Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Genetik | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

LEBIH PAHAM MENGENAI GENETIK AYAM MODERN

Perkembangan genetik unggas harus dibarengi dengan manajemen pemeliharaan yang baik

Sebelum era ini, kita harus menunggu sebulan lebih agar ayam broiler mencapai bobot badan 1 kg, namun kini dalam waktu kurang dari sebulan, ayam broiler siap dipanen dengan bobot badan mencapai 2kg bahkan lebih. Pun begitu dengan ayam petelur dimana ayam petelur masa kini memiliki life span yag lebih lama dan produktivitas yang lebih tinggi dari masa sebelumnya.

Hal ini tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi di bidang genetika unggas. Namun begitu pertumbuhan yang semakin cepat memiliki berbagai konsekuensi pada bidang lainnya. Hal mengenai genetik unggas modern ini dibahas dalam webinar Mimbar TROBOS Livestock edisi ke-10 secara daring pada Rabu (13/1) yang lalu.

Sebagai narasumber pertama yakni Drh Nuryanto dari PT Berkat Unggas Sukses Sejahtera. Dalam presentasinya Nuryanto menjabarkan sedikit mengenai perkembangan genetik ayam broiler dari masa ke masa. Selain itu ia juga membahas secara mendalam beberapa keunggulan dan kekurangan ras broiler di masa kini.

"Intinya di masa kini broiler kita tumbuh lebih cepat, potensi genetiknya sangat baik, namun begitu hal ini terasa kurang bisa dimanfaatkan di Indonesia baik karena faktor cara pemeliharaan, sumber daya manusia, dan lainnya, oleh karenanya siapa yang bisa merawat lebih baik dan efisien, dialah yang akan memenangkan persaingan di perunggasan ini," kata Nuryanto.

Dalam kesempatan yang sama, Hidayaturrahman yang bertidak sebagai narasumber kedua juga menyampaikan hal yang serupa di bidang ayam petelur. Menurut pria yang telah makan asam garam di dunia ayam petelur selama lebih dari 20 tahun tersebut, produktivitas ayam petelur di masa kini sangat cepat dan masa afkirnya lama.

"Saya pernah memelihara sampai usia 90 bahkan 100 minggu baru saya afkir, soalnya masih produktif. Hanya saja memang butuh treatment tertentu agar bisa langgeng begitu. Namun saya akui, benar - benar joss tenan performa dan potensi genetiknya," tuturnya.

Ia menambahkan kendala saat ini dalam performa ayam petelur adalah mengendalikan kelembapan. Ini masih menjadi musuh terbesar bagi para peternak layer nusantara, karena kelembapan yang baik sulit didapatkan karena Indonesia beriklim tropis yang dilalui garis khatulistiwa.

"Settingnya agak tricky, ada peralatan yang bagus, tapi tidak masuk cost-nya, makanya ini agak sulit. Kalau bisa mengatasi ini, pasti bagus performanya," tutur Hidayat.

Selain Hidayat dan Nuryanto, bertindak juga sebagai narasumber yakni Suryo Suryanta dan Willie Blookvort. Keduanya mewakili Hubbard dan Hendrix Genetic. Dalam masing  - masing presentasinya mereka menjabarkan berbagai macam kemajuan teknologi dan perkembangan genetik dari ras ayam di perusahaannya masing - masing. Namun begitu intinya tetap sama, sebaik apapun potensi genetik yang dimiliki oleh ayam ras, jika tidak dipelihara dengan manajemen yang proper, maka hasilnya juga tidak akan bagus. (CR)

FREE WEBINAR: APLIKASI TEKNOLOGI REPRODUKSI & MOLEKULER TERNAK

Obrolan Peternakan (OPERA), Seri ke 12 dimana Majalah INFOVET menjadi salah satu Media Partner itu Bertemakan "Aplikasi Teknologi Reproduksi dan Molekuler Genetik untuk Peningkatan Produktivitas Ternak" rencananya akan digelar dalam bentuk webinar secara gratis.

Diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan (Fapet) UGM, acara dihelat pada Rabu 30 September 2020 mendatang, dimulai sejak pukul 09.00 sd 11.00 WIB dengan menghadirkan dua narasumber.

Adalah Ir. Diah Tri Widayati, SPt, MP, PhD, IPM dan Ir. Dyah Maharani,SPt, MP, PhD, IPM sebagai narasumber, dimoderatori oleh Ir. Riyan Nogroho Aji, SPt, MSc, IPP ketiganya merupakan dosen Fapet UGM.

Webinar yang ditayangkan melalui stream on zoom itu pesertanya dibatasi maksimal 500 seats saja. Peminat bisa mendaftarkan diri via http://ugm.id/OPERA12, atau melalui kontak narahubung dengan sdri Iswanti: HP +6285293153518; email: diskusi.fapet@ugm.ac.id

Selain ilmu pengetahuan, peserta akan memperoleh pula e-Sertifikat.

DETEKSI PENYEBAB CACAT GENETIK PADA BELGIAN BLUE DAN PENCEGAHANNYA

Pedet sapi Belgian Blue (Istimewa)

Sapi Belgian Blue (Bos taurus) merupakan jenis sapi baru yang dikembangkan di Indonesia. Sapi ini dikembangkan oleh Kementerian Pertanian melalui beberapa UPT yang tersebar di Indonesia.

Pengembangan sapi Belgian Blue (BB) di Indonesia tentu akan meningkatkan produktivitas ternak, namun perlu juga dilakukan kajian dari berbagai bidang ilmu agar dampak positif dan negatif dari pengembangan sapi BB dapat diprediksi. Salah satu kajian yang menarik pada sapi BB adalah terkait bidang genetika penyakit. Dari studi pustaka, penulis mencatat bahwa terdapat dua kasus cacat genetik yang ditemukan pada sapi BB, yaitu sindrom osteopetrosis with gingival hamartoma (OGH) dan dwarfism (Sartelet et al., 2012; Sartelet et al., 2014; Cieploch et al., 2017).

Gejala klinis sindrom OGH pada sapi BB antara lain, kelahiran prematur disertai malformasi pertumbuhan jaringan jinak abnormal pada gusi (gingival hamartoma), bentuk tengkorak abnormal, lidah menjulur dan hidrops ascites (Gambar 1).

Gambar 1. Gambaran klinis sapi Belgian Blue yang menderita hamartoma congenital.
A: Pedet yang lahir prematur disertai gingival hamartoma, bentuk tengkorak abnormal, hidrops ascites dan hepatomegali, serta hati sapi yang terkena sindrom OGH (kiri) dan normal (kanan).
B: Bagian sagital kepala menunjukkan hamartoma pada rahang bawah (tanda panah).
C: Pada kasus pedet yang mati, terlihat hamartoma yang parah pada gingival (tanda panah).
D: Penampakan bentuk tengkorak abnormal disertai lidah yang menjulur pada kasus pedet yang hidup.
(Sumber: Sartelet et al., 2014)

Kejadian patah tulang juga terjadi pada sapi penderita sindrom OGH dan disebabkan karena kepadatan tulang yang abnormal akibat gangguan fungsi osteoklas (osteopetrosis). Sindrom osteopetrosis menyebabkan gangguan pembentukan sel darah, anemia, trombositopenia, hipokalsemia dan hepatosplenomegali.

Selain itu, sapi yang terkena sindrom OGH menunjukkan tidak terbentuknya rongga sumsum tulang akibat pemadatan tulang (Gambar 2).

Gambar 2. Perbandingan potongan transversal (kiri) dan sagital (kanan) dari tulang tibialis antara anak sapi Belgian Blue yang mengalami mutasi (MUT) dan kontrol (WT). Pada mutan menunjukkan tidak adanya rongga sumsum tulang akibat osteopetrosis. (Sumber: Sartelet et al., 2014)

Sementara, gejala klinis sindrom dwarfism pada sapi BB dapat dikenali dengan mudah karena memiliki ciri fisik yang terlihat lebih pendek dibandingkan sapi BB yang lain (Gambar 3)

Gambar 3. Perbandingan sapi BB yang mengalami sindrom dwarfism (bawah) dan sapi BB normal (atas) akibat mutasi gen RNF11. (Sumber: Sartelet et al., 2012)

Sindrom OGH pada sapi disebabkan karena terjadi mutasi pada gen bovine Chloride Voltage-Gated Channel 7 (bCLCN7). Pada sapi, gen ini terletak pada kromosom 25. Gen ini berfungsi untuk menghasilkan protein choride channel 7 (CLC7) yang penting untuk mengatur metabolisme pada lisosom dan resorpsi tulang.

Pada sapi BB terdapat tiga titik mutasi pada bagian ekson 23 gen bCLCN7 (Bos taurus) yaitu c.2292G>C; c.2296T>C dan c.2298C>A (Gambar 4).

Gambar 4. Tiga titik mutasi pada gen bCLCN7 (GenBank: DQ73465) sapi Belgian Blue terjadi pada basa ke 2292 (G→C), 2296 (T→C) dan 2298 (C→A). (Sumber: Sartelet et al., 2014)

Mutasi pada basa ke 2296 dan 2298 menyebabkan terjadinya perubahan asam amino dari Tyrosine (TAC) menjadi Glutamine (CAA). Perubahan asam amino tersebut menyebabkan perkembangan sel dan jaringan tidak berkembang dengan baik, sehingga terjadi sindrom OGH pada sapi.

Sedangkan sindrom dwarfism pada sapi BB disebabkan karena terjadi mutasi pada gen bovine RING finger protein 11 (bRNF11). Pada sapi, gen ini terletak di kromosom 3. Gen ini berfungsi untuk menghasilkan protein transforming growth factor β (TGF-β) dan epidermal growth factor receptor (EGFR) yang penting untuk proses pertumbuhan. Gen bRNF11 (Bos taurus) pada sapi BB dwarfism memiliki satu mutasi transisi diposisi c.334A>G pada ekson 1 dan satu mutasi delesi diposisi c.335/506del atau c.335/343del pada ekson 2 (Gambar 5).

Gambar 5. Mutasi pada gen bRNF11 (GenBank: NM001077953) sapi Belgian Blue.
A: Mutasi transisi pada basa ke 334 (A→G).
B: Delesi 170 pb dari basa ke 335 sampai 506.
C: Delesi 7 pb dari basa ke 335 sampai 342.
(Sumber: Sartelet et al., 2012).

Sindrom OGH dan dwarfism pada sapi dapat dilakukan dengan mudah apabila manajemen pencatatan ternak (recording) telah dijalankan baik. Melalui data recording, sapi-sapi yang memiliki silsilah riwayat penyakit dapat diketahui dengan mudah. Selain itu, pengaturan sistem perkawinan pada sapi BB agar tidak terjadi inbreeding sangat penting dilakukan untuk mencegah kasus OGH dan dwarfism. Pemberian vitamin D dan beberapa hormon secara berkala pada sapi BB penting dilakukan untuk membantu perkembangan tulang. Vitamin D sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi osteoklas.

Selain itu, pemberian beberapa hormon yang sesuai dosis antara lain, hormon erythropoietin dan kortikosteroid penting untuk mengatasi anemia dan merangsang proses resorpsi tulang. Oleh sebab itu, pengembangan sapi BB di Indonesia harus dilakukan dengan sistem manajemen yang baik agar kasus OGH dan dwarfism dapat dicegah. ***

Widya Pintaka Bayu Putra, M.Sc.
Drh Mukh Fajar Nasrulloh
Pusat Penelitian Bioteknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Optimalkan Potensi Genetik Ayam Broiler Tanpa AGP

Sumber: shutterstock foto.

Latar Belakang Pemakaian AGP Dilarang Pemerintah?
Isu global mengenai pentinganya “safety and healthy food” produk pangan asal hewani mensyaratkan tersedianya produk pangan bebas dari residu antibiotik, bahan kimia dan hormone, serta bebas dari cemaran kuman yang resisten terhadap antibiotik. Adanya kekhawatiran masyarakat global berkenaan dengan masalah AMR (Anti-Microbial Resistance), membuat Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian mengambil langkah konkret dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 14/2017 berkenaan dengan larangan pemakaian antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter/AGP) serta membatasi pemakaian antibiotik yang digunakan sebagai produk pendukung untuk program kesehatan guna mencegah infeksi agen penyakit asal bakteri.

Pada era perdagangan bebas saat ini, Indonesia tergolong negara besar dengan lebih dari 260  juta penduduk tentu menjadi pasar potensial untuk produk pangan asal hewani yang diproduksi oleh nagara lain. Sehingga dalam menyikapi isu global terkait dengan problem AMR dan tuntutan global bagi tersedianya pangan asal hewani yang sehat dan aman, maka sebagai negara besar agar tidak hanya menjadi pasar bagi negara lain, mengharuskan Indonesia untuk mampu menjadi produsen sekaligus konsumen dan mampu untuk mengekspor produk pangan asal hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH).

Problem Lambat Tumbuh dan Larangan AGP Dijadikan Kambing Hitamnya
Adanya problem pencernaan dan lambat tumbuh yang terjadi belakangan ini pada ayam broiler disinyalir banyak peternak penyebabnya karena adanya larangan AGP pada pakan ayam. Sehingga terkesan adanya gangguan pencernaan, lesi pada gizzard, pakan yang tidak tercerna sempurna dan gangguan pertumbuhan, menjadikan Peraturan Pemerintah tentang larangan pemakaian AGP dijadikan kambing hitam salah satu penyebab kurang optimalnya pertumbuhan ayam broiler yang tidak sesuai potensi genetiknya.

Dari pengamatan yang penulis lakukan langsung di lapangan, setelah dikaji secara mendalam adanya gangguan pencernaan berupa enteritis, gizzard erosion disertai gejala klinis wet dropping, material pakan yang tidak tercerna sempurna, sehingga menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan broiler, ternyata tidak sepenuhnya disebabkan oleh adanya larangan pemakaian AGP. Adapun beberapa penyebab terjadinya problem pencernaan dan lambat tumbuh pada broiler, lebih disebabkan karena beberapa faktor berikut:

1. Preparat pengganti AGP yang dipakai kurang efektif menjaga integritas sistem pencernaan, tidak optimal mencegah infeksi entero-patogen dengan masih ditemukan tanda-tanda enteritis.
2. Adanya problem gizzard erosion disinyalir penyebabnya karena iritasi mikotoksin jenis T-2 toksin yang mencemari pakan, sehingga menyebabkan pakan yang dikonsumsi oleh ayam tidak tercerna sempurna.
3. Problem wet dropping diduga disebabkan karena cukup tingginya kandungan ANF’s (Anti-Nutritional Factors) dalam sediaan pakan dan juga kondisi usus ayam yang nampak cukup tipis, hal ini karena vili-vili usus tidak berkembang dengan baik untuk menyerap nutrisi pakan dan air.

Dampak Pemakaian AGP pada Pakan Terhadap Kesehatan Pencernaan
Sebelum penulis membahas apa dampak pemakaian antibiotik yang tidak terkontrol sebagai growth promoter, terlebih dahulu penulis sampaikan apa saja penyebab atau pemicu terjadinya resistensi kuman penyakit terhadap antibiotik yang digunakan sebagai growth promoter pada industri peternakan: ...


Drh Wayan Wiryawan
PT Farma SEVAKA NUSANTARA


Selengkapnya baca Majalah Infovet edisi September 2018.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer