Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Susu | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Menumbuhkan Konsumsi Susu Lewat Produk Keju

Varian jenis keju yang diolah dari susu lokal. (Foto: Dok. Noviyanto)

((Jika tak suka dengan susu murni, konsumsi keju pun bisa jadi pengganti. Selain tetap nikmat, keju dapat dikonsumsi bersamaan dengan makanan kesukaan lainnya. Takaran gizinya pun tak beda.))

Persoalan rendahnya tingkat konsumsi sumber makanan bergizi di Indonesia, tak hanya terjadi pada konsumsi telur dan daging ayam. Konsumsi terhadap susu pun setali tiga uang. Rendahnya tingkat konsumsi ini bukan data asal yang muncul, namun telah melalui sebuah kajian matang yang dilakukan pihak berkompeten.

Agustus lalu, Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menyebutkan, dari hasil penelitian yang dilakukan para akademisi, bahwa Indonesia menempati posisi terendah mengonsumsi susu se-ASEAN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 16,5 liter per kapita per tahun.

Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan data United States Department of Agriculture (USDA) Foreign Agricultural Service 2016, untuk Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter) dan Filipina (22,1 liter). Produksi susu segar di Indonesia sendiri baru mencapai 920.093,41 ton pada 2017. Angkanya hanya naik 0,81% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 912.735,01 ton.

Sedangkan berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan) 2016, konsumsi susu di Indonesia hanya berkisar 11,8 liter per kapita per tahun, termasuk produk olahan yang mengandung susu. Sementara, Malaysia konsumsi susunya mencapai 36,2 liter per kapita per tahun, Thailand 22,2 liter per kapita per tahun dan Filipina sebanyak 17,8 liter per kapita per tahun.

Pada 2016 Kementan mencatat, perkembangan rata-rata konsumsi susu murni dari 1993 hingga 2016 hanya meningkat 1,86 liter per kapita per tahun, di mana penurunan tertinggi sebesar 50,24% terjadi pada 2009.

Dari angka ini, dapat dilihat bahwa budaya minum susu di Indonesia masih rendah. Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi susu cair olahan perlu ditingkatkan agar terus memaksimalkan serapan produksi susu sapi lokal. Salah satunya dengan mendorong industri untuk meningkatkan produksi susu olahan segar dibanding olahan bubuk.

Produk Turunan
Bagi orang yang kreatif dan memiliki insting bisnis yang tajam, budaya keengganan masyarakat mengonsumsi susu ini tampaknya bisa dilirik sebagai peluang bisnis yang menggiurkan. Seperti halnya yang dilakukan Noviyanto, pengusaha muda asal Kota Boyolali, Jawa Tengah, telah membuktikan itu. Ia mengolah susu sapi menjadi produk keju yang nikmat. Produk yang digemari banyak kalangan itu ia beri brand Keju Indrakila.

Muasal Noviyanto terjun ke usaha produksi keju memang bukan semata karena data BPS ataupun Kementan yang menyatakan rendahnya tingkat konsumsi susu di masyarakat. Ia juga memiliki alasan lain yang tak kalah penting. Kota tempat kelahirannya merupakan salah satu sentra peternak sapi perah.

“Di sini produksi susu sangat melimpah. Namun, kadang mereka kesulitan untuk memasarkan susu hasil perahannya. Nah, berangkat dari kepihatinan melimpahnya produksi susu sapi petani lokal, saya kemudian mendirikan pabrik keju pada tahun 2009,” ujarnya.

Ada delapan lebih varian keju produksi Indrakila, yakni mozzarella, mozzarella fresh, feta, feta olive oil, feta black pepper, mountain chilli, mountain dan boyobert. Dari semua varian keju tersebut, menurut Noviyanto, varian mozzarella paling banyak diminati konsumen.

Noviyanto tak sendiri dalam merintis usaha produksi kejunya. Karena usaha ini tergolong padat teknologi dan modal, pria ini menggandeng beberapa kerabatnya untuk menambahkan modal awal. Dengan sokongan modal, lulusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Solo ini berani merintis pabrik keju Indrakila pada 2009.

Saat ini pabrik yang berlokasi di kampungnya, Dukuh Karangjati, mampu memproduksi sedikitnya 120 kg keju lebih per hari. Pasokan susu segar sebagai bahan baku dia dapatkan dari Koperasi Serba Usaha (KSU) di Boyolali. KSU ini beranggotakan sekitar 600 lebih peternak sapi perah Boyolali.

Memproduksi keju membutuhkan bahan yang tak sedikit. “Semisal, untuk bahan sebanyak 100 liter susu murni, keju yang dihasilkan hanya sekitar 10 persen. Limbahnya yang masih 90 persen akan kami olah jadi berbagai produk turunan,” ujar Noviyanto.

Produk turunan dari limbah ini digagas Noviyanto menjadi produk lain, seperti semacam natadecoco dan bahan biogas. Menurutnya, semua varian keju produk Indrakila saat ini di pasarkan secara ritel ke supermarket. Produk ini sudah mendapat izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Sekarang yang saya lakukan masih kecil dampaknya untuk Boyolali. Kota ini menghasilkan 110 ton lebih susu tiap hari, sedangkan saya baru manfaatkan sebagian per harinya,” ungkapnya.

Disukai Ekspatriat 
Keju buatan Noviyanto sudah dipasarkan hingga ke Bali, Semarang, Yogyakarta, Solo dan beberapa kota di Pulau Jawa. Untuk luar jawa, dia baru memenuhi pasar di Makassar, Aceh, dan Kalimantan. Selain dijual ritel, pembeli lainnya berasal dari pemilik restoran atau usaha yang membutuhkan keju sebagai pelengkap. Ada juga yang sudah menjadi reseller.

Harga keju Indrakila bervariasi tergantung jenis dan jumlah pembelian. Namun kisarannya mencapai Rp 150.000 per kg. Dari bisnis keju lokal ini, Noviyanto mengaku sudah mengantongi omset lumayan besar. Perolehan omset sebesar itu tak terlepas dari target konsumen yang dibidik, yakni skala industri dan ekspatriat sebagai pembeli ritel.

“Justru para ekspatriat yang menyukai keju lokal, karena rasanya lebih segar. Sedangkan orang kita malah lebih suka keju impor,” kata dia.

Kini, Noviyanto sedang mengembangkan bisnisnya agar lebih mendunia. Dalam bisnis ini, dia berharap mampu menguasai pasar nasional dalam skala yang lebih besar lagi. Sehingga pabrik kejunya bisa menyerap tenaga kerja lokal lebih banyak. (AK)

Kemitraan: Langkah Pemerintah Tingkatkan Industri Persusuan

Pembicara dan pembahas saat berfoto bersama.

Untuk meningkatkan produktivitas industri susu, pemerintah berupaya membangun konsep kemitraan antara peternak dan pengusaha yang dinilai akan membawa dampak positif.

Hal itu seperti disampaikan oleh Ir Fini Murfiani, Direktur Pemasaran dan Pengolahan Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. “Kami akan terus fokuskan konsep kemitraan, agar bisa saling membutuhkan, saling ketergantungan dan menguntungkan,” kata Fini.

Ia yang menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Susu Segar Dalam Negeri: Sharing Peternak Muda” di Aula Puslitbang Peternakan, Kementerian Pertanian, Bogor, Rabu (25/4), menilai, konsep tersebut bisa membawa percepatan yang signifikan terhadap keberlangsungan industri persusuan, mengingat problema yang terus dihadapi.

Menurutnya, permasalahan dari sisi hulu terjadinya penurunan populasi sapi perah menyebabkan penurunan produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN). Fini menjelaskan, data dari BPS kebutuhan susu pada 2017 dengan konsumsi susu 16,5 liter/kapita/tahun adalah 4.448,67 ribu ton, sementara produksi susu nasional dari populasi sapi perah 544.791 ekor adalah 922,97 ribu ton (20,74%), sisanya 3.525,70 ribu ton (79,26%) harus dipenuhi melalui impor.

Sedangkan di sisi hilir, lanjut dia, harga susu di tingkat peternak masih rendah, karena kualitas susu yang juga belum memadai. “Padahal kualitas susu menjadi salah satu indikator utama penentuan harga. Selain itu, tingkat konsumsi dan produk olahan kita masih rendah dibanding negara Asean lainnya, karena kurangnya informasi dan edukasi pentingnya susu untuk kecerdasan dan kesehatan,” jelas Fini yang juga menjadi keynote speech mewakili Dirjen PKH.

Karena itu, diharapkan konsep kemitraan menjadi dongkrak kemajuan industri sapi perah ke arah yang lebih baik. “Intinya adalah pemanfaatan SSDN, nantinya bekerjasama dengan Industri Pengolahan Susu (IPS) yang sudah memiliki Unit Pengolahan Susu (UPS), melakukan promosi, serta penyediaan sarana produksi (peralatan) dan pembiayaan. Kemitraan ini bersifat fleksibel, artinya sesuai dengan kebutuhan peternak,” terang dia.

Konsep tersebut juga diperkuat dengan Permentan No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu, yang merupakan regulasi pertama sejak 1998 silam. “Kami menyadari selama ini kemitraan yang telah dilakukan oleh beberapa pelaku usaha, khususnya IPS belum ada peraturan pemerintah yang mengaturnya. Permentan ini terbit agar kegiatan kemitraan lebih efektif, terarah dan terukur,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kemitraan untuk peningkatan produksi dilakukan melalui penambahan populasi ternak, fasilitasi pembesaran pedet (rearing) dan/atau peningkatan keterampilan dan kompetensi peternak. Sedangkan kemitraan untuk pembiayaan meliputi fasilitas modal usaha dan/atau penjaminan kredit usaha.

Adapun bentuk kemitraan meliputi bantuan sapi bergulir, cooling unit, renovasi kandang, pakan konsentrat dan hijauan, peralatan, pelatihan dan penyuluhan, pengolahan limbah, studi banding, edukasi gizi, serta pinjaman bank. “Kami berharap upaya kemitraan dan sinergi antar pelaku usaha ini dapat memberikan motivasi yang tinggi bagi para peternak,” tukasnya.

Pada kesempatan itu, hadir sebagai narasumber lain yakni Prof (Riset) Dr Ismeth Inounu Ketua Tim Kajian Antisipatif dan Responsif Kebijakan Peternakan dan Veteriner Puslitbang Peternakan, Drh Deddy Fakhrudin Kurniawan peternak muda berprestasi asal Malang, Drh M. Dwi Satriyo peternak muda berprestasi asal Bogor, serta sebagai pembahas Ir Jafi Alzagladi Asisten Deputi Peternakan dan Perikanan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Bidang Perekonomian dan Dr Ir Arief Daryanto selaku dosen MB IPB. (RBS)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer