pengembangan Kurikulum. Hal itu dimaksudkan agar lulusannya mempunyai kompetensi dalam bidangnya serta diakui oleh masyarakat pengguna (user). Oleh karenanya, dibutuhkan masukan dari stakeholder maupun alumni tentang tingkat kemampuan keilmuan serta keterampilan apa saja yang seharusnya dimiliki oleh Sarjana Peternakan. Agar masukan yang disampaikan oleh stakeholder dan alumni dapat ditangkap secara menyeluruh oleh semua komponen sivitas akademika FP UNDIP, maka pada hari Rabu tanggal 1 Agustus 2007 dilaksanakan Lokakarya Stakeholder dan Alumni tahun 2007.

Lokakarya yang berlangsung di Ruang Serba Guna Gedung F Lantai II Kampus Drh Soejono Koesoemowardojo, Tembalang-Semarang tersebut dihadiri sekitar 75 orang. Sebagian besar yang hadir adalah para dosen. Sementara dari pihak stakeholder adalah utusan dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Brebes, Peternak, serta wakil dari Industri Perunggasan. Beberapa alumni juga hadir sebagai narasumber.

Dekan FP UNDIP Dr Ir Joelal Achmadi MSc dalam sambutannya berharap agar para peserta benar-benar berpartisipasi aktif dalam lokakarya tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa masukan dari peserta akan dipergunakan sebagai bahan menyusun rumusan profil dan kompetensi Sarjana Peternakan lulusan FP UNDIP yang siap kerja dan atau mampu berwirausaha. Selain memberi sambutan, Dekan juga membuka secara resmi acara Lokakarya yang didanai dari pos APBN tahun 2007 tersebut.

Setelah acara seremonial, dalam sesi pertama tampil 4 Ketua Program Studi yang memaparkan Profil dan Kompetensi masing-masing Lulusannya. Hingga saat ini, Program Studi Sarjana (S1) di FP UNDIP meliputi Produksi Ternak; Nutrisi dan Makanan Ternak; Sosial Ekonomi Peternakan dan Teknologi Hasil Ternak.

Wonokoyo Group tampil dalam sesi kedua. Sebagai stakeholder (pengguna=user), Wonokoyo Group memberikan masukan-masukan, yaitu : dalam penyusunan kurikulum yang akan datang hendaknya porsi Ilmu Perunggasan lebih ditingkatkan mengingat dunia perunggasan (khususnya di Indonesia) telah berkembang demikian pesatnya. Selain itu, porsi praktikal hendaknya diperbanyak lagi. Guna mencapai hal tersebut, Wonokoyo Group mengusulkan agar pihak FP UNDIP menjalin kerjasama dengan para pelaku bisnis Perunggasan di Indonesia, mulai dari sektor hulu hingga hilir. (HS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer