Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Penelusuran Lanjutan Pengobatan CRD

Penelusuran lanjutan tentang obat CRD menghasilkan kenyataan, ada obat baru untuk mengurangi resistensi, prakteknya untuk rolling antibiotik. Telusuri terus kompleksitasnya, ternyata umumnya peternak tidak melakukan pembersihan instalasi air dan pencatatan.  

Narasumber: Drh.Primaditya
Dalam artikel  “Obat dan Vaksin untuk Hantam CRD dan Kompleksnya” Area Sales Manager Surabaya PT Romindo Primavetcom Cabang Surabaya, Drh Setya Bakti, memaparkan tentang dua jenis obat CRD (khusus Mikoplasma dan spektrum luas), dua jenis vaksin (Mycoplasma gallisepticum dan M sinoviae) serta progarm menyeluruh untuk hadapi penyakit pintu segala penyakit ini.

Lebih lanjut, Infovet menelusuri obat-obatan CRD ke perusahaan obat hewan yang lain, PT Medion Cabang Surabaya. Bertemu langsung dengan Drh Primaditya, District Assistant Manager Medion Surabaya. Menurutnya, obat CRD yang paling sering digunakan adalah golongan Enrofloksasin. Nama patennya Neonedine. Kecuali, ada komplikasi. Maka digunakanlah Trimesin.

Selain itu, “Ada produk baru,” katanya, “Yaitu Eritromisin Doksisiklin. Ini gencar dipromosikan karena punya keunggulan untuk mengurangi resistensi.” Prakteknya dengan rolling antibiotik juga menggunakan obat ini, antibiotik ini merupakan obat berspektrum luas untuk mengatasi bakteri gtram negatif dan Mycoplasma biang CRD. Nama paten obat ini adalah Erydoxy.

Narasumber: Drh. Setya Bakti
Nyatanya bila sudah sampai tahap CRD Kompleks dimana ada kolibasilosis dalam penyakit itu, menurutnya dapat digunakan kombinasi Amoksisilin trihidrate dan Colistin sulfat. Nama dagangnya Amoxitin. Satu kemasan obat kombinasi ini mempunyai spektrum luas dan efektif membunuh kuman Escherecia coli dan Haemophillus paragalinarum penyebab Koriza yang sering muncul bersamaan pada CRD.

Koli yang numpang CRD sendiri ini tidak pernah berdiri tunggal. Selain itu juga ada Korisa. Obat kombinasi untuk melawannya sangat dianjurkan. Dengan adanya obat baru untuk rolling yang bertujuan mengurangi resistensi, menurutnya kelebihan dan kekurangan masing-masing pengobatan beda-beda tipis.

Pemikiran obat baru untuk rolling ini berawal dari kenyataan, “Sayangnya peternak biasanya itu-itu saja obatnya,” ujar Drh Primaditya, padahal penggunaan obat yang sama terus-menerus membuat khasiat obat dapat berkurang karena kumannya menjadi tahan alias resisten. Kebiasaan peternak itu tidak jauh-jauh disebabkan faktor harga tinggi. Dengan biaya mahal namun performa jelek karena obatnya sama terus- maka harus ada tindakan pilihan obat dengan rolling antibiotik, yang lebih masuk akal.

Terus Telusuri Kompleksitasnya
Begitulah, Drh Primaditya mengungkap; CRD Kompleks merupakan keniscayaan. Mengapa? Karena jarang CRD merupakan penyakit murni. Bila ditemukan CRD biasanya sudah bercampur dengan Kolibasilosis dan juga Koriza.

Selain menggunakan obat, menghadapi problematika di lapangan, Ia menyarankan awalnya peternak sendiri harus memperhatikan manajemen. “Masa suhu panas atau dingin harus diperhatikan, manajemen litter, bau amoniak, pemanasan pengindukan buatan (brroder), semua harus diperhatikan,” paparnya.

Yang terjadi di lapangan umumnya sampai ayam umur 16-17 hari, kuning telur masih ada dalam tubuh ayam karena tidak terserap sempurna. Daya tahan ayam menjadi jelek. Kuman-kuman CRD muncul bersamaan kuman lain lantaran stres dan lingkungan alami yang tidak mendukung. Penyakitnya pun menjadi parah.

“Secara teori CRD dapat diturunkan induk ayam ke anak ayam secara trans ovarial, katanya seraya menambahkan apa di sini kuman CRD ada atau tidak pada bibit, padanya belum ada data. Stres yang memicu CRD menjadi tanggungjawab semua yang terkait. Hendaknya penyakit yang ada secara ringan tidak menjadi ganas. Kasus ringan maksudnya tidak sampai timbul gejala klinis. Kalau ayam sudah ngorok sudah pasti kasusnya lebih berat. Apalagi bila sudah komplikasi./ yonathan

Selanjutnya simak Infovet edisi Juni 2014

Menilik Sebab dan Mengurai Cara Atasi Syndroma Kerdil

Populasi padat menjadi trigger syndrome kekerdilan
Kasus lambat tumbuh alias kerdil alias”ngunyil” di Indonesia, sejatinya sudah terjadi sekitar 15 tahun yang lalu. Namun memang dalam 5 tahun terakhir ini prevalensi semakin meningkat dan membuat persoalan yang semakin pelik. Bukan saja hingga saat ini belum juga ditemukan apakah sebenarnya yang menjadi “agen penyakit” dalang penyebab utamanya. Namun juga oleh karena vaksin untuk level peternakan komersial, dinilai belum ada yang “fixed”.

Infovet sangat ingat benar akan masalah sindrom kekerdilan pada ayam itu, sebab kala itu, yaitu 15 tahun yang lalu, Infovet Yogyakarta menggali dari pakar penyakit dan kesehatan unggass Prof Dr Charles Rangga Tabbu MSc ketika itu Guru Besar ini ditemui masih di kampus lama FKH UGM Yogyakarta.

Prof Charles memprediksi bahwa sindrom ini akan menjadi persoalan serius pada industri peternakan ayam Indonesia di masa depan. Jika saat itu masih terbatas hanya menyergap farm pembibitan, maka diperkirakan akan segera merecoki juga farm ayam komersial. Dan ternyata tidak lebih dari 10 tahun, ramalan itu kini menjadi sebuah kenyataan yang sungguh memprihatinkan.

Menurut Ir Wahyu Pratomo, seorang peternak closed house di Magelang menuturkan bahwa kasus ayam lambat tumbuh adalah salah satu gangguan kesehatan pada ayamnya yang benar-benar merugikan. Nilai kerugian itu menjadi sangat besar oleh karena bisa terjadi secara merata menyerang ayam muda dalam sebuah populasi. Jika peristiwa itu terjadi pada kisaran umur 5-15 hari, maka tentu saja peternak dalam mengambil keputusan bentuk apapun yang akan ditempuh menjadi sangat membingungkan.

Mengapa demikian…?
Menurut Wahyu hal itu erat terkait dengan kepastian diagnosa tentang apakah penyebab utama sebenarnya. Sehingga muaranya adalah jenis dan bentuk terapi yang akan diambil. Selain itu juga ada pertimbangan ekonomis, tentang masih adakah peluang untuk bisa mengejar dan sekaligus menutup kompensasi dari jangka waktu umur 5-15 hari saat ayam mengalami lambat pertumbuhan itu.

Sebab dari pengalamannya, lanjut Wahyu, jika kejadian pertumbuhan yang lambat oleh karena agen penyakit sejenis ND, CRD ataupun Kolibasilosis, rentang waktu saat pertumbuhan yang lambat itu dapat dikompensasi dan dikejar berat badan ayam di hari kemudian sampai saat ayam dipanen. Meskipun memang pada kenyataannya nilai kompensasi atas hilangnya bobot ayam itu tidak juga mampu mencapai tingkat optimal. Namun toh nilai kerugiannya masih dapat ditekan.

Sangat berbeda jika peristiwa lambat tumbuh oleh karena “agen penyakit” yang belum diketahui secara pasti itu, ternyata nilai kompensasinya sangat kecil bahkan nyaris tak ada pertumbuhan yang signifikan meskipun sudah ditempuh berbagai terapi antibiotika maupun gelontoran multivitamin.

Kembali ke kisah di 15 tahun yang lalu, maka bisa dibayangkan jika kala itu, saat kasus lambat tumbuh pertama merebak, langkah terapi apapun tak memberikan hasil yang memuaskan. Namun kini setidaknya peternak sudah mampu mengambil keputusan dan sikap yang lebih jelas jika menghadapi kasus ayam lambat tumbuh.

Para peternak kini jika menemui kasus gangguan kesehatan yang sangat akrab disebut “ngunyil” itu, dengan sigap akan segera mengambil tindakan pengafkiran atas ayam-ayam yang lambat tumbuh. Sedangkan ayam-ayam yang pertumbuhannya masih normal akan terus dipelihara sampai memasuki umur panen.

Artinya dengan berbekal gejala klinis dan juga tanda-tanda yang muncul, para peternak ayam komersial akan secara tegas segera mengafkir. Namun jika gejala klinis tak mengarah ke jenis gangguan kesehatan seperti itu, maka pilihannya akan meneruskan dan melakukan tindakan perbaikan kualitas asupan nutrisi serta vitamin maupun langkah pemberian terapi antibiotika.

Saat itu Prof Charles menyebut bahwa gangguan pertumbuhan pada ayam muda pada level pembibitan ayam itu sering dinamai sesuai gejala klinis yang muncul. Seperti sebagai “Malabsorption Syndrome” oleh karena adanya gangguan penyerapan nutrisi di dalam sistem pencernaan. Sedangkan sebutan “Runting and Stunting Syndrome” oleh karena ayam lambat sekali pertumbuhannya meskipun jumlah pakan yang tersedia sudah relatif mencukupi. Kedua penamaan itu jelas merujuk terhadap performa dan progres pertumbuhan ayam muda.

Semestinya menurut Prof Charles secara ideal performa ayam muda akan mengalami pertumbuhan yang relatif cepat, dan kemudian akan melambat menjelang usia panen. Nah, pada kasus gangguan performa pertumbuhan yang belum diketahui secara pasti “agen utama penyebabnya” itu, laju pertumbuhan sudah terseok-seok sejak awal. Makanya kemudian penamaan gangguan kesehatan itu lebih pas disebut sebagai sindrom.

“Penyebutan kata ‘sindrom’ itu sendiri, oleh karena agen penyakitnya belum diketahui secara pasti. Dan jenis agen penyakit yang menjadi penyebabnya ternyata tidak hanya 1 (satu) atau 2 (dua) buah saja. Namun ada banyak sekali dan juga banyak faktor yang berperanan menjadi penyebabnyam,” ujar Prof Charles.

Oleh karena itu, Prof Charles, menyebutnya sebagai gangguan kondisi kesehatan pada ayam muda yang disebabkan oleh “aspek yang multifaktorial”. Penyebutan kata “aspek multifaktorial” akhirnya menjadi sangat tenar dan dikenal kala itu hingga saat ini, dimana yang pertama kali mengucapkan dan mempopulerkan adalah Prof Charles kepada Infovet.

Sedangkan menurut pengalaman lapangan Wahyu Pratomo, jika ayam sudah mengalami sindrom lambat tumbuh, maka langkah utama dan secara simultan adalah dengan memberikan asupan multivitamin secara lebih dari cukup dan melakukan terapi antibiotika serta mengafkir ayam yang sudah jelas lambat tumbuh./ Iyo. 

Selengkapnya baca di edisi MEI 2014

Pengalaman Praktis Peternak dan Konsep Akademis Ayam Kerdil

Ketiga kelompok ayam milik peternak Asan dan Ny Mujianto ini berumur sama tapi beda besarnya. Kelompok kanan adalah ayam kerdil
Tak cukup meliput pengalaman praktis lapangan peternak, Infovet juga berburu justifikasi akademis ke perguruan tinggi. Yang terakhir ini aku menemui akademisi yaitu Drh Djoko Legowo MKes dosen dan peneliti Laboratorium Patologi FKH Unair.

Manifestasi ayam kerdil secara infeksius memang disebabkan oleh virus Reo. Drh Joko menjelaskan adanya manifestasi yang tidak patognomonis alias tidak khas dari sekian penyakit. Ada pula infeksi sekunder penyakit bakteri/ virus mengikuti infeksi primer. Muncullah berbagai macam penyakit baik yang imunosupresif, baik yang patognomonis maupun non patognomonis. Meskipun tidak patognomonis, kita bisa mengarahkan kajian patologis berdasar manifestasi klinis.

Menurut Drh Joko umumnya suatu penyakit baru menjadi perhatian banyak orang ketika strain baru merebak, atau terjadi wabah penyakit tertentu. Baru saat itu kita berpikir, seluruh stake holder menghitung ulang. Pada saat itu perhatian baru kembali diarahkan ke biosecurity yang sesungguhnya cakupannya luas dengan industri perunggasan Indonesia.

Drh Joko mengingatkan perlunya teman-teman industri persoalan berhadapan dengan penyakit macam ini. Penyakit-penyakit baru, apalagi. Kalau bisa menangani penyakit klasik dengan baik bisa mengelimir secara relatif. Kenyataan ayam kerdil timbul sebagai manifestasi juga karena faktor-faktor lain seperti genetik, nutrisi dan pengelolaan pemanasan dan peternakan secara umum.

Yang terakhir ini juga terkait dengan cekaman lingkungan. “Industri perunggasan sangat sadar betul adanya faktor pemicu penyakit dari cekaman lingkungan, environmental stressor, suhu dan kelembaban, global warning atau tataran iklim lebih modern,” ujar Drh Joko.

Secara kausatif, pada predileksi penyakit non infeksius ada stressor muncul dari kelembaban. Suhu berubah mendadak, heat stress, penurunan stres imun, menyebabkan penyakit, kelembaban dan suhu. “Berdasar kajian cukup lama, pikiran teman-teman selalu infeksius. Padahal penyebab penyakit yang non infeksius sangat besar pengaruhnya,” katanya.

Aflatoksin, metabolisme sekunder aspergilus muncul karena lingkungan yang buruk, mencemari pakan, stres oksidatif, imunosupresan. Salah satu dampaknya muncul penyakit ayam kerdil, yang penyebabnya saling berkelindan. Di sini pun berperan faktor maternal antibody, DOC rentan kena.

Sudah menjadi rahasia umum, dibutuhkan solusi sejak di pembibitan yang berpengaruh pada status imun bibit. Selanjutnya tetap dikelola secara maksimal dan optimal pada sektor produksi. Dengan catatan memperhatikan, kelola, atasi, semua faktor non infeksius tadi.

Praktis dan Akademis
Untuk pembanding konsep akademis, Infovet juga menemui Drh Berny Julianto MVet dari Laboratorium Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Untuk S2, Drh Berny sendiri mendalami vaksinologi dan imunoterapeutik. Menurutnya penyakit oportunistik karena virus dapat mengikuti keberadaan suatu penyakit.

Menurutnya kejadian suatu penyakit pada ayam dicegah. Mencegah masuknya penyakit pada ayam ini utamanya dengan memperhatikan masuknya bibit penyakit ke kandang dari sumber yang aman. Kalau terpaksa memasukkan air dari sungai di luar, misalnya, harus dengan treatment air memakai Klorin.

Berdasar pengalamannya dulu di peternakan besar di Pasuruan Jawa Timur, pernah dalam perlakuan air kandang, air diberi tablet besar kaporit yang dialiri air dengan pipa. Harus dicek sejauh mana air bisa mencapai seluruh kandang. Bukan dengan permukaan saluran air yang tinggi sebelah, atur pipa air jangan dari ujung ke ujung tapi gunakan sarang laba-laba. Kaporit tablet dilerakkan di tengah sarang laba-laba. Dengan model sarang laba-laba ini maka air dari pinggir-pinggir akan mengalir secara merata ke tengah. Air yangsudah di-treatment kaporit tabley dengan sendirinya akan jatuh dan merata perlakuannya. Kadar kaporit akan merata dan efisien dari penggunaan kaporit untuk air yang sehat./ Yonathan.

Simak selengkapnya di edisi MEI 2014.

Kasus Penyakit Surra Terkini.

Peta kejadian Surra di Banten
Sekitar Maret 2014, di Provinsi Banten ditemukan kasus penyakit Surra yang mengakibatkan kematian puluhan kerbau lokal maupun kerbau bantuan pemerintah. Hasil analisis PCR terhadap vektor lalat penghisap darah (haematophagous flies), menunjukkan hasil positif yang mengindikasikan ancaman penyebaran wabah Surra. 

Menteri Pertanian kembali menetapkan Surra sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts./OT.140/04/2013.  

Kejadian Surra di wilayah Banten terdeteksi pertama kali pada bulan Mei 2013, yakni di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang. Surra juga merebak di Desa Calung Bungur, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Pada September 2013, terjadi di Desa Bojong Leles, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak.

November 2013, kasus Surra di Kabupaten Pandeglang menyebar semakin merambah ke beberapa desa diantaranya Jiput, Pagelaran, Menes, dan Cimanuk. Di Kota Serang, Surra menuju Desa Curug Manis, Kecamatan Curug, kemudian Desa Terondol, Kecamatan Serang, dan Desa Pageragung, Kecamatan Walantaka. Sementara pada Maret-April 2014, kasus Surra terjadi di Desa Pagelaran, Desa Abuan, Mones, Kabupaten Pandeglang.

Drh Putut Eko Wibowo selaku Kepala Seksi Informasi Veteriner, Balai Veteriner Subang mengemukakan Provinsi Banten sebagai salah satu lumbung ternak kerbau nasional  masih memiliki masalah dengan kasus penyebaran  Trypanosoma sp. Putut yang dijumpai  keberadaan Taman Nasional Ujung Kulon di Propinsi Banten harus terus dilindungi dari bahaya infestasi penyakit Trypanosoma pada badak bercula satu yang ada didalamnya.

Keberadaan obat-obatan seperti Tryponil dan Trypamedium untuk penanggulangan Surra harus terus diamati efikasinya terhadap penanggulangan Trypanosoma. Insektisida yang aman dan ramah lingkungan sangat diperlukan dalam menanggulangi vektor yang ada. Pengaturan lalu lintas ternak antar kabupaten harus terus terpantau melalui peningkatan peran dokter hewan, terutama dalam merekomendasikan SKKH untuk ternak yang akan ditransportasikan.

Penyakit Surra terkait erat dengan lalu-lintas ternak, baik nasional maupun internasional. Kejadian Surra di Pulau Sumba pada tahun 2010 disebabkan masuknya ternak yang terinfeksi T.Evansi ke wilayah tersebut. Dalam waktu relatif cepat, ribuan ternak mati sampai diumumkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Pulau Sumba memiliki sumber daya genetik asli (plasma nutfah) yaitu Sapi Sumba Ongola (SO) dan Kuda Sandel Wood. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan semua pihak  untuk menyelamatkan dan melestarikan ternak tersebut.

Drh Manuel Agustinus Kitu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur mengatakan mahalnya obat Surra dan patogenitas yang tinggi, serta banyak hewan menjadi reservoir, ditambah sulitnya pembentasan vektor menjadi  hal utama yang dikeluhan peternak. Secara nilai ekonomi, kerugian yang diakibatkan Surra pun mencapai ratusan miliar rupiah.

“Stok obat harus selalu ada, jangan sampai tersendat. Kalau kita kekurangan obat, Surra bisa semakin merajalela,” tanda Manuel kepada Infovet, Kamis (17/4) di Jakarta. Manuel menambahkan setiap tahunnya Direktorat Kesehatan Hewan memasok 6000 bungkus/dosis obat Surra baik itu Tryponil maupun Trypamedium.

Mengingat penyakit Surra bersifat immunosupresif, maka dlakukan pola pengobatan massal. “Pemberian Trypamedium setiap tiga atau empat sekali setahun, agar dapat menstimulasi munculnya respon antibody terhadap vaksinasi penyakit lainnya. Kami lanjutkan dengan pengobatan Tryponil pada ternak yang menunjukkan gejala klinis dan hasil diagnosa laboratorium, positif Surra,” jelas Manuel.

Pengendalian penyakit Surra, tidak semata-mata hanya untuk mencegah kerugian ekonomi, dampak negatif pada aspek sosial ekonomi rakyat, tetapi juga untuk mencegah kepunahan sumberd aya genetik ternak unggul nasional, termasuk satwa liar yang dilindungi.

Surra mungkin belum mampu diberantas seluruhnya. Operasionalisasi dalam pengendalian penyakit Surra di lapangan masih terhambat oleh beberapa hal seperti koordinasi, pengawasan lalulintas ternak, keterbatasan anggaran, kapasitas laboratorium veteriner, partisipasi masyarakat. Pengendalian Surra yang efektif, disamping dukungan hasil-hasil penelitian juga perlu dilakukan koordinasi dan sinergi lintas sektoral. (nunung)

Serangkaian Hasil Penelitian Penyakit Surra

Produk nano partikel zero valen dalam ethanol
Surra atau trypanosomiasis disebabkan oleh parasit darah Trypanasoma evansi yang patogen, seringnya menyerang ternak domestik seperti kuda, kerbau, dan sapi. Parasit ini hdup darah induk semang dan memperoleh asupan glukosa sehingga menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stres, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dapat menjadi faktor pemicu kejadian penyakit ini.

Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah, seperti Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Chrysops, dan Hematobia maupun jenis arthropoda lain seperti kutu dan pinjal. Gejala klinis akibat infeksi T. evansi yang dapat diamati antara lain demam, lesu, anemia, kurus, bulu rontok, keluar getah radang dari hidung dan mata, selaput lendir tampak menguning, jalan sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) dikarenakan parasit berada dalam cairan Serebrospinal sehingga terjadi ganggaun syaraf. 

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) melalui Balai Besar Penelitian Veteriner (BB Litvet) sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No.34/Permentan/OT.140/3/2013 merupakan laboratorium rujukan nasional di bidang veteriner dan kesehatan masyarakat veteriner. Demikian halnya dengan yang disampaikan oleh Dr drh Hardiman MM, selaku Kepala BB Livet pada acara Diskusi Panel Penyakit Surra, Kamis (17/4) di Auditorium Balitbangtan.

Dalam acara diskusi tersebut, Balitbangtan menyatakan komitmennya untuk terus melakukan serangkaian kegiatan penelitian Surra. Menurut April Hari Wardhana SKH MSi PhD, salah satu peneliti Balitbangtan mengatakan saat ini institusinya memiliki isolat lokal T. evansi  sebanyak 381 isolat  yang dikoleksi dari kepulauan Indonesia dan disimpan di dalam nitrogen cair (cryopreservation).

Balitbangtan merupakan salah satu “bank T. evansi” di dunia, selain dimiliki negara Kenya dan Inggris. Koleksi isolat lokal tersebut diperkirakan bertambah dengan semakin merebaknya kasus Surra di lapangan. Laporan terkini hingga 16 April 2014 diperoleh 4 isolat  T. evansi baru di  Kalang Kampeng Sukanegara, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang (12 ekor sampel yang dikoleksi, 4 diantaranya positif) sehingga menjadi 385 isolat.

Tahun 2010, Balitbangtan mampu mengidentifikasi perbedaan derajat patogenitas pada beberapa isolat yang dimiliki, sehingga dikelompokkan menjadi 3 galur antara lain galur patogenitas tinggi, rendah, dan moderat (campuran antara patogenitas tinggi dan rendah). Karakterisasi galur patogenitas tersebut tidak hanya sebatas secara parasitologi, namun dikembangkan dengan melihat profil protein, profil sitokin, gambaran hispatologis hingga pencarian marka molekuler untuk mendeteksi tingkat patogenitas suatu isolate T. evansi.

Uji Obat Surra
Beberapa metode sederhana juga dikembangkan untuk membantu petugas lapangan dalam penegakan diagnosa Surra, termasuk melakukan uji coba obat Surra sebelum obat diperdagangkan. Hasil-hasil penelitian ini sangat membantu dalam strategi pengendalian surra di lapangan. “Hasil uji coba nano teknologi dengan menggunakan logam yang terserap tubuh dengan melibatkan pihak perguruan tinggi (IPB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Saat ini masih berlangsung kegiatan penelitian secara in vivo sebagai tindak lanjut dari hasil uji in vitro,” ungkap April.

Selain melakukan uji coba berbasis bahan kimia, Balitbangtan juga melakukan uji-uji obat berbasis herbal Hasil uji obat herbal untuk atasi Surra. April menerangkan hasil uji obat herbal untuk Surra secara in vitro dengan memanfaatkan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau yang mampu membunuh T. evansi  dalam waktu kurang dari 1 jam. “Pengobatan dengan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi  (isolat patogen tinggi) menunjukkan hasil yang hanya mampu menghambat pembelahan parasit tersebut di dalam darah, tetapi tidak dapat membersihkannya,” terang April. Lanjut dia, penujian menggunakan ekstrak metanol daun kipahit dan teh hijau terhadap mencit yang diinfeksi T. evansi  (isolat patogen tinggi) mampu memperpanjang daya tahan hidup, 2 hari lebih lama dibandingkan dengan mencit kontrol yang diinfeksi T. evansi tanpa pengobatan.

Surra Apakah Zoonosis?
Kendati Surra tidak dikategorikan sebagai penyakit zoonosis, kasus Surra pada manusia dilaporkan terjadi di Sri Lanka pada tahun 1999 dan India tahun 2004. Laporan terbaru Surra menyerang peternak unta di Mesir tahun 2011.Mengapa Surra juga berpotensi sebagai penyakit zoonosis? Pertama, karena parasit telah mengalami mutasi, sehingga resisten terhadap faktor trypanolictic yang terdapat di dalam darah manusia. Kedua, penderita Surra memiliki kelainan faktor trypanolictic di dalam darahnya.

Terkait dengan potensi timbulnya Surra sebagai zoonosis, Balitbangtan melakukan uji coba serologis terhadap beberapa peternak di beberapa kawasan yang terinfeksi wabah Surra. Dari 24 sampel yang diuji, diperoleh 4 sampel positif terhadap antigen Surra. Hasil tersebut setidaknya mengindikasikan adanya kontak vektor Surra kepada peternak, yang kemungkinan dapat menjadi pintu awal adanya evolusi parasit terhadap manusia/ Nung

Selanjutnya simak di Majalah Infovet edisi cetak Mei 2014.

Musim pancaroba dan Potensi Munculnya Birahi Tenang

pakan sbgai antisipasi berahi tenang
Birahi tenang adalah suatu kondisi dimana seekor sapi betina meski sudah memasuki masa birahi, namun sama sekali tidak memperlihatkan gejala dan tanda tanda khusus bahwa sapi itu birahi sebagaimana seharusnya. Faktor penyebab gangguan fisiologis reproduksi itu memanglah multifaktorial.

Namun demikian, pada umumnya mendekati angka 85%, sapi betina umumnya akan selalu memperlihatkan tanda-tanda birahi. Sebagaimana dari berbagai hasil penelitian telah diperoleh data dan informasi bahwa potensi untuk terjadinya birahi tenang, umumnya akan sangat relatif merugikan terhadap sebuah usaha budidaya ternak sapi. Khususnya pada sapi perah. Mengapa begitu merugikan sekali, hal itu terkait erat dengan membengkaknya ongkos produksi dan juga produksi susu dan reprodukstifitas yang rendah.

Salah satu faktor yang begitu mempunyai pengaruh kuat terjadinya gangguan fisiologis reproduksi itu adalah kondisi musim. Terutama sekali sapi perah yang berada di daerah tropis seperti di Indonesia. Adapun kondisi musim yang dimaksud adalah pada musim peralihan atau pancaroba. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Drh Yusuf Arrofik, seorang praktisi sapi perah berpengalaman yang hampir lebih dari 15 tahun. Bergelut dengan usaha peternakan sapi perah. Kini, ayah 2 orang anak itu mengabdikan diri sebagai abdi negara pada Dinas Peternakan Klaten Jawa Tengah.

Seperti diketahui, bahwa fungsi reproduksi pada sapi betina dipengaruhi dan dikontrol  oleh sebuah mekanisme hormonal. Dan mekanisme hormonal itu erat terkait dengan fungsi organ tubuh secara integratif. Artinya, status kesehatan ternak sapi inheren dengan status fisiologis reproduksinya. Jika kondisinya sedang dalam pengaruh situasi pergantian musim, sudah pasti akan menyebabkan fungsi reproduksinya terganggu. Meski sebenarnya, jelas Yusuf, bahwa keseimbangan fungsi itu akan berjalan secara otomatis dan penyesuaian itu berlangsung sesuai dengan “tantangan” lingkungan. Namun untuk Negara beriklim panas, seperti di Indonesia, oleh karena gradasi peralihan musim relatif kurang smooth, akhirnya selalu menyebabkan adanya gangguan fisiologis reproduksi.

Yusuf menjelaskan, bahwa neraca keseimbangan fisiologis tubuh sapi perah di Indonesia sangat berbeda sekali dengan sapi perah di negara-negara sub tropis. Meskipun sudah ada proses adaptasi dan aklimatisasi sapi perah di Indoensia, namun tetap saja potensi terganggunya fungsi reproduksi itu masih besar.

Birahi tenang (silent heat) atau birahi yang tak termanifestasi secara visual yang ditemukan pada sapi perah sebenarnya merupakan persoalan yang cukup serius. Bukan saja menyebabkan produktifitas susu dan reproduktifitasnya rendah, namun juga membawa dampak lain berupa semakin cepatnya untuk terjadi proses pengafkiran atas ternak itu. Padahal antisipasi dan terapi untuk mengatasi hal itu masih sangat terbuka untuk ditempuh/ iyo

Artikel lebih lengkap bisa baca di edisi MEI 2014.

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer