Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

VIRUS SEBAGAI SI CANTIK DAN SI BURUK RUPA


Dibalik keganasan virus sebagai sumber malapetaka yang mematikan, ternyata keberadannya masih bisa dijinakkan sehingga dapat bermanfaat bagi umat manusia. Ini diibaratkan sebagai ‘the beauty and the beast
(si cantik dan si buruk rupa).

Pembuka orasi ilmiah yang diawali dengan paparan kocak tersebut disampaikan oleh Profesor Dr drh I Gusti Ngurah Kade Mahardika pada acara pengukuhan Guru Besar Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, di Gedung Widya Sabha Universitas Udayana Bukit Jimbaran. Orasi berjudul Pengembangan Virologi Molekuler Sebagai Basis Pengendalian, Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Virus sangat penting untuk kepentingan dunia kesehatan manusia dan hewan.

Dalam orasi ilmiahnya, disebutkan bahwa virologi sebagai ilmu yang mempelajari virus mengalami perkembangan yang pesat sejak 1980-an. Revolusi dalam biologi molekuler diaplikasikan untuk menginterprtasikan dan memahami struktur dan replikasi virus serta patogenesis dan epidemiologi penyakit virus.

Kajian virus pada tingkat molekuler meliputi analisis materi genetik (genom) virus dan produk-produknya serta interaksi dengan protein seluler induk semang (host) manusia, hewan dan tanaman melahirkan cabang ilmu baru disebut virologi molekuler. Piranti diagnostik, vaksin dan obat-obat anti virus yang saat ini dipasarkan merupakan hasil riset virologi molekuler. Produk-produk ini terus menerus diperbaiki, disempurnakan atau diganti dengan cepat.
irus merupakan makhluk sub-seluler yang memiliki materi genetik RNA atau DNA dan melakukan replikasi hanya pada sel hidup yang sesuai. Virus terkecil (Circovirus) berukuran 16 nm (nano meter: 1 mikron = 1000nm) dan terbesar virus cacar 450 nm. Ultrastruktur yang sederhana menyebabkan paling mudah dipelajari secara molekuler, sehingga sering dianggap sebagai ‘Trojan Horse’.

Tahap awal infeksi virus adalah penempelan virus pada dinding sel. Proses ini melibatkan komponen protein permukaan virus sebagai ligand dengan reseptor permukaan sel. Pada virus pseudorabies protein itu adalah gIII, rabies protein G, cacar epidermal growth factor, Rhinovirus VP1, 2 dan 3, encefalomielitis virus VP4, coronavirus HE, parainfluenza H-N, influenza HA dan HIV gp120. sedangkan reseptor pada permukaan sel dapat berupa reseptor epidermal growth factor (cacar), ICAM-1 (rhinovirus), IgG (encefalomielitis), asetil-kolinesterase (rabies), asam sialat (influenza), CD4 (HIV).

Tahap penetrasi merupakan proses pelepasan selubung virus (uncoating) di sitoplasma atau di inti sel. Tahap transkripsi untuk virus DNA dan/atau translasi serta replikasi genom virus untuk memproduksi mRNA, protein virus dan genom anakan yang melibatkan enzim dan mekanisme seluler, kecuali virus RNA yang berpolaritas negatip memiliki RNA-dependent-RNA polymerase (influenza, paramiksovirus, rabies).

Proses transkripsi, translasi dan replikasi genom masing-masing virus berbeda. Virus DNA rantai ganda (papovavirus, adenovirus, herpesvirus) menggunakan transkriptase seluler untuk menghasilkan mRNA yang selanjutnya mengalami splicing yaitu penghilangan intron sehingga mRNA dewasa ini menjadi protein. Virus yang tidak mengalami splicing adalah virus cacar dan African swine fever. Virus DNA serat negatip tunggal (parvovirus) menggunakan transkriptase seluler menghasilkan mRNA serta mengalami splicing sebelum ditranslasi menghasilkan protein. Reovirus dan birnavirus (penyebab Gumboro) mempunyai RNA genom serat ganda. Serta negatip dari genomnya digunakan oleh enzim RNA-polymerase untuk menghasilkan mRNA. Serat positip untuk membentuk serat negatip untuk menghasilkan mRNA.

Tahap terakhir adalah maturasi, perakitan dan rilis. Protein yang dihasilkan ditransportasikan ke bagian tertentu dari sel sesuai dengan transpor signal pada protein itu yang selanjutnya mengalami glikosilasi dan pemotongan. Virus yang memiliki amplop memperoleh selubung lemak pada saat rilis dari sel dan keluar dari sel dengan menyembul ke permukaan (budding).
(masdjoko/wan)

Pembahasan mengenai Virus Avian Influenza (AI/Flu Burung) menurut Prof Dr drh I Gusti Ngurah K Mahardika serta mengenai Indonesia yang saat ini memerlukan sebuah Lembaga Pengendalian Penyakit dipaparkan secara lengkap oleh Wartawan Infovet dalam sebuah artikel dalam sebuah artikel pada majalah Infovet edisi 187/Februari 2010 ........................................................................................untuk Informasi pemesanan dan berlangganan klik disini

SETELAH TUJUH TAHUN BERSAMA FLU BURUNG

Penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih populer dengan flu burung yang mewabah di Indonesia sejak bulan September tahun 2003 telah menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Penyakit ini menjadi perhatian dunia karena telah menular ke manusia pada tahun 1997 di Hongkong. Setelah itu flu burung ditemukan di sejumlah negara Asia, yaitu Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Penularan dari hewan ke manusia yang menyebabkan kematian, menimbulkan kekhawatiran terjadinya pandemi (wabah penyakit infeksi yang menyebar ke seluruh dunia atau dalam wilayah yang luas) seperti pandemi yang terjadi pada tahun 1918-1919 di kenal sebagai Influenza Spanyol (Spanish Flu), dan dianggap sebagai wabah flu terbesar sepanjang masa.

Penyakit AI yang disebabkan oleh virus Influenza Tipe A dari keluarga Orthomyxoviridae ini berdasarkan patogenitasnya, dibedakan menjadi dua bentuk yaitu Low Pathogenic Avian Influenza (LPAI) dan High Pathogenic Avian Influenza (HPAI). Selain menyerang ayam ras komersial, penyakit AI juga menyerang berbagai jenis unggas termasuk unggas eksotik yang dipelihara di kebun binatang.

Banyak pakar melaporkan bahwa unggas air seperti entog, angsa dan itik bertindak sebagai carrier virus AI, sehingga dapat berperan sebagai ’inkubator’ virus sebelum ditularkan ke hewan lainnya. Sementara itu ternak babi dapat bertindak sebagai intermediate host, sedangkan burung-burung liar diduga dapat menyebarkan virus tersebut. Realitas ini memungkinkan terjadinya penyebaran penyakit lebih luas termasuk penularan pada manusia, karena AI merupakan salah satu penyakit zoonosis yang paling diperhitungkan.

Di Indonesia, virus LPAI sudah diisolasi dari itik dan burung Pelikan pada tahun 1983 dan diidentifikasi sebagai H4N6 dan H4N2. Penyebab wabah peyakit AI yang terjadi di Indonesia pada tahun 2003 telah dapat diisolasi, dan selanjutnya dikarakterisasi sebagai virus AI dengan subtipe H5N1 yang sangat patogen.

Beberapa strain virus LPAI mampu bermutasi pada kondisi lapang menjadi virus HPAI. Virus HPAI bersifat sangat infeksius dan dapat menyebabkan kematian hingga 100% dalam waktu yang cepat pada unggas dengan atau tanpa gejala klinis, dan dapat menyebar dengan cepat antar flock.

Penularan ke unggas lain terjadi melalui kontak langsung dengan sumber penularan sekresi hidung, mata dan feses dari unggas terinfeksi, udara di daerah tercemar, peralatan kandang tercemar atau secara tidak langsung melalui pekerja kandang, kendaraan pengangkut, pakan, dan lain-lain yang berasal dari daerah tercemar. Feses yang terkontaminasi virus AI dapat tahan sampai waktu yang sangat lama terutama dalam keadaan sejuk dan lembab.

Kerugian Terbesar Karena Pemberitaan
Merebaknya kasus penyakit AI di berbagai wilayah Indonesia diduga mempunyai dampak yang cukup serius secara lintas sektoral, mengingat dampak sosial ekonomi yang ditimbulkannya cukup besar. Dampak terbesar menurut Drh Slamet Riyadi pada industri perunggasan dan sarana pendukung lainnya. Sejak merebaknya kasus flu burung ini, industri perunggasan Indonesia bahkan dunia merosot tajam sampai ambang batas kolaps. Data kerugian akibat flu burung diperkirakan mencapai Rp 3.87 trilyun, dengan banyaknya ternak unggas yang mati maupun dimusnahkan akibat terpapar virus ini.

Dampak lain menurut Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Cabang Lampung ini adalah meningkatnya impor produk peternakan, serta kepanikan masyarakat yang berakibat sebagian menghindari konsumsi telur dan daging ayam. Kepanikan terjadi di masyarakat bukan karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan media, akan tetapi karena materi dan pelaksanaan sosialisasi itu sendiri yang keliru di lapangan, sehingga kasus pneumonia pada manusia yang seyogianya diarahkan ke Tuberkolosis, dengan adanya gaung flu burung kasus tersebut diarahkan menuju kasus penyakit AI.

Di samping itu, pemberitaan yang berlebihan tentang flu burung ternyata memiliki dampak tersendiri bagi industri perunggasan nasional. Kerugian yang dialami oleh masyarakat perunggasan bukan disebabkan dampak langsung dari wabah flu burung, melainkan akibat pemberitaan yang berlebihan dan tidak proporsional.

Berbagai usaha dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus AI di lapangan. Usaha penanggulangan AI ditempuh dengan jalan pemusnahan massal ayam-ayam yang terpapar AI dengan memberikan dana kompensasi pada peternak. Sulitnya penanggulangan AI di Indonesia terkendala pada sosial budaya masyarakat yang kental. Di samping itu, masalah utama yang menyebabkan sulitnya penanggulangan penyakit tersebut adalah adanya usaha-usaha peternakan unggas dengan skala non komersial pada lokasi yang tersebar, sehingga jumlah dan keberadaannya sulit dikontrol, oleh karena belum adanya perwilayahan (zoning) industri perunggasan itu sendiri.

Penerapan biosekuriti yang ketat pun pada sistem budidaya, pemasaran, distribusi, dan pemotongan unggas pada berbagai sektor usaha perunggasan khususnya pada sektor 3 dan 4 juga masih longgar dan menjadi persoalan yang sulit dipecahkan. Demikian juga halnya dengan program vaksinasi. Sebagian peternak menyatakan bahwa vaksinasi AI khususnya pada ayam pedaging tidak perlu dilakukan mengingat biaya yang dikeluarkan untuk vaksinasi cukup tinggi, namun dalam konteks pencegahan penyakit, vaksinasi dianggap sebagai satu cara jitu yang dapat menghambat masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh ternak. Lantas, bagaimanakah kondisi usaha peternakan terkini setelah 7 tahun bersama penyakit AI?
(sadarman, dari berbagai sumber)

Beragam laporan dari beberapa narasumber Infovet di lapangan mengenai pembahasan ini, seperti dari Prof Drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD, drh Dinar Hadi Wahyu Hartawan, dari Padang; Drh Dodi Mulyadi, dari Palembang; Drh Hari dan Ir Hanggon dirangkum dalam sebuah artikel Infovet edisi 187/Februari 2010 ........................................................................................untuk Informasi pemesanan dan berlangganan klik disini

Tahun Baru 2010 Bersama Medion

Kemeriahan tahun baru 2010 semakin terasa tatkala pada Minggu pagi tanggal 3 Januari 2010 di lokasi pabrik Medion Cimareme Bandung, diadakan perayaan tahun baru 2010 bersama seluruh staf Medion. Kegiatan ini sebagai ungkapan berbagi kebahagiaan dengan semua staf yang telah turut serta membangun Medion.

Nuansa kekeluargaan dan persaudaraan sangat terasa dalam acara tersebut dimana satu sama lain saling berbaur bercengkerama dan bercanda tanpa mengindahan pangkat yang dikenakan. Berbagai hiburan selayaknya acara tahun baru juga turut menyemarakkan kegiatan tersebut. Dalam kesempatan itu pula, Medion menganugerahkan penghargaan kepada 40 orang staf atas loyalitas mereka berkarya bersama Medion selama 5, 10, 15 hingga 30 tahun.

Tema yang diangkat kali ini adalah “Medion Go Green” yang turut dimeriahkan dengan pembagian souvenir berupa tanaman buah seperti nangka, belimbing, jeruk dan mangga. Diharapkan tanaman itu akan ditanam oleh tiap peserta di rumahnya masing-masing sebagai bentuk partisipasi menekan efek global warming.

Tema Medion Go Green bertujuan untuk meningkatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Dengan mengadopsi slogan reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (daur ulang), diharapkan setiap pekerja bisa mengamalkan perilaku ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-harinya. (red)

Quo Vadis Kebijakan Vaksin AI di Indonesia

Oleh: Drh Abadi Sutisna MSi

Alhamdulillah sampai akhir tahun 2009 Avian Influenza alias ”flu ayam” masih eksis di Indonesia, walaupun kasusnya tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya kalau mau diintrospeksi, mau sampai kapan virus ini bisa diberantas? Bahkan apakah mungkin Indonesia bisa memberantasnya?

Barangkali sudah sekian puluh penelitian yang dilakukan oleh lembaga Departemen Pertanian, Universitas dan tak kurang-kurangnya bantuan asing yang mengaitkan expert yang satu dengan yang lainnya untuk meneliti penyakit akibat virus AI yang notebene adalah juga penyakit zoonosis. Belum lagi Depkes yang juga tak kalah rajinnya mengumpulkan data darah peternak ayam di Jawa Barat.

Kalau ditinjau dari segi pemberantasan penyakit seharusnya faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengendalian AI dengan kebijakan vaksinasi adalah:
1. jenis virus yang ada di lapangan.
2. jenis vaksin yang ada di pasaran.
3. jumlah vaksin yang tersedia.
4. kualitas vaksin, dan
5. pola penyebaran jenis virus.

Berangkat dari situ sudah barang tentu perlu diperhatikan juga ”Dinamika Virus AI” artinya virus ini sangat cepat berubah. Lihat saja gejala patologi anatomi yang ditimbulkan oleh virus AI pada awal outbreak di tahun 2003 sangat berbeda dengan gejala patologi anatomi pada AI yang sekarang.

Kedua, dinamika ayam dalam hal ini DOC, misalnya DOC yang diproduksi dari wilayah Jawa Barat divaksin dengan vaksin AI strain Legok, maka hanya dalam waktu beberapa jam kemudian ayam sudah sampai di Jawa Timur atau Bali. Dari sini bisa diartikan bahwa jenis vaksin yang di Jawa Barat sama dengan jenis vaksin yang di Jawa Timur atau Bali. Dengan demikian untuk dapat mengikuti dinamika virus AI dilapangan perlu kesinambungan Pemetaan Antigenik (antigene mapping) Virus AI sehingga dapat diikuti terus-menerus perkembangannya.

Sejauh ini belum diketahui pasti apakah kenaikan titer antibodi pada ayam dikarenakan oleh hasil vaksinasi ataukah karena infeksi alam. Hal ini perlu ditelaah supaya kita tidak terlena dengan hasil vaksinasi dari pemantauan tersebut, yang seharusnya perlu diperkuat dengan pelaksanaan program DIVA (Differentiating Infected from Vaccinated Animals).

Atas dasar itulah dirasa perlu dilakukan ”uji tantang” (challenge test) terhadap vaksin yang beredar di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya virus AI yang mana yang akan digunakan sebagai virus tantang? Juga perlu diyakinkan melalui kajian yang seksama bahwa virus yang digunakan untuk uji tantang adalah benar-benar mempresentasikan keadaan di lapangan. Uji tantang ini berlaku untuk semua jenis vaksin yang beredar di Indonesia baik produksi lokal maupun impor, sehingga mohon maaf kepada produsen vaksin lokal bukannya tidak percaya pada kualitasnya, tetapi supaya diketahui ketepatan policy pemberantasan AI.

Beberapa waktu yang lalu produsen vaksin AI dikejutkan dengan adanya ”issue” bahwa pemerintah hanya akan menggunakan vaksin AI H5N1 strain lokal. Pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana dengan peternak yang telah terbiasa menggunakan vaksin impor? Kalau ujug-ujug impor vaksin tersebut distop akan timbul kekosongan stok vaksin akibatnya pembibit/peternak dirugikan dan lebih parah lagi virus shedding akan makin besar. Belum lagi hal ini juga dikhawatirkan akan kembali menyuburkan upaya penyelundupan vaksin ilegal dari luar negeri karena permintaan yang melambung tinggi sementara stok tidak ada. Untuk itu perlu dijaga agar impor vaksin tidak terhambat sebelum diberlakukan ketentuan baru.
Tenggang waktu harus diberikan untuk kesiapan bagi pemerintah maupun para importir dan produsen vaksin AI dalam negeri. Hal ini agar dapat memberi kesempatan persiapan yang cukup bagi importir maupun produsen vaksin sebelum membuat vaksin baru atau sebagai stok vaksin lama paling sedikit selama 12 bulan. Karena diketahui sebagian besar perusahaan pembibitan lebih mempercayai (fanatik) menggunakan vaksin AI yang menurut mereka sudah terbukti kehandalannnya.

Kemudian di bulan November 2009 lalu tersiar kabar bahwa pemerintah akan menentukan 4 masterseed virus AI yang bakal dijadikan vaksin AI. Nah keempat virus tersebut adalah :
  1. A/Chicken/West Java/PWT-WIJ/2001
  2. A/Chicken/Pekalongan/BBVW-208/2007
  3. A/Chicken/Garut/BBVW-223/2007
  4. A/Chicken/West Java (Nagrak)/30/2007
Mudah-mudahan masterseed ini sudah diuji purity, potency, proteksi, safety, stability dan quality-nya, sekali lagi mudah-mudahan. Berbagai pertanyaan kemudian muncul dari berbagai pihak mengenai rencana perubahan kebijakan vaksinasi AI ini. Beberapa pertanyaan itu diantaranya adalah, Siapa dan lembaga mana yang telah menguji keempat master seed tersebut? Tetapi peraturan tinggal peraturan. Di Indonesia tetap harus ada petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak). Artinya semua kebijakan tersebut tentu harusnya sudah melalui prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pemerintah pun melalui Surat Edaran yang ditandatangani Dirjen Peternakan No. 30099/PD.620/F/9/2009 tanggal 30 September 2009 memberikan kriteria yang jelas bahwa untuk menghasilkan vaksin yang baik dengan kualitas, efikasi dan keamanan yang tinggi serta potensi yang optimal master seed baru harus :
  1. Berasal dari subtipe H5N1,
  2. Sifat immunogenisitas tinggi,
  3. Sifat antigenisitas dengan cakupan geografis yang luas,
  4. Sifat genetik dan antigenik yang stabil, serta
  5. Tingkat proteksi yang tinggi terhadap uji tantang dengan beberapa isolat virus yang berbeda karakter genetik dan antigeniknya.
Pertanyaan berikutnya adalah kapan peraturan yang ditunggu itu akan keluar dan apakah akan segera berlaku? Dari keempat master seed tersebut, dimana disimpannya? Bagaimana cara produsen vaksin bisa mendapatkan master seed tersebut? Apakah harus “beli” atau hibah atau bagaimana prosedur mendapatkan master seed atau working seed-nya? Paling betul adalah produsen boleh membeli working seed dan wajib lapor kepada pemerintah tentang produknya. Jangan lupa untuk dilakukan pengujian produk akhir vaksin tersebut.

Pertanyaan lain lagi apakah produsen vaksin boleh mengkombinasi keempat working seed tersebut sehingga didapatkan vaksin AI polivalen atau bahkan menggunakan working seed yang mereka miliki sendiri sejauh sesuai dengan kriteria yang dipersyaratkan Pemerintah?
Selanjutnya apakah boleh dibuat vaksin rekayasa genetik dari empat masterseed yang ditetapkan pemerintah ini, misalnya vaksin rekombinan/reverse genetic? Pertanyaan ekstrim berikutnya muncul dari sisi produsen luar negeri adalah bolehkah dilakukan “toll manufacturingworking seed tersebut ke luar negeri?

Masukan ASOHI
Berbagai pertanyaan tersebut senada dengan masukan dari pertemuan dengan para importir dan produsen vaksin yang digelar Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) 4-5 November silam dan telah disampaikan kepada Dirjen Peternakan secara langsung. Diantaranya dalam menentukan master seed, perwakilan perusahaan importir dan produsen vaksin AI sepakat memberikan masukan agar terjaminnya keamanannya dan kestabilannya serta daya proteksinya tinggi perlu pengkajian yang seksama sehingga dapat diperoleh suatu master seed yang unggul serta kemungkinan diperlukannya kombinasi beberapa kandidat master seed.

Lebih lanjut, master seed yang telah terpilih disimpan dan disediakan oleh Pemerintah yang dapat diperoleh bagi semua produsen obat hewan untuk di produksi baik di dalam maupun di luar negeri. Selain itu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh vaksin AI yang efektif dan aman agar dapat pula diberikan kesempatan bagi produk vaksin AI rekombinan.

Sementara untuk Pelaksanaan Uji Tantang supaya tercapainya daya proteksi yang tinggi agar virus yang digunakan dalam uji tantang benar-benar mempresentasikan strain virus yang ada pada berbagai lokasi di lapangan. Selain itu diharapkan di masa mendatang virus AI yang digunakan untuk uji tantang agar dapat diperoleh para produsen obat hewan untuk uji tantang diperusahaan masing-masing dalam rangka Internal Quality Control.

Perhatikan 4 ...Si
Atas semua paparan tersebut, Pemerintah sebagai pemegang kebijakan perlu memikirkan masak-masak manakala akan membuat kebijakan baru. Dengan kata lain perlu diperhatikan 4 ...Si nya, yaitu:
  1. Apa urgensinya?
  2. Bagaimana argumentasinya?
  3. Bagaimana aplikasinya?
  4. Serta apa konsekuensinya?
Kesimpulannya disini penulis kembali menegaskan agar Pemerintah jangan tergesa-gesa membuat peraturan baru yang akan berdampak besar bagi pelaku industri peternakan. Jawabnya mari kita tanya pada rumput yang bergoyang. (Red*)



Agrinex Expo Kembali Digelar

Pameran agribisnis berskala internasional akan digelar tahun ini pada 12-14 Maret mendatang di Jakarta Convention Center (JCC) Hall A dan Cendrawasih. Demikian pernyataan dari Ir. Rifda Amarina President Director Performax pada saat rapat persiapan panitia Agrinex International Expo 2010 dengan DEPTAN di Ruang Pola Lt. 2 gedung pertanian (7/12).

Performax, setelah tiga tahun berturut-berturut sukses dalam penyelenggaraan pameran agribisnis maka untuk tahun ini Agrinex Expo pun naik kelas menjadi Agribussines Expo International. Hal ini sesuai dengan amanat dari Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sambutannya dalam pembukaan Agrinex 2009 lalu. Beliau juga menyatakan bahwa saat ini Indonesia telah berhasil dalam swasembada beras maka akan semakin banyak pula agribisnis yang harus di perbincangkan untuk diperjuangkan.

Dengan mengusung tema “Agribussines Destination for Lokal & Global Market” sehingga sudah pasti expo kali ini dapat menjadi tempat dimana trend kebutuhan dunia akan produk agribisnis dapat tergambar dengan jelas, sehingga akan tumbuh industri agribisnis yang berorientasi pada pasal global. “Beberapa Negara telah menyatakan akan hadir di Agrinex expo tahun ini diantaranya Perancis, Jepang, Polandia, Cina, Singapura dan yang lain pun akan segera menyusul kesertaannya,” ungkap Rifda kepada Infovet.

Kedepan Agrinex akan terus menjadi expo agribisnis di negeri ini dengan dukungan dari Departemen Perdagangan, Departemen Luar Negeri, Departemen Koperasi dan UKM serta dari Departemen Pertanian. Sehingga tentu saja Agrinex dapat menjadi fasilitator untuk para pelaku usaha, Litbang, CSR Program, PEMDA, serta Departemen terkait dalam menampilkan apa yang telah dan akan dilakukan dalam membangun agribisnis untuk kesejahteraan bangsa. Selain itu Agrinex akan menjadi tempat mendapatkan mitra bisnis dan inspirasi bisnis usaha bagi para buyer, trader dan investor.(all)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer