Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Pergantian Musim, Tingkatkan Kewaspadaan Terhadap Meningkatnya Kasus Avian Influenza

oleh: Drh. Wayan Wiryawan
Technical Advisor Malindo Group
wayan.wiryawan@malindofeedmillco.id

Penyakit Avian Influenza (AI) atau yang lebih dikenal dengan istilah penyakit Flu Burung, sejak pertama kali mewabah di Indonesia pada penghujung tahun 2003 sampai sekarang masih menjadi ancaman tetap bagi industri peruggasan di Indonesia bahkan pada beberapa Negara dikawasan Asia. Sampai saat ini sebagian besar peternak tetap memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap penyakit ini, namun tidak sedikit pula peternak yang menilai dan beranggapan bahwa upaya pencegahan yang telah mereka lakukan sampai saat ini, terutama dengan cara vaksinasi dinilai sudah berhasil mencegah ayamnya dari infeksi virus penyebab Avian Influenza. Tentu saja anggapan dan penilaian sejumlah peternak masih perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam, apakah benar hanya dengan vaksinasi saja sudah bisa mengendalikan keganasan virus penyebab Avian Influenza yang pernah mewabah dimasing-masing lokasi atau dilingkungan sekitar peternakannya.

Dari pengalamanan dan pengamatan yang penulis pernah peroleh dan lakukan dilapangan, terlebih lagi memasuki peralihan musim seperti saat ini, dari musim kemarau ke musim hujan dan atau selama musim hujan, ada kecenderungan terjadi peningkatan keganasan berbagai jenis penyakit, termasuk juga Avian Influenza. Bila peternak kurang meningkatkan kewaspadaan, melalui peningkatan biosekuriti dan tentunya dibarengi dengan vaksinasi, dikhawatirkan peternakan ayam yang dikelolanya, akan cukup besar kemungkinannya dapat terserang berbagai jenis penyakit, termasuk juga serangan dari penyakit Avian Influenza.

Kewaspadaan yang tinggi terhadap ancaman penyakit Avian Influenza, tidak saja hanya berlaku terbatas pada industri peternakan ayam, namun yang tidak kalah pentingnya adalah tetap dijalankannya secara konsisten program biosekuriti dan program vaksinasi terhadap Avian Influenza oleh Dinas Peternakan maupun perorangan pada peternakan ayam kampung, unggas air dan burung peliharaan, yang punya potensi sangat besar sebagai sumber penyebaran penyakit Avian Influenza di Indonesia.

Tingkatkan biosekuriti sebagai prioritas pencegahan terhadap penyakit
Tujuan biosekuriti adalah untuk menciptakan penghalang antara ayam yang dipelihara oleh peternak dengan berbagai sumber kontaminasi, sehingga ayam yang dipelihara oleh peternak tersebut dapat terhindar dari serangan berbagai jenis penyakit, baik penyakit yang bersifat endemis maupun sporadis.

Suatu program biosekuriti yang efektif dibuat berdasarkan 2 konsep utama: 1. Pengeluaran (menjaga agar agen dan sumber penularan penyakit jauh di luar ternak) dan 2. Penyertaan (jika telah terjadi, mencegah penyebarannya dalam lokasi peternakan atau ke ternak lain yang tidak terinfeksi). Beberapa komponen kunci, ditujukan untuk program Pengeluaran serta Penyertaan, yang harus selalu dapat disertakan dalam setiap program biosekuriti. Komponen ini meliputi: isolasi, kontrol lalu lintas dan pengawasan terhadap pengunjung serta pembersihan dan disinfeksi.

Masuknya agen penyakit, seperti Avian Influenza dan mewabah pada peternakan ayam dapat melalui berbagai jalan: dibawa oleh manusia, peralatan yang tercemar, unggas liar, tikus, litter, karkas, bulu dan mungkin dengan angin atau penyebaran aerosol. Dengan menerapkan secara sungguh-sunguh program biosekuriti, peternak ayam dapat menempatkan penghalang berlapis yang diperlukan untuk meminimalkan resiko munculnya penyakit pada ternak ayam atau penyebarannya ke ternak ayam lain.

Ancaman terhadap berbagai jenis penyakit pada peternakan ayam tidak bisa dihindari, akan tetapi langkah-langkah yang masuk akal dapat diambil untuk menurunkan resikonya. Berikut beberapa tip yang diistilahkan dengan “Jangan Pernah” mengenai hal-hal yang seharusnya kita tidak biarkan terjadi pada peternakan ayam.

  • Jangan pernah mengunjungi atau berhubungan dengan sistem pasar unggas hidup.
  • Jangan pernah memelihara unggas liar dan domestik, hewan eksotik dan domestik (seperti anjing dan kucing) pada lokasi peternakan ayam.
  • Jangan pernah mengizinkan siapa pun dekat dengan kandang anda tanpa tahu dari mana mereka sebelumnya.
  • Jangan pernah menggunakan peralatan dari kandang lain atau peternakan lain yang tidak dibersihkan dan didisenfeksi sebelumnya.
  • Jangan pernah membiarkan seekor hewan pun membawa atau mengaduk ayam yang mati dari tempat pembuangan atau pemusnahannya.
  • Jangan pernah menggunakan sarana pengambilan unggas mati untuk kandang atau lokasi peternakan ayam yang lainnya.
Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap meningkatnya ancaman berbagai jenis penyakit termasuk juga penyakit AI, semua pihak yang terlibat dalam peternakan ayam harus tetap mempunyai komitmen berkenaan dengan beberapa hal berikut, sebagai bagian dari upaya menjalankan program biosekuriti secara optimal:
  • Hanya izinkan pengunjung yang berkepentingan masuk kedalam lokasi peternakan atau kedalam kandang.
  • Pengunjung yang berkepentingan harus mematuhi aturan berpakaian dan mengisi serta menandatangani buku catatan pengunjung.
  • Seluruh pekerja di peternakan harus memiliki sepatu, pakaian, dan penutup kepala untuk peternakan.
  • Peternak harus memiliki metode pembuangan ayam yang mati, dimana ditangani dan dikelola secara memadai. Jika mungkin, lakukan pembuangan dan pemusnahan ayam yang mati di dalam lokasi peternakan.
  • Semua peralatan yang ditujukan untuk peternakan harus dibersihkan dan didisinfeksi sebelum memasuki kandang ketika ayam ada di dalamnya.

Pembahasan lebih mendalam mengenai Vaksinasi salah satu cara mencegah wabah penyakit, Kendala vaksinasi AI killed pada ayam pedaging serta Rekomendasi program vaksinasi terhadap AI pada peternakan ayam dapat di baca di majalah Infovet edisi 185/ Desember 2009...atau informasi pemesanan maupun berlangganan selengkapnya... klik disini

MENELISIK BISNIS PETERNAKAN INDONESIA 2010

Indonesia, negara kaya raya di jagad khatulistiwa terbentang dengan pongah di antara dua benua dan dua samudera. Memiliki ribuan pulau besar dan kecil, yang mengandung berbagai kekayaan alam baik yang tidak dapat maupun yang dapat diperbaharui.

Seba
gai negara kaya raya, Indonesia masih menyimpan banyak permasalahan-permasalahan yang menggelayut di pilar-pilar penyangga negeri ini? Sebut saja perihal korupsi yang sampai saat ini masih saja santer dibicarakan. Masalah lain yang tak kalah pentingnya adalah perihal kecukupan pangan untuk bangsa besar ini. Namun pangan yang dimaksud bukanlah pangan yang hanya terpenuhi secara kuantitasnya saja, sisi kualitas harus menjadi prioritas utama demi terwujudnya generasi bangsa yang sehat, dengan tingkat inteligensi yang tinggi.

Kenyataannya, harapan itu masih jauh. Bagai mengejar fatamorgana, bangsa yang hidup dengan kemewahan wilayahnya ini masih saja didera dengan kondisi pangan yang tidak mencukupi persyaratan hidup. Hal ini dibuktikan dengan capaian per kapita konsumsi protein hewani masih jauh dari cukup. Tercatat sampai saat ini konsumsi daging per kapita per tahun, baru mencapai 8,5 Kg (data USDA-GAIN Report Oktober 2007), dari angka tersebut konsumsi daging ayam hanya 4,5 kg/kapita/tahun. Konsumsi telur pun hanya 67 butir/kapita/tahun. Angka konsumsi tersebut merupakan yang terendah di antara negara-negara ASEAN. Di samping itu, program swasembada daging 2010 sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Dapatkah bangsa ini tumbuh sempurna dengan IQ tinggi bila mereka hanya disuguhi pangan yang mencukupi dari segi kuantitasnya saja?

“Jelas tidak,” jawab Prof Dr Ir HM Hafil Abbas MS Pakar dan Pengamat Perunggasan Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Menurutnya, proses tumbuh kembang anak harus didukung oleh asupan makanan bergizi, baik berupa makanan dengan kandungan protein nabati maupun makanan yang kaya dengan kandungan protein hewani.

“Kedua jenis makanan ini harus tersedia dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yang dapat menunjang pertumbuhan bagi anak,” tegas Prof Abbas. Untuk menghasilkan produk unggas dengan kualitas yang baik, diperlukan sinergisme dari semua aspek pendukungnya. Aspek-aspek tersebut menurutnya adalah aspek bibit, pakan, obat-obatan dan vaksin, peralatan dan aspek pasar. “Pasar perunggasan Indonesia tetap membaik dari tahun ke tahun,” ujarnya.

Lantas seberapa cerahkah prospek perunggasan Indonesia di tahun 2010 nanti? “Prospek perunggasan kita jelas tetap cerah dan itu dipastikan apalagi bila kondisi perekonomian global kembali kemasa sedia kala. Hal yang perlu diperhatikan oleh semua penggerak usaha ini adalah menyangkut sesuatu yang tidak berhubungan dengan masalah teknis peternakan itu sendiri, tetapi faktor-faktor lingkungan non teknis lainnya yang akan berpengaruh terhadap kelancaran usaha ini,” papar Guru Besar Ilmu Unggas Fakultas Peternakan Universitas Andalas ini.

Dikatakannya, aspek non teknis tersebut dapat berupa aspek kualitatif, diantaranya aspek ekonomis dan juga aspek politik dan keamanan (polkam). Kedua aspek ini jelas dapat mempengaruhi iklim berusaha di sektor industri manapun termasuk industri perunggasan itu sendiri. Misalkan saja lingkungan strategis global negara-negara produsen unggas yang potensial seperti Brazil dan China, serta beberapa negara lainnya di Eropa. Contohnya akibat penyakit Avian Influenza, produk-produk unggas dari negara-negara tersebut tidak boleh masuk ke Indonesia. Hal ini merupakan pukulan berat bagi Negara-negara tersebut, sehingga dari industri peternakan sendiri mengalami kerugian yang besar. Selain itu masalah kehalalan masih tetap menjadi isu utama yang membantu menghambat masuknya produk unggas ke Indonesia, termasuk dari USA.

“Cerita singkat ini bak setali tiga uang dengan kondisi dunia perunggasan kita bila saja pemerintah, swasta dan pihak terkait lainnya tidak menata sistem berusaha yang baik,” ujar Prof Abbas. Lantas apa saja sistem dimaksud? “Yang terpenting adalah sistem regulasi dan distribusi dari produk perunggasan itu sendiri,” tegasnya. Sejauh ini kondisi pasar unggas hanya menjadi milik perorangan dan kelompok, bukan menjadi milik peternak yang sudah mati-matian untuk menghasilkan produk unggas dengan jumlah dan mutu yang sesuai dengan permintaan pasar. Hal yang menjadi sorotan umum menurut Prof Abbas kondisi harga bibit dan pakan yang terus saja tidak stabil. Artinya manakala harga bibit murah selalu diikuti dengan harga pakan naik atau nilai jual produk unggas tersebut mengalami penurunan yang sangat drastis. Bagi peternak yang berusaha dengan menggunakan modal sendiri, hal ini jelas jadi masalah, namun bagi peternak yang menggunakan jasa kemitraan, mereka tetap menikmati hasil sesuai dengan kontrak yang disepakati diawal kegiatan. Sebaliknya, harga yang baik hanya dapat dinikmati oleh peternak dengan modal sendiri dan para pemegang modal di bidang usaha ini.

Disisi lain, produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku pakan seperti jagung dan bungkil kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina, Brazil, Peru, Chili, dan negara lainnya, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia. Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS). Diharapkan pada tahun 2010 nanti, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor dan ekspor bahan baku pakan dan bibit.

Namun, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa peningkatan produksi tetap tidak dapat berjalan mulus. Banyak hal yang perlu diwaspadai di samping peran aspek ekonomi, politik dan keamanan tadi, salah satunya keberadaan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada ternak. Indonesia merupakan Negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang diduga dapat mendukung pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme, apakah yang bersifat patogen ataupun yang non patogen. Kehadiran mikroorganisme ini jelas dapat mengganggu pertumbuhan ternak yang dipelihara, bahkan kehadirannya dapat menimbulkan kematian bila tak tertangani dengan baik.

Menurut Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc PhD, mikroorganisme dapat tumbuh di bagian manapun di lokasi peternakan. Mulai dari lantai kandang, celah-celah lantai kandang, di permukaan tempat makan dan tempat minum, bagian parsial atau permukaan bahan-bahan bangunan kandang ataupun dari anak kandang yang menangani atau yang menjadi operator kandang selama proses produksi.

Mikroorganisme masuk dan keluar dari lokasi peternakan tanpa dapat diketahui oleh peternak. Indikasi awal yang dapat dijadikan dasar bahwa kandang telah terpapar mikroorganisme adalah munculnya tanda-tanda penyakit, baik gejala umum maupun tanda-tanda khusus yang mencirikan kepada jenis peyakit tertentu. Menurut Gubes Patologi FKH UGM ini, penyakit yang sering muncul di usaha peternakan adalah dari kelompok penyakit viral seperti ND, Gumboro dan penyakit viral lainnya.

Namun penyakit lain misalnya penyakit bakteri, parasit dan jamur juga tetap menjadi perhatian utama. Hal ini mengingat kondisi wilayah Indonesia dengan dua musimnya, yakni musim hujan dan musim kemarau atau pada saat peralihan kedua musim tersebut. Sejauh ini, peran penyakit bakteri, parasit dan jamur masih dipandang strategis dalam mengurangi nilai akhir berupa laba atau untung dari usaha peternakan. Untuk menekan kerugian yang disebabkan oleh mikroorganisme tersebut maka diperlukan kewaspadaan peternak terkait masuknya bibit penyakit ke lokasi usaha peternakannya.

Bila dipelajari rentetan kasus penyakit ayam per Januari 2009 sampai medio November 2009, kasus terbesar pada ayam petelur masih seputar penyakit korisa, ND, dan kolera. Ketiga penyakit ini menurut Prof Charles menduduki posisi tiga besar dalam menimbulkan kerugian pada peternak ayam petelur. Pada ayam padaging, penyakit CRD kompleks, CRD dan kolibasilosis kembali menduduki posisi tiga besar setelah berjaya menggerogoti ayam pedaging selama kurun waktu 2008 lalu.

“Penyakit-penyakit ini umumnya menyerang ayam petelur dan pedaging secara berulang, artinya kesempatan booming di tahun depan juga perlu diwaspadai,” tegas mantan Dekan FKH UGM ini.

Sementara itu, untuk penyakit AI, peternak tetap diminta waspada melalui penerapan tatalaksana pemeliharaan maupun pelaksanaan vaksinasi secara tepat, baik tepat waktunya maupun tepat dosisnya. Selain itu, peternak jangan sampai mengesampingkan pelaksanaan program biosekuriti secara ketat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya. “Perhatian peternak seyogianya bukan tertuju semata pada kasus penyakit AI, namun untuk kasus penyakit lainnya, penanganan yang komprehensif hendaknya juga diterapkan,” ajak Prof Charles.

Evaluasi Penyakit Di Tahun 2009
Berdasarkan jenis kasus serangan penyakit pada ayam petelur maupun ayam pedaging, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya tantangan penyakit di usaha peternakan belumlah banyak berubah. Perjalanan penyakit unggas masih seputar penyakit viral, bakteri, parasit dan jamur. Meskipun demikian, peternak tidak dapat memungkirinya bahwa penyakit yang menyerang usaha peternakannya relatif kompleks, dimana sering ditemui kasus-kasus penyakit komplikasi sehingga menyulitkan dalam penanganannya.

Hal ini mungkin menjadi sebuah peringatan bahwa kondisi lingkungan peternakan mulai jenuh, artinya konsentrasi bibit penyakit lebih tinggi dari periode sebelumnya. Diperparah dengan kondisi peternak yang belum menyadari sepenuhnya arti tentang upaya penerapan biosekuriti secara tepat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya.

Penerapan biosekuriti secara tepat dan menyeluruh tersebut adalah pertama pelaksanaan masa istirahat kandang yang seharusnya minimal 14 hari tidak dilaksanakan. Beberapa kasus di lapangan, masa istirahat kandang lebih cepat, hanya 7 hari atau kurang dari 14 hari. Padahal kondisi ini tidak baik karena akan menyebabkan bibit penyakit selalu berada di lingkungan peternakan tersebut, akibatnya serangan penyakit akan selalu berulang. Pengalaman Kaliman peternak ayam broiler Desa Baleharjo, Wonosari, Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukan kebenaran dari apa yang menjadi patokan khusus perihal masa istirahat kandang ini.

Menurut Kaliman, kandang memang harus diistirahatkan dengan rentang waktu minimal 14 hari atau lebih. Hal ini bertujuan agar siklus bibit penyakit dapat tuntas dienyahkan dari lokasi peternakan. Sejauh ini, sejak 11 tahun berkiprah di usaha peternakan ayam pedaging, Kaliman masih tetap mempertahankan kaedah ini, alhasil Kaliman selalu sukses menuai keuntungan dari usahanya.

Kedua, sanitasi kandang tidak dilakukan secara sempurna, misalnya masih ada sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang. Menurut Prof Charles, sisa-sisa feses di sela-sela lantai kandang merupakan tempat yang nyaman bagi bibit penyakit untuk bertahan hidup. Sebaiknya peternak menggunakan air bertekanan tinggi untuk melenyapkan sisa-sisa feses tersebut.

Ketiga, sistem pemeliharaan tidak diterapkan secara all in all out juga akan membawa dampak serangan penyakit yang selalu berulang. Di samping itu, program pemberian obat yang dilakukan secara tidak tepat juga turut ikut bagian dalam menyebabkan bandelnya kasus penyakit. Pemberian obat yang secara terus menerus dengan dosis yang kurang tepat dapat mempercepat terjadinya kasus resistensi.

Hal ini dibenarkan oleh Akademisi dari Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya drh Iwan Syahrial MSi. Menurutnya, resistensi obat pada ternak berdampak pada sulitnya penanganan penyakit, sehingga penyakit tersebut bisa saja bersifat endemis. Oleh sebab itu, pemberian obat sudah saatnya dilakukan secara tepat sesuai dengan diagnosis penyakit dan lebih bijak.

Bekal Untuk Tahun 2010
Mengingat peran daging ayam sebagai subtitusi daging ruminansia terutama daging sapi akan terus berlanjut, bahkan peluangnya akan semakin besar. Hal tersebut didasarkan pada pasokan daging sapi yang semakin berkurang, untuk imporpun selain jumlahnya terbatas karena negara pemasok yang terbatas akibat faktor penyakit, juga harganya relatif tinggi.

Selama 5 tahun terakhir ini, tren perkembangan perunggasan terbukti terus meningkat meskipun besaran setiap tahunnya masih fluktuatif. Isu flu burung masih ada namun tidak dikaitkan dengan isu pemusnahan unggas sehingga konsumen tidak lagi dibayang-bayangi oleh kasus Flu Burung.
Sebelum memasuki jendela baru tahun 2010, beberapa hal yang perlu menjadi catatan penting adalah (1) kenali dan pahami lebih seksama tentang sifat dan potensi ayam komersial modern, (2) aplikasi vaksinasi dan pengobatan perlu dilakukan secara tepat.

Untuk program pengobatan misalnya, drh Iwan Syahrial MSi Kandidat Doktor pada Program Studi Sains Veteriner FKH UGM Yogyakarta menegaskan harus memenuhi 4 persyaratan, yakni jenis obatnya, kemampuan obat mencapai organ yang sakit, obat tersedia dalam kadar yang cukup dan obat harus berada dalam tubuh ayam dalam waktu yang cukup pula, (3) tingkatkan keramahan terhadap lingkungan, dan (4) semua usaha tersebut harus didukung dengan penerapan biosekuriti yang tepat dan menyeluruh agar tatalaksana pemeliharaan yang baik dapat memberikan hasil yang baik pula untuk kesejahteraan peternak.

Prospek Untuk Pengembangan Ternak Besar
Departemen Pertanian menargetkan swasembada daging sapi secara bertahap pada tahun 2014. Melalui sejumlah program, penyediaan daging sapi dari dalam negeri diproyeksikan meningkat dari 67 persen pada tahun 2010 menjadi 90 persen pada tahun 2014. Hal ini disampaikan Menteri Pertanian Suswono dalam Seminar Nasional Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan atau Swasembada Daging di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (7/11), upaya swasembada daging sapi akan ditempuh melalui sejumlah program, di antaranya memperbanyak jumlah populasi sapi induk melalui program kredit usaha pembibitan sapi. Selain itu, juga memanfaatkan lahan-lahan yang masih potensial digunakan untuk usaha peternakan dan meningkatkan jumlah kelahiran anak sapi menjadi 100.000 ekor dalam lima tahun ke depan.

”Dengan berbagai upaya ini, populasi sapi potong ditargetkan meningkat dari 12 juta ekor pada tahun 2009 menjadi 14,6 juta ekor pada tahun 2014,” kata Suswono. Program swasembada daging sapi telah ditargetkan sebelumnya, yaitu pada tahun 2005, kemudian direvisi menjadi tahun 2010. Selama periode ini, Indonesia masih mengimpor 40 persen dari total kebutuhan daging sapi yang ada pada tahun 2009 mencapai 322,1 ribu ton. Meskipun populasi sapi potong dari tahun 2005 hingga tahun 2009 meningkat sebanyak 4,4 persen per tahun, populasi sapi potong dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi. Dari berbagai kerja sama, baik dalam maupun luar negeri, Departemen Pertanian menargetkan hasil sebanyak 50.000 ekor sapi dalam lima tahun mendatang. Di bidang pemanfaatan lahan potensial, integrasi perkebunan sawit dengan peternakan sapi diproyeksikan dapat menghasilkan 50.000 sapi dalam lima tahun.

Suswono juga menyebutkan rencana pemanfaatan lahan telantar untuk pengembangan peternakan dan pertanian. Saat ini lahan telantar di Indonesia mencapai 7,13 juta hektar. Salah satu masalah dalam peternakan adalah terbatasnya pemanfaatan lahan potensial sebagai basis budidaya sapi. Selain itu, kegiatan pembibitan sapi pun belum berkembang karena keterbatasan permodalan di kalangan peternak. Pada tahun 2007 usaha pembibitan sapi hanya berjumlah tiga unit dan pada tahun 2008 meningkat menjadi enam unit. Akibatnya, saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar satu juta ekor sapi induk.

Guru besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Prof Endang Baliarti, mengatakan, pendampingan pada peternak rakyat sangat penting untuk mencapai swasembada daging sapi. Hal ini mengingat lebih dari 90 persen ternak sapi dipelihara oleh sekitar 6,5 juta rumah tangga di pedesaan dengan pengetahuan peternakan yang sangat minim. “Banyak dari peternak sapi potong itu juga telah berusia tua, dengan tingkat pendidikan lulusan sekolah dasar sehingga pengetahuan mereka pun terbatas,” papar Prof Endang. Endang juga menekankan pentingnya penyediaan pakan lokal. Areal perkebunan serta hutan bisa menjadi sumber pakan sapi yang sangat potensial.

Permasalahan yang akan timbul terkait budidaya sapi ini menurut drh Agung Budiyanto MP PhD adalah kasus-kasus reproduksi. Kasus tersebut seperti repeat breeding yang masih tinggi, dan Services per Conception yang cenderung meningkat. Menurutnya, kemungkinan repeat breeding disebabkan akibat lemahnya recording, dan silent heat. Perubahan performans reproduksi karena cross breeding juga perlu dikaji secara komprehensif untuk diperoleh solusi yang tepat.

Penyakit yang perlu diwaspadai menurut alumnus program doktoral United Graduated School of Veterinary Science Yamaguchi University Japan 2007 ini adalah kemungkinan bisa timbul Brucellosis, IBR, John Disease apabila manajemen kesehatan dan manajemen reproduksi tidak dilakukan dengan baik. Penyakit lain yang juga perlu diwaspadai adalah endometritis, klinis maupun subklinis, vaginitis, metritis dan kasus-kasus reproduksi lainnya. Untuk peternak, karena musim pancaroba, dimana resistensi dari ternak biasanya menurun perlu dilakukan langkah-langkah antara lain yang penting adalah perbaikan nutrisi, pemeriksaan kesehatan secara rutin, penanganan secepatnya apabila ada perubahan yang abnormal dari hewan peliharaannya.

Konsultasi dengan dokter hewan lebih intensif akan lebih baik dalam mencegah ternak terpapar berbagai macam bibit penyakit. Pada akhirnya, mengutip satu catatan penting dari Champbell dan Lashley tahun 1985 menyatakan bahwa Negara yang kaya ternak tidak akan pernah miskin, sedangkan Negara yang miskin ternak tidak akan pernah kaya, maka jayalah negeri ini dengan segudang ternak yang dimilikinya. (sadarman)

Evaluasi dan Prediksi Penyakit Hewan 2009-2010

Meninggalkan tahun 2009 dan menjelang memasuki tahun 2010, dunia peternakan pada umumnya dan perunggasan pada khususnya mencatat aneka peristiwa yang menarik. Setidaknya menjelang akhir tahun peternak ayam petelur babak belur, karena harga jual telur hancur. Sedangkan ayam potong meskipun tidak bernasib setragis itu, namun tetap saja harga jual selama beberapa hari tertekan di bawah titik impas (BEP).

Lalu bagaimana dengan situasi penyakit selama kurun waktu tahun 2009 dan prediksi gangguan penyakit yang potensial di tahun 2010? Berikut ini rangkuman pendapat dan gagasan dari para peneliti dan praktisi yang dihimpun Tim Pemantau Lapangan Infovet yang diharapkan sangat bermanfaat bagi para peternak untuk langkah antisipatif dan preventif

Drh Rama Dharmawan, peneliti pada Balai Besar Veteriner Wates Yogyakarta mengungkapkan, bahwa secara teoritis di tahun 2010 tidak akan jauh berbeda dengan tahun 2009. Argumen untuk menjelaskan ini terkait dengan situasi musim dan situasi nyata lapangan tahun 2009 yang masih secara umum terus didominasi penyakit klasik.

Gegap gempita wabah Flu H1N1 tidak akan nyata berpengaruh pada komoditi ternak unggas, meskipun jika tidak dikelola dengan benar dapat berimbas. Memang, secara klinis tidak akan berpengaruh ke komoditi ternak unggas, namun jika saja berita wabah penyakit itu kembali di blow up oleh media, maka sudah pasti akan berdampak serius.

Berkaitan dengan pengamatan Rama, yang baru saja kembali dari Australia, situasi penyakit unggas di tahun 2009 masih didominasi oleh penyakit viral dan bakterial yang menyergap sistem kekebalan tubuh, pernafasan dan juga sistema pencernaan. Surveilence dan pengamatan lapangan selama tahun 2009, hampir seragam keluhan dan fakta lapangan yaitu, ”kegagalan vaksinasi” bisa jadi menjadi tertuduh utama. Mengapa demikian?

Petelur banyak yang terlambat berproduksi dan produksi tidak mampu mencapai titik optimal serta beberapa penyakit viral bergantian menyerang. Relatif seragam rekaman dari keluhan para peternak, bahwa ayamnya meski sudah berumur 22 minggu belum juga serentak berproduksi. Hanya sekitar 30% saja yang berproduksi. Sedangkan ayam yang sudah berusia produksi, titik puncak produksi sulit tercapai.

Kalaupun bisa tercapai, masih menurut Rama, sangat pendek sekali masa puncak produksi itu. Selain itu yang lebih memprihatinkan lagi adalah silih berganti datang sergapan penyakit. Dan umumnya adalah dari agen penyebab berupa viral. Padahal program vaksinasi, menurut penuturan para peternak sudah terprogram jauh lebih ketat, jika dibandingkan 5 tahun yang lalu. Kesimpulan sementara dari para peternak, seperti diungkapkan oleh Rama, mereka menduga ada kegagalan vaksinasi atau vaksinasi tidak berhasil mencapai hasil yang optimal.

Rama memperkirakan penyakit unggas di tahun 2010 akan tidak jauh berbeda dengan tahun 2009. Argumennya yang mendasari untuk prediksi itu adalah, kondisi musim yang masih labil untuk mencapai keseimbangan baru. Keseimbangan baru dari musim ini oleh karena adanya perubahan iklim dalam abad ini. Sehingga jika sudah tercapai keseimbangan baru musim di planet bumi ini maka, prediksi akan lebih mudah dan mendekati kebenaran.

Drh Mardiatmi Soewito MVSc peneliti pada Balai Veteriner Bandar Lampung berpendapat bahwa memang perihal perubahan iklim global telah membawa konsekuensi terjadinya aneka perubahan di dunia ini. Rentang musim panas yang lebih panjang atau pendek begitu juga musim dinginnya, maka belum terjadi situasi yang konstan. Implikasi terjadinya pergerakan dan perubahan musim pada dekade (10 tahun) terkahir ini, banyak diperkirakan membawa aneka masalah kesehatan termasuk pada peternakan.

Menyadari hal itu, memang hanya langkah antisipatif dan langkah suportif untuk ternak sebagai jawaban atau solusinya. Biosecurity, perbaikan manajemen, dan perbaikan kualitas genetik menjadi sebuah keharusan agar tercipta efisiensi dan kekuatan daya tahan tubuh ternak.

Berkaitan dengan evaluasi penyakit di tahun 2009, menurutnya memang masih memprihatinkan dan memberi beban berat para peternak. Tidak tercapainya hasil vaksinasi yang optimal ataupun sedemikian rentannya ayam terhadap aneka serangan penyakit merupakan indikator nyata akan adanya perubahan di segala lini kesehatan ternak. Mestinya hal ini disikapi oleh para praktisi dan pelaku lain yang tidak langsung terkait untuk juga melakukan perubahan dalam segala aspek manajemen.

Stake holder perunggasan harus melihat hal ini sebagai masalah serius. Pihak pembibit harus mampu menghasilkan bibit yang berpenampilan lebih baik. Tidak saja dalam aspek produktifitas akan tetapi juga daya tahan dan responsibilitas terhadap program vaksinasi lapangan (farm komersial).
Sedangkan pihak feedmil sebagai pendukung utama proses produksi (budidaya) dituntut untuk kembali meninjau ulang formulasi pakan yang lebih sesuai dengan perubahan nyata ayam modern dan tuntutan perubahan yang terkait. Demikian juga pihak produsen vaksin dan obat untuk lebih intensif melakukan monitoring akan produknya. Apakah respons vaksinasi terhadap suatu penyakit, benar-benar mampu secara maksimal meng’cover’ penyakit yang dimaksud. Jika hal ini dilakukan, maka, setidaknya akan mampu memenuhi tuntutan adanya perubahan baru itu.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya revolusi baru budidaya para peternak. Hal ini menjadi perlu disadarkan secara massive oleh karena, aneka permasalahan bisa saja muncul dengan tidak terkendali, meski dari hal terkecil. Peternak menjadi kunci utama untuk berhasilnya perubahan ini yang sudah jelas di depan mata kita.

Berkaitan dengan prediksi penyakit di tahun 2010, menurut Mardiatmi beberapa penyakit pernafasan yang bersifat kompleks yang umumnya mempengaruhi produktifitas akan masih dominan. Seperti CRD kompleks , ND pada petelur maupun ayam potong. Sedangkan yang mungkin muncul di awal tahun 2010 adalah kolibasilosis pada level sedang sampai berat perlu diperhatikan. Kemudian untuk AI memang masih menjadi masalah besar, meski di pemberitaan sudah berkurang.

Drh Suhartono, praktisi perunggasan di Kalimantan Barat ini, mengungkapkan bahwa selama tahun 2009, problema sangat serius yang sangat sulit untuk dituntaskan adalah penyakit endemis yang sangat merugikan peternak ayam petelur dan ayam potong. Adapun, menurutnya ada satu penyakit endemis potensial yang terus mengganggu para peternak yaitu kolibasilosis.
Penyakit ini di Kalbar memang seperti penyakit turun temurun yang sangat sulit untuk diberantas secara tuntas. Hal ini terkait dengan kualitas sumber air yang jauh dari memenuhi syarat. Warna air yang cokelat memang membutuhkan tretment khusus sebelum diberikan ke ayam. Meskipun umumnya sudah juga dilakukan perlakuan terhadap air itu sebelum diberikan ke ayam, namun tetap saja menimbulkan penyakit kolibasilosis itu.

Lebih lanjut menurut Supervisor PT SANBE Kalbar ini, bahwa kualitas air yang demikian buruk itu tidak terlepas dengan kondisi wilayah itu yang sangat tinggi lapisan gambutnya.. Beberapa penyakit lain yang akhirnya ikut nimbrung adalah seperti ND, Coryza dan Salmonelosis. Solusi untuk mengatasi gangguan kesehatan yang terkait dengan penyakit pencernaan itu adalah dengan adanya treatmen yang ketat atas kualitas air.

Umumnya pemberian kapur atau klorinasi menjadi solusi utama. Namun demikian, belum juga mampu memberikan hasil yang maksimal. Beberapa farm komersial memang sudah mengambil jalan mengolah air itu sebelum diberikan sebagai air minum ayam, namun langkah itu tidak semua bisa dilakukan oleh peternak karena peralatan untuk itu relatif mahal.
Berkaitan dengan prediksi penyakit di tahun 2010 menurut Hartono, masih saja penyakit Kolisbasilosis menjadi ancaman serius, disamping AI, ND, CRD dan Gumboro.

Beberapa pendapat dari beberapa praktisi seperti dari: Drh Taufiq Junaedi MMA praktisi lapangan yang juga seorang konsultan peternakan di Yogyakarta, Drh Marjuan Ismail praktisi perunggasan , Drh Ansyar Jallaludin, praktisi lapangan dan pemasar bibit ayam (DOC) di Medan Sumut, Drh Enuh Rahardjo Djusa PhD Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar serta dari Drh Nurvidia Machdum, Technical Department Manager PT Romindo Primavetcom dapat di baca di majalah Infovet edisi 185/ Desember 2009...atau informasi pemesanan maupun berlangganan selengkapnya... klik disini

Evaluasi dan Prediksi


Oleh: Pemimpin Umum/Redaksi:
Drh H Tjiptardjo Pronohartono, SE

P
ada penghujung tahun 2009 ini kita perlu melihat kilas balik peristiwa yang terjadi, dalam tingkat global perkembangan krisis ekonomi cenderung membaik dan di tingkat nasional kita telah melewati tahapan pemilihan Anggota Legislatif dan Presiden dengan damai. Namun demikian pada bulan-bulan terakhir ini kita menghadapi gejolak dalam ranah penegakan hukum yang ditengarai telah menciderai rasa keadilan.

Di bidang peternakan dalam tahun ini telah diterbitkan Undang-Undang tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diharapkan dapat lebih menjamin adanya kepastian hukum serta mampu memacu investasi yang dapat mewujudkan kemandirian dalam penyediaan bahan pangan. Berdasarkan perkembangan sampai sat ini dan asumsi yang kita gunakan akan dapat dilakukan prediksi keadaan pada tahun mendatang.

Mengacu pada hasil Seminar Nasional Perunggasan bahwa sebagai dampak membaiknya ekonomi global dan perkembangan didalam negeri, kondisi tahun 2010 diharapkan lebih prospektif dan tentu saja harus disertai upaya serta kerja keras seluruh pihak terkait. (Red)

Siap-Siap Menyambut Tahun 2010

Secepat pertumbuhan ayam broiler, begitulah rasanya kami melewati tahun 2009. Tanpa terasa, tiba-tiba kami sudah berada di penghujung tahun 2009. Ya, sejak Oktober, tim Infovet maupun keluarga besar PT Gallus Indonesia Utama, mulai melakukan evaluasi kinerja 2009 dan rencana tahun 2010.

Di akhir tahun ini mulai terasa suasana kerja menyambut pergantian tahun. Suasana ini bukan suasana peringatan tahun baru yang berupa hajatan meniup terompet, melainkan kesibukan memikirkan bagaimana target tahun 2010, bagaimana topik-topik yang akan disajikan tahun 2010 dan bagaimana agenda aksi untuk menyukseskan 2010.

Dalam jajaran redaksi sudah dilakukan review topik Fokus 2009 dan bagaimana rancangan tahun 2010. Pembahasan ini dilakukan di annual meeting Infovet yang berlangsung 25 Oktober 2009 berbarengan dengan acara peringatan Ulang Tahun ASOHI ke-30 dimana wartawan Infovet dari daerah ikut serta, yaitu Drh Untung Satriyo, Drh Masdjoko Rudyanto, Drh Yonathan Rahardjo dan Sadarman Spt.

Selanjutnya pada bagian marketing iklan maupun distribusi majalah melakukan serangkaian inovasi agar tahun 2010 prestasi kami lebih meningkat lagi. Tak ketinggalan pula divisi divisi lain dalam PT Gallus Indonesia Utama yang merupakan saudara dari Infovet. Gita Pustaka (penerbitan buku), Gita Organzier (event organizer) Majalah satwa, G-Multimedia dan Gita Consultant masing-masing menyusun agenda 2010.

Pada akhir tahun ini pula, tim marketing dan redaksi Infovet melakukan silaturahmi dengan beberapa mitra Infovet untuk mendapatkan bermacam masukan menyongsong tahun 2010. Sudah barang tentu Infovet juga diminta sejumlah perusahaan untuk memberi masukan dan informasi mengenai perkembangan 2009 dan prediksi 2010.

Di luar kegiatan tersebut, agenda rutin bulanan tetap berjalan, wawancara dengan narasumber untuk mendapatkan informasi yang sesuai topik Fokus edisi Desember ini berjalan dengan lancar, meskipun banyak narasumber yang tengah sibuk dengan kegiatan akhir tahun.

Selamat Tahun Baru 2010, Sukses Beserta Kita. Amien

MEMPERTAHANKAN KONDISI OPTIMUM KINERJA SALURAN PENCERNAAN AYAM

Oleh :
Drh. Wayan Wiryawan
Technical Advisor
Malindo Group
wayan.wiryawan@malindofeedmill.co.id

Manajemen dan formulasi pakan dapat mempengaruhi efek kerja dari pada saluran pencernaan. Kesehatan dari pada saluran pencernaan (usus) sangat mempengaruhi pemanfaatan nutrisi yang terkandung dalam sediaan pakan dan juga pertumbuhan ayam. Problem gangguan kesehatan pada saluran pencernaan (usus) muncul karena status nutrisi yang tidak baik dan juga karena kondisi lingkungan yang tidak higienis terutama selama tahap awal pemeliharaan anak ayam.

Untuk mendapatkan efektifitas biaya dan optimalisasi pertumbuhan dari ayam yang dipelihara, berkenaan dengan fungsi saluran pencernaan, maka sangat perlu untuk dilakukan:
  1. Pelihara kesehatan saluran pencernaan (usus) melalui penyediaan dan pemberian pakan dengan nilai nutrisi/gizi yang tepat dan kondisi lingkungan yang bersih.
  2. Perawatan yang efektif terhadap adanya kelainan pada saluran pencernaan (usus).

Fungsi dan Struktur Saluran Pencernaan Ayam
Untuk menjaga integritas dan kondisi sehat dari saluran pencernaan pada ayam, pemahaman yang sangat jelas dari struktur dan fungsi saluran pencernaan adalah sangat penting. Sistem kerja saluran pencernaan pada unggas dalam memecah pakan yang dikonsumsinya menjadi komponen yang paling mendasar (basic components) secara mekanikal dan kimiawi. Komponen yang paling mendasar (basic components) dari pakan selanjutnya diserap (absorption) oleh sel-sel (vili-vili) pada dinding usus.

Sistem saluran pencernaan dari ayam dimulai dari paruh dan berakhir pada anus (cloaca). Organ yang terkait dengan sistem pencernaan meliputi; oesophagus, tembolok (crop), proventriculus, gizzard, duodenum, usus kecil (small intestine), sepasang caecum dan usus besar. Organ vital lain yang terkait dengan fungsi sistem pencernaan adalah hati dan pankreas.

Dengan beberapa pengecualian (keberadaan dari tembolok, gizzard, proventrikulus, usus pendek dan kloaka), anatomi saluran pencernaan dan fisiologi dari unggas adalah serupa dengan hewan mamalia. Oleh karena adaptasi untuk bisa terbang pada bangsa unggas, maka ukuran saluran pencernaannya relative kecil, karena berhubungan dengan berat tubuhnya. Namun demikian kondisi ini dikompensasi oleh vascularisasi yang lebih tinggi (kaya pembuluh darah), tingkat ekskresi lambung yang lebih tinggi, waktu henti pakan dalam usus yang ditingkatkan, dan kadar keasaman yang lebih rendah pada saluran pencernaannya dibandingkan dengan hewan mamalia.

Bangsa unggas juga memiliki jumlah villi usus yang lebih banyak dengan kemampuan regenerasi sel epithel yang tinggi (48 sampai 96 jam), dan respon yang sangat cepat terhadap adanya radang (kurang dari 12 jam, dibandingkan dengan 3-4 hari pada jenis mamalia), yang membuat bangsa unggas lebih peka terhadap gangguan fungsi saluran pencernaan dalam kapasitas menyerap nutrisi pakan dibanding dengan mamalia.

Integritas Saluran Pencernaan
Kondisi optimum dari saluran pencernaan dapat digambarkan sebagai keadaan utuh dari struktur dan fungsinya atau sederhananya kondisi maksimal dari fungsi saluran pencernaan dalam mencerna dan menyerap nutrisi pakan.

Memelihara kondisi GIT (Gastro intestinal tract)
Beberapa paramater yang dapat digunakan untuk menilai saluran pencernaan ayam berfungsi baik:
  1. Kecernaan dan penyerapan nutrisi pakan yang baik.
  2. Sangat rendahnya nilai nutrisi pakan yang terbuang menjadi kotoran
  3. Bau sangat minim dari kotoran yang dihasilkan
  4. Sangat rendah bahkan hampir tidak ada ayam yang nampak sakit atau mati
  5. Feed Convertion Ratio sangat baik (sesuai standar)

Pembahasan lebih lanjut mengenai Sistem pertahanan alami membantu integritas saluran pencernaan, Faktor yang dapat mempengaruhi integritas saluran pencernaan, Pemberian pakan seawal mungkin pada anak ayam dan hubungannya dengan kesehatan saluran pencernaan. Peranan faktor-faktor yang berkenaan dengan pakan dalam meningkatkan integritas saluran pencernaan, serta kesimpulan dari artikel ini dapat di baca di majalah Infovet edisi 184/ November 2009...atau informasi pemesanan atau berlangganan selengkapnya...klik disini

Ayam Arab Punya Telur, Ayam Kampung Punya Nama

Sejak merebaknya wabah Flu Burung di Indonesia sekitar 5 tahun yang lalu, berakibat signifikan terhadap populasi ayam kampung. Meski sampai kini belum ada data resmi tentang populasi tersisa, yang dirilis oleh instansi kompeten. Namun dapat dipastikan bahwa tergerusnya populasi ayam yang banyak dipelihara secara turun temurun oleh sebagian besar penduduk Indonesia itu, bisa mencapai lebih dari 60-70%.

Meski ayam kampung dari segi populasi sudah anjlog ke titik yang paling memprihatinkan itu, namun tetap saja harga jual daging ayam kampung tidak dapat naik berlipat-lipat. Hukum ekonomi tidak berlaku disini.

Benar adanya, bahwa harga daging ayam kampung tetap saja masih paling tinggi dibandingkan dengan daging ayam ras potong ataupun ayam petelur afkir. Masih menjadi beruntung, karena belum ada unggas lain yang mampu mengganti dan menggeser posisi daging ayam kampung.

Berbeda sekali dengan komoditi telur ayam kampung, justru posisinya telah lama digeser sekitar 10tahun yang lalu oleh ”Ayam Arab”. Sehingga tepat sekali jika ada peribahasa baru ”Ayam Arab punya telur, dan Ayam Kampung Punya Nama”.

Sebuah peribahasa adaptasi dari ”Kerbau punya Susu dan Sapi Punya Nama”. Yang kurang lebih maknanya adalah, ayam arab yang bertelur, akan tetapi di pasar dijual dengan ”brand” atau nama dagang ”telur ayam kampung”.

Seperti diketahui bahwa sudah lebih dari 10 tahun terakhir ini, komoditi telur ayam arab beredar di pasar dengan daya serap konsumen yang cukup lumayan menjanjikan keuntungan para pedagang telur dan juga para peternaknya. Entah siapa yang mengawali dan memulai klaim telur ayam arab itu sebagai ayam kampung. Kala itu, memang ada resistensi atau penolakan dari konsumen untuk mengkonsumsi telur putih kecil-kecil itu, namun toh akhirnya dapat diterima dengan baik oleh konsumen, bahkan sampai saat ini, laju konsumsi terus bergerak naik.

Bahkan kini, meski sebagian besar konsumen sudah tahu dengan benar bahwa itu tiada lain adalah telur ayam arab, tetap saja dibeli. Asumsi konsumen, telur ayam arab sama saja dengan telur ayam kampung.

Punahnya Ayam Kampung?
Lalu apa implikasi dan dampak buruk dengan populasi ayam kampung yang dari tahun ke tahun terus semakin menyusut jumlahnya itu dan mendekati kepunahan?
Sebuah kekhawatiran yang pantas untuk dicermati dan menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin plasma nuftah ayam Indonesia itu hilang dan tinggal sebuah nama saja.

Laju konsumsi telur ayam arab yang secara signifikan terus meningkat, adalah berkorelasi nyata dengan tergerusnya populasi ayam kampung. Para peternak tentu saja akan lebih memilih beternak ayam arab jika saja potensi keuntungan nyata di depan mata. Sedangkan budidaya ayam kampung harus diakui, kurang menjanjikan keuntungan ekonomis, terutama jika hanya untuk produksi telur.

Terlebih lagi dengan kesulitan yang dialami para peternak (dalam hal ini penduduk di pedesaan) untuk memperoleh bibit ayam kampung yang berkualitas baik. Sebab untuk mendapatkan bibit yang tahan terhadap sergapan aneka penyakit saja, pada saat ini sudah semakin sulit.
Hampir tidak ada usaha yang benar-benar intensif untuk memproduksi bibit anak ayam kualitas baik. Umumnya yang diperjualbelikan saat ini adalah peliharaan yang tersisa dari terjangan wabah Flu Burung 5 tahun yang lalu. Artinya tiada ada upaya ’up grade’ genetik dari pihak manapun.

Sangat disayangkan jika sampai saat ini tidak ada campur tangan dan peran serta yang serius dari institusi penelitian pemerintah atau instansi pemerintah maupun pakar perguruan tinggi. Sehingga sangat mungkin jika ada yang memprediksi dalam 20 tahun mendatang, ayam kampung Indonesia akan tinggal nama saja.

Realita di lapangan saat ini kalaupun ada budidaya ayam kampung secara semi intensif, umumnya tetap saja mengarah kepada penggemukan atau menjadi ayam potong dengan kisaran pemeliharaan 70-80 hari saja. Sama sekali tidak ada pemeliharaan yang mengarah untuk produksi bibit apalagi menghasil telur. Yang lebih memprihatinkan lagi, pada saat ini setelah wabah FB, sudah jarang ditemui penduduk di pedesaan maupun pinggiran perkotaan yang memelihara secara ekstensif atau dilepas bebas.

Sedikitnya populasi ayam yang dipelihara secara ekstensif atau dilepas, oleh karena berbagai faktor pendukung. Pertama, adanya himbauan dan larangan dari pihak pemerintah daerah, kepada penduduk dalam memelihara ayam kampung, hal itu dalam rangka mencegah wabah FB.
Kedua, dari aspek keamanan ayam, jika dipelihara bebas sering terjadi pencurian ataupun dimakan binatang liar. Ketiga, jika diperkotaan lahan untuk melepas ayam sudah semakin sempit. Sedangkan jika di pedesaan ayam kalu dilepas akan menuai protes dari penduduk lain, terkait dengan ketakutan FB.

Informasi bias yang diterima oleh masyarakat tentang penyakit FB sangat terasa sekali dengan protes dan keberatan warga jika ada yang memelihara ayam, baik di kurung maupun dilepas. Kondisi seperti riil terjadi di sebagian besar wilyah Indonesia, sehingga menjadi faktor terberat dan potensial pemusnah ayam kampung paling sistematis.

Jika tidak ada perubahan paradigma penyampaian informasi tentang penyakit FB yang benar, maka akan terjadi sebuah kondisi yang paling tragis. Ayam kampung akan hilang dari bumi Indonesia. Dan peribahasa di atas yaitu ”Ayam Arab punya Telur, Ayam Kampung punya Nama” bukan hanya peribahasa semata akan tetapi sudah pasti akan menjadi realita. (iyo)

Kampanye Makan Telur Pinsar

Pusat Informasi Pasar Unggas Nasional (Pinsar UN) kembali menggelar kampanye sadar gizi. Kali ini giliran anak-anak yang tergabung dalam program kursus menggambar Global Art yang sedang berkompetisi di Pluit Village, Jakarta, Minggu (18/10) .

Sementara dr Asrina Veranita memberikan informasi seputar pentingnya makan makanan yang bergizi dari daging dan telur ayam. Antusiasme anak-anak terlihat saat mendapat paket makanan yang berisi nugget dan telur rebus, mereka langsung melahap tanpa harus dikomando pembawa acara.

Acara tersebut dimeriahkan oleh penampilan Albert Fakdawer yang merupakan penyanyi dan aktor Indonesia yang melejit setelah menjadi pemeran utama dalam film layar lebar berjudul Denias dan Senandung di Atas Awan. (wan)

Visi ASEAN 2020: Saling Peduli dan Berbagi Untuk Dunia Peternakan

Latar belakang pendirian ASEAN tahun 1967 adalah untuk mewujudkan cita-cita luhur, yakni membentuk kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan yang aman. Namun sejak tahun 1997, para pemimpin ASEAN mulai berpikir tentang pembangunan identitas kolektif di antara warga bangsa ASEAN melalui pencanangan ASEAN VISION 2020 sebagai komunitas Asia Tenggara yang saling peduli dan berbagi. Demikian disampaikan Dr Ir Ali Agus DAA DEA di depan peserta seminar internasional dan workshop yang diselenggarakan oleh Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Mengingat kebutuhan yang mendesak, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-12 di Cebu Filipina pun memutuskan untuk mempercepat pembentukan komunitas ASEAN, dari rencana semula tahun 2020 menjadi 2015. “Itu sebagai batas akhir pembentukan pasar barang, jasa, dan tenaga kerja global yang bebas di ASEAN,” ujar Dr Ir Ali Agus DAA DEA pada Rabu (14/10) saat berlangsung Seminar dan Workshop Internasional “ASEAN Vision 2020 in Higher Education of Animal Science.”

Oleh karena itu, seminar dan workshop yang berlangsung selama dua hari, 14-15 Oktober 2009, diharapkan mampu membentuk sebuah forum/network pendidikan tinggi peternakan di negara-negara Asia Tenggara, sebuah forum bernama South East Asia Network for Animal Science (SEANAS).

Enam pembicara yang hadir dalam acara ini adalah Prof Dr Ir Tri Yuwanta SU DEA (Dekan Fakultas Peternakan UGM), Prof Dr Suthut Siri (Head of Departement of Animal Technology, Faculty of Agricultural Product, Maijo University, Chiang Mai, Thailand), Prof Dr Halimatun Yaakub (Head of Departement of Animal Science, Faculty of Agriculture, University Putra Malaysia, Selangor, Malaysia). Selanjutnya, Dr Cesar C Sevilla (Director of Institute of Animal Science, Faculty of Agriculture, UPLB at Los Banos, Phillipines), Prof Dr Nguyen Xuan Trach (Dean of Faculty of Animal and Aquaculture Sciences, Hanoi University of Agriculture, Hanoi, Vietnam), dan Prof Dr Zaelan Jelan (President Malaysian Association of Animal Production).

Seminar dan workshop yang diikuti pimpinan perguruan tinggi di Indonesia dan ASEAN, serta mahasiswa S1, S2, dan S3 ini diharapkan pula mampu meningkatkan kepedulian akan kesepakatan komunitas ASEAN di tahun 2015. “Juga bisa meningkatkan jejaring sesama pengelola institusi pendidikan tinggi peternakan di kawasan ASEAN, serta membangun forum komunikasi di antara mereka,” pungkas Ali Agus berharap. (Sadarman)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer