Gratis Buku Motivasi "Menggali Berlian di Kebun Sendiri", Klik Disini Search Posts | Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan -->

Problem Imunosupresi Melawan Mikotoksin

Fokus Infovet edisi 164 Maret 2008

Oleh: Tony Unandar (SAS Group)

(( Selain berbekal kemampuan teknis yang memadai, seorang praktisi lapangan kadang kala membutuhkan suatu instuisi yang tajam dalam mencari penyebab utama kasus-kasus yang sedang dihadapinya. Perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menjadi lebih baik lagi jika disertai dengan pengalaman lapang yang cukup. ))

Gangguan pada sistem pertahanan tubuh yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang bersifat imunosupresif (faktor yang menekan/mendepresi respon pertahanan tubuh) mungkin menjadi suatu contoh yang paling representatif dewasa ini.
Akibat jeleknya sistem pertahanan tubuh, maka akan muncul kasus-kasus infeksius yang sangat bervariasi baik dalam jenis maupun dalam derajat keparahannya, bahkan cenderung dalam bentuk infeksi kompleks yang berulang-ulang.
Akibat tubuh hanya mengandalkan kekuatan dari potensi suatu antibiotika dalam suatu program pengobatan, maka program antibiotika tersebut seolah-olah tidak “cespleng” atau bahkan gagal sama sekali. Antibiotika seolah sudah tidak berdaya sama sekali.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran sepintas kepada kolega praktisi lapang mengenai faktor-faktor imunosupresi itu sendiri, termasuk bagaimana mendeteksinya di lapangan secara sistematik.

Pengertian Imunosupresi

Kemungkinan adanya faktor-faktor yang bersifat imunosupresif sudah diketahui pada awal tahun 1900-an (Adair, 1996).
Dr. Denise K. Thorton (Central Veterinary Lab. – UK) dalam “16th Poultry Science Symposium” (1980), sedikit membahas beberapa laporan mengenai peranan faktor-faktor yang bersifat imunosupresif dalam menentukan keberhasilan suatu program vaksinasi pada unggas (Olson, 1967; Payne, 1970; Cunningham, 1975; Koyama et. al., 1975).
Baru dalam “Poultry Immunology Symposium” terakhir yang diadakan di Universitas Reading – Inggris (18-24 September 1995), hal-hal yang berkaitan erat dengan faktor-faktor imunosupresi pada unggas dibahas secara rinci dan khusus.
Secara harafiah, imunosupresi dapat diartikan “menekan respon imun”. Pengertian yang lebih luas lagi adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak memberikan respon yang optimal terhadap adanya induksi ataupun stimulasi sesuatu yang bersifat imunogenik (sesuatu yang mampu membangkitkan respon kekebalan/imun).
Tegasnya, imunosupresi membuat tubuh host alias induk semang menjadi semakin ringkih.

Kejadian dan Faktor Penyebab Imunosupresi:

Sebenarnya ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya kejadian imunosupresi, yaitu:
a. Rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk membentuk/mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan, misalnya timus (thymus), bursa Fabricius, sumsum tulang, limpa dan jaringan limfoit lainnya (misalnya daun Peyer).
Kerusakan jaringan ini bisa disebabkan oleh virus (misalnya: Reovirus, Mareks Disease Virus, Chicken Anaemia Virus, Raussarcoma Viruses, IBD Virus) atau oleh toksin-toksin tertentu seperti Aflatoksin dan Toksin-T2.
Efek dari rusaknya jaringan limfoit selain dari mengecilnya jaringan limfoit itu sendiri, juga menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel darah putih secara ke seluruhan, termasuk sel-sel limfosit dewasa yang beredar di dalam sistem sirkulasi tubuh, baik itu sistem peredaran darah maupun sistem peredaran limfe (system getah bening atau limfatik).
Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan reaksi tubuh dalam menghadapi tantangan bibit penyakit yang masuk akan menjadi lebih lama atau tidak optimal.
Selanjutnya, Labro (1990) melaporkan bahwa penggunaan antibiotika jenis Tetrasiklin dalam waktu yang relatif lamapun akan menekan jumlah populasi sel-sel limfosit, walaupun pada penelitian selanjutnya diketahui efek tersebut hanyalah bersifat sementara dan mekanismenyapun belum diketahui secara pasti.
b. Rusaknya struktur dan fungsi fisiologis sel-sel darah putih (termasuk sel-sel limfosit). Kondisi ini dapat disebabkan juga oleh virus-virus dan toksin yang disebutkan di atas, tergantung dari derajat keparahan infeksi ataupun level dan lamanya induk semang terinduksi oleh Aflatoksin ataupun Toksin-T2.
c. Walaupun struktur sel-sel darah putih (termasuk sel-sel limfosit) tidak terganggu, namun ada kalanya hanya fungsi fisiologisnya saja yang terganggu.
Hal ini bisa terjadi akibat stres yang luar biasa ataupun pengaruh dari Aflatoksin dosis rendah (lazy leucocyte syndrome). Pada kondisi seperti ini sel-sel limfosit yang normal secara anatomis tidak memberikan respon tanggap kebal yang optimal secara fisiologis terhadap adanya induksi secara imunologik.
Adair (1995) menyatakan bahwa kondisi imunosupresi juga dapat terjadi akibat terjadinya infeksi-infeksi pada jaringan-jaringan non-limfoit seperti kelenjar tiroid (thyroid). Pada kondisi seperti ini berarti agen penyebabnya secara tidak langsung mengganggu reaksi imunologis.
Hal ini mirip sekali dengan laporan Klasing (1997) tentang peranan Interleukin-1 (sejenis sitokin) yang terbentuk pada respon kekebalan dan pengaruhnya pada penampilan pertumbuhan pada ayam potong.
Jadi … secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi imunosupresi dapat terjadi akibat terganggunya respon kekebalan secara normal yang disebabkan oleh faktor-faktor infeksius atau pun non-infeksius, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Tanda-tanda Kondisi Imunosupresi

Di lapangan sangatlah sulit untuk mendeteksi kejadian imunosupresi secara cepat dan pasti. Yang jelas, adanya kasus yang sangat bervariasi serta berulang-ulang dan juga jeleknya penampilan ayam yang dipelihara secara keseluruhan merupakan gambaran yang sering ditemukan secara konsisten.
Dalam laporannya, Adair (1995) menyebutkan tanda-tanda kondisi imunosupresi pada ayam adalah sebagai berikut:
a. Meningkatnya kejadian infeksi sekunder.
b. Respon terhadap vaksin sangat lemah.
c. Penyusutan atau degenerasi jaringan limfoit.
d. Menurunnya jumlah butir darah putih yang bersirkulasi (dalam darah/limfe).
e. Menurunnya respon limfosit.
f. Menurunnya produksi sitokin oleh butir-butir darah putih.
Akan tetapi … berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, maka gejala-gejala kondisi imunosupresi dalam suatu flok ayam dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:

A. RESPON TERHADAP VAKSIN:

Jika terdapat faktor imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, maka ayam-ayam yang berada di dalam populasi tersebut akan memberikan reaksi pasca vaksinasi yang berlebihan, baik dari segi jumlah ayam yang menunjukkan gejala-gejala pasca vaksinasi maupun derajat keparahannya.
Gejala-gejala pasca vaksinasi tersebut biasanya sangat tergantung pada jenis vaksin yang diberikan. Gangguan-gangguan pernafasan biasanya merupakan reaksi pasca vaksinasi dari pemberian vaksin aktif ND maupun IB.
Secara normal, jika kondisi tubuh ayam yang divaksinasi cukup baik dan tidak ditemukan adanya faktor imunosupresi, maka reaksi pasca vaksinasi akan muncul antara hari kedua sampai hari kelima sesudah vaksin diberikan dan tampak pada tidak lebih dari 10% dari ayam yang divaksinasi.
Tiga sampai lima hari berikutnya ayam akan sembuh sendiri. Dan tentu saja, hal ini tidak akan terjadi pada kondisi imunosupresi, di mana kejadiannya biasanya berlarut-larut dan cenderung makin parah.
Pada pengamatan hasil-hasil uji serologis, jika terdapat faktor imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, biasanya peternak akan mendapatkan hasil titer zat kebal yang relatif lebih rendah dibanding biasanya dan juga mempunyai variasi hasil titer yang relatif cukup besar.
Ini berarti, secara rata-rata titer zat kebal yang ada pada populasi ayam yang diamati adalah lebih rendah dari biasanya (tentu saja kondisi ini mempunyai resiko kegagalan yang lebih besar akibat adanya peluang untuk masuknya bibit penyakit melalui ayam yang mempunyai titer antibodi yang rendah) dan mempunyai titer terendah dan tertinggi dengan interval yang sangat jauh.
Kondisi seperti ini tentu saja lebih mudah diamati pada ayam-ayam yang sedang produksi.
Karena hal-hal tersebut di atas, maka pada saat kita melakukan anamnese (pengumpulan data sejarah penyakit/kasus) peternak sering mengeluh akan tingginya kegagalan-kegagalan program vaksinasi, munculnya kasus penyakit yang berulang-ulang, meningkatnya jumlah pengulangan-pengulangan (booster) vaksin, serta jeleknya hasil pemeriksaan titer zat kebal yang diperoleh.
Jadi, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap vaksin adalah sbb.:
• Terhadap vaksin aktif, reaksi pasca vaksinasi akan lebih hebat
• Titer zat kebal yang diperoleh dari vaksinasi akan lebih rendah dari biasanya
• Variasi titer zat kebal yang diperoleh sangat tinggi (tidak seragam)
• Tingginya pengulangan program booster

B. RESPON TERHADAP MIKROORGANISME LINGKUNGAN

Karena respon tubuh terhadap adanya serangan bibit penyakit menurun, termasuk dalam menghadapi aktifitas mikroorganisme lingkungan, maka suatu populasi ayam yang mengalami kondisi imunosupresi akan memperlihatkan angka kematian (mortalitas) dan juga angka penularan (morbiditas) yang biasanya lebih tinggi dari pada normal, tergantung dari jenis bibit penyakit yang menyerang dan juga derajat imunosupresi itu sendiri.
Hal ini sangat mudah dideteksi di lapangan. Peternak akan bingung dengan adanya kasus-kasus kematian ayam yang tidak biasanya terjadi.
Di lain pihak, karena mikroorganisme lingkungan sering terlibat pada setiap kasus yang terjadi, maka pada kondisi imunosupresi, manifestasi kasus infeksius yang terjadi biasanya dalam bentuk infeksi kompleks dan tanda-tanda klinis maupun kelainan-kelainan pada bedah bangkai sangatlah bervariasi, tergantung pada mikroorganisme mana yang dominan pada saat itu.
Karena kejadian kompleks inilah yang kadang kala menyesatkan diagnosa dan menyulitkan program pengobatan yang akan dianjurkan pada peternak.
Dalam keadaan seperti ini, para praktisi lapang yang kurang teliti sering kali memberikan rekomendasi yang sifatnya superfisial, bukan pada faktor penyebab sesungguhnya.
Secara umum, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap mikroorganisme lingkungan adalah sbb:
• Kalau terjadi kasus penyakit, angka kematian dan penularan biasanya lebih tinggi dibanding biasanya. Penularan penyakit dalam satu kandang/farm biasanya juga jauh lebih cepat.
• Kasus-kasus infeksius yang terjadi biasanya kompleks dan sangat bervariasi, tergantung pada mikroorganisme yang dominan pada saat itu.
• Kasus infeksius yang sama sering terjadi berulang-ulang.
• Atau … muncul kasus-kasus infeksius yang biasanya tidak terjadi di lingkungan peternakan tersebut.

C. RESPON TERHADAP ANTIBIOTIKA

Cepat pulihnya individu ayam yang sakit selain akibat kerja dari suatu senyawa antibiotika, juga disebabkan oleh membaiknya kondisi tubuh ayam secara keseluruhan, dalam hal ini bisa diartikan bahwa tubuh mulai memberikan respon kekebalan yang cukup.
Jika respon pembentukan zat kebal terganggu oleh adanya faktor imunosupresi, maka sangatlah jelas bahwa tingkat ketergantungan pada potensi antibiotika yang digunakan begitu besar.
Ini berarti, respon pada penggunaan preparat antibiotika mungkin akan jauh lebih lambat, atau bahkan seolah-olah memberikan efek yang sangat minim. Jika kondisi ini terjadi, peternak dengan mudah akan mengatakan bahwa telah terjadi problem resistensi.
Kadang kala, karena begitu banyaknya mikroorganisme yang terlibat dalam suatu kasus, maka antibiotika yang berspektrum luaspun tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Begitu program antibiotika dihentikan, dengan cepat kasus akan muncul kembali, bahkan dengan derajat keparahan yang lebih hebat. Atau … seolah-olah kasus yang terjadi tidak berespon sama sekali terhadap antibiotika yang dipakai.
Dalam kondisi seperti ini, peternak sering kali mengalami frustasi, karena rotasi penggunaan antibiotika juga tidak memberikan hasil yang signifikan.
Jadi … ada beberapa poin penting dalam hal respon terhadap antibiotika pada kondisi di mana terdapat faktor imunosupresi, yaitu:
• Sering terjadi kegagalan penggunaan program antibiotika, baik itu sebagai program pencegahan maupun program pengobatan.
• Frekuensi penggunaan preparat antibiotika menjadi lebih sering, akibat kasus yang terjadi sering berulang-ulang.

Penanganan Kasus Imunosupresi

Yang jelas … jika pada suatu populasi ayam ditemukan kasus-kasus yang mengarah kepada adanya kondisi imunosupresi, maka tentu saja langkah utama yang harus dilakukan adalah meniadakan faktor imunosupresi tersebut. Tergantung pada jenisnya, apakah itu virus, toksin ataukah kondisi stres tertentu. Oleh sebab itu, hasilnya pun sangat bervariasi.
Dari pengalaman penulis, pemberian “supportive treatments” seperti pemberian tambahan vitamin C (15-25 mg asam askorbat/kg BB/hari) dan vitamin E (100 IU/kg BB/hari) sangat membantu pemulihan kondisi ayam.
Pemberian preparat yang dapat memperbaiki fungsi hati seperti inositol dan sorbitol, juga sangat dianjurkan. Di samping itu juga perlu ditingkatkan pelaksananaan program-program “biosecurity” di lingkungan peternakan yang bersangkutan, agar kontaminasi mikroba lapangan tidak mudah terjadi.



Efek Aflatoksin-B1 terhadap respon pertahanan tubuh:

Mikotoksin (Aflatoksin-B1)



Sel Bursa Fabricius Sel Jaringan Limfoid Fungsi Fisiologis Sel Darah Putih
Sel Thymus

Populasi Sel-B/Sel-T Lazy Leucocyte Syndrome



Kondisi Imunosupresi

RACUN JAMUR DAN UJI MUTU PRODUK TERNAK

Fokus Infovet 164 Edisi Maret 2008

(( Peran laboratorium yang dibutuhkan guna sertifikasi produk-produk peternakan dan apapun terkait dengan peternakan sudah waktunya untuk ditingkatkan. ))

Kejadian mikotoksikosis pada ternak lebih bermasalah lantaran soal penyimpanan pakan yang tidak memenuhi standar sanitasi dan higiene, terutama banyak dijumpai di peternakan kecil. Pada penyimpanan yang bagus, munculnya kasus ini dapat dikurangi. Adapun kasusnya sebetulnya relatif sedikit, namun kalau terjadi kasus mikotoksikosis, susah untuk menyembuhkannya.
Demikian Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) menjawab pertanyaan Infovet seputar mikotoksikosis pada pakan. “Beberapa jenis mikotoksin yang paling dikenal antara lain Okratoksin dan Aflatoksin, dan sebetulnya jenis mikotoksin sendiri sangatlah banyak, namun banyak pihak yang belum mengenalnya.”
Menurut Dr Fadjar, gejala ternak yang terserang mikotoksikosis terutama adalah muntahnya hitam, tidak mau makan, akhirnya menyerang ke gangguan lain, yaitu pernafasan dan paling banyak menyerang pencernaan, terutama pada lumen. Adapun proses kejadian penyakit hingga menimbulkan infeksi dan menunjukkan gejala klinis adalah lebih lama dibanding penyakit bakterial.
Melalui BPMPP, Dr Fadjar Sumping Tjatur Rasa mengaku bahwa yang diperiksa di balai ini adalah lebih pada racunnya yaitu antara lain aflatoksin dan okratoksin tadi. Menurutnya, beberapa kasus berbeda nyata, namun beberapa kasus yang lain tidak berbeda nyata.
Pengujian mutu produk peternakan (susu, daging, telur, kulit, dan lain-lain) memang dalam upaya keras guna diselenggarakan, agar produk peternakan yang beredar di masyarakat memenuhi standar kesehatan yang prima. Kehadiran Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan merupakan sebuah upaya guna mewujudkan keniscayaan ini.
Bandingkan dengan dunia obat hewan. Pada dunia obat hewan sudah berlangsung tindakan prosedural pengujian dan pemeriksaan mutu obat hewan dengan adanya Balai Besar Pengujian Mutu Obat Hewan (BBPMSOH), yang mana untuk eksekusi penertiban obat hewan yang sudah diuji dilakukan oleh pemerintah melalui Sub Direktorat Pengawasan Peredaran Obat Hewan (PPOH) Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjennak.
Melalui BPMPP itulah, produk-produk peternakan kita diawasi, di mana eksekusi penertibannya dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjennak.
Kalaupun pelaksanaannya belum seideal yang diharapkan, setidaknya upaya untuk ke arah itu sudah dilakukan sejak kehadiran BPMPP pada tahun 2001, sebagai kelanjutan dari Loka Pengujian Mutu Produk Peternakan yang berdiri pada 1997, sebagai bagian dari BPMSOH saat itu.
Kepala BPMPP sejak 2007, Drh Fadjar Sumping Tjatur Rasa PhD mengungkapkan bahwa pengujian mutu produk peternakan itu antara lain meliputi: pengujian produk peternakan terhadap residu antibiotik dan mikroba, residu hormon, pestisida dan logam berat, pemalsuan daging, kuman pada susu, pengujian terhadap racun jamur (mikotoksin).
Kasus pemalsuan daging antara lain adanya oplosan daging sapi dengan daging babi hutan (celeng), serta dicampurnya daging baru dengan daging lama. Kasus kuman pada susu antara lain temuan Institut Pertanian Bogor terhadap bakteri enterokoki zakazaki pada susu bubuk untuk bayi yang dapat menyebabkan radang otak, di mana di sini pun BPMPP bekerjasama dengan IPB dan Direktorat Kesmavet.
Uji residu antibiotika menunjukkan adanya penurunan kasus residu antibiotika pada produk-produk peternakan, yang mengindikasikan manajemen pengobatan pada ternak cukup meningkat tata laksananya.
Adapun cemaran mikroba pada produk peternakan dari hasil jajak kasus kejadiannya bervariasi, sesuai dengan kondisi higiene yang berbeda-beda. Kuman Salmonella adalah contoh kuman yang berabahaya yang ditemui pada jajak kasus ini, antara lain spesies Salmonella enteritidis.
Lanjut Dr Fadjar, pada pemeriksaan hormon, pada tahun 2007 belum dijumpai yang positif, meski sebelumnya dijumpai hormon tertentu pada daging sapi impor. Sedangkan pemeriksaan logam berat, hasilnya negatif. Pemeriksaan pestisida pada produk peternakan pun negatif.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengujian mutu produk peternakan di Indonesia adalah kesulitan dalam menentukan contoh jajak kasus yang mewakili seluruh kasus di Indonesia. Terutama lantaran, data di Indonesia belum akurat, dan banyak kasus yang belum tertangani.
Sebagai pelaksana teknis dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner Ditjennak, Dr Fadjar mengungkap bahwa BPMPP sedang mengupayakan agar balai ini sanggup mencapai level internasional. Dengan level internasional, antara lain agar posisi balai ini di nasional lebih kuat. Untuk itu diupayakan peningkatan manajeman laboratorium, sumber daya manusia dan fasilitas.
Harapannya lagi, banyak kasus dapat ditangani dan terdapat pemberian sertifikasi mutu pada produk-produk peternakan. Hal ini pun berkaca pada kasus tidak adanya sertisikasi mutu berdasar laboratorium pada Rumah Potong Hewan dan Rumah Potong Ayam, namun hanya berijin setelah ada inspeksi.
Contoh lain, dulu pengujian vaksin impor cukup adanya sertifikasi dari lembaga asal, kini sudah dilakukan pengujian laboratorium Indonesia begitu masuk di tanah air. Pengujian laboratorium ini pun dibutuhkan untuk menguji mutu produk-produk peternakan.
Artinya, peran laboratorium yang dibutuhkan guna sertifikasi produk-produk peternakan dan apapun terkait dengan peternakan sudah waktunya untuk ditingkatkan. (YR)

MEMPERSIAPKAN PULLET UNTUK PRODUKSI TELUR YANG EFISIEN

Fokus Infovet Mei 2008

(( Pullet yang unggul yang bisa berproduksi optimal. Berdasarkan asumsi ini, peternak dituntut kejeliannya dalam memilih calon day old chicken (DOC) yang akan dipeliharanya. ))

Pullet atau ayam dara yang siap berproduksi sering dijadikan sebagai indikator keberhasilan usaha peternakan ayam petelur. Ada apa sebenarnya dengan pullet ini?
Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA, pakar Produksi dan Reproduksi Unggas yang bermastutin (red; bekerja) di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyatakan, hanya pullet yang unggul yang bisa berproduksi optimal. Berdasarkan asumsi ini, peternak dituntut kejeliannya dalam memilih calon day old chicken (DOC) yang akan dipeliharanya.
Artinya, peternak harus punya wawasan luas tentang kriteria calon DOC, baik dari segi fisik maupun dari tetua yang memproduksi DOC tersebut.
“Saya lebih menekankan pada kemampuan peternak dalam hal memilih DOC yang high quality, mungkin dapat dilakukan peternak dengan cara menanyakan langsung kepada supplier DOC di wilayahnya, artinya peternak kita minta untuk super aktif, toh inikan juga untuk keberhasilan usahanyakan?” tanya Tri.
Dilanjutkannya, yang terjadi di tingkat peternak kita saat ini adalah mempercayakan sepenuhnya kepada supplier DOC terkait pengadaan DOC dimaksud, sehingga seringkali kita mendengar broiler dan layer kerdillah, DOC dengan tingkat mortalitas awal yang cukup tinggilah, dan seabrek permasalahan yang muncul dan masalah itu sendiri sebenarnya akibat dari ketidaktahuan peternak.
“Inilah yang merupakan indikator kalau peternak kita sebagian besar belum smart dibidangnya,” keluh pakar unggas ini. Lantas bagaimana persiapan pullet yang dimaksud oleh lulusan Universitas Rennes I Prancis ini?
“Seyogyanya pullet yang baik tersebut adalah pullet yang lambat munculnya ciri-ciri dewasa kelamin,” tutur Tri. Hal ini terkait dengan lama produksi ayam, artinya semakin cepat ayam mencapai dewasa kelamin, maka lama produksi ayam tersebut semakin pendek.
Digambarkan Tri bahwa bila dewasa kelamin muncul lebih awal maka kemampuan ayam memproduksi telur hanya berkisar 55-60 minggu saja, sedangkan bila dewasa kelamin bisa ditunda kedatangannya.
Maka, ayam petelur dapat diasumsikan berproduksi sampai usia 75 minggu, dengan cara ini secara tidak langsung efek pengaturan munculnya dewasa kelamin dapat memberikan arti yang besar pada peternak, yaitu bertambahnya pulus melalui produksi telur yang lama.
Pada ayam petelur konsep faktual yang mesti diterapkan adalah mengupayakan agar pullet lambat mencapai dewasa kelaminnya, ini bisa dilakukan dengan menerapkan beberapa hal yang teruji secara jitu di lapangan, yaitu:
(1) manajemen pencahayaan (lighting management),
(2) manajemen pakan (feeding management), dan
(3) manajemen personal (poultryman of management), ketiga hal ini berpengaruh signifikan terhadap tingkat produksi ayam petelur.

Terang-terangan Pullet Butuh Gelap-gelapan

“Ini terkait faktor lighting tadi,” ungkap Tri. Dikatakannya bahwa cahaya merupakan faktor premordial atau yang utama bagi unggas. Hal ini juga berlaku buat makhluk Allah SWT yang lainnya.
Namun keutamaan ini jangan didramatisir sehingga menjadi hal mutlak, alhasil disepanjang hayatnya ayam petelur biasanya identik dengan full lighting, padahal ini berpengaruh terhadap cepatnya pullet mencapai dewasa kelamin.
Terkait hal lighting ini, di beberapa negara maju seperti Amerika, Inggris, Prancis, Belanda dan Negara maju lainnya biasanya menerapkan sistem 8 Light (L) dan 16 Dark (D) (red; 8 jam penuh cahaya dan 16 jam penuh kegelapan).
Kemudian menginjak usia pullet 13-17 minggu, formulasi L dan D dikurangi menjadi 12 L dan 12 D, kemudian 13 L dan 11 D dan 14 L dan 10 D sampai awal produksi.
Kemudian penggunaan lampu dengan warna-warni lebih dianjurkan seperti warna biru dan merah. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa penggunaan lampu warna biru berfungsi menghambat dewasa kelamin pada pullet namun tidak berpengaruh terhadap pertumbuhannya, sedangkan penggunaan lampu warna merah berfungsi mempercepat dewasa kelamin ayam petelur yang dipelihara peternak.
Ini biasanya sebagian besar baru diterapkan dibeberapa negara maju di belahan bumi dengan iklim subtropis.
Untuk Indonesia sendiri, teknik good lighting susah diterapkan, hal ini terkait dengan musim dan lama pencahayaan alaminya, yakni 12 jam terang dan 12 jam gelap.
Di samping itu, alasan klasik yang juga perlu dipertimbangkan terkait program lighting ini adalah aksi pencurian ayam milik peternak yang sering menjadi dilema di lapangan.
Padahal bila dirujuk dari beberapa hasil penelitian terkini tentang ayam petelur menyatakan bahwa ayam petelur yang mendapatkan full lighting atau sinaran penuh berakibat pada, yaitu:
(1) dewasa kelamin maju,
(2) telur yang diproduksi kecil, dan
(3) persistensi produksi rendah.
Di samping itu, efek pencahayaan juga ada kaitannya dengan produksi Luteinizing hormone (LH) pada ayam. Hal ini diuraikan Tri bahwa pantulan cahaya matahari ke mata ayam menimbulkan rangsangan pada Hypothalamus, diteruskan ke hypophysis.
Kemudian, hypophysis terbagi dua, yaitu bagian anterior dan bagian posterior. Bagian anterior dari hypophysis ini menghasilkan gonadotropine hormone yang pada bagian sel gamanya menghasilkan Luteinizing hormone (LH) sedang pada bagian sel betanya memproduksi follicle stimulating hormone (FSH).
Lantas, apa hubungannya dengan kondisi gelap dimaksud? Tri kembali menyatakan bahwa pada unggas, kondisi gelap difungsikan untuk memproduksi LH, kemudian kondisi gelap juga berefek pada pembentukkan folikel dan perobekkan stigma folikel serta yang lebih urgent lagi adalah pada proses vitelogeni, yakni proses pembentukan yolk atau kuning telur.
Namun, yang perlu diingat adalah kondisi gelap diperlukan untuk memperlambat dewasa kelamin ayam petelur, artinya dark condition memberikan nilai positif bagi peternak, yakni dapat memperpanjang masa produksi telur ayam petelur. (Daman Suska).

PAKAN DAN MANAJEMEN PERSONAL

Harus ada pembatasan pemberian pakan pada ayam petelur, dimulai sejak ayam umur sehari atau DOC, sedangkan manajemen pemeliharaan selalu dikaitkan dengan person atau manusia yang terlibat secara langsung dengan ayam.

Pakan Juga Ambil Peran

“Harus ada pembatasan pemberian pakan pada ayam petelur, pembatasan pemberian pakan ini dimulai sejak ayam umur sehari atau DOC,” tegas Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA, pakar Produksi dan Reproduksi Unggas yang bermastutin (red; bekerja) di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Lulusan program doktoral pada Universitas Rennes I Prancis ini mengatakan sejak umur 1-5 minggu, pemberian pakan dengan metode adlibitum atau pakan tersedia sepanjang waktu dalam kandang.
Kemudian di atas umur 5 minggu, pembatasan pemberian pakan mulai diterapkan, terutama untuk tipe-tipe ayam petelur dari strain loghman. Pada dasarnya, pembatasan pemberian pakan dikategorikan pada pembatasan pemberian pakan secara kuantitaif dan pembatasan pemberian pakan secara kualitatif.
Secara kuantitaif, ayam petelur hanya dibatasi pakannya semisal 70 gr/ekor/hari, sedang secara kualitatif berarti penurunan protein kasar atau crude protein (CP) terutama untuk leyer umur 13-17 minggu, hal ini ditujukan untuk menghambat dewasa kelamin ayam tersebut.
Sebagai batasan Tri memberikan gambaran kandungan CP pakan per periode umur pemeliharaan, yakni :

UMUR (MINGGU) % CP
0-6 18-20
6-12 17
13-17 13
> 18 16,5-17

Kemudian yang perlu juga diperhatikan peternak adalah memberikan kebebasan pada ayam untuk mengkonsumsi pakannya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas pakan yang disuguhkan peternak, artinya pada usia 18 minggu ini pola pemberian pakan kembali ke sistem adlibitum, ini dibiarkan sampai ayam mulai berproduksi.
Setelah ayam berproduksi 25% dari total populasi, pemberian pakan secara adlibitum kembali dihentikan, dan pemberian pakan kembali dibatasi, yaitu 110-115 gr/ekor/hari.
Ini bertujuan agar ayam tidak gemuk, karena bila pakan yang diberikan pada layer melebihi kapasitas konsumsinya, maka dikuatirkan akan terjadi penumpukan lemak pada organ-organ reproduksinya, terutama yang perlu diwaspadai adalah pembentukan lemak abdominal, yang diduga sangat berpengaruh terhadap produksi telur layer.

Manajemen Personal Juga Perlu

Manajemen pemeliharaan selalu dikaitkan dengan person atau manusia yang terlibat secara langsung atau direct interaction dengan ayam. Dalam peristilahan awam sering disebut anak kandang yang melaksanakan semua kegiatan terkait pemeliharaan ayam layer tersebut.
Pekerjaan dimaksud seperti persiapan kandang sebelum dan sesudah panen, persiapan gudang pakan, persiapan semua peralatan dan perlengkapan kandang serta maintenance dari semua kegiatan tersebut secara periodik.

Menurut Prof drh Charles Rangga Tabbu MSc Ph D Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, aspek manajemen peternakan ayam petelur mencakup bibit, pakan, budidaya, kesehatan dan pemasaran produk ternak itu sendiri.

Aspek-aspek ini secara keseluruhan merupakan tugas peternak atau anak kandang, namun perlu di ingat bahwa ini dilakukan secara berjenjang atau paling tidak harus ada pengontrolan yang ketat dari pimpinan yang berkompeten dengan usaha peternakan tersebut.
Kejadian di lapangan sistem penjenjangan kerja ini yang masih kurang terutama untuk peternak layer skala menengan ke bawah yang sering memberikan kepercayaan penuh kepada anak kandang tanpa adanya pengontrolan, sehingga pada saat tertentu sering dijumpai tumpang tindihnya kegiatan anak kandang, dan sering terabaikan hal-hal yang terkait dengan manajemen usaha peternakan layer itu sendiri.

Ditambahkan Charles bahwa satu hal yang perlu diingat adalah pencatatan, disini apapun jenis kegiatan yang dilakukan anak kandang mulai dari terbit fajar sampai terbit fajar kembali perlu dibukukan atau dicatat. “Ya sebentuk diari gitu bung,” canda Guru Besar pakar Kesehatan Unggas FKH UGM ini.
Sementara itu menurut Hj Ir Elfawati MSi dosen Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau, pencatatan yang baik di usaha peternakan merupakan indikator yang dapat menghantarkan usaha tersebut meraih kesuksesan, karena manajemen yang baik itu sebenarnya tercermin pada recording yang tertib.

Ditambahkan Eva bahwa banyak hal yang dapat dicatat atau dibukukan dalam diari anak kandang tersebut, seperti jumlah populasi dari waktu kewaktu, penyusutan atau deplesi yang terkait dengan jumlah individu yang mati selama periode pemeliharaan, berat badan, program dan jumlah pemberian pakan, water intake, produksi telur, riwayat kesehatan atau medical record, stok barang dan lainnya.
Hal yang menarik soal manajemen personal ini juga dikemukakan Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA. Menurutnya, arah manajemen personal lebih ke kreativitas peternak atau anak kandang untuk mengatur usahanya.

Ambil contoh soal berat badan ayam, kita kenal ada berat badan inisial, yakni berat badan yang ada pada tubuh ayam untuk menandai jumlah produksi telurnya. Dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa semakin tinggi berat badan ayam petelur maka produksi ayam tersebut semakin rendah.
Kemudian soal dewasa kelamin, perlu juga diketahui bahwa ada dewasa kelamin biologis yang dicapai ayam pada umur 10 minggu dan dewasa kelamin komersial biasanya ditandai dengan masa peneluran pertama.

“Nah, peternak yang kreatif harus mampu membaca hal-hal seperti ini, kemudian diaplikasikan seperti bila terdapat berat badan tidak seragam dalam satu populasi, langsung dipisahkan, ayam dengan berat badan yang tinggi dengan berat badan yang rendah.
Kemudian soal pencahayaan juga bisa dijadikan topik pencataan di usaha peternakan layer. Dengan penerapan semua aspek manajemen yang telah direkomendasikan tadi, setidaknya peternak telah berbuat sesuatu berarti bagi ternaknya, yaitu animal walfare, ini penting,” pungkas Tri. (Daman Suska).

Manajemen Layer Modern

Fokus Infovet Mei 2008

(( Dalam berusaha ternak, peternak kita masih berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, belum berorientasi pada kualitas produk yang diproduksi ternaknya. Ini merupakan tantangan para pemikir dunia peternakan di negeri ini saat ini. ))

Seperti tak pernah habisnya, kupasan-kupasan penuh makna yang menghantarkan peternak baik peternak broiler maupun peternak layer ke tangga berilmu pengetahuan terus diupayakan.
Seperti tak pernah habisnya waktu untuk terus menggali informasi yang datangnya dari peternak dan untuk peternak, berbagi pengalaman satu sama linnya, meskipun dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama.
Itulah media, Infovet yang menyajikan informasi terkini, berarti bagi kemajuan dunia peternakan di negeri ini.
Memelihara ayam sebenarnya merupakan seni kerja, perpaduan antara kemauan dan skill yang dimiliki. Kesuksesan biasanya bila person mampu menerapkan ilmu yang dipunyai, kemudian diaplikasikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Demikian disampaikan Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA, dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di ruang kerjanya.
Menurut Prof DR Ir Tri Yuwanta SU DEA usaha dibidang peternakan merupakan pekerjaan mulia yang menyangkut hayat hidup orang banyak. Ini artinya bahwa selagi ada peradaban dunia maka usaha dibidang ini (red; peternakan) masih akan tetap exist karena kebutuhan pokok manusia akan protein hewani salah satunya di pasok oleh ayam yang didaulat sebagai pengahasil telur dan daging.
Saat ini kita hanya mengenal dua tipe ayam yang intens diusahakan sebagai usaha peternakan komersial, yaitu ayam pedaging dan ayam petelur.
Ayam petelur merupakan ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam atau unggas adalah dari ayam hutan liar yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak.
Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam seleksi tadi mulai spesifik.
Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur atau layer. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih atau white layer dan ayam petelur cokelat atau brown layer.
Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (terus dimurnikan). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul.
Untuk mendapatkan strain unggulnya diperlukan pengkajian dan penelitian yang memakan waktu lama, baik melalui perkawinan galur murni maupun perkawinan silang yang pada akhirnya diharapkan dapat menghasilkan ayam-ayam petelur yang unggul dan tahan terhadap serangan bibit penyakit.
Kemudian langkah selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah seni kerja, dalam hal ini ditegaskan Tri sebagai bentuk manajemen pemeliharaan yang sesuai standar yang diharapkan. Lalu standar dimaksud seperti apa?

Manajemen Pemeliharaan Layer Modern

”Peristilahan layer modern itu sebenarnya apa sih,” pertanyaan awal yang ditujukan Tri kepada Wartawan Infovet saat dijumpai di ruang kerjanya di kampus Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Apakah modern ditinjau dari segi pemeliharaan ataukah modern yang dikaitkan dengan kemampuan genetik ayam tersebut dalam memproduksi telur melebihi produksi rata-rata yang telah dicapainya?
Kalaulah modern di sini dilihat dari segi pemeliharaan, di belahan bumi sana (red; di luar Indonesia) usaha pemeliharaan ayam petelur atau layer memang sudah diarahkan pada pemeliharaan yang bersifat ranch farming, yaitu pemeliharaan dengan sistem litter yang dilengkapi dengan sarang-sarang tempat bertelur, ditempatkan pada sisi kanan dan kiri kandang.
Kemudian, di tengah kandang disediakan beberpa tenggeran untuk ayam, hal ini ditujukan untuk memberikan kebebasan pada ayam bergerak melakukan aktivitasnya sebagai makhluk hidup. Pada sistem inipun sering dijumpai peternak yang melengkapi kandangnya dengan halaman bermain yang luas untuk ayam peliharaannya.
Teknik mempakani ayam pun berbeda, yaitu metode pemberian pakan free choice atau sistem kafetaria. Disamping itu, pada sistem pemeliharaan seperti ini, peternak mengupayakan ayam-ayam peliharaannya bebas dari makanan asal ternak, sebut saja tepung ikan, tepung tulang, tepung darah dan jenis pakan ternak lainnya yang berasal dari ternak dan produknya.
”Bisa dikatakan pola pemeliharaan ayam seperti ini merupakan pemeliharaan ayam sistem organik, artinya terbebas dari hal-hal yang bersifat kimiawi dan pakan-pakan asal ternak dan produknya,” tutur Master lulusan Universitas Rennes I Prancis ini.
Lalu bagaimana produksi dan nilai jualnya? Menurut Tri, produksi telur dari ayam yang dipelihara seperti ini, harga telurnya lebih tinggi 25% bila dibanding dengan pola pemeliharaan ayam dengan sistem baterai.
Hal ini mungkin saja terkait dengan besarnya modal yang diperlukan untuk investasi awal, dan wajar bila usaha mereka (red; peternak) mendapat apresiasi yang baik, sebentuk public awareness atau penghargaan kepada peternak dimaksud, sementara itu kuantitas produksinya sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan pemeliharaan dengan sistem baterai.
Lalu apakah usaha peternakan seperti ini bisa diterapkan di negeri ini?
“Nah itu dia, permasalahannya bukan dari bisa atau tidak bisanya usaha pemeliharaan layer sistem ranch farming ini diterapkan di negeri ini, namun itu semua terletak dari tujuan usaha peternakan layer yang diusahakan oleh peternak kita (red; Indonesia),” jelas Tri.
Dalam berusaha ternak, peternak kita masih berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, belum berorientasi pada kualitas produk yang diproduksi ternaknya.
“Ini merupakan tantangan para pemikir dunia peternakan di negeri ini saat ini,” lanjut Guru Besar Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini. (Daman Suska).

PONDASI 16 TAHUN INFOVET


Ruang Redaksi Infovet Edisi 166 Mei 2008

Setelah 16 tahun Infovet setia menjadi teman Anda dalam mengawal informasi peternakan dan kesehatan hewan, kita mensyukuri bahwa selama ini kita merupakan mitra yang sama-sama setia dalam dunia kita: peternakan dan kesehatan hewan. Bukan semata berhenti pada bidang ini kita berbicara, namun maknanya jauh lebih daripada itu, kita pun berkontribusi bagi pembangunan manusia Indonesia sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu agenda proklamasi itu. Dengan informasi peternakan dan kesehatan hewan yang dikawal Infovet sejak 1992, tentu Anda sudah merasakan manfaat yang begitu luar biasa itu. Memulainya, melanjutkannya, dan memeliharanya, adalah tugas-tugas yang patut diemban.
Masa kini harus lebih baik dari masa lalu, dan masa akan datang harus lebih baik dari masa kini. Masa lalu adalah pelajaran, masa kini adalah kehidupan, masa depan adalah harapan. Berbagai kata-kata mutiara dapat kita sematkan di dada kita masing-masing dalam melangkah hari demi hari yang kita lalui dengan segenap rasa syukur atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Berbagai gelombang, ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lain sebagainya kita lalui, dan kita bersyukur masih tegak sebegitu jauh, dan akan senantiasa merengkuh segenap cita-cita dengan segenap penyembahan pada Yang Maha Kuasa dan Mulia.
Ambillah contoh krisis mobeter yang kita berhasil lalui. Ambilllah contoh sebelumnya ketika penyakit Gumboro masuk di Indonesia. Ketika Anthraks menghantam perekonomian kita. Bahkan ketika Flu Burung masih menyisakan jejak-jejak pengacauan ekonomi yang berpengaruh secara luas tidak hanya di kalangan peternakan saja.
Apa yang patut kita katakan, oleh kekuatan siapa semua cobaan itu dapat kita lalui dengan badan tegak bahkan mampu berbuat lebih baik di masa selanjutnya? Jelas, itu semata-mata karena Kasih KaruniaNya.
Bilamana kita berlatar belakang kebudayaan Nusantara, sudah tentu kita membuat kue tumpeng untuk merayakan hari lahir hingga seumur begini kita selalu dalam lindungan dan berkah serta pimpinanNya.
Bilamana kita berlatar belakang kebudayaan global kita membuat kue ulang tahun dengan tertancapnya lilin sebagai simbol umur kita. Kita tiup lilin, diiringi tepuk tangan. Lalu semua mengucapkan, “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, sehat sentosa dan sejahteralah senantiasa.”
Doa demi doa kita angkasakan. Demikian juga bagi Infovet yang semula dalam naungan langsung Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). Lalu 2002 Infovet menjadi sebuah perusahaan milik ASOHI, PT Gallus Indonesia Utama, berkembang dari satu Divisi Infovet, muncullah Divisi Gita Pustaka, Divisi Satwa Kesyangan, Divisi Event Organizer, Divisi G Multimerdia, selain Sekretariat ASOHI sendiri.
Infovet Group, dalam PT Gallus Indonesia Utama telah mewujudkan cita-cita Pendiri ASOHI, salah satunya Almarhum Dr H Karim Mahanan yang punya kepedulian tinggi terhadap masyarakat obat hewan, dan peternakan secara umum. Kepedulian yang sama kita pegang teguh, pelihara dan senantiasa kita kembangkan dengan sepenuh dedikasi.
Infovet dan para pembaca, pemasang iklan, dan seluruh mitra, adalah satu keluarga besar yang punya dedikasi kuat terhadap cita-cita awal berdirinya ASOHI, dan berbagai organisasi peternakan lainnya. Maka pada HUT Infovet ke 16 bulan Mei 2008 ini, segenap keluarga besar Infovet - PT Gallus Indonesia Utama - Asosiasi Obat Hewan Indonesia, mengucapkan terimakasih kepada Anda semua, atas kerjasama yang sangat baik dalam sejarah kita selama ini.
Mari kita jaga dan kembangkan cita-cita kita yang telah kuat pondasinya ini selama usia 16 tahun, sekuat pondasi Kemerdekaan 1945 yang tahun ini mencapai usia 63. Merdeka!!! (YR)

ARTIKEL TERPOPULER

ARTIKEL TERBARU

BENARKAH AYAM BROILER DISUNTIK HORMON?


Copyright © Majalah Infovet I Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan. All rights reserved.
About | Kontak | Disclaimer